Anda di halaman 1dari 53

BAB II

PENDAFTARAN TANAH DAN PROSES BALIK NAMA SERTIPIKAT

ATAS TANAH

A. Pengaturan Hak Atas Tanah

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau lebih dikenal dengan sebutan Undang-

Undang Pokok Agraria (UUPA) menyebutkan bahwa: “Atas dasar ketentuan

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bumi, air, ruang angkasa,

termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan

tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”

Penguasaan atas bumi, air, ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang

terkandung didalamnya oleh negara dikenal dengan sebutan Hak Menguasai

Negara. Pasal 2 ayat (2) UUPA menetapkan bahwa hak menguasai negara

memberi wewenang untuk:

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan, bumi, air, dan luar angkasa;

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum

antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; dan

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum

antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai,

bumi, air, dan ruang angkasa.41

41
Urip Santoso, Op. Cit, hlm. 47.

1
Tujuan menguasai negara atas bumi, air, ruang angkasa adalah untuk

mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,

kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum

Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. 42

Hak menguasai negara atas bumi, air, dan ruang angkasa dalam

pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra

(pemerintah daerah) dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekadar

diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut

ketentuan-ketentuan pemerintah.43

Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat (1)

UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud

dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi,

yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-

orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta

badan-badan hukum.44

Hak atas permukaan bumi, yang disebut hak atas bersumber dari hak

menguasai negara atas tanah. Hak atas tanah dapat diberikan kepada dan

dipunyai oleh perseorangan, baik warga negara Indonesia atau orang asing

yang berkedudukan di Indonesia, sekelompok orang secara bersama-sama, dan

badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia, badan hukum privat atau badan hukum publik.45

42
Idem, hlm. 48
43
Ibid.
44
Ibid.
45
Ibid.

2
Wewenang dalam hak atas tanah dimuat dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA,

yaitu: “Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam Ayat 1 pasal ini memberi

wewnang untuk menggunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh

bumi dan air dan ruang yang ad di atasnya sekadar diperlukan untuk

kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam

batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain

yang lebih tinggi”. Wewenang dalam hak atas tanah berupa menggunakan

tanah untuk keperluan mendirikan bangunan atau bukan bangunan,

menggunakan tubuh bumi, misalnya penggunaan ruang bawah tanah, diambil

sumber airnya, penggunaan ruang diatas tanah, mmisalnya di atas tanah

didirikan pemancar.46

Yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang

kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil manfaat

dari tanah yang di hakinya.47 Kata “menggunakan” mengandung pengertian

bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan,

misalnya rumah, toko, hotel, kantor, pabrik. Kata “mengambil manfaat”

mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan

bukan mendirikan bangunan, misalnya untuk kepentingan pertanian,

perikanan, peternakan, perkebunan.48

Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh

pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:

46
Ibid.
47
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm.4.
48
Urip Santoso, Op. Cit, hlm. 49.

3
1. Wewenang Umum

Wewenang yang bersifat umum, yaitu pemegang hak atas tanah

mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga

tubuh bumi, air, dan ruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk

kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu

dalam batas-batas menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang

Pokok-Pokok Agraria dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih

tinggi.

2. Wewenang Khusus

Wewenang yang bersifat khusus, yaitu pemegang hak atas tanah

mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan

macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik

adalah dapat untuk kepentingan dan/atau mendirikan bangunan,

wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah menggunakan tanah

hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang

bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah

menggunakan hanya untuk kepentingan usaha di bidang pertanian,

perikanan, peternakan, dan perkebunan.49

Hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA

dijabarkan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu:

1. Hak Milik;

2. Hak Guna Usaha;

3. Hak Guna Bangunan;


49
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm.45.

4
4. Hak Pakai;

5. Hak Sewa untuk Bangunan;

6. Hak Membuka Tanah;

7. Hak Memungut Hasil Hutan.

8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut

di atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang, serta hak-hak

yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.50

Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan macam-

macamnya dalam Pasal 53 UUPA, yaitu:

1. Hak Gadai;

2. Hak Usaha Bagi Hasil;

3. Hak Menumpang;

4. Hak Sewa Tanah Pertanian.51

Peraturan perundang-undangan yang di dalamnya mengatur hak atas

tanah, antara lain yaitu:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria;

2. Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah

Susun;

3. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan;

50
Urip Santoso, Op. Cit, hlm. 50.
51
Ibid.

5
4. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah

Susun;

5. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah;

6. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang

Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang

Berkedudukan di Indonesia;

7. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah;

8. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;

9. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Naional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

10. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan

Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak

Atas Tanah Negara;

11. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan

Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1997 tentang Tata Cara Pemberian

dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Pengelolaan.52

B. Macam-Macam Hak Atas Tanah


52
Idem, hlm. 50-51.

6
Macam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 UUPA

dan Pasal 53 UUPA dikelompokan menjadi 3 (tiga) bidang, yaitu:

1. Hak Atas Tanah Yang Bersifat Tetap.

Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada atau berlaku selama UUPA

masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru.

Macam hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Mmebuka

Tanah, dan Hak Memungut Hasil Hutan.

2. Hak Atas Tanah Yang Akan Ditetapkan

Dengan Undang-Undang.

Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan ditetapkan

dengan undang-undang. Macam hak atas tanah ini belum ada.

3. Hak Atas Tanah Yang Bersifat Sementara.

Yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat

akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan,

mengandung sifat feodal, dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Macam

hak atas tanah ini adalah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak

Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.53

Berkaitan dengan lahirnya hak atas tanah yang tidak dapat dimasukan ke

dalam hak atas tanah yang bersifat tetap maupun hak atas tanah yang bersifat

sementara, Eman Ramelan menyatakan bahwa pembentuk UUPA menyadari

bahwa dalam perkembangannya nanti akan sangat dimungkinkan timbulnya

53
Idem, hlm. 52.

7
hak atas tanah yang baru sebagai konsekuensi dari adanya perkembangan

masyarakat, hanya saja pengaturannya harus dalam bentuk undang-undang.54

Sistem dalam UUPA menentukan bahwa macam hak atas tanah bersifat

terbuka, artinya masih terbuka peluang adanya penambahan macam hak atas

tanah selain yang ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA dan Pasal 53

UUPA. Hal ini dapat diketahui secara inplisit dari ketentuan Pasal 16 ayat (1)

huruf h UUPA, yang menyatakan bahwa hak-hak lain yang akan ditetapkan

dengan undang-undang. Macam-macam hak atas tanah tersebut mempunyai

sifat limitatif. Lahirnya hak atas tanah ini mensyaratkan harus diatur dengan

Undang-Undang. Pasal 16 Ayat (1) h UUPA memberikan peluang akan lahir

hak atas tanah yang ditetapkan dengan undnag-undang. pembentuk UUPA

sudah mengantisipasi bahwa suatu saat kelak lahir hak atas tanah baru seiring

dengan perkembangan masyarakat dan pembangunan.55

Berdasarkan asal tanahnya, hak atas tanah dibagi menjadi 2 (dua)

kelompok, yaitu:

1. Hak atas tanah yang bersifat primer.

Yaitu hak atas tanah yang berasal dari negara.

Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan atas tanah negara, dan Hak Pakai atas tanah negara.

2. Hak atas tanah yang bersifat sekunder.

Yaitu hak atas tanah yang berasal dari pihak lain.

54
Eman Ramelan “Hak Pengelolaan Setelah Berlakunya Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999”, Majalah Yuridika, Vol. 15 No. 3,
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2000, hlm. 194.
55
Urip Santoso, Op. Cit, hlm. 52.

8
Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Guna Bangunan atas tanah

Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik, Hak Pakai

atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai atas tanah Hak Milik, Hak Sewa

untuk Bangunan, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang,

dan Hak Sewa Tanah Pertanian.56

Ada 2 (dua) cara perolehan hak atas tanah oleh seseorang atau badan

hukum, yaitu:

1. Hak atas tanah diperoleh secara originail.

Yaitu hak atas tanah diperoleh seseorang atau badan hukum untuk

pertama kalinya.

Macam-macam hak atas tanah ini, adalah:

a. Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak

Pakai yang terjadi atas tanah negara;

b. Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang

berasal dari tanah Hak Pengelolaan;

c. Hak Milik yang diperoleh dari perubahan Hak Guna

Bangunan;

d. Hak Guna Bangunan yang diperoleh dari perubahan Hak

Milik.

e. Hak Milik yang terjadi menurut Hukum Adat.

f. Hak Milik yang terjadi atas tanah yang berasal dari eks

tanah milik adat.

2. Hak atas tanah yang diperoleh secara derivatif .


56
Idem, hlm. 53.

9
Yaitu hak atas tanah yang diperoleh seseorang atau badan hukum secara

turunan dari hak atas tanah yang dimiliki atau dikuasai pihak lain.

Macam-macam hak atas tanah ini, adalah:

a. Seseorang atau badan hukum membeli tanah hak pihak

lain;

b. Seseorang atau badan hukum mendapatkan hibah tanah

hak pihak lain;

c. Seseorang atau badan hukum melakukan tukar-menukar

tanah hak dengan pihak lain.

d. Seseorang mendapatkan warisan berupa tanah hak dari

orang tuanya;

e. Seseorang atau badan hukum memperoleh tanah hak

melalui lelang.57

Dalam perautran perundang-undangan di bidang pertanahan diatur ada 4

(empat) cara terjadinya hak atas tanah, yaitu:

1. Hak atas tanah terjadi menurut Hukum Adat.

Hak atas tanah yang terjadi menurut Hukum Adat adalah hak milik.

Terjadinya Hak Milik ini melalui pembukaan tanah dan lidah tanah

(Aanslibbing). Yang dimaksud dengan pembukaan tanah adalah

pembukaan hutan yang dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat

hukum adat yang dipimpin oleh kepala/ketua adat. Selanjutnya

57
Idem, hlm. 53-54.

10
Ketua/Kepala adat membagikan hutan yang sudah dibuka tersebut untuk

pertanian atau bukan pertanian kepada masyarakat hukum adat.58

Yang dimaksud dengan lidah tanah (Aanslibbing) adalah

pertumbuhan tanah di tepi sungai, danau, atau laut. Tanah yang tumbuh

demikian ini menjadi kepunyaan orang yang memilik tanah yang

berbatasan, karena pertumbuhan tanah tersebut sedikit banyak terjadi

karena usahanya. Dengan sendirinya terjadinya Hak Milik secara

demikian ini juga melalui suatu proses pertumbuhan yang memakan

waktu.59

Lidah tanah (Aanslibbing) adalah tanah yang timbul atau muncul

karena berbeloknya arus sungai atau tanah yang timbul di tepi pantai.

Tanah ini berasal dari endapan lumpur yang makin lama makin

meninggi dan mengeras. Timbulnya tanah ini bukan karena kesengajaan

dari seseorang atau pemilik tanah yang berbatasan, melainkan terjadi

secara alamiah. Dalam Hukum Adat, lidah tanah yang tidak begitu luas

menjadi hak bagi pemilik tanah yang berbatasan.60

Menurut Pasal 22 Ayat (1) UUPA, terjadinya Hak Milik diatur

dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah yang diperintahkan

di sini sampai saat ini belum dibuat.

2. Hak atas tanah yang terjadi karena penetapan

pemerintah.

58
Ibid.
59
Boedi Harsono, Op, Cit, hlm. 81.
60
Urip Santoso, Op. Cit, hlm. 54.

11
Hak atas tanah yang terjadi di sini tanahnya semula berasal dari

tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Hak atas tanah ini terjadi

melalui permohonan pemberian hak atas tanah negara. Menurut Pasal 1

Ayat (8) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

No. 9 Tahun 1999, yang dimaksud pemberian hak atas tanah adalah

penetapan pemerintah yang memberikan suatu hak atas tanah negara,

perpanjangan jangka waktu hak, pembaruan hak, perubahan hak,

termasuk pemberian hak di atas Hak Pengelolaan.

Hak atas tanah yang terjadi karena penetapan Pemerintah, yaitu:

a. Hak Milik yang berasal dari Tanah Negara;

b. Hak Milik yang berasal dari Tanah Hak Pengelolaan;

c. Hak Guna Usaha;

d. Hak Guna Bangunan Yang berasal dari tanah Hak

Pengelolaan;

e. Hak Pakai yang berasal dari tanah Hak Pengelolaan;

f. Perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai atas tanah negara;

g. Perpanjangan jangka waku Hak Guna Bangunan dan Hak

Pakai atas tanah Hak Pengelolaan;

h. Pembaruan Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah

Hak Pengelolaan;

i. Pembaruan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak

pakai atas tanah negara;

12
j. Perubahan hak dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik;

k. Perubahan hak dari Hak milik menjadi Hak Guna

Bangunan.61

Terjadinya hak atas tanah karena penetapan pemerintah diawali

oleh permohonan pemberian hak atas tanah negara kepada Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia melalui Kepala Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Kalau semua persyaratan yang

ditentukan dalam permohonan pemberian hak atas tanah dipenuhi oleh

pemohon, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia,

atau Pejaabat Badan Pertanahan Republik Indonesia yang diberi

pelimpahan kewenangan menerbitkan Suratb Keputusan Pemberian Hak

(SKPH). Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) disampaikan kepada

pemohon dan selanjutnya didaftarkan oleh pemohon kepada Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setetmpat untuk dicatat dalam Buku

Tanah dan diterbitkan sertifikat. Pendaftaran Surat Keputusan Pemberian

Hak (SKPH) menandai lahirnya hak atas tanah. 62

3. Hak atas tanah terjadi karena ketentuan undang-undang.

Hak atas tanah ini terjadi karena undang-undanglah yang

menciptakannya. Hak atas tanah ini terjadi karena ketentuan Undang-

undang diatur dalam ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang No.

5 Tahun 1960 (UUPA) .

61
Idem, hlm. 55.
62
Idem, hlm. 56.

13
Terjadinya hak atas ini atas dasar ketentuan konversi (perubahan

status hak) menurut UUPA. Sejak berlakunya UUPA pada tanggal 24

September 1960, semua hak atas tanah yang ada sebelumnya diubah

menjadi hak atas tanah yang diatur dalam UUPA.

Yang dimaksud dengan konversi adalah perubahan hak atas tanah

sehubungan dengan berlakunya UUPA. Hak-hak atas tanah yang ada

sebelum berlakunya UUPA diubah menjadi hak-hak atas tanah yang

ditetapkan dalam UUPA (Pasal 16 UUPA).63

Menurut A.P Parlindungan, yang dimaksud dengan konversi

adalah penyesuaian hak-hak atas tanah yang pernah tunduk kepada

sistem hukum yang lama, yaitu hak-hak atas tanah menurut BW dan

tanah-tanah yang tunduk pada Hukum Adat untuk masuk dalam sistem

hak-hak atas tanah menurut ketentuan UUPA.64

Konversi adalah perubahan status hak atas tanah menurut hukum

yang lama sebelum berlakunya UUPA, yaitu hak atas tanah yang tunduk

pada Hukum Barat (BW), Hukum Adat dan daerah swapraja menjadi

hak atas tanah menurut UUPA.65

Saat ini peraturan perundang-undangan yang mengatur penegasan

konversi (perubahan status hak atas tanah), yaitu:

a. Pasal II ayat (1) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

63
Effendi Perangin, Op. Cit, hlm. 145.
64
A.P. Parlindungan (Selanjutnya disebut A.P. Parlindungan II), Hak Pengelolaan
Menurut Sistem Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm.
5.
65
Ibid.

14
Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau

mirip dengan hak yang dimaksud dengan Pasal 20 Ayat 1 (satu)

seperti yang dicabut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada

mulai berlakunya undang-undang ini, yaitu hak agrarisch eigendom,

milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas tanah druwe desa,

pesini, grant sultan, landerijenbezitrecht, altijdurende erpacht, hak

usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama,

apapun juga akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria sejak

mulai berlakunya undang-undang ini menjadi Hak Milik seperti

tersebut dalam Pasal 210 ayat 1, kecuali jika yang mempunyainya

tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21.

b. Pasal VII Ayat (1) Ketentuan-Ketentuan Konversi UUPA.

Hak gogolan, pekulen, atau sanggan yang bersifat tetap yang ada

mulai berlakunya undang-undang ini menjadi Hak Milik tersebut

pada Pasal 20 Ayat 1.

c. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 Tahun 1962

tentang Penegasan dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas

Tanah.

d. Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965

tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara

dan Kebijaksaan. 66

Selanjutnya, jika hak penguasaan atas tanah Negara yang

diberikan kepada Departement-departement, Direktorat-direktorat,


66
Urip Santoso, Op. Cit, hlm. 58.

15
dan daerah swatantra digunakan untuk kepentingan instansi-instansi

itu sendiri dikonversi menjadi Hak Pakai.67

Penegasan konversi diajukan oleh pemegang hak atas tanah

kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk

diterbitkan sertipikat hak atas tanah.68

4. Hak atas tanah terjadi karena pemberian hak.

Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dapat terjadi pada tanah Hak

Milik. Terjadinya Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai diberikan

dengan Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah

Hak Milik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akta

PPAT ini didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur terjadinya Hak

Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah Hak Milik, adalah:

a. Pasal 37 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

(UUPA), Hak Guna Bangunan terjadi mengenai Hak Milik, karena

perjanjian yang berbentuk autentik antara pemilik tanah yang

bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna

Bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.

b. Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

(UUPA), Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau

memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara

67
Ibid.
68
Ibid.

16
atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan

kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh

pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian

dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa

atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak

bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang

ini.

c. Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996,

Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik terjadi dengan

pemberian hak oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat

oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah .

d. Pasal 44 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun

1996, Hak Pakai atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian

oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah.

e. Pasal 44 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun

1997, Pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah atau hak

milik atas satuan rumah susun, pembebanan hak guna bangunan,

hak pakai dan hak sewa untuk bangunan atas hak milik, dan

pembebanan lain pada hak atas tanah atau hak milik atas satuan

rumah susun yang ditentukan dengan perundang-undangan dapat

didaftar jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat

17
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C. Peralihan Hak Atas Tanah

1. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat.

Jual beli tanah sebagai suatu perbuatan hukum, tidak secara tegas

dan terperinci diatur dalam UUPA. Bahkan, sampai sekarang belum ada

peraturan yang mengatur secara khusus mengenai pelaksanaan jual beli

tanah.69

Dalam Pasal 5 UUPA terdapat pernyataan bahwa Hukum Tanah

Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi,

asas-asas, lembaga hukum dan sistem Hukum Adat. Hukum Adat yang

dimaksudkan tentunya Hukum Adat yang telah di saneer yang

dihilangkan cacat-cacatnya/disempurnakan. Jadi, pengertian jual beli

tanah menurut Hukum Tanah Nasional kita adalah pengertian jual beli

tanah menurut Hukum Adat.70

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sumber-sumber hukum

tanah nasional kita berupa norma-norma hukum yang berbentuk tertulis

dan tidak tertulis. Sumber-sumber hukum yang tertulis berupa Undang-

Undang Dasar 1945, UUPA, peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA,

dan peraturan-peraturan lama yang masih berlaku. Adapun sumber-

sumber hukum yang tidak tertulis adalah norma-norma hukum adat yang
69
Adrian Sutedi (Selanjutnya disebut Adrian Sutedi II), Peralihan Hak Atas Tanah dan
Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 71.
70
Ibid.

18
telah di saneer dan hukum kebiasaan yang baru, termasuk

yurisprudensi.71

Dengan demikian ada dua fungsi atau peranan dari Hukum Adat,

yaitu sebagai sumber utama pembangunan Hukum Tanah Nasional dan

sebagai pelengkap dari ketentuan-ketentuan Hukum Tanah yang belum

ada peraturannya agar tidak terjadi kekosongan hukum karena

hukumnya belum diatur sehingga kegiatan masyarakat yang

berhubungan dengan Hukum Tanah tidak terhambat karenanya.72

Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan

pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti

perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan kepala

adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan

sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut

diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan

hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena

itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah yang dibayar secara kontan,

atau baru dibayar sebagian (tunai dianggap tunai). Dalam hal pembeli

tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar

terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang piutang.73

Kadang-kadang seorang pembeli tanah dalam pelaksanaan jual

belinya belum tentu mempunyai uang tunai sebesar harga tanah yang

71
Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 235.
72
Adrian Sutedi II, Loc. Cit.
73
Soerjono Soekanto (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), Hukum Adat Indonesia,
Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 211.

19
ditetapkan. Dalam hal demikian ini berarti pada saat terjadinya jual beli,

uang pembayarandari tanah yang ditetapkan belum semuanya terbayar

lunas (hanya sebagian saja). Belum lunasnya pembayaran harga tanah

yang ditetapkan tersebut tidak mengahalangi pemindahan haknya atas

tanah, artinya pelaksanaan jual beli dianggap telah selesai. Adapun sisa

uang harus dibayar oleh pembeli kepada penjual dianggap sebagai utang

pembeli kepada penjual, jadi hubungan ini merupakan hubungan utang

piutang antara penjual dengan pembeli. Meskipun pembeli masih

menanggung utang kepada penjual berkenaan dengan jual belinya tanah

penjual, namun hak atas tanah tetap telah pindah dari penjual kepada

pembeli saat terselesainya jual beli. 74

Dalam hukum adat, jual beli tanah dimasukkan dalam hukum

benda, khususnya hukum benda tetap atau hukum tanah, tidak dalam

hukum perikatan khususnya hukum perjanjian, hal ini karena:

a. Jual beli tanah menurut hukum adat bukan merupakan suatu

perjanjian sehingga tidak mewajibkan para pihak untuk

melaksanakan jual beli tersebut;

b. Jual beli tanah menurut hukum adat tidak menimbulkan hak

dan kewajiban, yang ada hanya pemindahan hak dan kewajiban

atas tanah. Jadi, apabila [embeli baru membayar harga tanah

sebagian dan tidak membayar sisanya maka penjual tidak dapat

menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah tersebut.75

74
Adrian Sutedi II, Op, Cit, hlm. 72.
75
Soerjono Soekanto II, Loc. Cit.

20
Ciri-ciri yang menandai dari jual beli tersebut antara lain, jual beli

tersebut serentak selesai dengan tercapainya persetuan atau persesuaian

kehendak (konsesus) yang diikuti dengan ikrar/pembuatan kontrak jual

beli di hadapan Kepala Persekutuan hukum yang berwenang, dibuktikan

dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan

kesediaan penjual untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli.

Dengan terjadinya jual beli tersebut, hak milik atas tanah telah

berpindah, meskipun formalitas balik nama belum terselesaikan.

Kemudian ciri yang kedua adalah sifatnya yang terang, berarti tidak

gelap. Sifat ini ditandai dengan peranan dari Kepala Persekutuan, yaitu

menanggung bahwa perbuatan itu sudah cukup tertib dan cukup sah

menurut hukumnya. Adanya tanggungan dari Kepala Persekutuan

tersebut menjadikan perbuatan tersebut terangkat menjadi suatu

perbuatan yang mengarah pada ketertiban hukum umum sehingga

menjadikannya di dalam lalu lintas hukum yang bebas dan terjamin.76

Transaksi tanah, di lapangan hukum harta kekayaan merupakan

salah satu bentuk perbuatan tunai dan berobjek tanah, intinya adalah

penyerahan benda (sebagai prestasi) yang berjalan serentak dengan

penerimaan pembayaran tunai (seluruhnya, kadang-kadang sebagian,

selaku kontra prestasi). Perbuatan menyerahkan itu dinyatakan dengan

istilah jual (Indonesia), adol sade (Jawa).77

76
Adrian Sutedi II, Op, Cit, hlm. 73.
77
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 28.

21
Transaksi jual tanah dalam sistem Hukum Adat mempunyai 3

(tiga) muatan yakni:

a. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai

sedemikian rupa dengan hak untuk mendapatkan tanahnya kembali

setelah membayar sejumlah uang yang pernah dibayarnya. Antara

lain menggadai, menjual gade, adil sende, ngejual akad atau gade.

b. Pemindahan hak atas tanah dasar pembayaran tunai tanpa

hak untuk pembeli kembali, jadi menjual lepas untuk selama-

lamanya. Antara lain adol plas, runtemurun, menjual jaja.

c. Pemindaahan hak atas tanah atas dasar pembayaran dengan

perjanjian bahwa setelah beberapa tahun panen dan tanpa tindakan

hukum tertentu tanah akan kembali (menjual tahunan, adol

oyodan).78

2. Jual Beli Tanah Menurut UUPA

Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26

yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal-pasal

lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan

sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukan suatu perbuatan

hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak

lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar, dan hibah wasiat. Jadim

meskipun dalam pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah

78
Soerjono Soekanto II, Op. Cit, hlm. 212.

22
satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual

beli.79

Sejak berlakunya PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran

Tanah, jual beli tanah dilakukan oleh di hadapan PPAT yang bertugas

membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli di hadapan PPAT,

dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang

dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta jual beli yang

ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak

dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya,

telah memnuhi syarat tunai dan menunjukan bahwa secara nyata atau rill

perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan. Akta

tersebut membuktikan bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum

pemindahan hak untuk selama-lamanya dan pembayaran harganya.

Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum

pemindahan hak, maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak

(pembeli) sudah menjadi pemegang hak yang baru. Akan tetapi, hal itu

baru diketahui oleh para pihak dan ahli warisnya, karenanya juga baru

mengikat para pihak dan ahli warisnya karena administrasi PPAT

sifatnya tertutup bagi umum.80

Syarat jual beli ada dua, syarat materiil dan syarat formil.

a. Syarat Materiil

79
Adrian Sutedi II, Op, Cit, hlm. 76.
80
Boedi Harsono (selanjutnya disebut Boedi Harsono II), Perkembangan Hukum Tanah
Adat Melalui Yurisprudensi, Banjarmasin, 1977. hlm. 50.

23
Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah

tersebut, antara lain sebagai berikut:

1). Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan.

Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus

memenuhi syarat untuk memilik tanah yang akan dibelinya.

Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli

memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung hak apa

yang ada pada tanah tersebut, apakah hak milik, hak guna

bangunan, atau hak pakai. Menurut UUPA, yang dapat

mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia

tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh

Pemerintah (Pasal 21 UUPA). Jika pembeli mempunyai

kewarganegaraan asing di samping kewarganegaraan Indonesia

atau kepada suatu badan hukum yang tidak dikecualikan oleh

pemerintah, maka jual beli tersebut batal karena hukum dan

tanah jatuh pada negara (Pasal 26 ayat (2) UUPA).

2). Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan.

Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja si

pemegang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut

pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka

ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, bila

pemilik adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu

24
ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja

yang bertindak sebagai penjual.81

3). Tanah hak yang bersangkutan boleh

diperjualbelikan dan tidak sedang dalam sengketa.

Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh

diperjualbelikan telah ditentukan dalam UUPA yaitu Hak Milik

(Pasal 20), Hak Guna Usaha (Pasal 28), Hak Guna Bangunan

(Pasal 35), Hak Pakai (Pasal 41). Jika salah satu syarat materiil

ini tidak dipenuhi, dalam arti penjual bukan merupakan orang

yang berhak atas tanah yang dijualnya atau pembeli tidak

memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak atas tanah atau

tanah, yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau

merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual

beli tanah tersebut tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan

oleh yang tidak berhak adalah batal demi hukum. Artinya,

sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual

beli.82

b. Syarat Formal

Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT

(Pejabat Pembuat Akta Tanah) akan membuat akta jual belinya.

Akta jual beli menurut Pasal 37 PP 24/1997 harus dibuat oleh

PPAT. Jual beli yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah
81
Effendi Perangin, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm.
2.
82
Ibid.

25
karena UUPA berlandaskan pada Hukum Adat (Pasal 5 UUPA),

sedangkan dalam Hukum Adat sistem yang dipakai adalah sistem

yang konkret/kontan/nyata/riil. Kendatipun demikian, untuk

mewujudkaan adanya suatu kepastian hukum dalam setiap

peralihan hak atas tanah, PP No. 24 Tahun 1997 sebagai peraturan

pelaksana dari UUPA telah menentukan bahwa setiap perjanjian

yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan

dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT.83

Sebelum akta jual beli dibuat PPAT, maka diisyaratkan bagi

para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada

PPAT, yaitu:

1). Jika tanahnya sudah bersertipikat: sertipikat

tanahnya yang asli dan tanda bukti pembayaran biaya

pendaftarannya;

2). Jika tanahnya belum bersertipikat: surat keterangan

bahwa tanah tersebut belum bersertipikat, surat-surat tanah

yang ada yang memerlukan penguatan oleh Kepala Desa dan

Camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan

identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk

persertipikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual-beli.

Setelah akta dibuat, selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak akta

tersebut ditandatangani, PPAT menyerahkan akta tersebut kepada

83
Bachtiar Effendi¸ Op. Cit, hlm. 23.

26
kantor pendaftaran tanah yntuk pemindahan haknya (Pasal 40 PP No.

24 Tahun 1997).

Mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli, Mahkamah Agung

dalam Putusannya No. 1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa Pasal

19 PP No. 10 Tahun 1961 secara jelas menentukan bahwa akta

PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu

adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah.

Menurut Boedi Harsono, akta PPAT berfungsi sebagai alat

pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli.Jual beli

tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian lain. Akan

tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah menurut PP No. 10 Tahun

1961 (yang sekarang sudah disempurnakan dengan PP No. 24 Tahun

1997), pendaftaraan jual beli itu hanya dapat (boleh) dilakukan

dengan akta PPAT sebagai buktinya. Orang yang melakukan jual

beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat

memperoleh sertipikat, biarpun jual belinya sah menurut hukum. 84

Tata usaha PPAT bersifat tertutup untuk umum, pembuktian

mengenai berpindahnya hak tersebut berlakunya terbatas pada para

pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan para

ahli warisnya.85

Dalam Yurisprudensi MA No. 123/K/Sip/1971, pendaftaran

tanah hanyalah perbuatan administrasi belaka, artinya bahwa

84
Boedi Harsono II, Op. Cit, hlm. 52.
85
Idem, hlm. 459.

27
pendaftaran bukan merupakan syarat sebagai sahnya atau

menentukan saat berpindahnya hak atas tanah dalam jual beli.

Menurut ketentuan, UUPA, pendaftaran merupakan pembuktian

yang kuat mengenai sahnya jual beli yang dilakukan terutama dalam

hubungannya dengan pihak ketiga yang beritikad baik. Administrasi

pendaftaran bersifat terbuka sehingga setiap orang mengetahuinya.86

3. Penghibahan Tanah

Hibah tanah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain

dengan tidak ada penggantian apa pun dan dilakukan secara suka rela,

tanpa ada kontraprestasi dari penerima pemberian, dan pemberian itu

dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup. Inilah yang berbeda

dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan sesudah si pewasiat

meninggal dunia.87

Pengertian hibah juga diatur dalam Pasal 1666 KUH Perdata,

yakni:

Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu


hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali,
menyerahkan ssesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang
menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui lain-lain
hibah selain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup.88

Sebelum lahirnya PP No. 24 Tahun 1997, bagi mereka yang tunduk

kepada KUH Perdata, surat hibah wasiat harus dibuat dalam bentuk

86
Idem, hlm. 53.
87
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 113.
88
Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

28
tertulis dari Notaris.89 Surat hibah wasiat yang tidak dibuat oleh Notaris

tidak memiliki kekuatan hukum. Mereka yang tunduk pada hukum adat

dapat membuatnya di bawah tangan, tetapi proses di kantor Pertanahan

harus dibuat dengan akta PPAT.90 Perolehan tanah secara hibah dan

hibah wasiat seyogianya didaftarkan peralihan haknya itu di Kantor

Pertanahan setempat sebagai bentuk pengamanan hibah tanah.

Kekuatan hukum akta hibah terletak pada fungsi akta autentik itu

sendiri yakni sebagai alat bukti sah menurut undang-undang (Pasal 1682,

1867, dan 1868 BW) sehingga hal ini merupakan akibat langsung yang

merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus

ada akta-akta autentik sebagai alat pembuktian.91

Hal-hal yang membatalkan akta hibah telah dijelaskan dalam Pasal

1688 BW. Suatu hibah tidak dapat ditarik kembali maupun dihapuskan

karenanya, melainkan dalam hal-hal berikut:

a. Karena tidak dipenuhinya syarat-syarat dengan mana

penghibahan telah dilakukan;

b. Jika si penerimah hibah telah bersalah melakukan atau

membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si

penghibah atau suatu kejahatan lain terhadap si penghibah;

c. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si

penghibah, setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan.92

89
Idem, Pasal 1005.
90
Effendi Perangin (selanjutnya disebut Efendi Perangin II), Mencegah Sengketa Tanah,
Rajawali, Jakarta 1990, hlm. 46.
91
Adrian Sutedi II, Op. Cit, hlm. 100.
92
Ibid.

29
Namun demikian, tidak diatur dengan jelas batasan jumlah

harta/benda/barang yang dapat dihibahkan sehingga perlu melihat bagian

kedua BW, khususnya pasal-pasal yang memuat ketentuan tentang

batasan legitime portie, yakni Pasal 913, 949, dan 920, serta peraturan

perundang-undangan lainnya seperti UU No. 1 Tahun 1974. Selain itu,

adanya unsur perbuatan melawan hukum dalam penghibahan dapat pula

membatalkan akta hibah.93

4. Pewarisan Tanah

Perolehan hak milik atas tanah dapat juga terjadi karena pewariisan

pemilik kepada ahli waris sesuai dengan Pasal 26 UUPA. Pewarisan

dapat terjadi karena ketentuan undang-undang ataupun karena wasiat

dari orang yang mewasiatkan. Menurut Pasal 1023 KUH Perdata, para

ahli waris menerima hak terdahulu untuk pendaftaran boedel ataupun

menolak warisan tersebut.94

Dengan jatuhnya tanah kepada para ahli waris, terjadilah

pemmilikan bersama tanah hak milik jika tanah tersebut hanya satu-

satunya. Akan tetapi, jika pewaris memilik tanah tersebut sesuai dengan
93
Ibid.
94
Ketentuan Pasal 1023 menyatakan “Semua orang yang memperoleh hak atas suatu
warisan dan ingin menyelidiki keadaan harta peninggalan, agar mereka dapat
mempertimbangkan , apakah akan bermanfaat bagi mereka, untuk menerima warisan
itu secara murni, atau dengan hak istimewa dengan mengadakan pendaftaran harta
peninggalan, atau pula untuk menolaknya, mempunyai hak untuk memikir, dan mereka
harus melakukan suatu pernyataan tersebut, pernyataan mana akan dilakukan dalam
suatu register yang disediakan untuk itu.”

30
jumlah ahli waris dan telah dibuatkan surat wasiat, maka tanah dimaksud

telah menjadi milik masing-masing ahli waris. Untuk memperoleh

kekuatan pembuktian tanah dari hasil pewarisan, maka surat keterangan

waris sangat diperlukan di samping sebagai dasar untuk pendaftaran

tanahnya. Namun sampai saat ini, untuk memperoleh surat keterangan

warism hukum yang berlaku bagi WNI masih berbeda-beda.

Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961

tentang Pendaftaran Tanah, dan sesuai dengan Pasal 25, surat keterangan

warisan itu merupakan suatu keharusan. Hanya saja, pejabat yang

berwenang untuk membuat surat keterangan waris itu belum ditentukan.

Untuk menyergamkan masalah surat keterangan waris, dengan

memperhatikan penggolongan warga negara, maka:

a. Golongan keturunan Eropa, surat keterangan waris

dibuktikan oleh Notaris;

b. Golongan penduduk Asli/Pribumi, surat keterangan waris

boleh para ahli waris, disaksikan oleh Lurah diketahui oleh Camat;

c. Golongan keturunan Tionghoa oleh Notaris;

d. Golongan keterunan Timur Asing lainnya (seperti India dan

Arab) surat keterangan waris dibuat oleh Balai Harta

Peninggalan.95

Dalam perkembangannya, peralihan hak karena pewarisan telah

mendapat penegasan pada Bab V, Paragraf 3 tentang Peralihan Hak

95
Surat Direktur Pendaftaran Tanah, Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam
Negeri Nomor Dpt/12/63/12/69 tanggal 20 Desember 1969.

31
Karena Pewarisan sebagaimana tersebut dalam Pasal 42 Peraturan

Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yakni sebagai berikut:

a. Untuk peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang

tanah hak yang sudah terdaftar, wajib diserahkan oleh yang

menerima hak atas tanah sebagai warisan kepada Kantor

Pertanahan, sertipikat yang bersangkutan, surat kematian orang

yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dengan surat

tanda bukti sebagai ahli waris. Peralihan hak karena pewarisan

terjadi karena hukum pada saat yang bersangkutan meninggal

dunia. Dalam arti, bahwa sejak itu para ahli waris menjadi

pemegang hak yang baru. Mengenai siapa yang menjadi ahli waris

diatur dalam hukum perdata yang berlaku. Pendaftaran peralihan

hak karena pewarisan juga diwajibkan dalam rangka memberikan

perlindungan hukum kepada para ahli waris dan demi ketertiban

tata usaha pendaftaran tanah. Surat tanda bukti bukti sebagai ahli

waris dapat berupa Akta Keterangan Hak Mewaris, atau Surat

Penetapan Ahli Waris atau Surat Keterangan Ahli Waris.96

b. Jika bidang tanah yang merupakan warisan belum didaftar,

wajib diserahkan dokumen-dokumen surat keterangan Kepala

Desa/Kelurahan yang menyatakan yang bersangkutan menguasai

tanah, dan surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah

tersebut belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau surat


96
A.P. Parlindungan (selanjutnya A.P. Parlindungan III), Berakhirnya Hak-Hak Atas
Tanah Menurut Sistem UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), Mandar Maju,
Bandung, 2001, hlm. 24.

32
keterangan Kepala Desa/Lurah jika lokasi tanahnya jauh dari

kedudukan Kantor Pertanahan dari pemegang hak yang

bersangkutan. Dokumen yang membuktikan adanya hak atas tanah

pada yang mewariskan diperlukan karena pendaftaran untuk

pertama kali atas nama pewaris.97

c. Jika penerima waris terdiri dari satu orang, pendaftaran

peralihan hak tersebut dilakukan kepada orang tersebut

berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris seperti tersebut

pada angka 1 (satu) diatas.

d. Jika penerima warisan lebih dari satu orang dan jangka

waktu peralihan tersebut didaftarkan disertai dengan akta

pembagian waris yang memuat keterangan bahwa hak atas tanah

jatuh kepada seorang penerima warisan tertentu, pendaftaran hak

milik atas tanah dilakukan kepada penerima warisan yang

bersangkutan berdasarkan suatu tanda bukti sebagai ahli waris dan

akta pembagian waris tersebut. Dalam hal akta pembagian waris

yang dibuat sesuai ketentuan yang berlaku, dan harta waris jatuh

pada seorang penerima warisan tertentu, pendaftaran peralihan

haknya dapat langsung dilakukan tanpa alat bukti peralihan hak

lain, misalnya akta PPAT.98

e. Warisan berupa hak atas tanah yang menurut akta

pembagian waris harus dibagi bersama antara beberapa penerima

97
Penjelasan Pasal 42 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007.
98
Penjelasan Pasal 42 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

33
warisan atau waktu didaftarkan belum ada akta pembagian

warisnya, didaftar peralihan haknya kepada penerima waris yang

berhak sebagai hak bersama mereka berdasarkan surat tanda bukti

sebagai ahli waris dan/atau akta pembagian waris tersebut.

Sesudah hak tersebut didaftar sebagai harta bersama, pendaftaran

pembagian hak tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 51, di

mana pembagian hak bersama atas tanah yang menjadi hak masing-

masing pemegang hak bersama didaftar berdasarkan akta yang dibuat

oleh PPAT yang berwenang menurut peraturan yang berlaku yang

membuktikan kesepakatan antara pemegang hak bersama mengenai

pembagian hak bersama tersebut. Suatu hak bersama yang diperoleh dari

warisan perlu dibagi sehingga menjadi hak individu. Kesepakatan antara

pemegang hak bersama tersebut perlu dituangkan dalam akta PPAT yang

akan menjadi dasar pendaftarannya. Dalam pembagian tersebut, tidak

harus semua pemegang hak bersama memperoleh bagian. Dalam

pembagian harta waris sering kali yang menjadi pemegang hak ibdividu

hanya sebagian dari keseluruhan penerima warisan, asalkan hak tersebut

disepakati oleh seluruh penerima warisan sebagai pemegang hak

bersama.99

Sengketa tanah yang berkepanjangan sering terjadi dalam

pewarisan, misalnya tanah yang diwariskan kepada satu pihak namun

ada pihak lain yang telah mendaftarkan tanah tersebut dan memperoleh

sertipikat walaupun bukan pewaris yang sah dari tanah yang


99
Adrian Sutedi II, Op. Cit, hlm 104.

34
disengketakan. Sengketa tanah warisan sering terjadi pada sengketa

sertipikat ganda, yang proses lahirnya sama seperti tersebut diatas.100

5. Perwakafan Tanah

Menurut Moh. Anwar, wakaf ialah menahan suatu barang dari

diperjualbelikan atau diberikan atau dipinjamkan oleh pemilik, guna

dijadikan manfaat untuk kepentingan tertentu yang diperbolehkan oleh

syara’ serta tetap bentuknya, dan boleh dipergunakan, diambil

manfaatnya oleh orang yang ditentukan (yang menerima wakaf), atau

umum.101

Keberadaan wakaf telah mendapat pengakuan dalam UUPA, yakni

Pasal 49 yang menegaskan:

a. Hak milik tanah badan-badan keagaman dan sosial

sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagaman dan

sosial, diakui dan dilindungi. Badan tersebut dijammin pula akan

memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya

dalam bidang keagamaan dan sosial.

b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang

dikuasai langsung oleh Negara dengan Hak Pakai.

c. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan

Peraturan Pemerintah.
100
Ibid.
101
H. Moh Anwar, Mu’amalat, Munakahat, Fara’id, dan Jinayat, dalam Sudarsono,
Pokok-Pokok Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 494.

35
Dari ketentuan tersebut terkandung makna, bahwa perihal

pertanahan hubungannya dengan peribadatan dan keperluan suci lainnya,

yang salah satunya adalah perwakafan tanah, dalam hukum agraria

nasional mendapat perhatian. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28

Tahun 1997, wakaf tanah hak milik merupakan suatu perbuatan hukum

seorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta

kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk

selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum

lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.102

D. Pendaftaran Tanah

1. Pengertian Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah berasal dari kata Cadaster atau dalam bahasa

Belanda merupakan suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman)

yang menerapkan mengenai luas, nilai, dan kepemilikan terhadap suatu

bidang tanah.103

Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

disebutkan bahwa:

“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh


pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk
pemberian sertipikat sebagai surat tanda bbukti haknya bagi bidang-

102
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik.
103
A.P. Parlindungan (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan IV), Pendaftaran Tanah
dan Konfersi Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA, Alumni, Bandung, 1998, hlm. 2.

36
bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah
susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”104

Boedi Harsono merumuskan pengertian pendaftaran tanah sebagai

suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara teratur terus menerus

untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan dan menyajikan data

tertentu mengenai bidang-bidang atau tanah-tanah tertentu yang ada di

suatu wilayah tertentu dengan tujuan tertentu.105

Kegiatan pendaftaran tanah adalah kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh pemerintah secara terus menerus dalam rangka

menginventarisasikan data-data berkenaan dengan hak-hak atas tanah

menurut Undang-undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah,

sedangkan pendaftaran hak atas tanah merupakan kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh si pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan

dilaksanakan terus menerus setiap ada peralihan hak-hak atas tanah

tersebut menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan

Pemerintah guna mendapatkan sertipikat tanda bukti tanah yang kuat.106

2. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah

Dasar hukum pendaftaran tanah tercantum dalam Pasal 19 UUPA.

Inti dari ketentuan tersebut menentukan bahwa pemerintah berkewajiban

untuk mengatur dan menyelenggarakan pendaftaran tanah yang bersifat

104
Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 474.
105
Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995,
hlm. 80.
106
Bachtiar Effendie (selanjutnya disebut Bachtiar Effendie II), Pendaftaran Tanah di
Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 15.

37
rechskadaster di seluruh wilayah Indonesia yang pelaksanannya diatur

dalam Peraturan Pemerintah. Untuk melaksanakan Pasal 19 ayat (1)

UUPA tersebut maka oleh dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor

10 Tahun 1961 yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 107

Penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut diatur dalam Pasal 19

ayat (2) meliputi:

a. Pengukuran, penetapan, dan pembukuan tanah;

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak

tersebut;

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku

sebagai alat bukti yang kuat.108

Sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah yaitu akan memberikan

kepastian hukum maka pemerintah juga diwajibkan bagi pemegang hak

yang bersangkutan untuk mendaftarkan setiap ada peralihan, hapus dan

pembebanan jak-hak atas tanah seperti yang diatur dalam Pasal 23, Pasal

32, dan Pasal 38 UUPA.109

3. Tujuan Pendaftaran Tanah

Tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah pada hakekatnya

sudah ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA, yaitu bahwa pendaftaran tanah

merupakan tugas pemerintah yang diselenggarakan dalam rangka


107
Samsaimun, Op. Cit, hlm. 167-168.
108
Ibid.
109
Ibid.

38
menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan (righ cadaster atau

legal cadaster). Selain rechtcadaster, dikenal juga pendaftaran tanah

untuk keperluan penetapan klasifikasi dan besarnya pajak (fiscal

cadaster).110

Di bawah ini dikutip selengkapnya ketentuan Pasal 19 UUPA,

yaitu:

“1). Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan


pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2).
Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi: (a). Pengukuran,
pemetaan, dan pembukuan tanah, (b). Pendaftran hak-hak atas tanah dan
peralihan hak-hak tersebut, Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang
berlaku sebgai alat pembuktian yang kuat.” 111

Adapun kepastian hukum yang dimaksud adalah meliputi:

a. Kepastian hukum mengenai orang/badan hukum yang

menjadi pemegang hak atas tanah tersebut. Kepastian berkenaan

dengan siapakah pemegang hak atas tanah itu disebut dengan

kepastian mengenai subyek hak atas tanah.

b. Kepastian mengenai letak tanah, batas-batas tanah, panjang

dan lebar tanah. Kepastian berkenaan dengan letak, batas-batas dan

panjang serta lebar tanah itu disebut dengan kepastian mengenai

obyek hak atas tanah. 112

Tujuan pendaftaran tanah menurut Boedi Harsono adalah agar

kegiatan pendaftaran itu dapat diciptakan suatu keadaan, dimana:

110
Ibid.
111
Idem, 169.
112
Bachtiar Effendi II, Op. Cit, hlm. 20-21.

39
a. Orang-orang dan badan-badan hukum yang mempunyai

tanah dengan mudah dapat membuktikan, bahwa merekalah yang

berhak atas tanah itu, hak apa yang dipunyai dan tanah manakah

yang dihaki. Tujuan ini dicapai dengan memberikan surat tanda

bukti hak kepada pemegang hak yabg bersangkutan.

b. Siapapun yang memrlukan dapat dengan mudah

memperoleh keterangan yang dapat dipercaya mengenai tanah-

tanah yang terletak di wilayah pendaftaran yang bersangkutan

(baik calon pembeli atau calon kreditor) yang ingin memperoleh

kepastian, apakah keterangan yang diberikan kepadanya oleh calon

penjual atau debitor itu benar. Tujuan ini dicapai dengan

memberikan sifat terbuka bagi umum pada data yang disimpan.113

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah menentukan bahwa pendaftaran tanah

bertujuan:

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan

hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah dan hak-hak

lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya

sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada

pemegang haknya diberikan sertipikat sebagai surat tanda bbukti

hak (Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997).

113
Hasan Wargakusumah, Op. Cit, hlm. 80-81.

40
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang

berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat

memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan

hukum mengenai bidang-bidang tanah yang terdaftar. Untuk

melaksanakan fungsi informal tersebut, data yang sudah terdaftar

terbuka untuk umum. Karena terbuka untuk umum maka daftar dan

peta-peta tersebut daftar umum (Pasal 4 ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997).

c. Untuk terselenggaranya tertib admministrasi pertanahan.114

4. Asas Pendaftaran Tanah

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

disebutkan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan 5 asas

yaitu:

a. Asas Sederhana

Asas Sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar

ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan

mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan,

terutama para pemegang hak atas tanah.

b. Asas Aman

Asas aman dimaksudkan untuk menunjukan bahwa

pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat

114
Samsaimun, Op. Cit, hlm. 170.

41
sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum

sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

c. Asas Terjangkau

Asas terjangkau dimaksudkan agar pihak-pihak yang

memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan

kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan

dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa

terjangkau oleh pihak yang memerlukan.

d. Asas Mutakhir

Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai

dalam pelaksanaannya dan berkesinambungan dalam pemeliharaan

datanya. Data yang tersedia harus menunjukan keadaan yang

mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftaran dan

pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari.

e. Asas Terbuka

Dengan berlakunya asas terbuka maka data yang tersimpan di

kantor pertanahan harus selalu sesuai dengan keadaan nyata

lapangan dan masyarakat.115

5. Sistem Pendaftaran Tanah

Ada 2 (dua) macam sistem pendaftaran tanah yaitu:

a. Sistem Pendaftaran Akta (registration of deeds).

115
Idem, hlm. 171-172.

42
Dalam sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftar

oleh pejabat pendaftaran tanah (PPT). Pejabat pendaftaran tanah

bersifat passif, ia tidak melakukan pengujian kebenaran data yang

disebut dalam akta yang didaftar. Tiap kali terjadi perubahan wajib

dibuatkan akta sebagai buktinya. Maka dalam sistem ini, data

yuridis yang diperlukan harus dicari dalam akta-akta yang

bersangkutan. Cacat hukum dalam suatu akta bisa mengakibatkan

tidak sahnya perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta yang

dibuat kemudian. Untuk memperoleh data yuridis harus dilakukan

dengan apa yang disebut “title search”, yang bisa memakan waktu

dan biaya, karena untuk title search diperlukan bantuan ahli.116

b. Sistem Pendaftaran Hak (registration of titles).

Dalam sistem pendaftaran hak setiap penciptaan hak baru dan

perbuatan-perbuatan hukum yang menimbulkan perubahan

kemudian, juga harus dibuktikan dengan suatu akta. Tetapi dalam

penyelenggaraan pendaftarannya, bukan aktanya yang didaftar

melainkan haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahannya

yang terjadi tersebut.disediakan suatu daftar isian yang disebut

register atau buku tanah (menurut Pasal 10 Peraturan Pemerintah

Nomor 10 Tahun 1961).117

Akta pemberian hak berfungsi sebagai sumber data yuridis

untuk mendaftar hak yang diberikan dalam buku tanah. Demikian

116
Hasan Wargakusumah, Op. Cit, hlm. 76-78.
117
Samsaimun, Op. Cit, hlm. 173.

43
juga akta pemindahan dan pembebanan hak berfungsi sebagai

sumber data untuk mendaftar perubahan-perubahan pada haknya

dalam buku tanah dan pencatatan perubahan kemudian, oleh

pejabat pendaftaran tanah (PPT) dilakukan pengujian kebenaran

data yang dimuat dalam akta yang bersangkutan, sehingga ia harus

bersikap aktif, sebagai tanda bukti hak, maka diterbitkan sertipikat,

yang merupakan salinan register, yang terdiri dari salinan buku

tanah dan surat ukur dijilid menjadi satu dalam sampul dokumen.118

Dalam sistem ini, buku tanah tersebut disimpan di kantor

Pejabat Pendaftaran Tanah (PPT) dan terbuka untuk umum. Oleh

karena itu orang dapat mempercayai kebenaran data yang disajikan

tersebut, tergantung dari sistem publikasi yang digunakan dalam

penyelenggaraan tanah oleh Negara yang bersangkutan.119

Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di suatu negara tergantung

pada asas hukum yang dianut negara tersebut dalam mengalihkan hak

atas tanahnya. Terdapat 2 macam asas hukum , yaitu asas itikad baik dan

asas nemo plus yuris. Sekalipun suatu negara menganut salah satu asas

hukum/sistem pendaftaran tanah, tetapi secara murni berpegang pada

salah satu asas hukum/sistem pendaftaran tanah tersebut boleh dikatakan

tidak ada. Hal ini karena kedua asas hukum/sistem pendaftaran tanah

tersebut sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga

setiap negara mencari jalan keluar sendiri-sendiri.120


118
Ibid.
119
Ibid.
120
Adrian Sutedi II, Op. Cit, 117.

44
Asas itikad baik berbunyi: orang yang memperoleh suatu hak

dengan itikad baik, akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut

hukum. Asas ini bertujuan untuk melindungi orang yang beritikad baik.

Kesulitan muncul, yakni bagaimana caranya untuk mengetahui

seseorang beritikad baik. Pemecahannya adalah hanya orang beritikad

baik yang bersedia memperoleh hak dari orang yang terdaftar haknya.

Guna melindungi orang yang beritikad baik inilah maka perlu daftar

umum yang mempunyai kekuatan bukti. Sistem pendaftarannya disebut

sistem positif. Lain halnya dengan asas nemo plus yuris yang berbunyi:

orang tak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya. Ini

berarti bahwa pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah batal.

Asas ini bertujuan untuk melindungi pemegang hak yang sebenarnya.

Berdasarkan asas ini, pemegang hak yang sebenarnya akan selalu dapat

menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapa pun. Oleh

karena itu, daftar umumnya tidak mempunyai kekuatan bukti. Sistem

pendaftaran tanahnya disebut sistem negatif.121

Dalam sistem positif, di mana daftar umumnya mempunyai

kekuatan bukti, maka orang yang terdaftar adalah pemegang hak yang

sah menurut hukum. Kelebihan yang ada pada sistem positif inin adalah

adanya kepastian dari pemegang hak, oleh karena itu ada dorongan bagi

setiap orang untuk mendaftarkan haknya.122

121
Ibid.
122
Ibid.

45
Kekurangannya adalah pendaftaran yang dilakukan tidak lancar

dan dapat saja terjadi bahwa pendaftaran atas nama orang yang tidak

berhak dapat menghapuskan hak orang lain yang berhak. Lain halnya

dengan sistem negatif, daftar umumnya tidak mempunyai kekuatan

hukum sehingga terdaftarnya seseorang dalam daftar umum tidak

merupakan bukti bahwa orang tersebut yang berhak atas hak yang telah

didaftarkan. Jadi, orang yang terdaftarkan tersebut akan menanggung

akibatnya bila hak yang diperoleh berasal dari orang yang tidak berhak,

sehingga orang selalu enggan untuk mendaftarkan haknya. Inilah

kekurangan dari sistem negatif. Adapun kelebihannya, pendaftaran yang

dilakukan lancar/cepat dan pemegang hak yang sebenarnya tidak

dirugikan sekalipun orang yang terdaftar bukan orang yang berhak.123

6. Sistem Publikasi Yang Dianut Di Indonesia

Sistem publikasi yang digunakan tetap seperti dalam pendaftaran

tanah menurut Pearturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, yaitu sistem

negatif yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-

surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat,

seperti dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2),

Pasal 32 ayat (2), dan Pasal 38 ayat (2) UUPA. Jadi, bukan sistem

publikasi negatif yang murni. Sistem publikasi negatif yang murni tidak

akan menggunakan sistem pendaftaran hak. Juga tidak akan ada

123
Idem, hlm. 118.

46
pernyataan seperti dalam pasal-pasal UUPA tersebut, bahwa sertipikat

merupakan alat bukti yang kuat.124

Kuat tidak berarti mutlak, nemun lebih lemah sehingga pendaftaran

berarti lebih menguatkan pembuktian pemilikan, akan tetapi tidak

mutlak, yang berarti pemilik terdaftar tidak dilindungi hukum dan bisa

digugat sebagaimana dimaksud di dalam penjelasan Peraturan

Pemerintah No. 10 Tahun 1961.125

Sebagaimana akan kita lihat pada ketentuan-ketentuan yang

mengatuur prosedur pengumpulan sampai penyajian data fisik dan data

yuridis yang diperlukan serta peralihannya dan penerbitan sertipikat

haknya, biarpun sistem publikasi negatif, tetapi kegiatan-kegiatan yang

bersangkutan dilaksanakan secara saksama, agar data yang disajikan

sejauh mungkin dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.126

Sehingga, dapat dilaksanakan sistem publikasi di Indonesia adalah

sistem publikasi negatif, tetapi bukan negatif murni melainkan apa yang

disebut sistem negatif yang mengandung unsur positif, hal ini dapat

diketahui dari ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c, yang menyatakan

bahwa pendaftaran meliputi “pemberian surat-surat tanda bukti hak,

yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”.127

Dalam Pasal 23, 32, dan 38 UUPA juga dinyatakan bahwa

“pendaftaran merupakan alat pembuktian yang kuat”. Pernyataan yang

124
Boedi Harsono II, Op. Cit, hlm. 463.
125
Adrian Sutedi II, Op. Cit, hlm. 120.
126
Boedi Harsono II, Op. Cit, hlm. 464.
127
Adrian Sutedi II, Op. Cit, hlm 121.

47
demikian tidak akan terdapat dalam perturan pendaftaran tanah dengan

sistem publikasi negatif yang murni.128

7. Sistem Negatif Pendaftaran Tanah di Indonesia

Didalam penjelasan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961

tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak di

dalam daftar buku atas nama seseorang tidak mengakibatkan bahwa

orang yang seharusnya berhak atas tanah itu akan kehilangan haknya.

Orang tersebut maish dapat menggugat hak dari yang terdaftar dalam

buku tanah sebagai orang yang berhak. Jadi, cara pendaftaran hak yang

diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidak lah positif, tetapi negatif.

Demikian penjelasan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961.129

Pengertian sistem pendaftaran tanah yang positif mencakup

ketentuan bahwa apa yang sudah terdaftar itu dijamin kebenaran data

yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah meneliti

kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan untuk didaftarkan

sebelum hal itu dimasukkan dalam daftar-daftar.130

Dalam sistem positif, negara menjamin kebenaran data yang

disajikan. Sistem positif mengandung ketentuan-ketentuan yang

128
Boedi Harsono (selanjutnya disebut Boedi Harsono III), Menuju Penyempurnaan
Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002, hlm. 84.
129
Adrian Sutedi II, Loc. Cit.
130
Ibid.

48
merupakan perwujudan ungkapan “title by regristration” (dengan

pendaftaran diciptakan hak), pendaftar menciptakan suatu “indefeasible

title” (hak yang tidak dapat diganggu gugat), dan “register is everything”

(untuk memastikan adanya suatu hak dan pemegang haknya cukup

dilihat buku tanahnya). Sekali didaftar pihak yang dapat membuktikan

bahwa dialah pemegang hak yang sebenarnya kehilangan haknya

menurut kembali tanah yang bersangkutan. Jika pendaftaran terjadi

karena kesalahan pejabat pendaftaran, ia hanya dapat menuntut

pemberian ganti kerugian (compesation) berupa uang. Untuk itu negara

menyediakan apa yang disebut suatu “assurance fund”.131

Ketentuan-ketentuan yang merupakan perwujudan ungkapan-

ungkapan demikian tidak terdapat dalam UUPA. Dalam sistem publikasi

negatif, juga dalam sistem negatif kita yang mengandung unsur positif,

negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Penggunaannya

adalah atas risiko pihak yang menggunakan sendiri.132

Salah satu tujuan pendaftaran tanah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal

3 Peraturan Pemerintahan No. 24 Tahun 1997, adalah untuk memberikan

jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas

suatu bidang tanah, rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan

mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, kepada

pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah.133


131
Idem, hlm. 122.
132
Boedi Harsono III, Op. Cit, hlm 85-86
133
Urip Santoso, Op. Cit, hlm. 259.

49
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya menghasilkan surat

tanda bukti hak, yang berupa sertipikat. Menurut Pasal 1 angka 20 Peraturan

Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yang dimaksud dengan sertipikat adalah surat

tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA

untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan

rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan

dalam buku tanah yang bersangkutan.134

Secara umum sertipikat hak atas tanah merupakan bukti hak atas tanah.

Kekuatan berlakunya sertipikat telah ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf

c dan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yakni

sertipikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian

yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya

sepanjang data fisik dan data yuridis sesuai dengan data yang ada dalam surat

ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Sertipikat tanah membuktikan

bahwa pemegang hak mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu. Data

fisik mencakup keterangan mengenai letak, batas, dan luas tanah. Data yuridis

mencakup keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya

dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Data Fisik dan

Data Yuridis dalam Buku Tanah diuraikan dalam bentuk Daftar, sedangkan

Data Fisik dalam Surat Ukur disajikan dalam Peta dan Uraian. Dalam Surat

Ukur dicantumkan keadaan, letak, luas, dan batas tanah yang bersangkutan.135

134
Idem, hlm. 260.
135
Adrian Sutedi, Op. Cit, hlm. 29.

50
Untuk sertipikat tanah yang belum dilengkapi dengan Surat Ukur disebut

sertipikat sementara. Sebagai ganti dari Surat Ukur, maka dimuat Gambar

Situasi dalam sertipikat sementara. Fungsi Gambar Situasi pada sertipikat

sementara terbatas pada penunjukan objek hak yang didaftar, bukan bukti data

fisik.136 Gambar Situasi merupakan petikan dari peta situasi. Sedangkan peta

situasi merupakan pengukuran dan pemetaan tanah di desa belum lengkap

yang telah dipersiapkan sebagai daerah persiapan.137

Sertipikat diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota,

sedangkan pejabat yang berwenang menandatangani sertipikat menurut

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 jo. Permen Agraria/Kepala BPN

No. 3 Tahun 1997, adalah:

1. Dalam pendaftaran tanah secara sistematik, sertipikat

diitandatangani oleh Ketua Panitia Ajudikasi atas nama Kepala Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota;

2. Dalam pendaftaran tanah secara sporadik yang bersifat

individual (perseorangan), sertipikat ditandatangani oleh Kepala Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota;

3. Dalam pendaftaran tanah secara sporadik yang bersifat

massal, sertipikat ditandatangani oleh Kepala Saksi Pengukuran dan

Pendaftaran Tanah atas nama Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota.138

136
Pasal 32 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 20, dan Pasal 1 angka 6,7,17, dan angka 19
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Lihat juga penjelasan Pasal 31 ayat (2).
137
Adrian Sutedi, Op. Cit, hlm. 30.
138
Urip Santoso, Op. Cit, hlm. 261.

51
Maksud diterbitkan sertipikat dalam kegiatan pendaftaran tanah untuk

pertama kali adalah agar pemegang hak dengan mudah dapat membuktikan

bahwa dirinya sebagai pemegang haknya. Sertipikat diterbitkan untuk

kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan

data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah.139

Ada bermacam-macam sertipikat berdasarkan objek pendaftaran tanah

yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, dan Peraturan

Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu:

1. Sertipikat Hak Milik;

2. Sertipikat Hak Guna Usaha;

3. Sertipikat Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara;

4. Sertipikat Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak

Pengelolaan;

5. Sertipikat Hak Pakai Atas Tanah Negara;

6. Sertipikat Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan;

7. Sertipikat Tanah Pengelolaan;

8. Sertipikat Wakaf Tanah Hak Milik;

9. Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun;

10. Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Nonrumah Susun;

11. Sertipikat Hak Tanggungan.140

Hak-hak atas tanah yang tidak diterbitkan sertipikat sebagai tanda bukti

haknya, adalah:

139
Ibid.
140
Ibid.

52
1. Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik;

2. Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik;

3. Hak Sewa Untuk Bangunan.141

141
Idem, hlm. 262.

53

Anda mungkin juga menyukai