Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Critical Book Report adalah penganalisisan, penilaian, dan pengevaluasian mengenai


keunggulan & kelemahan buku, bagaimana isi artikel tersebut bisa mempengaruhi cara
berpikir kita & menambah pemahaman kita terhadap kajian Fisika Matematika.
Melalui critical review kita menguji pikiran pengarang/ penulis berdasarkan sudut pandang
kita berdasarkan pengetahuan & pengalaman yang kita miliki. Maksud pemberian tugas
kuliah berupa critical review ini adalah memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fisika
Matematika I.

1.2. Tujuan CBR


1. Mengulas bab materi dengan cara meringkas isi buku.
2. Menyelesaikan tugas wajib CBR dalam mata kuliah Fisika Matematika I
3. Mencari dan mengetahui informasi mengenai setiap topik tersebut yang terkandung
dalam buku.
4. Melatih diri untuk berpikir kritis dalam mencari informasi yang diberikan pada buku.

1.3. Manfaat CBR


1. Mampu berpikir kritis dalam mencari informasi yang diberikan oleh buku.
2. Menambah wawasan dan informasi terutama tentang materi yang terkandung dalam
buku tersebut.

1
BAB II

ISI

2.1. Identitas Buku


1. Judul : Matematika Fisika
2. Pengarang : Dr. Nurdin Siregar, M.Si
Drs. Togi Tampubolon, M.Si, Ph.D
3. Penerbit : UNIMED PRESS
4. Tahun Terbit : 2018
5. Jumlah Halaman : 116 halaman

2.2. Ringkasan Buku

BAB I DERET TAK HINGGA DAN PERHITUNGAN NUMERIK

1. Konvergen Dan Divergen Deret


Jumlah dari suatu deret, dapat menghasilkan suatu jumlah tertentu disebut dengan
konvergen sedang deret yang tidak menuju sutau jumlahh tertentu disebut dengan divergen.
n
Misalkan suatu deret dinyatakan sebagai Sn= ∑ am, dimana dalam deret ini terdapat n buah
m

barisan. Deret tersebut dikatakan konvergen jika: lim


n> a
S n = S dengan S ¿ ∞ artinya berhingga.

Jika S divergen bila lim


n> a
S n=∞ atau S → ∞ artinya limit tidak ada.

Sifat-sifat Utama Deret :


Sifat 1: Jika ∑ an konvergen, maka nlim
→∞
an =0, tetapi kebalikannya tidak selalu berlaku maka

deret ∑ an dapat juga konvergen tetapi dapat juga divergen.


Sifat 2: Jika suku ke-n dari deret tidak menuju 0 maka deret itu divergen.

Bukti : Jika ∑ an konvergen maka nlim


→∞
S n=0, andaikan jika lim S n ≠0 maka ∑ a
n→∞ n

konvergen. Karena ∑ an konvergen nlim→∞


S n=0. Hal ini bertentangan dengan

pengandaian bahwa nlim


→∞
S n ≠0, jadi pengandaian salah. Dengan perkataan lain jika

lim S n ≠0 deret divergen.


n→∞

Sifat 3: Mengalikan semua suku-suku suatu deret dengan suatu bilangan konstanta yang tidak
sama dengan 0, tidak akan merubah konvergensi.

2
Sifat 4: Penghapusan beberapa suku yang berhingga banyaknya dari suatu deret juga
merubah konvergensi atau divergensi deret itu. Demikian juga dengan penambahan
berhingga sebuah suku-suku.

1.1. Uji Konvergensi Deret


Uji konvergensi tak hingga hanya dilakukan untuk deret bersuku positif.

1.1.1. Uji Pendahuluan


Memeriksa apakah untuk barisan yang tidak hingga nlim
→∞
an ≠0 jika hal ini dipenuhi
maka deret tersebut adalah divergen.
Contoh :

Deret ∑ an merupakan deret tak hingga yang divergen karena:nlim
→∞
an =∞, sedangkan untuk
n =1

1 1
deret tak hingga ∑ memiliki kemungkinan konvergen Karena lim =0.
n =1 n n→∞ n

1.1.2. Uji Banding


Uji banding adalah untuk menguji divergensi dan divergensidari suatu deret misalnya
∑ andengan membandingkan deret yang sudah diketahui konvergensinya atau divergensinya
misalnya ∑ bn. Jika kondisi a n<¿b ¿ dan b n ≥ 0 dipenuhi untuk semua n ≥ N maka deret
n


tersebut adalah konvergen. Selanjutnya jika, ∑ bn divergen, b n ≥ 0 dan │ an│≥ bn maka deret
n =1

∑ an divergen.
n =1

Contoh:
∞ ∞
1. Selidiki konvergensi dari deret (i) ∑ 1n dan (ii) ∑ n1! dengan n! = (n-1)(n-2)… dengan
n =1 n =1

1
deret pembanding ∑ dari perbandingan dan diperolah sebagai berikut.
2n
1 1
Untuk deret (1) selaku berlaku > n untuk seluruh n, maka deret tersebut adalah
n 2
1 1
divergen. Sedangkan deret (ii) terlihat bahwa untuk n≥ 4 selalu terpenuhi kondisi >
n ! 2n
maka deret (ii) konvergen.

N n−1 (n !)−1 2−n


1 1 1 1
2
2 1 1 1
2 2 4

3
3 1 1 1
3 6 8
4 1 1 1
4 24 16
5 1 1 1
5 20 32


2. Gunakan uji banding untuk menentukan apakah konvergen atau divergen ∑ n1! =1+
n →1

1 1 1
+ + +…
2 6 24

Penyelesaian:

1 1 1 1 1 1
Deret geometri ∑ n1! =1+ 2 + 6 + 8 + 24 +… r = dan a=
2 2
n →1

1

a 2
S=
1−r
=
1
, maka deret ∑ 21n adalah deret konvergen
1− n →1
2
∞ ∞
1 1 1 1 1
Deret ∑ n1! =1+ 2 + 6 + 24 + … untuk n≥ 4 , dimana n ! < 2n , maka deret ∑ n1! ,
n →1 n →1

konvergen jika n¿ 3.

1.1.3. Uji Integral


∞ ∞

Uji ini dilakukan dengan cara integrasi kontini terhadap n dimana ∑ an menjadi ∫ an
n =1 0

dn jika hasilnya terbatas maka deret tersebut adalah konvergen, selanjutnya jika hasilnya
tidak terhingga maka deret tersebut dinyatakan sebagai deret divergen. Hal ini dipenuhi jika 0
¿ a n+1 <an .

Contoh:
1
1. Tentukan konvergensi deret ∑
n =1 n
Penyelesain:
1 1
a n+1 <an maka dapat di uji integral sehingga, f(n)= → f ( x )=
n x

Maka I= ∫ f ( x ) dx ∫ dx
X
= ln I N = ln −ln N sehingga, I = dan deret tersebut
N N

dinamakan divergen.

4

n
2. Gunakan uji integral untuk menentukan apakah deret konvergen atau divergen: ∑
n n +12
2

∞ ∞
n
Penyelesaian: ∑ 2 2 dibentuk menjadi ∫ n2 n+12 dn Misalkan u=n2 +1 sehingga du = 2n
n n +1 n
∞ ∞ ∞
n 1 du 1 1 ∞ −1
= ∫ u du=- u−1 │ = u(n2 +1)│∞1 =
−2
dn maka ndn = ½ du sehingga: ∫ 2 2 dn=∫
n n +1 n 2 u
2
2n 2 2

1
2
, maka deret ∑ ( n ¿ ¿ n2+12) ¿ adalah: konvergen.
n

1.1.4. Uji Bagi atau Rasio



an +1
Tinjau deret ∑ an, selanjutnya deret ini dimisalkan lim ¿n →∞ ¿ǀ ǀ = ρn
n =1 an

apabila: ρ<1 maka deret tersebut konvergen

ρ>1maka deret tersebut divergen

ρ=1 deret tersebut tidak dapat ditentukan divergen atau konvergen

Contoh:

1. Gunakan uji rasio/bagi untuk menentukan apakah deret konvergen atau divergen ∑ n1!
n →1

1

1 1 1 1 n+ 1 n!
Penyelesaian: ∑ =1+ + + +…+ diperoleh ρn= ǀ ǀ=ǀ ǀ diperoleh:
n →1 n! 2! 3 ! 4 ! 1 ( n+1 ) !
n!
n ( n−1 ) ( n−2 )( n−3 ) … 1
ρn =ǀ ǀ=ǀ ǀ
( n+1 ) n ( n−1 )( n−2 )( n−3 ) n+1

maka ρ=lim
n →∞
ρn=0 sehingga deret tersebut konvergen

1.1.5. Uji Banding Limit (Uji Lebniz)


Tinjau deret posirtif ∑ an,kemudian:
n =1


a
a. Uji konvergensi, jika terdapat deret positif ∑ bn yang konvergen lim ¿a → ∞ ǀ bnn ǀ< ¿, maka
n =1

deret konvergen.

5

a
b. Uji devergensi jika deret positif ∑ bn yang divergen, sehingga lim ¿a → ∞ ǀ bnn ǀ< 0¿, maka
n =1

deret ∑ an divergen.
n =1

Contoh:

1. uji konvergensi deret:

(3 n+1) 10+ n
a. ∑ 2 b. ∑ ( n¿¿ ¿
n →1 (n+1) n →1 3+1)

3 n+ 1 3
Penyelesaian: a. a n=
(n+1)
2 maka b n= , untuk n besar maka
n ∑ 3n adalah divergen. Juga
n →1

3 n+1 n 3 n2 +n (3 n+1)
lim ¿a → ǀ 2
. ǀ=lim ¿a → ǀ 2 ǀ=1> 0¿ ¿ maka deret ∑ 2 adalah
(n+1) 3 3 n +6 n+3 n →1 (n+1)

divergen.

10+n
∑ ¿
untuk n besar maka: b n=
1
,
1
a. n →1 10+n 2 ∑ adalah konvergen
(n¿¿ 3+1)→ an= ¿ n n →1 n2
( n¿¿ 3+1)

10+n n 2
jadi lim ¿n → ǀ . ǀ=1<n ¿ maka deret ∑ 10+ n ¿ adalah konvergen.
3
n +1 1 n →1 (n¿¿ 3+1)

1.2. Deret Bolak-Balik

Dalam hal ini kita akan membahas deret tak tetap positif istimewa yang suku-sukunya
bergantian bernilai positif dan negatif, seperti deret berikut :

1 1 1 −1 n+1
1− + − + … ∑ (2.22)
2 3 4 n=1 n

Deret ini tergolong deret istimewa yang disebut deret bolak-balik atau berayun
∞ ∞
n +1|an|
Deret : ∑ an=¿ ∑ (−1) ¿ (2.23)
n =1 n=1

Disebut deret bolak-balik atau berayun.

Marilah kita lihat kembali deret (2.22) dan memeriksa apakah deret ini konvergen atau
divergen. Karena deretnya tak tetap positif, maka kita uji dulu apakah dia konvergen mutlak.
Deret mutlak adalah

1 1 1 1
1− + − + … ∑
2 3 4 n=1 n

6
Ini adalah deret harmonik yang telah kita perlihatkan adalah divergen. Namun demikian kita
belumlah mengetahui secara pasti kekonvergenan deret bolak-balik

1.2.1. Uji Deret Bolak Balik


∞ ∞
n +1|an|
Deret bolak-balik ∑ an=¿ ∑ (−1) ¿ konverge, jika kedua syarat berikut dipenuhi :
n =1 n=1

a. |a n+1| < |a n|
b. nlim
→∞
|a n| = 0

Contoh :

1 1
Untuk deret bolak-balik (2.22), karena |a n| = , maka |a n+1| < |a n| dan lim |a n|=lim = 0.
n n→∞ n→ ∞ n

Jadi, menurut Teorema ,deret ini konvergen

1.3. Konvergen Bersyarat

Satu hal yang perlu diperhatikan pada deret tak tetap positif adalah bahwa bila deret
tersebut konvergen tetapi tak konvergen mutlak, maka pengubahan urutan suku-sukunya
dapat terjadi dan memberi hasil yang jumlah yang berbeda.

Contoh :

Pandang deret bolak-balik (2.22). Karena telah kita perlihatkan deret ini konvergen,
maka jumlahnya ada, katakanlah S, yaitu :

1 1 1
1− + − + …=S (2.24)
2 3 4

Akan kita perlihatkan bahwa deret yang diperoleh dari (2.24) dengan susunan urutan suku-
sukunya sebagai berikut :

1 1 1 1 1 1 1 1
1+ − + + − + + − + … (2.25)
3 2 5 7 4 9 11 6

3
Memiliki jumlah s≠S
2

Bukti :

7
Deret (2.25) dapat kita peroleh dengan cara sebagai berikut. Pertama, kalikan deret
1
(2.24) dengan , yang memberikan deret :
2

1 1 1 1
− + + …= S (2.26)
2 4 8 2

Jumlahkan deret (2.24) dengan (2.26), kita peroleh deret (2.25) :

1 1 1 1 1 1 1 1
1+ − + + − + + − + …
3 2 5 7 4 9 11 6

1 3
Hasil jumlahnya : S + S= S , seperti disebutkan diatas
2 2

1.3.1. Defenisi Konvergen Bersyarat



Jika deret tak tetap positif ∑ ankonvergen tetapi tak konvergen mutlak, maka
n =1

konvergensinya disebut konvergen bersyarat. Sebuah deret yang konvergen bersyarat tak
boleh diubah urutan suku-sukunya.
1.4. Deret Pangkat
Selama ini kita hanya membahas deret takhingga yang semua sukunya berupa
bilangan tetap. Dalam sisa bab ini, kita akan mempelajari deret takhinggal variabel. Yaitu,
deret yang semua bergantung pada sebuah variabel x; secara khusus, yang suku-sukunya
berbentuk fungsi pangkat:
a n=¿a ¿ (x) =c n x n dengan koefisien c n=f (n) membentuk suatu barisan bilangan tetap.
n

1.4.1. Defenisi Deret Pangkat

Deret tak hingga variabel,


∑ c n( x−a)n ≡ c o+ c 1 (x-a) + c 2 ( x−a)2 + .... + c n ( x−a)n +.... (2.28)


n =1

Dengan x sebuah variabel sedangkan a dan c n bilangan tetap, disebut “deret pangkat” atau
“deret kuasa”

Perhatikan bahwa dalam notasi deret pangkat ini kita telah sengaja memilih indeks nol untuk
menyatakan suku pertama deret, c o, yang selanjutnya akan kita sebut suku ke nol. Penamaan
indeks atau suku ini hanyalah sekedar untuk memudahkan penulisan, terutama bila kelak kita
membahas uraian sebuah fungsi kedalam deret pangkat, yakni uraian Taylor.

Contoh :
n ∞ n
x x2 x3 −x (−x)
1. 1− + − + … + n + .... ≡ ∑
2 4 8 2 n =0 2n

8
1.5. Deret Binomial

Deret binomial dituliskan sebagai berikut :



n n n−1 n−1 n ( n−m) n−m m
(a+ b) =a +na b + ⋯ +na b+b =∑ a b
n=0 n!

Contoh :

1. Uraikan fungsi f(x) = sin x atas deret Maclaurin

Penyelesaian :

f(x) = (1+ x)−1


(−1 ) (−2) 2 (−1 )(−2 ) (−3)
= 1-x + x+ +....
2! 3!
1 1 1 1 1
Hitunglah deret nilai sisa deret 1− + − + - pada suku ke enam
2 4 8 16 32
Penyelesaian :

a 1
S= , a= 1, r = -
1−r 2

1 2
S= =
1+ 1/2 3

1 1 1 1 1
S = 1− + − + - = S- S6 = 0,6666-0,65 = 0,0106
2 4 8 16 32

BAB II BILANGAN KOMPLEKS

2.1. Bilangan Real dan Imajiner

Tiap-tiap persamaan dengan bentuk :


ax2 + bx + c = 0............................................................................................... (2.1)

dinamakan persamaan kuadrat, yang akar-akar persamaannya adalah :

−b ± √b 2−4 ac
x1,2 = .................................................................................. (2.2)
2a

Jika diskriminan D = b2 – 4ac < 0, maka tak ada akar-akar yang real (dua buah akar
yang gabungan kompleks), dan untuk melukiskan akar-akar ini, maka dinyatakan dengan

9
bilangan : bilangan khayal(imajiner) ai dengan a bilangan riel dan i satuan kayal yang
memenuhi aturan :

i = √ −1............................................................................................................ (2.3)

i2 = ¿ ) = -1,i3 = -i,t4 = 1,t4n = 1

suatu bilangan kompleks adalah suatu bilangan dengan bentuk :

c = a + ib........................................................................................................... (2.4)

dengan c = bilangan kompleks

a = Re c = bagian riel c

b = Im c = bagian imajiner?kayal c

sehingga sebuah bilangan kompleks c dapat ditulis sebagai :

c = Re c + Im c

Contoh 1

Nyatakanlah apakah bilangan kompleks real atau imajiner soal dibawah ini :

a. 10 + 5i → sebuah bilangan kompleks

b. 0 + 8i atau 8i → sebuah bilangan imajiner

c. 10 + 0i atau 10 → sebuah bilangan riel

d. 0 + 0i → sebuah bilangan kompleks

2.2. Aljabar Bilangan Kompleks

Misalkan dua bilangan kompleks c1 = a1 + ib1 dan c2 = a2 + ib2, maka operasi aljabar
antara kedua bilangan kompleks ini didefenisikan memberikan pula suatu bilangan kompleks
baru.

a. Penjumlahan/Pengurangan

c1 ± c2 = (a1 + ib2) ±(a2 + ib2) = (a1 ± a2) + i(b1 ± b2)....................................... (2.5)

b. Perkalian

10
c1.c2 = (a1 + ib2) (a2 + ib2) = a1a2 + ia1b2+ 1 b1a2 + i2b1b2

= (a1a2 – b1b2) + i(a1b2 + a2b1).......................................................................... (2.6)

c. Pembagi

c 1 (a 1+ib 1) ( a 1+ ib1 ) (a 2−ib2) (a 1 a 2+b 1 b 2) (b 1 a 2−a1 b 2)


= = = ¿+i
c2 ¿¿ ( a 2+ ib2 ) (a 2−ib2) 2
a1 +b2 ¿ 2
(a 22 +b 22 )

Contoh 2.

Jika c1 = 2 – 3i dan c2 = -5 + i , hitunglah :

a. c1 + c2 d. c1.c2

b. c1 - c2 e. c1 / c2

Penyelesaian :

a. c1 + c2 = -3 – 2i d. c1 c2 = -7 + 17i

b. c1 - c2 = 7 - 4i e. c1 / c2 = (-1 + i)/2

Di dalam operasi aljabar bilangna kompleks berlaku sifat-sifat :

c1 + c2 = c2 + c1 → aturan kumulatif

c1 .c2 = c2 .c1 → aturan kumulatif

(c1 + c2) + c3 = c1 + (c2 + c3) → aturan asosiatif

(c1 .c2) + c3 = c1(c2 + c3) → aturan asosiatif

c1 (c2 + c3) = c1 .c2 + c2 .c3 → aturan distributif

0+c=c+0=c → aturan distributif

2.3. Bidang Kompleks / Diagram argand

Pada sistem koordinat suku dapat digambarkan suatu pasangan bilangan yang
dapat menyatakan sebuah titik dalam bidang, dan sebaliknya suatu titik dapat menyatakan
suatu pasangan bilangan. Karena suatu pasangan bilangan (x,y) ditentukan oleh suatu

11
bilangan kompleks z = x + iy, maka setiap bilangan kompleks z = x + iy dapat dinyatakan
sebagai sebuah titik P (x,y) pada suatu bidang xy dan sebalikmya sebuah titik P (x,y) sesuai
dengan suatu bilangan kompleks z = x + iy. Bilangan xy tersebut dinamakan bidang
kompleks atau diagram Argand.

ʳ
Letak titik P(x,y) dalam koordinat siku dengan r adalah jarak titik asal 0 ke titik
P(x,y) dan sudut θ sudut positif yang diapit garis OP dengan sumbu x positif, dapat juga
ditentukan dengan koordinat0 polar (r,θ ). X
0
Hubungan dengan koordinat adalah :

x = r cosθ y = r sinθ...................................( 2.11)

y
r = √ x 2+ y 2 θ=arc tan ................................(2.12)
x

Berdasarkan hubungan koordinat, diperoleh bentuk kutub (polar) bilangan kompleks :

z = x + iy = r cos θ + ir sinθ

atau : z = r(cos θ + i sin θ )......................................(2.13)

Dengan : r = modulus atau harga mutlak z

θ= argumen z = sudut = fase

Jika z 1=r 1( cos θ1+ i sin θ1) dan z 2= r 2( cos θ2+ i sin θ2)

Maka perkalian :

z1 z2 = r1 r1 ¿

Dan jika z 1=z 2 , maka diper oleh :

z 1 z 2=z 2=r 2 (cos2 θ +isin 2 θ)

z 2=r 2 (cos 2 θ+ isin2 θ)

12
Selanjutnya jika ada nz yang tidak berbeda masing-masing sama dengan z =
r ( cos θ+isin θ), maka diperoleh :
n
z n=[ r ( cos θ+isin θ) ] =r n (cosn θ+i sinθ)

Persamaan ini dikenal dengan Teorema De Moivre

2.4. Persamaan Kompleks dan Kurva Bilangan Kompleks

Duah buah bilangan konpleks adalah sama, jika dan hanya jika bagian real nya sama,
dan juga bagian kayal/imajiner sama. Contohnya x + iy = 2 +3i. Adalah suatu persamaan
kompleks dengan x = 2 dan y = 3 sebagai variabel-variabel riel.

Suatu persamaan kompleks yang menghasilkan hanya satu persamaan riel, akan
memberikan pemecahan dengan x dan y saling bergantungan. Saling bergantungan ini, pada
bilangan kompleks, menggambarkan sebuah kurva.

Jika kita memiliki sebuah persamaan kompleks yang memberikan hanya satu
persamaan rill atau f(z) = C dimana z = x + iy, dengan f(z) dan C masing-masing berharga
rill, maka sistem persamaan tersebut akan memberikan pemecahan dalam variabel x dan y
yang saling tergantung, sehingga menggambarkan suatu kurva dalam bidang x – y tersebut

Contoh :

1. Cari pemecahan persamaan kompleks z 2=1 dengan z = x + iy.

Penyelesaian :

Nyatakan persamaan tersebut dalam variabel rill x dan y sebagai berikut.

( x +iy)2 = 1. Selanjutnya kita jabarkan persamaan tersebut menjadi x 2+ 2ixy− y 2=1 sehingga
diperoleh persamaan untuk bagian rill dan imajiner masing-masing

a) x 2− y 2 = 1
b) 2 xy = 0

Dari persamaan b) jika x = 0 maka dari persamaan a) diperoleh y 2=−1 dan karena y
seharusnya merupakan bilangan rill, maka hasil ini bukan pemecahan persamaan yang kita
tinjau. Jika y = 0 maka diperoleh x 2=1 yang memberikan nilai rill bagi variabel x. Dengan
demikian pemecahan persamaan tersebut adalah {x = ± 1, y = 0} atau z = ±1

13
2. Tentukan kurva yang terkait persamaan |z−3|=1

Penyelesaian :

Ungkapkan persamaan tersebut dalam variabel x dan y adalah |x−3+ iy|= √ ¿ ¿ = 1 lalu
kuadratkan kedua ruas sehingga diperoleh persamaan lingkaran ( x−3)2 + y 2=1 dengan titik
pusat di (3,0) dan berjari-jari 1.

2.5. Deret kompleks

Seperti halnya ketika kita membahas deret pangkat pada sistem bilangan riil pada bab
1, dalam sistem bilangan kompleks kita juga dapat membangun suatu deret pangkat tak-
hingga yang didefinisikan sebagai:


S ( z ) =∑ a n z n
n=1

Dengan z=x+iy, dan an merupakan bilangan kompleks. Untuk menguji konvergensi dari
deret tersebut, kita dapat memakai kembali semua perangkat yang telah kita bahas di bab 1
lalu. Tinjau deret berikut:


z2 z3 z4 n
n+1 z
z− + − + …=∑ (−1 )
2 3 4 n=1 n

Untuk menentukan konvergensi dari deret pangkat kompleks bolak-balik ini kita uji

zn
bahwa deret ini konvergen karena memenuhi syarat konvergen mutlaknya. Dari lim ǀ ǀ=0
n→∞ n

z n+1 zn
dan ǀ ǀ ¿ ǀ ǀ. Jelas bahwa deret ini konvergen karena memenuhi syarat konvergen
( n+1 ) n
mutlak. Selanjutnya untuk mengetahui harga z yang membuat deret tersebut konvergen kita
gunakan uji rasio:

nzn +1
lim ǀ n ǀ ǀzǀ ¿ 1
n → ∞ ( n+ 1 ) z

14
Dengan demikian diperoleh untuk harga ǀzǀ ¿ 1 deret konvergen. Mengingat ǀzǀ ¿ 1 tidak lain
adalah kurva lingkaran dalam bidang kompleks, maka untuk semua nilai (x,y) yang berada di
dalam kurva tersebut deret tersebut konvergen. Untuk (x,y) yang berada tepat di lingkaran
yaitu ketika z=1, maka kita harus melakukan uji terpisah untuk menentukan konvergensinya
dan mengingat analisis pemeriksaannya cukup panjang, maka hal ini tidak kita lakukan.

Deret tak hingga kompleks adalah pernyataan penjumlahan bilangan kompleks yang
tak hingga banyaknya berbentuk:


C 1+C 2 +C3 + …C n +…=∑ Cn … … … … .
n=1

Dengan setiap suku C n adalah suatu bilangan kompleks yang tergantung pada
bilangan bulat n. Jumlah parsial/pembagiannya deret tak hingga kompleks dituliskan:

Sn= X n +iY n dengan:


Sn=∑ Ck =1,2,3 … n
k=1

X n dan Y n bilangan riel .

Jika n→ ∞ , Sn menuju s= x+iy, maka deret kompleksnya konvergen, dengan s jumlahnya.


Berarti jika X n → x dan Y n → y maka deret bagian riel dan kayal adalah konvergen.

Contoh:

Ujilah konvergensi deret kompleks berikut ini:

∞ ∞ ∞

∑ z n = ∑ ( ℜiθ )=¿ ∑ r n e inθ → deret geometri kompleks ¿


n=0 n=0 n=0

z n+1 lim ¿ z∨¿ ¿


ρ=ǀ ǀ = n→∞
zn

ρ=¿ z∨¿ adalah konvergen jika |z| = r <1 sehingga disebut lingkaran konvergensi.

15
2.6. Fungsi Eksponensial Dan Rumus Euler

Seperti halnya pada pembahasan deret pangkat riil, setiap deret pangkat kompleks
yang konvergen akan mendefinisikan sebuah fungsi f (z) dengan variabel kompleks z
dalam daerah konvergensi deret tersebut dan deret tersebut secara khusus dinamakan
sebagai uraian taylor. Sekarang kita akan meninjau uraian taylor dari fungsi kompleks () z
ezf = di sekitar 0 =z sebagai berikut (buktikan!):

z z 2 z3 z 4
e =1+ z+ + + +…
2! 3! 4!


zn
¿ 1+ ∑
n=1 n!


zn
Dapat dibuktikan bahwa deret ∑ konvergen untuk seluruh z, sehingga uraian taylor
n =1 n !

fungsi f(z) = e z juga memiliki rentang konvergensi yang sama. Dapat diperlihatkan pula
bahwa perkalian dan pembagian dua fungsi eksponensial kompleks juga memenuhi hubungan
yang sama dengan fungsi eksponensial riil yaitu:

z 1+ z 2 )
e z e z =e (
1 2

e z 1 ( z −z ) 1 2
=e
ez 2

misalkan kita ambil z = iy atau z murni bilangan imajiner. Dengan memasukkannya ke dalam
persamaan, kemudian mengelompokkannya dalam bagian riil dan imajiner diperoleh:

y2 y 4 y6 y3 y5 y7
e iy =
( 1− + + +…
2! 4 ! 6 !) (
+
i
y− + + + …
3! 5 ! 7 ! )
cos y sin y

Bagian imajiner dari ruas kanan persamaan tidak lain adalah uraian taylor untuk fungsi
sin y , sedangkan bagian riilnya dapat ditunjukkan merupakan uraian taylor fungsi cos y .
Sehingga dengan demikian kita dapati bahwa bentuk fungsi eksponensial bilangan imajiner
ekuivalen dengan representasi trigonometrik:

e iy =cos y +isin y

Hubungan yang diberikan oleh persamaan (17) di atas dikenal sebagai rumusan euler.

16
Contoh:

Nyatakan bilangan kompleks a=√ 3+i=2 ke dalam bentuk eksponensial kompleks. Modulus

1 π
bilangan tersebut adalah : |a| = √ 3+i=2dari argumennya arg A=arctan 3 = 6 , sehingga

repsentasinya dalam bentuk eksponesial kompleks adalah A=2 eiπ /6

Soal!!

1. Jika C 1=2+5 idan C 2=5+2 i, h itungla h


a. C 1+C 2
jawab:
¿ ( a 1 ± a2 ) +i ( b1 ±b 2 )
=( 2+5 ) +i(5+2)
2. hitunglah konjugat kompleks dan modulus dari soal dibawah ini
a. (2+5i)
jawab:
konjugat (C ¿) = a-ib
= 2-5i
Modulus |c| =√ ( a+ib ) ( a−ib ) = √ a2 +b 2

|C|= √ 22 + 5i 2=2+5 i

2.7. Fungsi Logaritma Kompleks

Kita akan mempelajari bagaimana menentukan nilai logaritma dari sembarang


bilangan kompleks z≠0, termasuk bilangan negative sebagai kasus khusus.

Seperti diketahui bentuk eksponensial

z = e w ekuivlen dengan w = ln z

Dari defenisi bilangan kompleks dengan menggunakan ungkapan z = e w , diperoleh salah satu
sifat logaritma, yaitu:

z 1 z 2=e w e w =e w +w atau ln z 1 z 2 = w 1+ w2 = ln z 1 + ln z 2
1 2 1 2

17
Dari sifat ini kita dapat menghitung bagian real dan bagian imajiner dari fungsi
logaritma kompleks. Rumus fungsi logaritma kompleks : ln z = Lnr +i θ+2nπ

Dengan Ln r menunjukkan logaritma dengan bilangan pokok e dari bilangan real


positif r. tampak bahwa fungsi logaritma kompleks bernilai jamak, tergantung pada nilai n
yang tak hingga banyaknya (n=0)

Besar Ln r dikenal sebagai nilai utama (principal value) dari Ln z.

Contoh soal : Hitunglah ( l – i )4

Penyelesaian :

Jika z = l-i, maka r=√ 2 dan θ 5 π /4. Bentuk eksponensialnya adalah:

z=√ 2 .e 5 i π / 4, sehingga (l-i)4 = (√ 2 .e 5 i π / 4)4 = 4e 5 i π = -4

2.8. Fungsi Trigonometri dan Hiperbolik Kompleks


Fungsi trigonometri kompleks

1 iz −iz 1
Sin z = (e −e ) dan cos z = (e iz −e−iz )
2i 2i

Untuk semua bilangan kompleks z

Empat fungsi trigonometri yang lain didefinisikan:

sin z cos z 1 1
tan z = cot z = sec z = csc z =
cos z sin z cos z sin z

BAB III ALJABAR VEKTOR

1. Defenisi Vektor
Vector adalah besaran yang mempunyai besar dan arah. Contoh besaran fisika vector
adalah kecepatan, percepatan, gaya, momentum sudut, medan listrik, dll.

Agar dapat dibedakan besaran scalar dan besaran vector, maka lambang untuk besaran
scalar ditulis dengan huruf a, b, A; sedangkan lambang vector ditulis dengan tanda anak
panah a , b , A . Besar vector A ditulis A = |A| dan arah vector A ditentukan oleh
suatu vector satuan pada arah A dengan besar satu satuan yaitu A yang didefenisikan
sebagai:

18
A =❑
A

Dengan | A | = 1 satuan

2. Penjumlahan dan pengurangan vector


Operasi penjumlahan dan pengurangan vector sama sekali berbeda dengan operasi
penjumlahan dan pengurangan bilangan-bilangan dalam aljabar biasa. Jika A dan B
adalah dua buah vector sembarang, maka jumlah kedua vector didefenisikan sebagai:

A + B = B + A (aturan komutatif)

Jika B adalah sebuah vector, maka - B didefenisikan sebagai vector yang sama
B . Maka mengurangkan vector
besarnya dengan arah yang berlawanan dengan vector
A dengan vector B sama artinya menambahkan vector A dengan vector negative -
B
A - B = + A + (- B )

3. Komponen Vektor

Vector sembarang A di dalam ruang berdimensi tiga dapat diuraikan atas tiga
komponen yang saling tegak lurus satu sama lain dengan menggunakan sistem koordinat
Cartesius, dengan meletakkan titik tangkap A pada titik asalnya 0.

Vector-vektor ^x Ax, ^y Ay, dan ^z Az dinamakan vector-vektor komponen yang


segaris dengan sumbu x, sumbu y, dan sumbu z. maka vector A dinyatakan dalam
komponen sebagai:

A = x^ Ax + y^ Ay + z^ Az

Besar vector A = | A | = (Ax2 + Ay2 + Az2 ) ½

4. Perkalian Skalar Dua Vektor

Jika A dan B adalah dua buah vector tak nol yang mengapit sudut θ , maka perkalian
scalar (titik) dari dua vector A dan B didefenisikan sebagai:

A . B = A B cos θ = AB cos θ

Karena | A || B | cos θ , maka berlaku hubungan komutatif

A . B = B . A

19
Di dalam perkalian scalar dua vector dapat dijumpai beebrapa keadaan istimewa, antara lain:

1. Jika A . B = AB cos θ = dan A ≠ 0 , B ≠ 0 , maka cos θ = 0, atau


θ =1/2 π, sehingga vector A tegak lurus pada vector vector B
2. Jika θ = 0 maka A . B = AB cos θ = AB, yaitu pada saat A sejajar
dengan B
3. Jika θ = π maka A . B = AB cos π = -AB, yaitu pada saat A anti parallel
(berlawanan arah) dengan B .
5. Perkalian Silang
Perkalian silang dari dua vector dan didefenisikan sebagai:

A x B = n^ (AB sin θ )

Dengan, θ = sudut antara A dan B

n^= vector satuan dengan arah tegak lurus pada bidang (A,B) dan arah positif
ditentukan dengan putaran sekrup

AB = luas jajaran genjang yang sisi-sisinya adalah vector A dan B

Perkalian silang dari dua vector A dan B , yaitu A x B , mempunyai 3 buah


komponen yang didefenisikan sebagai:

( A x B )x ≡ AyBz - AzBy

( A x B )y ≡ AzBx – AxBz

( A x B )z ≡ AxBy – AyBx

Dapat dituliskan menjadi:

( A x B ) = (AyBz - AzBy) x^ + (AzBx – AxBz ) ^y + (AxBy – AyBx ) ^z

6. Hasil Kali Tripel

Berdasarkan tiga buah vector A , B dan C diperoleh 3 jenis perkalian, yaitu:

1. ( A . B ) C
2. A .( B x C )
3. A x( B x C )
Masing-masing penafsiran sebagai berikut:

20
1. A . B = AB cos θ adalah sebuah scalar, sehingga ( A . B ) C adalah
sebuah vector yang sejajar C
2. A .( B x C ) disebut hasil kali tripel/ perkalian ganda tiga scalar.
7. Persamaan Garis Lurus dan Bidang
Persamaan garis lurus

Sebuah garis lurus L dalam ruang ditentukan oleh dua buah titik berbeda P 1 dan P2 yang
dilaluinya. Dalam rumusan vector, ini berarti bahwa jika OP1 dan OP2 adalah berturut-
turut vector kedudukan P1 dan P2, relative terhadap titik acuan O, maka setiap titik P yang
terletak pada garis , memenuhi persamaan vector

OP = OP1 + P1 P = OP1 + t ( OP2 - OP1 )

Atau P1 P = t P2 P

Dengan τ sebuah parameter real.

Persamaan bidang

Misalkan L adalah sebuah garis lurus dan P sembarang titik yang tepat terleta di garis L. dari
geometri kita ketahui bahwa melalui bahwa melalui titik P hanya ada satu bidang datar V
yang memotong tegak lurus garis L.

Jadi, sebuah bidang v tertentukan oleh sebuah titik P 0(x0,y0,z0), yang dilewatinya, dan sebuah
vector N = A i = B
^j + C k^ yang tegak lurus padanya. Jadi, jika P(x,y,z) adalah
sembarang titik pada bidang v, maka vector P0P tegak lurus vector N, atau dalam
rumusan hasil kali titik:

P0P .N=0

Jarak Titik ke Bidang

Misalkan Q(xq,yq,zq) sebuah titik di luar bidang v. jika Q’ adalah proyeksi tegak Q pada

bidang, jadi vector QQ' tegak lurus bidang v, maka jarak d dari titik Q ke bidang v, adalah

panjang vector QQ'

d=| QQ' |

untuk menghitung panjang vector QQ' ini secara analistis, kita tidak menghitung langsung
koordinat titik Q’, melainkan menempuh langkah berikut. Pertama, kita pilih sembarang titik

P1(x1,y1,z1) pada bidang v. kemudian kita bentuk vector P1Q . Karena vector QQ' tegak

21
lurus bidang v, maka QQ' sejajar vector normal bidang v, yakni N. ini berarti, panjang

vector QQ' , yakni | QQ' | adalah panjang proyeksi vector P1Q pada vector normal N.
jadi, n^ = N/N adalah vector satuan, maka

|
QQ' |=( P1Q ) . n^

BAB IV DERET FOURIER

4.1. Fungsi Periodik

Sebuah fungsi yang terkait dengan suatu variabel tertentu dikatakan periodik jika
bentuknya akan kembali berulang setelah rentang tertentu. Misalkan fungsi tersebut
merupakan fungsi dari waktu t , jika f ( t )=f (t +nT ), dimana n adalah sebuah bilangan
integer, maka fungsi tersebut mendefinisikan sebuah fungsi periodik dengan kuantitas T
dinamakan periode dari fungsi tersebut. Contoh sederhana dari fungsi seperti ini adalah
fungsi sin(t), dengan t dalam radian. Telah kita ketahui akan memiliki harga yang sama pada
t + n2π atau sin(t) = sin( t + n2π). Dalam hal ini jelas bahwa T = 2 π
Suatu fungsi f(x) disebut mempunyai periode T (atau periodic dengan periode T) bila
untuk semua x berlaku:

f(x+t) = f((x)…………………………………………………………………(4.1)

Dimana t adalah suatu konstanta positif. Harga terkecil dari T¿ 0 disebut periode terkecil atau
periode dari f(x) saja

Contoh 1.

1. Periode dari sin nx atau cos nx dimana n adalah suatu bilangan bulat positif adalah 2
π /n
2. Periode dari tan x adalah π
3. Periode dari suatu konstanta adalah sembarang bilangan positif
4.2. Deret Fourier
Misalkan f(x) didefenisikan dalam selang (-L,L) dan diluar selang ini oleh f(x+2L)=
f(x). Jadi f(x) mempunyai priode 2L.
Deret Forier atau Forier yang berhubungan dengan f(x) ditentukan oleh :
ao ∞ nπx n πx
f ( x )=
2 n=1 (
+ ∑ a n cos
L
+ bn sin
L ) (4.2)

22
Dimana koefisien Fourier an dan bn adalah :
L
1 nπx
a n= ∫ f ( x ) cos dx (4.3)
L −L L
L
1 nπx
b n= ∫ f ( x ) sin dx (4.4)
L −L L
n=0,1,2,3,....
L
1
untuk n = 0 a n= ∫ f ( x ) dx
L −L
atau boleh juga dipakai :
c+2 L
1 nπx
a n= ∫ f ( x ) cos dx (4.5)
L c L
c+2 L
1 nπx
b n= ∫ f ( x ) sin dx (4.6)
L c L
Dimana c sembarang bilangan nyata.
4.3. Fungsi Ganjil dan Genap

Suatu fungsi f(x) disebut ganjil bila f(-x) = - f(x) dan disebut fungsi genap bila f(-x) =
f(x). Dalam deret Fourier yang berhubungan dengan suatu fungsi ganjil, hanya mungkin ada
suku-suku sinus, dan deret Fourier yang berhubungan dengan fungsi genap, maka yang
mungkin ada hanya suku-suku cosinus ( atau mungkin konstanta yang akan kita pandang
sebagai suatu cosinus ).

Hal ini disebabkan karena fungsi sinus adalah merupakan fungsi ganjil dan fungsi
cosinus merupakan fungsi genap.

Contoh :

Apakah fungsi ganjil dan genap!

a. f ( x )=−x 5 −3 x 3 +2 x
b. f ( x )=sin x
c. f ( x )=cos x
d. f ( x )=x 3
e. f ( x )=2 x 4

Penyelesaian :

23
a. f (−x )=−x5 +3 x 3−2 x=−¿ x 5−3 x 3+ 2 x ¿=−f ( x )
Jadi fungsi ganjil
b. f (−x )=sin (−x ) =−sin x=¿−f (x )¿
Adalah Fungsi ganjil

c. f (−x )=cos(−x ¿)=cos x=f ( x) ¿


Adalah Fungsi genap

d. f (−x )=(−x )3 =−f ( x)


Adalah fungsi ganjil

e. f (−x )=2(−x)4 =2 x 4=f ( x)


Adalah Fungsi genap
4.4. Deret Fourier Jangkauan Setengah

Deret Fourier Sinus atau deret Fourier Cosinus adalah berturut-turut suatu deret
dimana hanya ada suku-suku sinus atau hanya suku-suku cosinus. Jika suatu deret setengah
daerah yang berhubungan dengan suatu fungsi yang diinginkan maka fungsi itu umumnya
didefenisikan dalam selang ( 0, L ) [ yang merupakan setengah dari selang ( -L, L ), untuk
yang menyebabkan nama setengah daerah ( half range ) ] atau didefenisikan akan selang ( -L,
0 ).

Dalam hal ini didapatkan :

L
2 nπx
a n=0 , bn = ∫ f ( x ) sin dx ⋯ ( 4.7 )
L0 L

Untuk deret Fourier sinus, dan

L
2 nπx
b n=0 , an = ∫ f ( x ) cos dx ⋯ ( 4.8 )
L0 L

Contoh soal :
Ekspansikan f(x) = x; 0<x<2 ke dalam;
a. Deret sinus setengah jangkauan
b. Deret cosinus setengah jangkauan
Penyelesaian :
24
a. Deret sinus setengah jangkauan.
f (x) = x ; 0 < x < 2 diperluas dalam bentuk fungsi ganjil sepanjang interval -2 < x < 2
(dengan periode 4), sebagai berikut:

Sehingga an = 0

Jadi deret sinus setengah jangkauannya :

b. Deret cosinus setengah jangkauan.


f (x) = x ; 0 < x < 2 diperluas dalam bentuk fungsi genap sepanjang interval -2 < x < 2
(dengan periode 4), sebagai berikut:

Sehingga bn = 0

Jadi deret cosinus setengah jangkauannya :

25
4.5. Identitas Parseval
Identitas parsevsal mengatakan bahwa :
L 2 ∞
1 a
∫ { f (x) }2 dx= 0 +∑ ( an2+ bn2 ) ……...................(4.9)
L −L 2 n=1

Bila an dan bn adalah koefisien-koefisien Fourier yang berhubungan dengan f(x) dan deret
Fourier konvergen uniform pada selang (-L, L).
Bukti :

a 02 ∞ nπx nπx
f ( x )= (
+ ∑ a cos
2 n=1 n L
+b n sin
L )
Kalikan dengan f(x) dan integrasikan dari –L ke L:
L 2 L ∞
1 a
∫ { f (x) }2 dx= 0 ∫ f ( x ) dx+∑ ¿¿ ¿
L −L 2 −L n =1

a02 ∞
2 2
¿ L+ L ∑ ( a n +b n )
2 n=1

Dimana telah didapatkan hasil :

∫ f ( x ) cos nπx
L
d x=L a n
−L

∑ f ( x ) sin nπx
L
dx=L bn
−L

Dan,

∫ f ( x ) cos dx=L a0
−L

26
yang merupakan koefisien-koefisien Fourier. Lalu kedua dibagi dengan L sehingga didapat
identitas Parseval.

Contoh 6.
a. Tulis identitas Parseval yang berhubungan dengan Fourier dari :

4
f ( x )=1+ ∑ ¿¿¿
n=1 n π2
2

b. Tentukan dari a jumlah dari deret :


1 1 1
+ + +…
14 24 34

Penyelesaian:

a. Disini L = 2, a 0 = 2
4
a n= ¿ untuk n≠ 0
n π2
2

b n=0
Identitas Parseval menjadi :
2 2 ∞
1 a
∫ { f ( x)}2 dx= 0 +∑ ( an2+ bn2 )
2 −2 L n=1
2 ∞
1 2 22 16
∫ x dx= +∑ 2 2 ¿ ¿
2 −2 2 n=1 n π
8 64 1 1 1
3 (
=2+ 4 4 + 4 + 4 +…
π 1 3 5 )
Jadi :
1 1 1 8 π2
+ +
14 3 4 54
+…=
3
−2
64 ( )
π2
¿
96
b. S = Jumlah deret
1 1 1 1 1 1 1 1 1
4
1 2 3 1 3 5 (
+ 4 + 4 +…= 4 + 4 + 4 + … + 4 + 4 + 4 +…
2 4 6 )( )
π4 1 1 1 1
¿ + (
+ + +…
96 2 4 14 24 3 4 )
π4 S
¿ + 4
96 2

27
1 π4
( 1−
24)S=
96

π 4 16 π4
S= ( ) =
96 15 90

BAB V TURUNAN PARSIAL

5.1. Turunan Parsial


a. Definisi Turunan Persial
Dalam matematika, turunan parsial sebuah fungsi matematikapeubah banyak adalah
turunannya terhadap salah satu peubah (variabel) dengan peubah lainnya dipertahankan
(konstan). Ini dibedakan dengan turunan total, yang membolehkan semua variabelnya
untuk berubah. Misalkan f(x,y) adalahfungsiduapeubah x dan y.

1. Turunan parsial pertama dari f terhadap x (y dianggap konstan) didefinisikan sebagai


berikut
f (x +h , y )−f ( x , y )
f x ( x , y )=lim
h→0 h

2. Turunan parsial pertama dari f terhadap y (x dianggap konstan) didefinisikan sebagai


berikut
f ( x , y+ h)−f ( x , y )
f y ( x , y )=lim
h→0 h
Contoh:
3 2
Tentukanf xdanfy f (x , y )=x y +4 xy
f (x,y) = 3 x2 y + 4 y2
Jawab : x

Fungsi dua peubah atau lebih


Fungsi dua peubah atau lebih dapat ditulis dalam bentuk eksplisit atau implisit. Jika fungsi
dua peubah dinyatakan dalam bentuk eksplisit, maka secara umum ditulis dalam bentuk z =
F(x,y). Sebaliknya jika fungsi dituliskan dalam bentuk implisit, secara umum ditulis dalam
bentuk F(x,y,z) = 0.

Contoh:

28
1. z = 2x + y
2 4
2. z = ln |x −2 y |
1
3. z = 1 – 2 √ 2sin x−sin y
4. xy + xz – yz = 0
x
5. xy - e sin y = 0
y
|x 2− y 2|−arctan
6. ln x =0
y
7. arc tan x - 2z = 0
Pada contoh di atas, fungsi yang ditulis dalam bentuk eksplisit adalah pada contoh
1,2, dan 3. Sedangkan contoh 4, 5, 6, dan 7 adalah fungsi yang ditulis dalam bentuk implisit.
Semua fungsi dalam bentuk eksplisit dengan mudah dapat dinyatakan dalam bentuk implisit.
Akan tetapi tidak semua bentuk implisit dapat dinyatakan dalam bentuk eksplisit.

Turunan Parsial Fungsi Dua dan Tiga Peubah


Misal z = F(x,y) adalah fungsi dengan variable bebas x dan y. Karena x dan y variable bebas
maka terdapat beberapa kemungkinan yaitu:

1. y dianggap tetap, sedangkan x berubah-ubah.


2. x dianggaptetap, sedangkan y berubah-ubah
3. x dan y berubahbersama-sama sekaligus.
Definisi

Misal z = F(x,y) adalahfungsiduapeubah yang terdefinisi pada interval tertentu, turunan

∂z ∂z
parsial pertama z terhadap x dan y dinotasikandengan ∂ x dan ∂ y dan didefinisikan oleh

∂Z F ( x+ Δx , y )−F ( x , y ) ∂Z F ( x , y+Δy )−F ( x , y )


Lim Lim
∂x = Δx→0 Δx dan ∂ y = Δy→0 Δy

Asalkan limitnya ada.

Untuk memudahkan dalam menentukan turunan parcial dapat dilakukan dengan


menggunakan metode sederhana sebagai berikut. Andaikan z = F(x,y) maka untuk

29
∂z
menentukan ∂x sama artinya dengan menurunkan variabel x dan variabel y dianggap

∂z
konstan dan selanjutnya y diturunkan. Demikian pula untukmenentukan ∂ y sama
artinya dengan menurukan variable y dan variable x dianggap konstant lalu diturunkan.

Dengan cara yang sama, andaikan W = F(x,y,z) adalah fungsi tiga peubah yang
terdefinisi dalam selang tertentu maka turunan parsial pertama dinyatakan dengan

∂W ∂W ∂W
,
∂ x ∂ y , dan ∂ z yang secara berturut didefinisikan oleh:

∂W F ( x+ Δx , y , z )−F ( x , y , z )
= Lim
∂ x Δx→ o Δx

∂W F ( x, y +Δy , z)−F ( x , y , z)
= Lim
∂ y Δy→ o Δy

∂W F ( x , y , z+ Δz)−F( x , y , z )
= Lim
∂ z Δz→ o Δz

Asalkan limitnya ada.

Contoh:

1. Ditentukan F(x,y,z) = xyz + 2 tan


( xy )
Untuk latihan para pembaca tentukan turunan persial fungsi-fungsi di bawah ini:

Selanjutnya turunan parsial fungsi dua peubah atau lebih dapat ditentukan turunan
parsial ke n, untuk n ¿ 2 turunan parsialnya dinamakan turunan parsial tingkat tinggi.

Dengan menggunakan analogi fungsi satu peubah dapat ditentukan turunan parsial tingkat 2,
3 dan seterusnya.

Jadi andaikan z = F(x,y) maka:

30
2
∂ 2 z ∂2 z ∂ 2 z ∂z
2
, 2, ,dan
Turunan parsial tingkat dua adalah ∂ x ∂ y ∂ x∂ y ∂ y ∂x

Demikian pula, jika W = F(x,y,z)

∂2 W ∂2 W ∂2 W ∂2 W ∂2 W ∂2 W ∂2 W ∂2 W ∂2 W
2
, 2, 2, , , , , ,
Turunan parsial tingkat dua adalah ∂ x ∂ y ∂ z ∂ x ∂ y ∂ x ∂ z ∂ y ∂ z ∂ y∂ x ∂ z∂ x ∂z∂ y

n
Demikian seterusnya. Banyaknya turunan tingkat ditentukan oleh rumus m , dimana m
banyaknya variabel dan n menunjukkan turunan ke-n

Contoh

∂2 z ∂2 z
2 2
Tentukan ∂ x dan ∂ y dari fungsi berikut:

xy
1. z = x− y
Jawab

xy ∂ z y ( x− y )−xy (1)
=
Dari z = x− y , diperoleh ∂ x ( x− y )2

− y2
2
= ( x− y)

∂ z x( x− y )−xy (−1)
=
∂y ( x− y )2

2
x
2
= ( x− y)

∂2 z ∂ ∂ z
Sehingga ∂ x
=
2 ∂x ∂ x ( )
2
∂ −y
=
(
∂ x ( x− y )2 )

31
2 2
0( x− y ) −(− y )(2)( x− y )(1)
= (x − y )4

2 xy 2−2 y 3
= (x − y )4

∂2 z x2
2
Dan ∂ y =

∂ y ( x− y )2 ( )
0( x− y )2 −x 2 (2 )( x− y )(−1) −2 x 3 − yx 2
= ( x− y )4 = ( x− y )4

x y

2. z = y2 x2
3. z = sin 3x cos 4y

5.2. Diferensial Total

Diferensial dx dan dy untuk fungsi y = f(x) dari satu variabel bebas x didefinisikan
sebagai :

dx=∆ x

dy
dy =f ( x )= dx
dx

Untuk fungsi dua variabel bebas x dan y, z = (x,y) dan difenisikan :

dx=∆ x

dy =∆ y

Jika x berubah dan y tetap, maka z merupakan fungsi x diferensial parsial z terhadap x
adalah :

∂z
d x z=f x ( x , y ) dx= dx
∂x

Dengan cara yang sama, diperoleh :

32
d y z=f y ( x , y ) dy

∂z
¿ dy
∂y

Diferensial total dz didefenisikan sebagai jumlah diferensial parsialnya yaitu :

∂z ∂z
dz= dx + dy ...............................................................................................(5.3)
∂x ∂y

Untuk fungsi w = f(x,y,z,........,t), diferensial total dw :

∂w ∂w ∂w ∂w
dw= dx+ dy + dz+ …+ dt ........................................................(5.4)
∂x ∂y ∂z ∂t

Contoh :

Carilah diferensial total : z=x 3 y+ x 2 y 2+ x y 3

Penyelesaian :

∂z
=3 x 2 y +2 x y 2 + y 3
∂x

∂z
=x 3 +2 x 2 y +3 x y 2
∂y

∂z ∂z
dz= dx + dy
∂x ∂y

¿ ( 3 x 2 y +2 x y 2 + y 3 ) dx + ( x 3+ 2 x 2 y +3 x y 2) dy

5.3. Aturan Rantai Untuk Fungsi Bersusun


Jika z=f ( x , y ) suatu fungsi kontinu dari variabel-variabel x dan y dengan turunan

∂z ∂z
parsialnya : dan kontinu, dan jika x dan y merupakan fungsi variabel t yang
∂x ∂y

∂z
dideferensiabel x=g ( t ) , y=h(t), maka z adalah fungsi t dan disebut turunan total z ke t.
∂t
dz ∂ z dx ∂ z dy
= + ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯(5.5)
dt ∂ y dt ∂ y dt

Dengan cara yang sama untuk :

33
W =f ( x , y , z , … )
x=g ( t )
y=h (t )
z=s ( t )
dw ∂ w dx ∂ w dy ∂ w
= + + ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯(5.6)
dt ∂ x dt ∂ y dt ∂ t

Contoh 4.
dz
Cari , jika diketahui : z=f ( x , y )=¿ ( x 2 + y 2 )
dt
. x=e t dan y=et
Penyelesaian :
∂z 2 x dx
= 2 2 ; =−e−t
∂ x x + y dt
∂z 2x dx
= 2 2 ; =et
∂ y x + y dt
dz ∂ z dx ∂ z dy
= +
dt ∂ x dt ∂ y dt
2x 2x
¿ 2 2
−e−t + 2 2 e t
x +y x +y
ye t −xe−t
¿ 2. 2 2
x +y
5.4. Fungsi Implisit
Y =f (x )→ bentuk eksplisit ketergantungan satu variabel dengan variabel yang lain.
∅ ( x , y )=0 → bentuk implicit.
Diferensial total :
∂∅ ∂∅
d ∅= dx + dy=0
∂x ∂y
∂∅ ∂∅
¿ dx + dy=0
∂x ∂y
∂∅ −∂ ∅
dy= dx
∂y ∂x
dy −(∂ ∅ /∂ x)
= → ∂ ∅ /∂ x ≠ 0 … … . … … … … … … … … … … … …(5.7)
dx (∂ ∅/∂ y )
Secara geometris, fungsi implicit ∅ ( x , y )=0 menyatakan sebuah kurva pada bidang xy, dan
dy/dx menyatakan kemiringan garis singgungnya di titik (x,y) dimana : ∂ ∅ / ∂ y ≠ 0.

34
5.5 Persoalan Ekstrem Tak Terkendala

Jika suatu fungsi y = f(x) bernilai ekstrem (maksimum atau minimum) pada sebuah

dy df
titik P( x 0 , y 0 ¿, jika turunan pertamanya di titik tersebut adalah nol : =0 atau ( x )=0
dx dx 0

Pada fungsi dari dua variabel z = f(x,y), atau lebih, berlaku pula persyaratan ekstrem
yang sama, yang dapat dinalar sebagai berikut. Misalkan P( x 0 , y 0 ¿ adalah titik ekstrem fungsi
z = f(x,y), dengan memilih y = y 0 = tetap, maka z = f(x, y 0) menjadi fungsi dari satu variabel
x, sedangkan jika dipilih x = x 0 tetap, maka z = f( x 0 , y ¿ menjadi fungsi dari satu variabel y.
Dengan demikian berlaku syarat ekstrem seperti pada fungsi satu variabel, tetapi dalam hal
ini ada dua persamaan, yakni :

f x ( x 0 , y 0 )=0 dan f y ( x 0 , y 0 ) =0 ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ (5.8)

Jika variabel x dan y adalah bebas, maka persoalan ekstrem ini disebut ekstrem tak terkendala
(unconstraint)

Untuk menciptakan jenis ekstremnya, maka perlu menghitung turunan parsial keduanya,
f xx , f yy , f xy , dan besaran :

f xx f xy
D=det
[ f yx f yy ]
Penentuan jenis ekstremnya sebagai berikut :

Titik (a, b) adalah titik ekstrem fungsi f(x,y) jenis :

a. Maksimum, jika f xx (a,b) < 0 dan D > 0


b. Minimum, jika f xx (a,b) > 0 dan D > 0
c. Titik pelana (saddle), jika f xx (a,b) < 0 dan D > 0

Jika D = 0, tak ada yang dapat di simpulkan mengenai jenis ekstrem fungsi z = f(x,y)

Contoh :

Carilah titik ekstrem dari fungsi f(x,y) = xy - x 2− y 2−2 x−2 y +4 , dan tentukan jenis
ekstremnya.

Penyelesaian:
35
Dari syarat ekstrem (5.8), diperoleh :

f x = y – 2x – 2 = 0

f y = x – 2y – 2 = 0

Atau,

x = y = -2

Jadi titik P(-2, -2) adalah satu-satunya titik ekstrem fungsi f. Jenis ekstremnya, di tentukan
dari turunan kedua fungsi f :

f xx =2, f yy =−2, f xy =1

Dari nilai diskriminanya di titik (-2, -2) adalah :

D = f xx f yy −f 2xy =(−2 )( 2 ) −12 = 3 > 0

Karena f xx = -2 < 0 dan D = 3 > 0, maka titik ekstrem maksimum fungsi f. Nilai ekstremnya
adalah :

f( -2, -2) = 8

5.6 Persoalaan Ekstrem Terkendala

Pada percobaan ekstrem fungsi f (x,y,z) yang ditinjau diatas, variable x dan y berubah
secara bebas. Tetapi dalam berbagai persoalaan fisika dan geometri, variable x dan y
seringkali disyaratkan memenuhi suatu hubungan tertentu, ∅ ( x , y , z )=0 dalam bab ini akan
dibahas dua cara pemecahannya, yaitu cara eliminasi dan pengali lagrange.

Cara Eliminas

Pada cara eliminasi, dipecahkan dahulu persamaan kendala ∅ ( x , y , z )=0 untuk salah satu
variable, kemudian menggunakannya untuk mengeliminasi variabel bersangkutan dari fungsi
f, dan selanjutnya mencarikan nilai ekstrem fungsi f dalam variabel yang sisa. Sebagai contoh
soal berikut:

36
Contoh 6
Tentukan letak titik P(a,b) pada sebuah permukaan bidang V: x-y+2z=2, yang jaraknya
terdekat ketitik asal nol.

Penyelesaian

Pada bab 3 dipelajari bahwa jarak sebuah titik P(x,y,z) ke titik asal nol adalah:

´ |= √ x 2 + y 2+ z2 karena |OP
|OP ´ | minimum jika fungsi:

f ( x , y , z )=x 2 + y 2+ z2

Maka dapat diambil f sebagai fungsi yang hendak dicari nilai ekstremnya. Karena titik P
(x,y,z) haruslah terletak pada bidang V : x-y+2z=2, maka persamaan bidang ini adalah
persamaan kendala

∅ ( x , y , z )=x − y+ 2 z−2=0

Metode Eliminasi

Cara jelas untuk memecahkan persoalaan ekstrem terkendala ini adalah cara eliminasi. Yaitu,
memecahkan dahulu persamaan kendala bagi salah satu variabel kemudian disisipkan pada
fungsi f. dari persamaan kendala di peroleh:

y = x + 2z – 2

sisipkan ke dalam fungsi kuadrat jarak f, memberikan:

f ( x , y ( x , z ) , z )=x 2+ ( x +2 z−2 )2 + z 2

2 x2 + 4 xz +5 x 2−4 x−8 z + 4

Penerapan syarat ekstrem, memberikan:

f a=4 x+ 4 z−4=0

f z =4 x +10 z−8=0

Pemecahannya memberikan: x = 1/3, dan z = 2/3. Untuk menyelidiki jenis ekstrem f yang
bersangkutan yang bersangkutan, dalam variable (x,y), dihitung lagi turunan parsial
keduanya:

37
f xx =4 f zz =10 , f XZ =f ZX =4

Metode Pengali Langrange

Persamaan kendala ∅ ( x , y , z )=0 seringkali sangatlah rumit untuk dipecahkan, begitu pula
halnya dengan pemecahan syarat ekstrem : f x =0 , f z =0 atau dalam dua variable lainnya.
Untuk mengatasinya, matematikawan perancis Louis langrange mengembangkan metode
pengali langrange, yang menghasilkan suatu system persamaan setara yang relative mudah
mencari penyelesaiannya. Gagasan dasarnya betolak dari hasil penalaran berikut:

Dititik ekstrem berlaku: df =f y dx + f y dy+ f z=0

Dengan memandang x,y, dan z bebas, maka dx, dy, dan dz juga bebas sehingga diperoleh

f x +a ∅ x dx=0 f y + a ∅ y dy=0 f z + a ∅ z dz=0

BAB VI. INTEGRAL-INTEGRAL BERLIPAT

6.1 Integral Berlipat

Perhatikan suatu pelat datar berhingga (dua dimensi), dengan distribusi massa tak
seragam (non uniform) dalam daerah tertentu R dalam bidang xy (bidang kartesis xy). ρ = f
(x,y) adalah massa atau massa persatuan luas pada setiap titik (x,y).

Gambar 6.1. Daerah R pada bidang xy dengan elemen kecil σ i

Daerah R dibagi atas n buah elemen daerah kecil dan dengan meninjau sebuah titik
(xi, yi) didalam elemen daerah (i= 1,2,….n).

Massa setiap elemen daerah adalah :

∆mi=ρ|σ i|

38
= f (x i , y i)|σ i|...........................................................................................................(6.1)

|σ i| = luas elemen daerah σ i

Massa total (M) pelat dalam dearah R adalah :

∞ ∞
M ≅ ∑ ∆ mi = ∑ f ( x i , y i )|σ i|..........................................................................................(6.2)
i =1 i=1

Selanjutnya jika daerah σ i sangat kecil, maka |σ i|→ 0 dan jmlah daerah n→ ∞. Jika σ i

berbentuk segi empat ( ∆ x i dan ∆ y i), maka |σ i| = |∆ x i ∆ y i| sehingga :


M = lim ∑ f (x i , y i)|∆ x i ∆ y i|.........................................................................................(6.3)
n → ∞ i=1

Dimana : ∆ x i →0 , ∆ y i →0

Maka integral lipat dua fungsi f (x i , y i) dalam daerah R didefenisikan sebagai berikut :

∬ f ( x , y ) dxdy= lim ∑ f (x i , y i )|∆ x i ∆ yi| ....................................................................(6.4)


n→ ∞ i=1

Sifat integral lipat dua sebaai berikut :

1. Jika f = f(x,y) dan g = g(x,y), dua fungsi terdefenisikan pada daerah R, maka :

∬ ( f ± r ) dxdy=∬ fdxdy ±∬ gdxdy


2. Jika c sebuah tetapan, maka :

∬ ( cf ) dxdy = c∬ fdxdy
3. Jika R merupakan gabungan daerah R1 dan R2 atau R= R1 ∪ R2 dengan R1 ∩ R2 = c
sebuah kurva batas, maka :
❑ ❑

∬ ( f ) dxdy = ∬ fdxdy ± ∬ fdxdy


R1 R2

Defenisi daerah normal sebagai berikut :

1. Sumbu x, jika setiap garis sumbu x hanya memotong dua kurva batas R yang
fungsi koordinatnya y = y1 (x) dan y = y2 (x) tak berubah bentuk.
2. Sumbu y, jika setiap garis sumbu y hanya memotong dua kurva batas R yang
funsi koordinatnya x= x1(y) dan x = x2(y) tak berubah bentuk.

39
Integral Lipat Dua Sebagai Volume

Jika z = f (x,y) adalah sebuah persamaan permukaan, maka integral lipat dua sebagai
berikut :

V = ∬ zdxdy=∬ f ( x , y ) dxdy........................................................................................(6.5)

Adalah volume bagian ruang tegak antara daerah R pada bidang xy dengan permukaan z =
f(x,y)

Dengan cara yan sama diperoleh :

1. X = f (y,z) → v=∬ xdydz=∬ f (¿¿ y , z)dydz ¿ ¿...............................................(6.8)

2. Y = f (x,z) → v=∬ ydxdz=∬ f ( x , z ) dxdz........................................................(6.7)

Contoh

1 4
Hitunglah ∫ ∫ 3 xdydx
x=0 y=2

Penyelesaian

1 4 1 4

∫ ∫ 3 xdydx = ∫ 3 xdx ∫ dy
x=0 y=2
( 0
)( )
2

1 4
2
(|)
= ( 3 x /2 ¿|0 ) y
2

=3

6.2 Integral Lipat Tiga

Sifat Integral Lipat Tiga sebagai berikut :

1. Kelinieran
❑ ❑ ❑

∭ ( f ± g ) dxdydz=∭ fdxdydz ±∭ gdxdydz


v v v

2. Jika v = v1 ∪ v2 dan v1 ∩ v2 = S (suatu permukaan), maka :

40
❑ ❑ ❑

∭ ( f ) dxdydz=∭ fdxdydz ± ∭ f dxdydz


v v1 v2

Contoh

1 1 1
Hitunglah ∫ ∫ ∫ 8 xyz dxdydz
z=0 y=0 x=0

Penyelesaian :

1 1 1 1 1
1
∫∫∫ 8 xyz dxdydz = ∫ ∫ ( 4 x 2 yz ¿|0 ) dydz
z=0 y=0 x=0 z=0 y=0

1
1
= ∫ ( 2 y 2 z ¿|0 ) dz
z=0

=1

6.3 Aplikasi Integral Dalam Fisika

1. Jika f(x,y,z) = adalah masa benda yang menempati volume ruang v, maka massa total
benda adalah :

M = nlim
→∞
∑ ∆ mi= ρ ( x i y i z i ) d v i=∭ ρdv .........................................................(6.11)
i=1

2. Jika r (x,y,z) adalah jarak elemen massa ∆ mi dalam elemen volume ∆ v i ke garis L,
maka :
Momen inersianya ke sumbu L adalah :
∆ I =r 2(x i y i z i )∆ m
= r 2 (x i yi z i) ρ( x i y i z i)d v i
Momen inersia benda ke sumbu L adalah :
I L =lim ∑ r 2 ( x i y i z i) ρ(x i y i zi ) d v i = ∭ r 2 ρdv................................................(6.12)
n → ∞ i=l

Jika L adalah sumbu z, maka r2 = x2 + y2, momen lembam benda adalah :



2 2
I = ∭ (¿ x + y ) ρdv ¿........................................................................................(6.13)
v

Dengan cara yang sama, diperoleh untuk sumbu x dan y yaitu :



2 2
I = ∭ (¿ y + z ) ρdv ¿........................................................................................(6.14)
v

41

2 2
I = ∭ (¿ x + z ) ρdv ¿ .........................................................................................(6.15)
v

3. Pusat massa benda terhadap masing-masing bidang koordinat :

∫ x −¿ dM =∫ xdM ¿
∫ y −¿dM =∫ ydM ¿ ...................................................................................................(6.16)
∫ z −¿ dM =∫ zdM ¿

6.4. Transformasi Variabel Integral

a. Dalam dua dimensi


Andaikan dipunya suatu integral lipat dua :
I =∬ f ( x , y ) dxdy=¿ ∬ f ( x , y)|(dxxdy)|¿ ...................................................................(6.17)
Dapat diubah variabelnya yaitu dengan cara melakukan transformasi koordinat dari system
(x,y) ke system (u,v) menurut persamaan transformasi.
X=x (u,v)
Y = y (u,v).......................................................................................................................(6.18)
Maka setiap elemen diferensial vector bertransformasi menjadi :

dx= ( ∂∂ ux )du+( ∂∂ vx ) dv d ¿u = udu


∂y ∂y
dy =( ) du+(
v )
dv d −¿ v=vdv
∂u
Elemen luas dA dalam koordinat (u,v) adalah :
dA=|dxxdy|

= (|[ ∂∂ ux )du+( ∂∂ vx ) dv] x [( ∂∂ uy ) du+( ∂∂ yv )dv ]|


y
dA=|dxddy|=J x , ( u )
, v dudv .......................................................................................(6.19)

y
, v =det ∂u /∂ x ∂ u/∂ y ..................................................................................(6.20)
) [
(
J x,
u ∂ v /∂ x ∂ v /∂ y ]
J = faktor Jacobi yang bersangkutan
Transformasi koordinat yang memiliki invers
U = u (x,y)
V = v (x,y).......................................................................................................................(6.21)

42
v
J x , , y =det ∂ u/∂ x ∂ u/∂ y .................................................................................(6.22)
) [
( x ∂ v /∂ x ∂ v /∂ y ]
Karena elemen luas tak berubah, maka :
y y v
d −¿ A=dxdy=J x , ( u ) ( )(
, v |duxdv|=J x , , v J u , , y dxdy
u x )
Yang adalah taat azas jika :
y v y
(
J x,
u )( )
, v J u , , y =1 atau J x , , v =J ¿
x u ( )
b............................................................................................................................Dalam tiga dimensi
Suatu integral lipat tiga :

∭ f ( x , y , z ) dxdydz ......................................................................................................(6.23)
Dalam beberapa himpunan variable x,y,z.
Persamaan transformasi koordinat dari system (x,y,z) ke system (u,v,w) adalah :
X= x(u,v,w)
Y = y (u,v,w)...................................................................................................................(6.24)
Z = z (u,v,w)
Hubungan transformasi elemen volume dv = dxdydz dalam system koordinat (x,y,z)
dengan dv =dudvdw dalam system koordinat (u,v,w).
Elemen volume dv =dxdydz, dapat dipandang sebagai hasil kali tripel scalar :
Dv = (ds x dy ) dz
Dv = J (x,y,z/u,v,w) dudvdw
∂ x /∂u ∂ x /∂ v ∂ x /∂ w
( z
u ) [ ]
J x , y , , v , w =det ∂ y /∂ u ∂ y /∂ v ∂ y /∂ w ........................................................(6.25)
∂ z /∂ u ∂ z /∂ v ∂ z /∂ w

6.5. Sistem Koordinat Selinder dan Bola

a. Sistem Koordinat Silinder


Sistem koordinat silider merupakan perluasan system koordinat polar ( r, Ө) dalam
bidang xy, kedalam ruang tiga dimensi.

43
Gambar 6.5 Sistem koordinat selinder

Titik P dalam system koordinat kartesis dicirikan (x,y,z) dan dalam system
koordinat selinder dicirikan (r, Ө,z )

Persamaan transformasi dan koordinat kartesis (x,y,z) dengan koordinat selinder


adalah :
X= r cosӨ
Y = r sinӨ
Z=z
Hubungan elemen volume dv dalam system koordinat kartesis dan selinder adalah :
dv =( dxdydz )=r (drdθdz) ...............................................................................................(6.26)
Contoh
Hitunglah faktor Jacobi transformasi koordinat dari koordinat kartesis ke kordinat selinder :
X= r cosӨ
Y = r sinӨ
Z=z
Penyelesaian
∂ x /∂ r ∂ x /∂θ ∂ x /∂ z
( z
r ) [
J x , y , ,θ , z =det ∂ y / ∂ r ∂ y /θ ∂ y /∂ z
∂ z /∂r ∂ z /∂ θ ∂ z /∂ z ]
cosθ −r sinθ 0
( z
) [
J x , y , ,θ , z =det sin θ r cos θ 0
r
0 0 1 ]
44
z
(
J x , y , ,θ , z =r
r )
b. Sistem Koordinat Bola
Ditinjau titik asal koordinat 0 sebagai pusat simetri, maka titik P dengan koordinat
dalam system koordinat bola dicirikan dengan (r,θ , ∅ ¿

Gambar 6.6 Sistem Koordinat Bola

Persamaan transformasi koordinat dari system (x,y,z) ke system (r,θ , ∅ ¿ adalah :

X= r sinӨ cos ∅
Y = r sinӨ sin ∅..............................................................................................................(6.27)
Z= r cos Ө
Hubungan elemen volume dv dalam system koordinat kartesis dan bola adalah :
dv =( dxdydz ) r 2 sin θ(drdθd ∅) ........................................................................................(6.28)
BAB VII Fungsi Vektor Satu Variabel
Tinjau sebuah partikel yang bergerak dalam ruang berdimensi, koordinatnya
kedudukannya (x, y, z) selalu berubah, atau bergantung pada waktu t:

r = x(t) ^i + y(t)
^j + z(t) k^

= r(t)

45
Vektor kedudukan r(t) pada persamaan diatas adalah contoh fungsi vector satu
variabel, yang secara geometris menyatakan sebuah kurva C dalam ruang dengan parameter t.

Secara umum vector A = Ax(u) ^i + Ay(u) j + Az(t) k


^ ^ dengan ketiga
komponennya Ax, Ay, Az merupakan fungsi dari sebuah variabel u, yakni:

A = Ax(u) ^i + Ay(u)
^j + A (t) k^
z

= A (u)

Adalah sebuah fungsi variabel.

1. Differensial Fungsi Vektor Satu Variabel

Pada gambar (a), C adalah kurva lintasan benda. Misalkan pada saat t = t 1 benda
berada dititik P dengan vector kedudukan r(t1), dan pada saat t = t2 ia berada di titik Q dengan
vector kedudukan r(t2). Selisih kedua vector ini, yakni:

∆r = r(t2) - r(t1)

= [x(t2) - x(t1)] ^i + [y(t2) - y(t1)]


^j + [z(t ) - z(t )] k^
2 1

= ∆x ^i + ∆y
^j + ∆z k^

Disebut vektor perpindahan benda. ∆r adalah vector PQ . Maka, dalam selang waktu ∆t =

(t2-t1), kecepatan rata-rata v benda didefenisikan sebagai berikut:

∆r ∆x ∆y ^j + ( ∆ z ) k^
<v> = =( ) ^i + ( )
∆t ∆t ∆t ∆t

Jika ∆t dibuat sekecl mungkin, maka vector perpindahan ∆r yang bersangkutan


semakin menghampiri busur kurva lintasan C, seperti diperlihatkan pada gambar (b). bila
∆t0, maka vector ∆r  dr, yang kini berimpit dengan busur kurva dan arahnya sejajar garis
singgung kurva lintasan di r(t). pada keadaan limit ini, kecepatan rata-rata yang bersangkutan
praktis adalah kecepatan benda pada saat ketika kedudukannya di r(t), yang disebut kecepatan
sesaat atau kecepatan benda, yakni:

46
∆r ∆x ∆y ^j + ( lim ∆ z ) k^
v = lim = ( lim ) ^i + ( lim )
∆ t →0 ∆t ∆ t →0 ∆ t ∆ t →0 ∆ t ∆ t →0∆t

Rumus Diferensiasi

Jika A(u), B(u) dan C(u) adalah fungsi-fungsi vector diferensiabel dari scalar u, maka:

d dA dB
1. (A + B) = +
du du du
2. Jika ɸ(u) adalah sebuah fungsi diferensiabel dari u, maka:
d dɸ dA
(ɸA) = A+ɸ
du du du
d dA dB
3. (A.B) = .B + A.
du du du
d dA dB
4. (AxB) = xB + Ax
du du du
d dC dB dA dC
5. ( A . BxC )= A . Bx + A. Xc + x (Bx )
du du du du du
d dC dB dA dC
6. (AxBxC) = Ax (Bx ) + Ax ( xC+ x (Bx )
du du du du du

2. Gradien dan Turunan Arah


Tinjaulah sebuah medan scalar ɸ(x, y, z) yang didefenisikan dalam daerah D, misalkan
suhu dalam ruang. Diferensial totalnya, d ɸ diberikan oleh:

ɸ ɸ ɸ
dɸ = dx + dy + dz
x y z

ruas kanan dapat dituliskan dalam pernyataan hasil kali titik:

ɸ ^i + ɸ ^j + ɸ k^ ) . (dx ^i + dy ^j +dz k^ )
dɸ = (
x y z

ɸ ^j ( ɸ ) + k^ ( ɸ
ini adalah hasil kali titik antara vector dr dengan medan vector ^i (x) + y z
). Medan vector ini disebut gradient yang dilambangkan dengan gradient ɸ atau ∇ ɸ.
Secara defenisi:

∇ ɸ = grad ɸ = ^i ( ɸ ) + ^j ( ɸ ) + k^ ( ɸ )
x y z

Vektor Normal Permukaan

Tinjau sebuah permukaan S dalam ruang R3 yang persamaannya diberikan dalam


bentuk implisit: ɸ(x, y, z) = c, dengan c sebuah tetapan. Maka, pada permukaan S ini berlaku:

d ɸ=0 atau ∇ ɸ. dr = 0

47
karena koordinat (z, y, z) ∈ S, maka dr menyinggung permukaan setiap kurva pada
permukaan S, atay dengan kata lain, dr menyinggung permukaan S.

3. Divergensi dan Curlk


a. Divergensi

Andaikan suatu medan vector A (x, y, z) = ^i Ax +


^j A + k^ A terdefenisikan
y z

dan diferensiabel dalam suatu daerah tertentu dari ruang.

Divergensi A didefenisikan sebagai berikut

∇ . A ❑
= ( ^i X +
^j ❑ + k^ ❑ ) . ( ^i A + ^j A + k^ A )
Y Z x y z

∇ . A Ax A y Az
=( + + )
X X X

b. Curl
Jika A(x, y, z) adalah medan vector diferensiabel maka curl dari A didefenisikan sebagai
berikut:

∇ x A ❑
= ( ^i X +
^j ❑ + k^ ❑ ) x ( ^i A + ^j A + k^ A ) ∂
Y Z x y z

∇ x A ¿x ¿y ¿z
=
Ax Ay Az

4. Integral garis dan teorema Green pada bidang datar

Bila A dan ɸ masing-masing adalah medan vector dan medan scalar sembarang di
dalam ruang V maka bentuk bentuk integral:
b b b

∫ ❑.d r , ∫ ❑xd r , ∫ɸ d r
a a a

Yang dihitung dari titik a ke titik b mengikuti suatu lintasan C dinamakan integral-
integral garis.

Integral garis pada bidang datar dan teorema Green

Untuk memperlihatkan hubungan antara integral garis dengan rotasi dari suatu medan
vector, akan dihitung integral garis dari medan vector A mengelilingi empat persegi
panjang yang cukup kecil dengan ukuran ∆x dan ∆y, yang terletak pada bidang x y. integral

garis ∮ ❑ . d r berasal dari sumbangan-sumbangan sebagai berikut:


c

- Sepanjang AB : Ax∆x

48
Ax
- Sepanjang BC : (Ay + ∆x) ∆y
x
Ax
- Sepanjang CD : - (Ax + ∆y) ∆y
y
- Sepanjang DA : -Ay∆y
5. Integral luasan, integral volume dan teorema divergensi Gauss

Permukaan seluas S dibagi-bagi menjadi unsur-unsur luasan yang banyaknya tak terhingga.
Bila dianggap adalah nilai medan vector A di daerah unsur luasan nomor I (∆S i) maka
besaran:
n ❑
lim ∑ i . n^ i ∆Si ≡ ∬ ❑. n^ Ds
∆ S i i=t
s
n→

Dinamakan integral luasan dari medan vector A meliputi luasan S, dengan n^ adalah
vector satuan yang tegak lurus pada dS.

6. Teorema Green

Bila di dalam teorema Gauss diambil A = ɸ ∇ψ

Maka

∇ . A = ∇ . (ɸ ∇ψ ) = ɸ ∇ 2 ψ + ∇ ɸ. ∇ ψ

Sehingga diperoleh

∭¿¿ ɸ ∇ 2 ψ + ∇ ɸ. ∇ ψ ) . n^ dS
v

Yang dinamakan identitas Green I.

7. Teorema Stokes

49
Berlaku kaitan
❑ ❑ ❑ ❑

∮ ❑. d r = ∮ ❑. d r + ∮ ❑. d r + ∮ ❑. d r
ABC OAB OBC OCA

Sebab sumbangan-sumbangan yang berasal dari integral-integral sepanjang OA, OB dan OC


saling melenyapkan
❑ ❑

∮ ❑. d r = ∬ ¿ ¿x A )z dx dy
OAB OAB

❑ ❑

∮ ❑. d r = ∬ ¿ ¿x A )x dy dz
OBC OBC

❑ ❑

∮ ❑. d r = ∬ ¿ ¿x A )y dx
OCA OCA

BAB III

PEMBAHASAN

50
3.1. Kelebihan Buku

1. Didalam buku ini tidak terdapat salah pengetikan atau cetakan serta bahasa yang
mudah dipahami
2. Pembahasannya sangat jelas dan sesuai dengan materi yang dibahas
3. Buku ini beriskan banyak contoh soal serta latihan-latihan
4. Memiliki grafik yang membuat pembaca semakin mengerti
5. Kertas yang digunakan baik

3.2. Kekurangan Buku


1. Didalam buku tidak terdapat daftar pustaka sehingga pembaca tidak mendapat
informasi lain dari materi tersebut
2. Cover buku kurang menarik
3. Ada beberapa bab yang sulit di pahami dengan kata-kata yang kurang dimengerti

BAB IV

PENUTUP

51
4.1. Kesimpulan

Jadi buku yang berjudul “Matematika Fisika” ini memiliki kekurangan serta
kelebihan. Walaupun demikian, buku ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa sebagai salah
satu sumber belajar dan digunakan untuk menambah wawasan serta pengetahuan yang lebih
mendalam lagi tentang Fisika dan Matematika dan akan berguna jika kita melanjutkan
pendidikan S2 pada jurusan fisika.

4.2. Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, ke depannya penulis harus
lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang materi di atas dengan menulis didalamnya
sumber - sumber yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan. Materi tentang Fisika
Matematika ini harus dibaca dan diterapkan dalam pembelajaran Fisika dan juga Matematika
agar dapat menambah pengetahuan dan wawasan yang lebih luas tentang Fisika ataupun
Matematika.

Mohon maaf bila ada salah kata dan penulisan makalah. Untuk saran bisa berisi kritik
yang membangun dan saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap
kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan.

52

Anda mungkin juga menyukai