Anda di halaman 1dari 17

UTS PROPOSAL

“PENGARUH POLA ASUH TERHADAP STATUS


GIZI BAYI 0-12 BULAN”

Disusun Oleh :
Akbar sa'bani Nasution
P01031119086
DIII/5B

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MEDAN
PROGRAM STUDI DIPLOMA III GIZI
T.A 2020/2021
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Periode kritis atau periode emas pada tumbuh kembang bayi adalah selama berada dalam
kandungan ibu sampai 2 tahun pertama kehidupan setelah lahir atau sering disebut dengan
100 HPK. Pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan pada bayi terbesar terjadi selama
periode kritis tersebut atau pada periode emas yaitu sampai usia 2 tahun . Setiap bayi dalam
periode kritis atau periode emas ini harus memperoleh asupan gizi sesuai kebutuhannya .
Jika asupan tidak terpenuhi, kebutuhan gizi bayi selama periode kritis ini akan menyebabkan
terjadinya gangguan tumbuh- kembang pada bayi tersebut. Jika anak yang sudah mengalami
gangguan gizi yang terjadi pada periode ini dapat bersifat permanen, tidak dapat dipulihkan
walaupun kebutuhan gizi pada masa selanjutnya terpenuhi sesuai kebutuhannya .(Widyaswari
et al., 2011)
Menurut Riskesdas pada tahun 2010, prevalensi kekurangan gizi pada balita di Indonesia
sebesar 17,9%. Meski demikian, angka tersebut masih diatas target Millenium Development
Goals (MDGs) 2015, yaitu sebesar 15,5% (Bappenas, 2010). Masalah gizi buruk dan gizi
kurang sangat tinggi prevalensi nya dan menjadi masalah besar beberapa tahun terakhir ini.
(Widyaswari et al., 2011)
Sampai saat ini masalah gizi pada balita masih merupakan tantangan yang harus diatasi
dengan serius, diantaranya masalah gizi kurang dan buruk serta balita pendek. Data
Kementerian Kesehatan tahun 2009–2010 menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang pada
tahun 1989 sebesar 31% di mana upaya yang baik berhasil diturunkan menjadi 24,5% di
tahun 2005, kemudian menjadi 18,4% pada tahun 2007 dan 17,9% pada tahun 2010.
Demikian gizi buruk prevalensinya menurun dari 5,5% pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada
tahun 2010, sedangkan target yang harus dicapai pada tahun 2014 adalah 3,5%.(Merryana &
Vita, 2013)
Kesuksesan dalam pemberian ASI pada anak tidak hanya di pengarauhi oleh kesiapan
secara fisik dan persiapan mental oleh seorang ibu akan tetapi banyak dipengaruhi oleh pihak
dari tenaga medis dan juga pengaruh dari keluarga oleh ibu tersebut.(Wati & Muniroh, 2018).
Penelitian pada suatu daerah Uganda terdapat bukti bahwa ibu ibu yang sedang menyusi lebih
memahami atau menerima support dari teman sebaya atau juga dari sesorang konselor yang
mereka anggap dapat membantu mereka dalam pengetahuan dalam menyusui.(Wati &
Muniroh, 2018)
Jelas sekali bahwa faktor penting dalam kesehatan anak adalah perilaku ibu, sebagai
orang yang berperan dalam pengasuhan anak. Moallemi dkk (2007) memperlihatkan adanya
hubungan antara perilaku ibu dengan kesehatan anak usia 0-60 bulan.Tetapi pengasuhan ibu
terhadap anak selalu tidak seimbang dikarenkan ibu sangat sibuk oleh karena ibu sedang
bekerja . Ibu yang bekerja berpengaruh terhadap status gizi anak usia 0-60 bulan. Kegiatan
ibu yang bekerja diluar rumah, menyebabkan frekuensi bertemu kepada anak berkurang,
akibatnya ibu tidak dapat secara langsung mengatur pola pemberian makanan pada anak
sehari-hari. Penelitian Sumarni dkk (2013), menunjukkan bahwa ibu yang bekerja status gizi
anak sebagian besar gizi kurang dan yang tidak bekerja menunjukkan gizi baik.
(Kusumaningtyas & Deliana, 2018)
Dari keterangan di atas, diketahui bahwa masalah gizi merupakan masalah terbesar bayi
balita di Indonesia, selain itu beberapa penelitian mengungkapkan mengenai hubungan antara
waktu pemberian MP-ASI dan status gizi balita masih mengasilkan yang bervariasi. Oleh
karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui dalam tentang hubungan pemberian MP-ASI
dini dengan status gizi pada bayi usia 6-24 bulan.(Widyaswari et al., 2011)
Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya cakupan ASI eksklusif yaitu masih
kurangnya dukungan keluarga itu pengaruhnya terhadap keberhasilan ASI eksklusif.
Dukungan keluarga sangat berdampak besar terhadap peningkatan rasa percaya diri atau
menjadi motivasi ibu dalam memberikan ASI kepada anak. Menurut Friedman, dukungan
keluarga kepada ibu yang menyusui terdiri dari dukungan penilaian, instrumental,
informasional, dan emosional. Sering kali dukungan informasional dari keluarga kepada ibu
yang menyusui kurang mempengaruhi ibu dalam pemberian ASI eksklusif, seperti
memberikan saran untuk pemberian makanan dan susu formula kepada bayinya sebelum
bayinya berusia 6 bulan, yang akan mengakibatkan ibu menjadi tidak paham atau gagal
dalam memberikan ASI kepada bayi.
Dukungan yang diberikan oleh keluarga merupakan faktor pendukung pada kegiatan yang
bersifat emosional dan psikologis yang diberikan pada ibu menyusui, dimana sekitar 80%
sampai 90% produksi ASI ditentukan oleh keadaan emosi ibu yang berkaitan secara refleks
terhadap hormone oksitosin ibu yang berupa pikiran, perasaan, dan sensasi. Apabila hal
tersebut meningkat maka akan memperlancar produksi ASI dan juga membantu si bayi untuk
mendapatkan ASI yang sangat baik .
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan yang sesuai dengan usia
bayi dapat mempengaruhi pertumbuhan bayi dan balita yang ditunjukkan dengan indikator
pertumbuhan salah satunya status gizi. Pemberian makanan pada bayi dan balita yang tidak
optimal berhubungan dengan pertumbuhan linear yang mengakibatkan tidak normal. Bayi
yang lebih sering diberikan susu formula sebelum usia 6 bulan akan mempunyai risiko untuk
mengalami obesitas 2.5 kali yang lebih tinggi daripada bayi yang lebih sering diberikan ASI.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pola asuh makan yang sesuai dapat memperbaiki
status gizi bayi atau balita.
Selain pola asuk makan, karakteristik yang melakukanpola asuh makan yang utama dalam
hal ini adalah seorang ibu, dan juga akan dapat mempengaruhi pertumbuhan bayi dan balita.
Balita yang berisiko stunting akan banyak terjadi pada ibu yang tidak berpendidikan
dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan. Penelitian pada salah satu puskesmas
menyatakan bahwa pendidikan,pekerjaan ibu dan pendapatan keluarga sangat berpengaruh
terhadap status gizi balita. (Triatmaja, 2017)

B. Rumusan Masalah
1. Apakah waktu pengenalan MP-ASI yang terlalu awal dapat menimbulkan masalah?
2. Apakah terdapat hubungan antara waktu pengenalan MP-ASI dengan staus gizi
pada bayi usia 6-24 bulan?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi
bayi usia 6-12 bulan ditinjau dari sosiodemografi ibu dan pola asuh makan.

D. Manfaat Penelitian
1. Aspek Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
mengenai hubungan antara waktu pengenalan MP-ASI dengan status gizi pada bayi
usia 6-24 bulan.
2. Aspek Aplikatif Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh masyarakat luas
khususnya ibu-ibu sebagai acuan dalam pembeian ASI eksklusif yang cukup dan tepat
waktu dalam pengenalan MP-ASI pada bayi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Status Gizi
a. Definisi
Menurut Soekirman (2000) status gizi mengacu pada keadaan Kesehatan fisik
seseorang atau sekelompok orang ditentukan oleh satu atau dua kombinasi takaran gizi
tertentu, dan disesuaikan dengan indikator yang telah ditentukan. Sedangkan menurut
penelitian Suhardjo et al. (2003), status gizi adalah keadaan tubuh manusia akibat
penggunaan, penyerapan, dan penggunaan makanan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa status gizi merupakan keadaan fisik yang disebabkan oleh pemanfaatan, penyerapan
dan penggunaan pangan oleh masyarakat, dan kondisi tersebut dapat diukur dengan
beberapa pengukuran gizi.
b. Penilaian status gizi
Penilaian status gizi dapat diakukan dengan cara langsung maupun dengan cara
tidak langsung.
1) Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan dengan empat cara:
a) Antropometri
Antropometri adalah pengukuran ukuran tubuh manusia dan komposisi tubuh
dari berbagai usia dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk mengamati
ketidakseimbangan asupan protein dan energi yang terjadi pada pola pertumbuhan tubuh,
maupun proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. b) Klinis
Pendekatan klinis didasarkan pada perubahan yang terjadi akibat kekurangan gizi pada
manusia. Survei ini bertujuan untuk mendeteksi dengan cepat tanda-tanda klinis umum dari
satu atau lebih kekurangan nutrisi.
b) Klinis
Pendekatan klinis didasarkan pada perubahan yang terjadi akibat kekurangan
gizi pada manusia. Survei ini bertujuan untuk mendeteksi dengan cepat tanda-tanda klinis
umum dari satu atau lebih kekurangan nutrisi.
c) Biokimia
Pengkajian secara biokimia adalah pengukuran atau pemeriksaan spesimen uji
laboratorium dari berbagai jaringan tubuh manusia (seperti darah, urin, feses, hati, dan
otot). Penilaian status gizi biokimia dapat berbuat lebih banyak untuk membantu
mengidentifikasi kekurangan nutrisi tertentu.
d) Biofisik
Penentuan status gizi biofisik merupakan metode penentuan status gizi dengan
melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan mengamati perubahan struktur
jaringan.
2) Secara tidak langsung, terdapat tiga cara penilaian status gizi secara tidak
langsung
a) Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi pangan merupakan metode untuk menentukan status gizi secara tidak
langsung dengan melihat jenis pangan, ukuran pangan dan gizi yang dikonsumsi. Survei ini
dapat menentukan kelebihan dan kekurangan nutrisi. Survei dilakukan oleh responden yang
melakukan recall makanan sehari sebelum recall.
b) Statistik vital
Statistik penting Statistik vital diukur dengan menganalisis beberapa statistik kesehatan
dari puskesmas dan rumah sakit, seperti mortalitas menurut umur, mortalitas dan morbiditas
berdasarkan penyebab tertentu, mortalitas berdasarkan usia rentan, dll. .
c) Faktor ekologi
Faktor ekologi dianggap sebagai indikator yang sangat penting untuk
menentukan penyebab gizi buruk di masyarakat, dan menjadi dasar program intervensi gizi.
Di masyarakat, metode pengukuran status gizi yang paling umum digunakan
adalah antropometri gizi. Evaluasi dengan antropometri dilakukan dengan pengukuran
menggunakan beberapa parameter. Parameter yang digunakan dalam pengukuran status gizi
adalah pengukuran individu tubuh manusia, meliputi: umur (U), tinggi badan atau panjang
(TB atau PB), berat badan (BB), lingkar kepala (LIKA), lingkar lengan atas (LILA), kulit,
Lemak di sekitar dada dan bokong memang tebal. Rasio antara beberapa parameter yang
telah diukur disebut dengan indeks antropometri (Supariasa et al., 2002).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2010, indikator antropometri
saat ini yang digunakan untuk menilai status gizi anak mengacu pada standar World Health
Organization (WHO) 2005, dan indikator antropometri yang digunakan untuk menilai
status gizi masyarakat adalah umur dan berat badan (BB / U) , Tinggi badan atau panjang
badan berdasarkan usia (TB / U atau PB / U), berat badan berdasarkan tinggi badan atau
panjang badan (BW / TB atau BW / PB), dan indeks massa tubuh (BMI) untuk usia
menggunakan persentil dan kurva z / U) -score preset.
Menurut indikator antropometri, kategori dan ambang status gizi yang
ditetapkan oleh WHO 2005. Antropometri digunakan untuk menilai status gizi, salah
satunya dengan menghitung skor Z dari berat badan / tinggi badan atau dengan menghitung
IMT / umur (Yussac et al., 2007). Metrik yang dipilih dalam penelitian ini adalah berat
badan / tinggi badan, karena indeks ini dapat menggambarkan rasio berat badan terhadap
pertumbuhan tulang pada pasien. (Hediger et al., 2001).
Selain itu, indeks BB/TB juga dapat menggambarkan status gizi saat ini. Penghitungan z-
score dilakukan dengan menggunakan rumus:

Z-score = BB aktual - BB median


Simpang baku
dengan:
Z-score : Nilai simpang baku yang menunjukkan status gizi

BB aktual BB median: Berat badan balita hasil penimbangan : Berat badan standar

Simpang baku : Selisih antara BB median dengan +1/-1 standar deviasi (Depkes RI,
2002)
kategori BB/TB yaitu overweight apabila BB/TB ≥ 85th percentile tetapi < 95th
percentile, obesitas apabila BB/TB ≥ 95th percentile, dan severe obesitas apabila
BB/TB ≥ 99th percentile (Benson et al, 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak dibedakan menjadi faktor internal dan
faktor eksternal.
a) Faktor internal
adalah faktor yang terdapat dari dalam tubuh manusia sendiri yang berpengaruh terhadap
status gizi, seperti faktor genetik, dan faktor endokrin.
b) Faktor eksternal
adalah faktor dari luar tubuh yang berpengaruh terhadap status gizi manusia, antara lain:
i. Asupan makanan
Pangan telah menjadi peran penting dalam tumbuh kembang anak, karena pangan
merupakan sumber energi untuk segala aktivitas dan aktivitas sehari-hari yang menunjang
anak dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Energi dalam tubuh manusia dapat dihasilkan
dari pembakaran karbohidrat, protein, dan lemak di dalam tubuh. Oleh karena itu, agar
manusia memiliki energi yang cukup maka perlu memasukkan zat makanan yang cukup ke
dalam tubuh manusia (Andarwati, 2007).
ii. Infeksi
Malnutrisi dan infeksi adalah pasangan yang sangat erat kaitannya. Infeksi
dapat memperburuk status gizi dengan berbagai cara, yaitu mempengaruhi nafsu makan,
dan juga dapat menyebabkan kehilangan makanan akibat diare atau muntah, atau
mempengaruhi proses metabolisme dalam tubuh; sebaliknya gangguan gizi akan
memperburuk kemampuan anak dalam mengatasi penyakit infeksi (Andarwati, 2007 ).
iii. Tingkat pendidikan ibu
Tingkat pendidikan dapat dikaitkan dengan kemampuan menyerap dan
menerima informasi kesehatan dan kemampuan berpartisipasi dalam pembangunan yang
sehat (Dinas Kesehatan Jawa Tengah, 2006). Pendidikan ibu merupakan faktor penting
yang mempengaruhi status gizi anak. Tingkat pendidikan ibu sangat erat kaitannya dengan
tingkat pemahaman tentang kesehatan (Andarwati, 2007).
iv. Pengetahuan ibu tentang gizi
Pengetahuan gizi yang baik akan memungkinkan orang menyusun menu
makanan yang baik. Semakin berkembang pengetahuan ibu, semakin memahami jenis dan
jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarganya (termasuk anak-anak).
Hal tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan anggota keluarga sehingga dapat
mengurangi atau mencegah terjadinya gangguan gizi dalam keluarga (Andarwati, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Muniarti (2010) mendukung pernyataan di atas. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap
ibu terhadap MP-ASI dengan status gizi balita.
v. Peran ibu
Para ibu yang bekerja tidak bisa lagi mengasuh anak-anaknya dengan segenap
tenaga. Kesibukan dan kesibukannya membuat para ibu kurang perhatian saat menyiapkan
hidangan yang cocok untuk anaknya (Andarwati, 2007).
2. Pola Asuh Makan

Faktor pola asuh makan balita BGM yang terkait dengan kebiasaan makan, kesehatan
dan gizi balita di antaranya sebagai berikut:

a. Pola Makan
Selain ASI, jenis makanan yang diberikan pada bayi baru lahir adalah susu formula
(51,1%), dan jenis minuman yang diberikan adalah air gula (17,8%), air dengan madu
(12,2%), susu kental manis (2,2%) dan dilumatkan / dikerok. Pisang pecah (1.1%).
Memberikan susu formula untuk bayi terbanyak di Semarang (58,7%), menjadikan wilayah
tersebut paling banyak dicampur airnya dengan madu. Sumenep, Kota Semarang dan Kabu.
Di Kabupaten Sumenep pada tahun 2011 Kabupaten Gunung Mas menyumbang 45,8%,
sedangkan di Kabupaten Gunung Mas pasokan air madu campur paling besar (24,1%).

Jenis makanan selain ASI saat lahir. Jumlah ibu yang menjalani ASI pasca
persalinan sebesar 85,6%, tertinggi di Kota Semarang sebesar 93,1%, dan terendah di
Kabupaten Sumenep sebesar 75%. Berdasarkan waktu pemberian ASI pertama
menunjukkan bahwa 12,2% ibu yang diberikan ASI pada saat bayi baru lahir rata-rata
diberikan ASI, dimana 77,8% ibu memberikan ASI dari lima (lima) jam sampai satu (satu)
hari setelah bayi lahir sedangkan baru berusia 10 tahun. 0% setelah satu hari melahirkan.
Lama pemberian ASI pada anak usia 1 sampai 2 tahun, namun 23,3% ibu masih
memberikan ASI kepada balita di atas 2 tahun, dan 10% balita mendapatkan ASI dari usia 6
bulan sampai dengan 1 (satu) tahun. Tingkat pemberian makan adalah 7,8%. Yang minum
ASI kurang dari enam bulan. Di antara ibu balita, 34,4% ASI tidak bermasalah, tetapi
18,9% ASI bermasalah karena ASI sedikit, 13,3% ASI tidak keluar (13,3%), dan 10% ASI
Anak-anak itu karena anak kecil tidak ingin ASI tertular karena putingnya.

3. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)

a. Definisi

Menurut Departemen Kesehatan (2006), MP-ASI adalah makanan atau minuman


yang mengandung zat gizi dan diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan untuk
memenuhi kebutuhan gizi selain ASI. Makanan pelengkap disebut makanan pelengkap.
Selain harus memiliki sumber kalori dan protein yang cukup, juga harus mengandung
beberapa zat gizi mikro yang penting untuk bayi, seperti zat besi, vitamin, asam folat,
yodium, dll (Grummer-Strawn et al., 2008) .

MP-ASI merupakan proses transisi dari asupan susu murni ke makanan semi padat.
Proses ini membutuhkan keterampilan motorik oral. Dengan memindahkan makanan dari
depan lidah ke belakang lidah, keterampilan motorik mulut berkembang dari refleks
menghisap menjadi menelan makanan dalam bentuk non-cair (Ritasari, 2009)

b. Tujuan pemberian MP-ASI


Tujuan pemberian makanan tambahan adalah untuk mencapai pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal, serta mencegah gizi buruk yang disebabkan oleh kurangnya
zat gizi dalam ASI. Pemberian makanan tambahan juga dapat mencegah risiko malnutrisi
dan defisiensi mikronutrien (zat besi, seng, kalsium, vitamin A, vitamin C dan asam folat),
perbedaan energi dengan zat gizi, menjaga kesehatan, mencegah penyakit, serta membantu
olah tubuh, pikiran, dan mental. Mengembangkan dan membina kebiasaan hidup pandai
makan, serta mengenalkan berbagai bahan makanan sesuai dengan kondisi fisiologis bayi
(Ritasari, 2009).
c. Frekuensi pemberian MP-ASI
Kebutuhan gizi bayi usia 6-12 bulan adalah 650 kalori dan 16 gram protein,
sedangkan kebutuhan gizi anak usia 12-24 bulan adalah 850 kalori dan 20 gram protein.
Kandungan gizi pada Air Susu Ibu (ASI) adalah 400 kalori dan 10 gram protein, oleh
karena itu untuk memenuhi kebutuhan gizi anak selain ASI juga harus ditambah makanan
pendamping (Depkes, 2006).
MP-ASI terbuat dari bahan makanan pokok dan diolah khusus untuk bayi. Sebelum
anak berumur 12 bulan, berikan makanan tambahan 2-3 kali sehari, ditambah 1-2 macam
jajan. Dan ditingkatkan 3-5 kali sehari sebelum anak berumur 24 bulan (Kemenkes, 2010).
Gizi sehari-hari, terutama energi dan protein, yang harus disediakan oleh makanan
tambahan lokal adalah 250 kalori, 6-8 gram protein untuk bayi usia 6-12 bulan, dan 12-15
gram untuk anak usia 12-24 tahun dengan 450 kalori. 
d. Jenis MP-ASI
Menurut cara pengolahannya, terdapat dua jenis makanan pendamping yaitu hasil
olahan pabrik atau pangan yang disebut MP-ASI buatan, dan pangan yang diolah di rumah
atau disebut MP-ASI lokal (Depkes, 2006). Sedangkan menurut konsistensinya, MP-ASI
dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
1) Makanan lumat
Makanan bubuk Ini adalah makanan yang terlihat tidak rata setelah dihancurkan
atau disaring. Misalnya: bubur susu, bubur sumsum tulang, pisang saring kerik, pepaya
saring, tomat saring, nasi saring, dll.
2) Makanan lunak
Ini adalah makanan yang dimasak dengan banyak air dan terlihat berair. Misalnya:
bubur nasi, bubur ayam, nasi dan lain sebagainya.
3) Makanan padat,
Merupakan makanan empuk yang tidak tampak hidung meler, biasa disebut
makanan keluarga. Misalnya: lontong, nasi tim, biskuit, dll. Penanganannya di rumah atau
disebut MP-ASI setempat (Depkes, 2006). Biasa disebut makanan keluarga. Contoh: kue
beras, nasi regu, biskuit, dll.

e. Waktu Pengenalan MP-ASI


Pengenalan dan pemberian makanan tambahan harus dilakukan tepat waktu, dan
secara bertahap ditambah dalam bentuk dan kuantitas. Ini untuk menyesuaikan kemampuan
alat pencernaan bayi dalam menerima MP-ASI. Jika makanan padat ditambahkan sebelum
sistem pencernaan bayi siap menerima makanan padat, makanan tersebut tidak akan dicerna
dengan baik dan meningkatkan risiko gangguan pencernaan.
Tubuh bayi baru lahir tidak memiliki pencernaan protein yang lengkap. Amilase
(enzim yang diproduksi oleh pankreas) tidak mencapai tingkat yang cukup untuk mencerna
makanan mentah sampai usia sekitar 6 bulan. Enzim pencernaan karbohidrat seperti
maltase, isomaltase dan sukrase tidak mencapai tingkat dewasa 7 bulan lalu. Bayi juga
mengandung sedikit lipase dan garam empedu, sehingga pencernaan lemak tidak mencapai
tingkat dewasa sebelum usia 6-9 bulan (Ammoury, 2010).
Selain harus diberikan pada waktu yang tepat, jenis MP-ASI yang diberikan juga
akan disesuaikan dengan usia bayi. Bayi usia 0-6 bulan sebaiknya hanya menerima ASI dan
tidak boleh ada makanan lain yang ditambahkan. Umur 6-9 bulan, menyusui secara
bergantian dan makanan yang dihancurkan. Bayi usia 9 hingga 12 bulan dapat memilih ASI
dan makanan lunak, sedangkan bayi usia 12 hingga 24 bulan dapat memilih ASI dan
makanan padat (Kementerian Kesehatan, 2010). Indikator bayi siap menerima makanan
padat antara lain:
1) Bayi bisa duduk tegak tanpa penyangga
2) Refleks lidah bayi menghilang dan tidak secara otomatis mendorong makanan
padat keluar dari mulut dengan lidah.
3) Bayi sudah siap dan ingin mengunyah
4) Bayi menunjukkan minat pada makanan dengan mencoba memasukkan makanan
ke dalam mulutnya (Ritasari, 2009)
Pada tahun 1995, Departemen Kesehatan merekomendasikan pemberian ASI
eksklusif sejak lahir sampai dengan usia 4 bulan, namun sejak tahun 2005 telah
merekomendasikan pemberian ASI eksklusif sebelum bayi berusia 6 bulan. Di Indonesia,
prevalensi pengenalan makanan pendamping prematur tergolong tinggi, yaitu sebelum bayi
berusia 6 bulan masih terhitung cukup tinggi yaitu 30,4% (Bappenas, 2010).
f. Pemberian MP-ASI dini
Pemberian makanan pendamping yang terlalu cepat dapat merusak kualitas,
kuantitas dan keamanan makanan bayi. Selain itu, sama halnya dengan membuka pintu bagi
berbagai penyakit, apalagi jika tidak ada tindakan sanitasi dapat meningkatkan kejadian
infeksi pada bayi. Pemberian makanan bayi sebelum usia 6 bulan akan membawa risiko
sebagai berikut: a) Anak pada usia ini tidak membutuhkan makanan lain. Makanan seperti
ini dapat menggantikan ASI, jika diberi makanan maka anak akan lebih sedikit minum ASI,
dan ibu akan lebih sedikit minum ASI, sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi anak
(Wati & Muniroh, 2018)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bayi dari usia 6-12 bulan di Desa Sigumpar, Kecamatan
Sigumpar Kabupaten Toba. Peninajuan lokasi serta izin penelitian dilakukan pada bulan
Oktober dan November 2020. Sedangkan pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei 2021

B. Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian adalah ini bersifat observasional dengan rancangan penelitian yang
digunakan adalah cross sectional yaitu dengan meneliti variable terikat dan variable bebas
secara bersamaan.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini seluru bayi yang usia 6-12 bulan di Desa Sigumpar
Kecamatan Sigumpar berjumlah 253 orang.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari
karakteristik yang dimiliki populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah bayi yang
uisa 6-12 bulan yang ada di Desa Sigumpar Kecamatan Sigumpar.
Jumlah sampel dihitung dengan rumus:
N
n=
1+ N (e)2

Keterangan :
n : Jumlah anggota sampel
N : jumlah populasi
e : tingkat kesalahan 10%

253 orang
n=
1 + 253 (10%)2

253 orang
n=
1 + 2,53

253 orang
n= = 72 orang
3,53

D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah bayi-bayi yang datang saat penimbangan berat badan di
Puskesmas dan Posyandu. Sampel yang digunakan adalah bayi yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi yang ditetapkan sebagai berikut:
1. Kriteria inklusi
a. Laki-laki atau perempuan
b. Berusia antara 6-24 bulan
c. Bersedia untuk menjadi sampel penelitian

2. Kriteria eksklusi

a. Bayi dengan berat lahir rendah ( < 2500 gr)

b. Bayi yang sedang menderita penyakit dalam 1 minggu terakhir.

E. Sumber Data

Pengukuran variabel independen (dukungan keluarga, status pekerjaan ibu,


pendidikan, dan pengetahuan ibu tentang ASI) dan variabel dependen (pemberian ASI
eksklusif) menggunakan kuisioner yang telah diuji validitas dan reliabilitas.

F. Sasaran Penelitian
Penelitian ini digunakan sampel sebanyak 72 ibu yang memiliki bayi usia 6-12 bulan
di Desa Kemantren Kecamantan Jabung Kabupaten Malang.(Yuseva et al., 2017)

G. Teknik Sampling

Pengambilan sampling dilakukan secara purposive random sampling,yaitu


pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan. Pengambilan sampel dilakukan sedemikian
rupa sehingga kewakilannya ditentukan oleh peneliti berdasarkan kriteria-kriteria yang telah
ditentukan.Kelompok sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah balita yang datang
ke puskesmas dan posyandu (Budiarto, 2004). Untuk menentukan jumlah sampel minimal
yang akan digunakan dalam(Sohimah & Lestari, 2017).

a. Analisis Bivariat

Pemilihan kandidat variabel multivariat dilakukan dengan analisis bivariat dengan


kriteria nilai p ≤ 0,25. Hanya variabel pendidikan, jumlah keluarga, dan pola makan yang
tidak memenuhi kriteria kandidat model ter- sebut (nilai p = 1,00), selebihnya memenuhi
kriteria(Kusumawati & Rahardjo, 2012)

b. Analisis Multivariat

Hasil analisis regresi logistik ganda ditemukan varia- bel yang berpengaruh secara
bermakna secara multivari- at terhadap gizi buruk meliputi infeksi, pola asuh makanan,
pendapatan, dan pemanfaatan pelayanan ke- sehatan. Faktor yang paling berpengaruh adalah
peman- faatan pelayanan kesehatan dengan nilai p = 0,000 dan nilai odds ratio (OR) sebesar
12,49

penelitian cross sectional, digunakan rumus Snedecor dan Cochran sebagai berikut:

n= zα

2.p.q d2

Dimana:

n = Besar sampel

p = Perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti atau paparan pada populasi. Bila tidak
diketahui prevalensi penyakit atau paparan pada populasi, maka p = 0.05

q = 1-p

Zα= Nilai distribusi normal standar untuk uji dua sisi pada tingkat kemaknaan α. Misalnya
1.96 untuk α 0.05

d = Penyimpangan thd populasi atau derajat ketepatan yang diinginkan, biasanya 0.05 atau
0.001(Budiarto, 2003)

Sehingga didapat jumlah sampel minimal adalah sebagai berikut:


n =(1.96)2(0.05)(0.95)

(0.05)2

= 72,9904

= 73 anak.

DAFTAR PUSTAKA

Hersoni, S. (2019). PENGARUH PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI) EKSLUSIF


TERHADAP KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA
BAYI USIA 6-12 BULAN DI RAB RSU dr. SOEKARJDO KOTA TASIKMALAYA.
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada: Jurnal Ilmu-Ilmu Keperawatan, Analis
Kesehatan Dan Farmasi, 19(1), 56–64. https://doi.org/10.36465/jkbth.v19i1.450
Kusumaningtyas, D. E., & Deliana, S. M. (2018). Pola Pemberian Makanan Terhadap Status
Gizi Usia 12-24 Bulan pada Ibu Bekerja. Public Health Perspective Journal, 2(2), 155–
167.
Kusumawati, E., & Rahardjo, S. (2012). Pengaruh Pelayanan Kesehatan terhadap Gizi Buruk
Anak Usia 6 _ 24 Bulan. Kesmas: National Public Health Journal, 6(4), 158.
https://doi.org/10.21109/kesmas.v6i4.93
Merryana, A., & Vita, K. (2013). POLA ASUH MAKAN PADA BALITA DENGAN
STATUS GIZI KURANG DI JAWA TIMUR, JAWA TENGAH DAN KALIMANTAN
TENGAH,TAHUN 2011 (Feeding Pattern for Under Five Children with Malnutrition
Status in East Java, West Java, and Central Kalimantan, Year 2011). Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan, 16(2), 185–193.
Sohimah, & Lestari, Y. A. (2017). Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Pemberian Air Susu
Ibu (ASI) Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Cilacap Tengah I Kabupaten Cilacap
Tahun 2017. Bidan Prada : Jurnal Ilmiah Kebidanan, 8(2), 125–137.
http://ojs.akbidylpp.ac.id/index.php/Prada/article/download/313/225
Triatmaja, N. T. (2017). Status Gizi Bayi Usia 6-12 Bulan di Kota Bogor Tahun 2015 ditinjau
dari Pemberian Makan dan Sosiodemografi Ibu. Buletin Penelitian Kesehatan, 45(1),
37–44. https://doi.org/10.22435/bpk.v45i1.7308.37-44
Wati, N. H., & Muniroh, L. (2018). Pengaruh Kelompok Pendukung Air Susu Ibu (Kp-Asi)
Terhadap Perilaku Pemberian Asi Eksklusif Dan Status Gizi Bayi 6-12 Bulan. Media
Gizi Indonesia, 13(1), 33. https://doi.org/10.20473/mgi.v13i1.33-40
Widyaswari, R., Kedokteran, F., & Maret, U. S. (2011). perpustakaan . uns . ac . id.
Yuseva, S., Prastyaningrum, V. Y., Kurniasari, P., & Mustarina. (2017). Faktor yang
mempengaruhi keberhasilan ASI eksklusif. Journal of Issues in Midwifery, 1(April), 19–
29.

Anda mungkin juga menyukai