Anda di halaman 1dari 9

Teori faktor pendorong dan faktor penarik migrasi seringkali digunakan untuk analisis

penyebab migrasi desa-kota. Faktor pendorong adalah hal yang disebabkan karena kondisi di
wilayah asal, sedangkan faktor penarik ditemukan di wilayah tujuan (). Faktor penarik menarik
perhatian individu dengan lokasi geografisnya yang memiliki kondisi pekerjaan, keamanan sosial,
dan ledakan ekonomi yang lebih baik (). Faktor pendorong dapat disebabkan karna pemerintah
yang buruk dan pengangguran yang dapat mendorong seseorang bermigrasi misalnya ().

Tipe Migran Permintaan-tarikan Suplai-dorongan Jaringan/lainnya


Ekonomi Lapangan pekerjaan Pengangguran atau Pekerjaan dan aliran
underemployment informasi
(underemployment
yang dimaksud adalah
ART yang bekerja
kurang dari 35
jam/lebih dalam
seminggu) (Bappenas,
2018), serta masalah
gaji yang rendah
Nonekonomi Persatuan keluarga Kabur dari peperangan Komunikasi;
(suami dan istri, anak dan kerusuhan sipil transportasi;
dan orang tua) organisasi asistensi;
keinginan untuk
pengalaman baru
Sumber: Martin dan Zurcher (2008)

Salah satu teori yang paling komplet adalah teori migrasi oleh Lee, yang menunjukkan
bahwa faktor-faktor migrasi yang dipengaruhi oleh kondisi negara asal, faktor yang
berhubungan dengan kondisi negara tujuan, dan hambatannya seperti hukum imigrasi, jarak,
faktor fisik dan personal (Lee, 1966; ). Lee menggunakan plus, minus, dan nol untuk menjelaskan
proses tersebut (). Plus apabila kondisi mendorong proses migrasi, minus apabila tidak
mendorong proses migrasi, dan nol apabila tidak terdapat perbedaan antara wilayah asal dan
tujuan (Lee, 1966; Gurcinaite, 2014). Nol adalah kasus di mana beberapa orang menganggapnya
positif, sedangkan orang yang lainnya negatif ().

Hambatan lainnya yang lebih personal (intervening obstacles) dapat berupa frictions
yang berupa biaya perjalanan, jarak, dan kondisi kesehatan. Pembatasan pada kebijakan imigrasi
pada pasar tenaga kerja dan pendapatan gaji dapat menjadi intervening obstacles di wilayah
asal maupun tujuan (Lee, 1966; ). Lee menunjukkan bahwa kondisi di wilayah asal cenderung
mendorong mereka untuk bermigrasi dibandingkan kondisi di wilayah tujuan (Lee, 1966).
Persepsi seseorang yang kemudian menjadi motivasi utama dan mendorong migrasi,
berdasarkan persepsi menguntungkan dan tidak menguntungkan (Lee, 1966; ). Hal ini yang
menyebabkan semakin maraknya migrasi desa-kota.

1.1 Faktor Sosial


Kehidupan sosial masyarakat dinilai oleh diferensiasi sosial, pola hubungan sosial, relasi
sosial, struktur sosial, dan sistem sosial yang mewarnai kualitas kota (Ibrahim, 2005; Surya,
2016). Globalisasi dan modernisasi akan menyebabkan perubahan sosial di tingkat makro
maupun mikro yang kemudian memberikan kontribusi yang positif dalam dinamika masyarakat
(Surya, 2016). Pengaruhnya dapat terlihat dalam modal sosial dalam masyarakat (Surya, 2016).
Perubahan sosial biasanya ditandai dengan penajaman strata sosial ekonomi masyarakat lokal
(Surya, 2016). Urbanisasi dan kemajuan teknologi berpengaruh kepada kehidupan sosial
budaya, terutama interaksi antarindividu yang kemudian mengubah pola hubungan sosial
(Jordi dan Manuael, 1977; Surya, 2016). Urbanisasi dapat diperinci kembali yakni kemajuan
teknologi, jaringan transportasi, dan komunikasi mempengaruhi pola hubungan sosial
antarmasyarakat (Surya, 2016). Hubungan interpersonal penting karena merupakan ekspresi
yang termanifestasi dalam kehidupan bermasyarakat (Ibrahim, 2005; Surya, 2016).
Faktor-Faktor sosial dapat mempengaruhi migrasi, di mana seseorang yang memiliki
masalah secara sosial di desa asalnya cenderung ingin pindah (Mudege et al., 2008). Wanita
biasanya cenderung pindah apabila kondisi sosialnya berubah di desa, misalnya adalah
pernikahan yang tidak menyenangkan (Bozzoli dan Nkotsoe, 1991; Mudege et al., 2008). Contoh
lainnya adalah bahwa kebanyakan wanita yang telah bercerai, lajang, menjanda, konflik lahan,
masalah keluarga, dan konflik keluarga (Mudege et al., 2008). Wanita mungkin saja memiliki
otonomi personal dan independensi dan mendorong emansipasi (Liang dan Chen, 2004;
Mudege et al., 2008). Akan tetapi, pilihan wanita juga dipengaruhi otonomi, seringkali pilihan
bermigrasi tidak menjadi pilihan utama bagi wanita karena dipengaruhi keputusan keluarga
(Mudege et al., 2008). Jadi banyak juga wanita yang bermigrasi karena mengikuti suaminya
(Mudege et al., 2008).
Untuk motivasi bermigrasi lain sebagai faktor pendorong juga dapat dipengaruhi oleh
kondisi fisik, seperti kurangnya air bersih sehingga tidak dapat memproduksi makanan (Mudege
et al., 2008). Selain itu juga terjadinya bencana alam dan degradasi lahan sebagai akibatnya
(Markos, 2001; Delango, 2019). Seseorang menjadi terpaksa untuk pindah karena hal-hal
tersebut (Delango, 2019). Dimensi lain yang lebih tinggi apabila berhubungan dengan
pemerintah, seperti konflik bersenjata, kepemerintahan yang buruk, pelanggaran HAM,
kemiskinan meningkat, dan displacement besar-besaran (). Biasanya juga berhubungan
dengan kebijakan untuk bekerja yang menjadi faktor kuat untuk migrasi (Mahroum, 2000; ).
Selain itu, ruang perkotaan juga dapat diakses berdasarkan gender (Mudege et al.,
2008). Laki-Laki memiliki kontrol lebih tinggi di ruang perkotaan dan akses lebih tinggi terhadap
kesempatan kerja, sedangkan wanita menderita karena diskriminasi dan pengecualian,
terkadang karena ketakutan kekerasan dan pelecehan (Garvey, 1995; Mudege et al., 2008).
Motivasi bermigrasi laki-laki cenderung mirip dengan tujuannya, yakni untuk menafkahi keluarga
dan bekerja (Mudege et al., 2008). Jadi, laki-laki dan wanita memiliki niche pekerjaan yang
berbeda di lingkungan perkotaan (Mudege et al., 2008). ruang memang memiliki elemen fisik,
namun secara sosial terproduksi dan terkonstruksi kembali (Unwin, 2000; Mudege et al., 2008).
Wanita cenderung bekerja di pekerjaan domestik, sedangkan pria bekerja di industri (Mudege et
al., 2008).
Sejarah kehidupan di desa memungkinkan penjelasan untuk alasan dan motivasi untuk
bermigrasi (Mudege et al., 2008). Konstruksi ruang dapat ditentukan oleh pertimbangan politik,
sosial, dan budaya (Mudege et al., 2008). Urbanisasi yang cepat sesuai untuk memungkinkan
pemahaman holistik untuk memahami tren komunitas dan menggeneralisasikan temuan untuk
komunitas keseluruhan (Mudege et al., 2008). Jadi penting untuk ditanyakan bagaimana
komunitas sosial di perkotaan, apakah mereka ingin untuk kembali ke tempat asal (Mudege et
al., 2008). Biasanya perkotaan memiliki pekerjaaan yang berhubungan dengan sektor industri
dan informal, sedangkan perdesaan lebih stabil dalam bidang agrikultur (Mudege et al., 2008).
Bagaimana seseorang menginterpretasi ruang memainkan peran penting dalam migrasi
(Mudege et al., 2008). Jadi, juga menyangkut keamanan ketika tinggal di rumah sendirian,
berjalan di komunitas pada malam hari, dan kepercayaan terhadap tetangga (Mudege et al.,
2008). Meskipun demikian, ruang perkotaan dianggap sebagai ruang yang damai, di mana
seseorang dapat berkembang jauh dari keluarga (Mudege et al., 2008). Apabila di desa,
pekerjaan cenderung juga berhubungan dengan patriarki dan hubungan sosial dengan keluarga
dan kerabat (Mudege et al., 2008).
Produksi kapitalis dapat menentukan perubahan sosial, hal ini disebabkan karena proses
interaksi sosial dan perbedaan modal sosial antara pendatang dengan masyarakat lokal (Surya,
2016). Perkembangan tatanan sosial baru disebabkan oleh dinamika pembangunan akibat
urbanisasi sehingga menciptakan masyarakat perkotaan dan kota di atasnya (Surya, 2016).
Surplus sosial terjadi biasanya karena aktor dari kelompok urbanisme yang memiliki modal dan
kemudian menciptakan kekuasaan melalui penguasaan reproduksi ruang (Surya, 2016). Hal ini
kemudian menyebabkan social defend problem, apabila negatif maka akan menyebabkan konflik
politik penguasaan lahan (Surya, 2016).
Kota sendiri terbentuk karena perkembangan masyarakat yang beragam (Surya,
2016). Masyarakat memiliki keragaman sosial baik secara horizontal (jenis) maupun secara
vertikal (strata) (Surya, 2016). Menurut Levebfre (1981), setelah tercipta alat produksi dan
reproduksi ruang, kemudian ruang diatur dalam perubahan sosial yang disukai (Surya, 2016).
Jadi, pada dasarnya perubahan sosial dan ekonomi dikendalikan negara, kapitalis, dan borjuis
(Surya, 2016). Proses ketidakseimbanganlah yang mendorong perubahan sosial di tingkat mikro
di kalangan masyarakat lokal (Surya, 2016).
Masyarakat yang cenderung tradisional biasanya cenderung dibentuk oleh nilai dan
norma yang diketahui, dipahami, dihormati, dan dipatuhi oleh masyarakat setempat (Surya,
2016). Proses ini ditandai dengan nilai dan norma sosial yang dipatuhi, kemudian menjadi
prinsip cara berperilaku (Surya, 2016). Organisasi berbasis masyarakat memiliki peran yang
krusial untuk mengatur sikap masyarakat setempat dan menjadi modal sosial dalam kehidupan
masyarakat (Surya, 2016). Terdapat beberapa prinsip untuk menilai kelembagaan dari
masyarakat lokal, yaitu (1) lembaga adat biasanya adalah lembaga primer yang terbentuk karena
kekhasan, (2) berdasarkan penerimaan sosial, biasanya lembaga yang diberi sanksi sosial, dan (3)
berdasarkan sistem nilai yang diterima oleh masyarakat yang biasanya menjadi dasar (Surya,
2016). Jadi faktor sosial dalam sistem nilai penting karena mempengaruhi apa yang dianggap
standar dalam kehidupan sosial dalam berbagai konteks (Sukitman, 2016). Sedangkan norma
lebih kuat karena melibatkan pengetahuan setempat mengenai apa yang baik atau yang
buruk sehingga mendorong perbuatan manusia dalam kehidupan sosial (Parmono, 1995).
Terdapat dua tipologi masyarakat, yakni masyarakat sederhana dan modern (Ibrahim,
2005; Surya, 2016). Teori ini dikembangkan karena perkembangan masyarakat di barat,
sociability menggambarkan rasa kebersamaan sebagai manifestasi rasa peduli dalam berbagai
kegiatan, diskusi bersama mengenai ide-ide, partisipasi dalam kegiatan bersama untuk
organisasi sosial formal ataupun informal (Surya, 2016). Sosiabilitas tumbuh dan muncul sebagai
modal sosial (Surya, 2016). Modal sosial adalah struktur hubungan antarindividu yang
memungkinkan penciptaan nilai-nilai baru (Coleman, 1990; Surya, 2016). Modal sosial akan
dilemahkan oleh proses yang dapat merusak hubungan kekerabatan, seperti perceraian,
perpisahan, dan migrasi (Surya, 2016). Hal ini menciptakan nilai baru dalam masyarakat lokal
karena proses akulturasi, terutama akulturasi antar pendatang yang infiltratif yang membuat
pilihan untuk hidup di antara komunitas lokal (Berger, 1984; Surya, 2016). Makna atau relasi
sosial yang berkembang karena migran infiltratif ditandai dengan rasa peduli yang tumbuh
dalam masyarakat (Surya, 2010; Surya, 2016). Sedangkan pada migran ekspansif, modal sosial
cenderung dilemahkan karena perbedaan gaya hidup (Surya, 2016). Modal sosial mengacu
kepada norma informal yang mendukung kerja sama antarindividu dan kemampuan (Surya,
2016). Kemampuan biasanya didirikan oleh prevalensi kepercayaan dalam masyarakat atau
bagian tertentu dari masyarakat (Surya, 2016). Rasa kepedulian dapat menjadi respon dari
masyarakat terhadap pendatang dan membentuk hubungan personal dan kekeluargaan
(Surya, 2016). Interaksi sosial yang disebabkan pertanian subsisten, interaksi sosial dalam
suasana kekeluargaan, dan interaksi sosial timbal balik dan rimbal balik antara individu dari
migran infiltratif (Surya, 2016). Kontak sosial dapat terjadi antara individu dengan individu
masyarakat setempat secara intensif, sedangkan individu masyarakat lokal dengan migran
infiltratif cenderung lebih intensif (Surya, 2016). Apabila lebih tinggi, artinya masyarakat
setempat merespon positif perubahan lingkungan, kontak biasanya dilakukan dalam suasana
kekeluargaan dan motif ekonomi (Surya, 2016). Masyarakat setempat umumnya berinteraksi
dengan keturunan darahnya, tetapi dengan pendatang infiltratif cenderung memiliki hubungan
kerja dalam suasana kekeluargaan (Surya, 2016). Jadi, memang faktor sosial yang dimaksud
dalam konteks urbanisasi adalah perubahan kondisi sosial akibat berkembangnya pertumbuhan
ekonomi sehingga mengubah perilaku manusia (Thanh, 2007; Aziz et al., 2012).
Pola interaksi petani subsisten umumnya sangat ideal, namun berdasarkan
frekuensinya didominasi masyarakat lokal yang bekerja di aktivitas ekonomi baru, dan
intensitas interaksi masyarakat lokal di bidang perdagangan biasanya lebih ideal (Surya, 2016).
Jadi formasi sosial juga dipengaruhi oleh demografi (Surya, 2016). Menurut Marx (Suseno,
2005), perubahan cara produksi juga mengubah pola interaksi sosial. Kemudian juga menurut
Levi (1998) bahwa dalam interaksi sosial terdapat aturan mengenai penggunaan ruang,
sedangkan interaksi sosial ditentukan oleh jarak sosial (Surya, 2016). Kemudian menurut
Durkheim (1986) bahwa proses interaksi sosial bergantung pada situasi yang diciptakan (Surya,
2016). Proses interaksi sosial antara individu dan individu migran sangat dipengaruhi oleh fungsi
dan peran aktor dalam bentuk kerja sama, kemudian proses interaksi sosial antara individu
pendatang dengan individu masyarakat lokal membentuk gotong royong (simbiosis
mutualisme) (Surya, 2016). Kemudian di hunian elit menggambarkan jenis interaksi yang lebih
kompleks, bergantung pada bisnis dan aktivitas mereka (Surya, 2016). Dalam formasi sosial
kapitalis, hubungan interaksi sosial dengan keluarga inti biasanya intensif (Surya, 2016).
Kemudian hubungan sosial antara sesama pekerja biasanya berintensitas tinggi (Surya, 2016).
Lalu, interaksi sosial yang terhadi dengan kerabat rendah (Surya, 2016). Lalu, interaksi yang
terjadi antara pekerja dengan masyarakat biasanya semakin berkurang (Surya, 2016).
Interaksi sosial dengan pengunjung biasanya intensif dan timbal balik dan berpengaruh
kepada profesi (Surya, 2016). Terakhir, interaksi sosial dengan manajemen adalah interaksi satu
arah dan mengontrol kinerja pekerjaan (Surya, 2016). Jadi, fragmentasi sosial terus terjadi
sebagai entitas dalam sistem alat produksi kapitalis (Surya, 2016). Formasi sosial prakapitalis dan
formasi sosial kapitalis memicu perubahan sosial di masyarakat lokal dan perubahan ini
dipengaruhi oleh perubahan fisik spasial yang cepat dan revolusioner (Surya, 2016). Hal ini
adalah komponen utama untuk menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, rasa saling percata,
dan saling menguntungkan demi kemajuan bersama yang terkait dengan dinamika
pembangunan kota baru (Surya, 2016). Keberadaan masyarakat lokal sejak awal pendudukannya
di wilayah pinggiran tidak mengalami fragmentasi dalam dinamika pergeseran pemangaatan
ruang apabila kepentingan mereka diakomodasi (Surya, 2016).
Dampak negatif dari perkotaan juga bersifat psikologis, beberapa orang menyatakan
bahwa kota besar justru membawa tekanan dibandingkan dengan kebahagiaan (Aziz et al.,
2012). Perbedaan gaya hidup antara wilayah yang terlantar dan wilayah tujuan muncul sebagai
konflik sosial (Aziz et al., 2012). Beberapa model yang menjelaskan hubungan antara kesehatan
mental dengan imigrasi kota berhubungan dengan status wellness (Aziz et al., 2012). Terdapat
kontrol terhadap lingkungan internal, desain rumah dan kualitas kepedulian, kesempatan
meninggalkan yang penting, kriminalitas, ketakutan terhadap kriminalitas, dan partisipasi sosial
(Aziz et al., 2012).
Jadi, faktor pendorong secara sosial adalah konflik sosial, penguasaan lahan, konflik
budaya, dan masalah keluarga yang terjadi di perdesaan. Sedangkan faktor penariknya adalah
kondisi sosial di perkotaan yang mudah diakses tanpa harus berhubungan dengan
keluarga/budaya dan lebih independen, serta keinginan untuk mengikuti keluarga (orang tua,
pasangan, kerabat, dan saudara). Faktor sosial ini penting untuk dikaji karena dapat menjadi hal
yang signifikan untuk bermigrasi.
2.1 Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi adalah pendorong utama dari proses urbanisasi (sumber daya buatan
manusia) yang memiliki output ekonomi, sosial, dan fisik bersama (Knox; Soetomo, 2009).
Kemudian, hasil dari proses urbanisasi ini menimbulkan ketimpangan distribusi dan kesenjangan
sosial-ekonomi (Surya, 2016). Fungsi kegiatan sosial ekonomi ini biasanya pindah ke pinggiran
yang disebabkan oleh pembangunan pusat kegiatan baru, karena di tengah kota tidak
mungkin dikembangkan lagi (Yunus, 2008) (Surya, 2016). Urbanisasi dapat disebabkan juga oleh
proses percepatan pembangunan di kawasan perkotaan kemudian menyebabkan alih fungsi
lahan, proses ini kemudian meningkatkan aksesibilitas di perkotaan maupun hinterland
(Surya, 2016). Menurut Levebfre (1981), penciptaan ruang disebabkan utamanya oleh alat
produksi dan reproduksi ruang (Surya, 2016). Urbanisasi memang sangat terhubung dengan
industrialisasi, reformasi teknologi, dan pelayanan infrastruktur di negara maju (Turan dan
Besirli, 2008; Aziz et al., 2012).
Faktor ekonomi berhubungan erat dengan penciptaan tenaga kerja di perkotaan, jadi
orang lebih tertarik untuk bermigrasi ke kota karena dapat memiliki gaji lebih tinggi dan
mendapatkan status lebih tinggi dibandingkan dengan orang tuanya (El-Ghannam, 2001; Aziz
et al., 2012). Pemukim generasi kedua pindah ke perkotaan untuk mendapatkan kesempatan
ekonomi lebih baik, industrialisasi terjadi dan menggeser pekerjaan berbasis agrikultur (Aziz et
al., 2012). Semakin banyak perusahaan yang pindah ke perkotaan dengan pertimbangan pekerja
lokal yang melimpah, selain itu di perdesaan sulit didapatkan fasilitas kesehatan misalnya (Aziz
et al., 2012).
Kota dianggap sebagai tempat untuk meningkatkan kesempatan ekonominya demi
kesejahteraan dibandingkan wilayah perdesaan (Delango, 2019). Faktor yang mendorong
individu dari wilayah perdesaan adalah ekspektasi bahwa tekanan penduduk di wilayah
perdesaan diusahakan di seluruh margin penanaman, mendorong orang untuk mencari
kehidupan baru di kota dengan ekspektasi subsistence living (Mazumdar, 1987; Delango, 2019).
Kemudian untuk hipotesis penarik adalah daya tarik kota dan perbedaan pendapatan desa-kota
(Delango, 2019). Todaro (2000) mengembangkan model probabilistik, di mana migran tertarik ke
kota dengan ekspektasi gaji lebih tinggi dibandingkan dengan gaji di sektor agrikultur.
Terjadinya pengangguran, kekurangan perumahan, peningkatan biaya hidup, dan akses
pelayanan sosial di desa cenderung terbatas menyebabkan mereka ingin tinggal di perkotaan
(Delango, 2019). Banyak sekali migran yang bekerja dalam sektor informal terlepas dari
masalah yang muncul dalam dimensi lebih besar (Delango, 2019). Akan tetapi, juga banyak
penduduk yang merasa tidak nyaman karena pelayanan sosial seperti kebutuhan rumah
masih belum terpenuhi (Delango, 2019). Selain itu, juga banyak penduduk yang mengeluhkan
pekerjaan yang tidak sesuai ekspektasi (Delango, 2019). Hubungan antara pekerjaan dan
migrasi ini sebenarnya adalah fenomena sosio-ekonomi dan fenomena budaya yang
memperhatikan isu kependudukan (Delango, 2019).
Simbol yang menandakan kapitalisme dapat berupa pusat perbelanjaan, tempat hiburan
besar-besaran, atau tempat lain yang mencerminkan proses modernisasi dan globalisasi (Surya,
2016). Konversi penggunaan lahan menyebabkan berkurangnya lahan untuk agrikultur (Surya,
2016). Sebuah pusat kegiatan berpegawai sebagai aktivitas ekonomi baru juga dapat
melibatkan interaksi dengan masyarakat setempat, biasanya intensitas dan frekuensi kontak
sosial masyarakat lokal di tempat usaha tersebut tinggi, kontak sosial individu masyarakat
lokal dengan pemilik usaha (pendatang) rendah, dan interaksi dengan interaksi dengan
pendatang sementara (konsumen) juga rendah (Surya, 2016). Pusat aktivitas ekonomi biasanya
adalah media komunikasi sosial dengan terdapatnya keramaian pada bulan-bulan tertentu saja
(Surya, 2016).
Urbanisasi menyebabkan orang-orang bergantung pada kebutuhan dasar lain di mana
penduduk perkotaan harus bergantung pada hinterland untuk produksi agrikultur karena
penduduk kota tidak memiliki lahan yang cukup untuk menumbuhkan makanannya (Aziz et al.,
2012). Hal ini juga berdampak buruk pada struktur masyarakat, karena menurunkan kualitas
hidup perkotaan di beberapa wilayah yang kumuh (Aziz et al., 2012). Di wilayah-wilayah
tersebut terdapat masalah seperti kemiskinan, sanitasi buruk, pengangguran, dan tingkat
kriminal yang tinggi (Aziz et al., 2012).
Jadi, faktor pendorong migrasi dari sisi ekonomi adalah kondisi ekonomi
pribadi/kemiskinan dan aset lahan yang semakin terdegradasi, dan kesulitan mencari pekerjaan
yang menyebabkannya menganggur sehingga mendorongnya untuk mencari kerja untuk
menafkahi keluarga atau sekedar meningkatkan kondisi ekonomi (Makakala, 2015; Delango,
2019). Di sisi lain, kesempatan kerja lebih tinggi dengan fasilitas di wilayah perkotaan juga
menarik orang untuk pergi ke perkotaan (Delango, 2019). Meskipun pekerjaan yang dilakukan
informal, seperti tukang kayu, tukang batu, pekerja serabutan, dll (Delango, 2019). Sangat
memungkinkan untuk terjadi peningkatan pendapatan (Delango, 2019).

3.1 Faktor Demografi


Faktor demografi yang paling mencuat untuk mempengaruhi proses urbanisasi adalah
sumber daya manusia, yakni perubahan pekerjaan (Surya, 2016). Hal ini disebabkan karena
manusia dapat mengubah sumber daya alam dan mengemangkan teknologi sehingga memiliki
output ekonomi (Surya, 2016). Pendekatan artikulasi diterapkan untuk menyaakan penelitian
konkret yang lebih ekspansif, biasanya melibatkan imperialisme, produksi komoditas di kota,
petani, dan pembangunan spasial yang tidak merata dan lainnya (Surya, 2016). Konsep
keterbelakangan mengubah pemahaman mengenai transisi formasi sosial, maksudnya adalah
transisi yang dikendalikan oleh artikulasi dua moda produksi, moda produksi kapitalis dan
nonkapitalis, biasanya kapitalis lebih dominan (Bellah, 1964; Surya, 2016). Hal ini menyebabkan
banyak masyarakat tertekan, seperti petani (Yunus, 2006; Surya, 2016). Perubahan fisik spasial
ini biasanya disebabkan karena penetrasi, kemudian terjadi dominasi alat produksi, reproduksi,
lalu kemudian suksesi yang dilakukan kembali oleh kapitalisme (Surya, 2016). Formasi
demografi yang mempengaruhi kondisi sosial juga penting untuk dikaji, misalnya nelayan, petani
subsisten, maupun masyarakat biasa yang tidak memiliki lahan garapan (Surya, 2016).
Terdapat faktor demografi lain yang tidak kalah penting, seperti tingkat tahunan
pertumbuhan penduduk dari ukuran keluarga, total fertility rate (TFR), tingkat ketergantungan,
dan migrasi (Aziz et al., 2012). Hal ini disebabkan karena terdapat hubungan positif antara
tingkat perubahan penduduk petkoaan dengan pengeluaran pada edukasi dan pelayanan
kesehatan (El-Ghannam, 2001; Aziz et al., 2012). Faktor demografi yang penting pula adalah
jenis kelamin yang menentukan pekerjaan yang layak untuk seseorang (Mudege et al., 2008).
Secara demografis, kelompok usia menengah, yakni 30 – 45 tahun lebih mendominasi, selain
itu juga pria lebih mendominasi dibandingkan wanita (Delango, 2019). Dari sisi tingkat
pendidikannya, lebih banyak yang telah mencapai tingkat SMA sederajat (Delango, 2019). Untuk
status keluarga, biasanya yang tidak terikat pernikahan lebih mudah untuk pindah (Delango,
2019). Faktor demografi ini juga berpengaruh kepada akses ruang atau komunitas sosial
seseorang (Mudege et al., 2008).
Dorongan secara demografis untuk pergi ke kota adalah dengan keinginan untuk
melanjutkan pendidikan, namun dorongan ke kota lebih bersifat ekonomi dibandingkan
dengan nonekonomi (Todaro, 1997; Delango, 2019). Lalu yang berkaitan dengan faktor penarik
adalah pekerjaan yang membutuhkan batas usia atau jenis kelamin tertentu, biasanya tidak
terlalu tua, tetapi juga tidak terlalu muda karena membutuhkan pengalaman yang lebih
banyak, dengan tujuan untuk memperoleh kandidat yang memiliki pengetahuan serta
kemampuan yang dibutuhkan (Mukhtar et al., 2018). Misalnya wanita cenderung berhubungan
dengan catering, sedangkan laki-laki berhubungan dengan pekerjaan pemahatan, bengkel, dll
(Delango, 2019). Beberapa kelompok usia 15-24 tahun juga mungkin lebih tertarik dengan
kehidupan perkotaan (Malamassam, 2017). Hal ini dengan harapan sesuai dengan masa depan
karir dan menjadi aspirasi mereka (Malamassam, 2017).
Devisi Nara sumber penyesuaian Jadwal. (Fatia, Ubay, Tq, Arko). Devisi Acara: baru masukk 4 kelompok,
diundurkan tgl 18 Nov abstrak masuk. Devisi Publikasi dan dok: 2 design+copy writing (editor), kebutuhan
design : virtual backgrond. sertifikat peserta dan pembicara? dll rekaman? Devisi anggaran: utk
narasumber: 3 Plakat (300 rb), lain-lain (300). Buka donatur ng? Dev. Perlengkapan: flyer, zoom aman.
Lagu Indonesia Raya? dana sewa zoom.PJ moderator(2 nama) dan MC (Dwi Riszki), menunggu?

Youtube ?

form rigistrasi, absensi, peraturan seminar?

Daftar Pustaka
Aziz et al. (2012). The Effects of Urbanization towards Social and Cultural Changes among
Malaysian Settlers in the Federal Land Development Schemes (FELDA), Johor Darul Takzim.
Procedia Social and Behavioral Sciences, 68, 910 – 920.
Delango, M. W. (2019). The Causes and Consequences of Rural-urban Migration: The Case of
Wolaita Sodo Town Merhal Sub-City. Budapest International Research and Critics Institute-
Journal, 2(4), 99 – 114.
Kanayo, O., dan Anjofui, P. (2019). Push and Pull Factors of International Migration: Evidence
from Migrants in South Africa. Journal of African Studies (JoAUS), 8(2), 219 – 250.
Malamassam, M. A. (2017). Future Staying Preferences of Youth Migrants: Case of Sleman
District, Special Region of Yogyakarta. Jurnal Kependudukan Indonesia, 12(2), 145 – 154.
Mudege et al. (2008). Gender, migration and use of urban space among older people in Nairobi
informal settlements. Researching Migration.
Mukhtar et al. (2018). Does Rural–Urban Migration Improve EmploymentQuality and Household
Welfare? Evidencefrom Pakistan. Sustainability, 10.
Purnomo. (1995). Nilai dan Norma Masyarakat. Jurnal Filsafat, 23, 20 – 27.
Sukitman, Tri. (2016). Internalisasi Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran (Upaya Menciptakan
Sumber Daya Manusia yang Berkarakter). Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar, 2(2), 85 – 96.
Surya, Batara. (2016). The Processes Analysis of Urbanization, Spatial Articulation, Social Change
and Social Capital Difference in the Dynamics of New Town Development in the Fringe Area of
Makassar City (Case Study: In Metro Tanjung Bunga Area,Makassar City), Procedia: Social and
Behavioral Sciences, 227, 216 – 231.

Contohnya adalah seseorang yang berasal dari Deli Serdang, ia merasakan dikucilkan karena
mengikuti gaya hidup yang tidak ingin terkekang. Sebetulnya hibridisasi sih, antara budaya
internasional dan lokal, sehingga sekarang menjadi nasionalisme. Akses terhadap ruang sudah
ditingkatkan. Di mana orang Batak memang lebih menekankan unsur darah/keturunan dan
gender yang tentunya sering memberikan kontras perbedaan nilai (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1992). Stigma sering muncul akibat pelanggaran akan norma-norma budaya
tersebut (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992). Selain itu memang masyarakat
perdesaan cenderung memiliki aturan-aturan sosial. Seringkali, perbedaan nilai-nilai modern
perkotaan juga memberikan kontras, seperti antara wanita dan pria, di mana dalam beberapa
acara adat laki-laki diutamakan (Samosir, 2018). Selain itu, anak laki-laki dianggap sebagai
pembawa keberuntungan kepada keluarga, dalam pernikahan wanita cenderung dibeli (Samosir,
2018). Wanita juga cenderung bekerja di sektor privat, seperti ekonomi, politik, pendidikan, dll
(Samosir, 2018). Meskipun, seiring berjalannya waktu, nilai-nilai ini tidak seketat sebelumnya
(Samosir, 2018). Ada pula norma-norma yang berhubungan dengan perbuatan asusila, seperti
ODHA, pecandu narkoba, dll (Sugiharti et al., 2019; Ardiansyah, 2020). Tetapi pengakuan wanita
lebih lemah dibandingkan laki-laki dianggap sebagai kodrat yang tidak dapat dicabut (Samosir,
2018). Tidak ada pernyataan mengenai budaya patriarki dari wilayah lain, mungkin hal ini
disebabkan karena wilayah yang lainnya seperti Nias, justru mendapatkan stigma negatif apabila
pindah ke wilayah kota, perubahan sosial lebih merugikan baginya.
Ardiansyah, M. (2020). UPAYA MASYARAKAT DESA BANDAR BARU DALAM MENGUBAH STIGMA
NEGATIF DESA NARKOBA MENJADI DESA SEJAHTERA DI DESA BANDAR BARU, KECAMATAN
SIBOLANGIT, KABUPATEN DELI SERDANG. Skripsi. Medan: Universitas Sumatra Utara.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1992). Sistem Pengendalian Sosial Tradisional
Masyarakat Melayu di Sumatra Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Samosir, D. O. (2018). Isu Gender pada Pilihan Politik Istri dalam Budaya Patriarki (Studi
Deskriptif Kelurahan Tuktuk, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir). Skripsi. Medan:
Universitas Sumatra Utara.
Sugiharti et al. (2019). STIGMA DAN DISKRIMINASI PADA ANAK DENGAN HIV AIDS (ADHA) DI
SEPULUH KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA. Jurnal Kesehatan Reproduksi, 10(2), 153 – 161.

Anda mungkin juga menyukai