Anda di halaman 1dari 11

© 2021 Departemen Geografi FMIPA UI Kuliah Kerja Lapang III – Kabupaten Majalengka

Place Attachment Penduduk sekitar terhadap


Makam Pangeran Muhammad sebagai Tempat
Sakral di Kelurahan Cicurug, Kecamatan
Majalengka, Kabupaten Majalengka

Ahmad Amanatunnawfal Ammar

Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,


Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

Email: ahmad.amanatunnawfal@ui.ac.id

Abstrak.
Kata kunci: pulau, toponimi, gasetir, validasi, verifikasi

Abstract.
Keywords: toponym, Gazetteer, validation, verification

48
49

1. Pendahuluan
Majalengka sebagai salah satu kota yang kental dengan sisi spiritualnya menjadi sebuah
ketertarikan. Legenda di Majalengka terus berkembang, cukup banyak makam yang dianggap suci
oleh penduduk sekitar (Rachmani, 2017). Kepercayaan ini berkembang karena mencerminkan
animisme, sebagian masyarakat telah menggantungkan nasib pada situs yang dianggap keramat,
sedangkan dirinya tidak meningkatkan ilmu pengetahuan (Rachmani, 2017). Biasanya individu yang
berpengaruh bagi daerah tersebut, meskipun telah wafat, dianggap dapat mengabulkan keinginan dan
memperoleh berkah dari Allah SWT (Rachmani, 2017).
Makam Pangeran Muhamad adalah salah satu makam yang dianggap keramat di Majalengka.
Popularitasnya ini disebabkan karena Pangeran Muhammad adalah utusan Sunan Gunung Djati untuk
menyebarkan agama Islam di Majalengka (Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2017). Makam ini
ditutupi oleh kelambu putih dengan empat tiang besi (Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2017). Jadi
makam ini memberikan kesan yang penting bagi masyarakat sekitar.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai place attachment penduduk terhadap tempat yang sakral
menjadi penting. Hal ini disebabkan karena tempat yang suci adalah tempat penciptaan, pengorbanan,
dan kekuatan yang memiliki makna emosional tinggi yang menarik banyak orang (Alvin dan
Lawrence, 2014). Place attachment sendiri memiliki dua aspek, yakni place dependence dan place
identity (Alvin dan Lawrence, 2014). Keduanya diharapkan dapat menjelaskan hubungan place
attachment penduduk yang sering mengunjungi makam (Alvin dan Lawrence, 2014). Hal ini penting
dibahas karena juga menjelaskan perilaku mereka terhadap pemeliharaan makam yang bersejarah
(Alvin dan Lawrence, 2014).
1.1. Place Attachment
Tempat adalah objek lokasional dari ikatan mental yang ditentukan oleh atribut terukur dan dapat
dihitung (usia, status sosial, fitur fisik, lama waktu dihabiskan, dll) (Diener dan Hagen, 2020).
Attachment adalah kondisi intrinsik dalam kondisi manusia, dapat membentuk rutinitas sehari-hari
(rute bekerja, berbelanja, dan interaksi sosial), pilihan hidup utama (tempat tinggal, edukasi, dan
vakansi), serta identitas (sipil, nasional, dan religius) (Diener dan Hagen, 2020). Sedangkan place
attachment melibatkan koneksi individu terhadap tempat dan bagaimana koneksi tersebut membentuk
pikiran dan perilaku. Sebetulnya tempat sendiri merupakan ruang yang memiliki keterikatan makna,
perasaan, atau emosional (Mooney, 2009). Place attachment juga dapat dianggap sebagai kumpulan
materialitas, performa, dan narasi oleh individu terhadap sebuah tempat (Diener dan Hagen, 2020).
Place attachment dipahami melalui kehidupan makna sebagai amalgamasi memori, performa, dan ide
momen materialitas dari permanensi dan sifat tidak dapat diganti yang menemukan ekspresi dalam
emosi atau metafor dari "akar" (Diener dan Hagen, 2020). Makna yang dilibatkan kepada tempat
dapat tercapai melalui proses individual, sosial, atau budaya (Low dan Altman, 1992; Mooney, 2009).
Place attachment dipelajari dalam psikologi, sosiologi, antropologi, geografi, dan ilmu politik
(Diener dan Hagen, 2020). Scannell dan Gifford membagi penelitian place attachment menjadi studi
yang berpusat pada "orang" (siapa yang terikat dan mengapa), "tempat" (apa yang terikat kepada
orang tersebut dalam bentuk dan skala apa), dan "proses" (bagaimana sebuah tempat menjadi berarti
dan apa dampaknya pada individu) (Diener dan Hagen, 2020). Penelitian seringkali berfokus pada
manusianya dan mengukur intensitas place attachment (Lewicka, 2011; Hernandez et al., 2014;
Diener dan Hagen, 2020). Geografer harus memahami komponen "proses" dan "tempat" dengan
menyinkronkan alam, relasi sosial, dan makna (Diener dan Hagen, 2020). Begitu pula dengan
geografer ekonomi yang membahas ras, pengasingan, kelas sosial, kehilangan, lanskap, mobilitas,
agama, pemanfaatan ruang, dll (Diener dan Hagen, 2020). Akan tetapi, place attachment yang
melibatkan jaringan sosial dibandingkan dengan hubungan individu dengan tempat fisik merupakan
kesalahpahaman, karena tidak sepenuhnya seperti itu (Hidalgo dan Hernandez, 2001; Mooney, 2009).
Tentunya hal ini meliabtkan nilai sosial bersama, persetujuan tetangga, dan penyertaan politik
(Mooney, 2009). Selain itu hal yang berhubungan dengan keterikatan seseorang dengan tempat adalah
kualitas perumahan dan kedekatan dengan landmark lokal, sedangkan ketidakpuasan dengan kualitas
fisik perumahan menguranginya (Hommon, 1992; Mooney, 2009). Akan tetapi, biasanya lanskap

Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III


50

yang berkualitas dan indah memberikan keterikatan lebih tinggi di wilayah perumahan yang kurang
sejahtera (Quayle dan Like, 1997; Mooney, 2009). Meskipun komunitas berubah seiring waktu,
apabila terdapat beberapa bagian dari arsitektur warisan yang tidak berubah, dapat memberikan
hubungan dengan masa lampau seseorang dan memberikan sense of stability dalam lingkungan fisik
sehingga perubahan lebih diterima (Mooney, 2009).
Namun, memori kehidupan dan keterlibatan sosial dalam komunitas sosial merupakan prediktor
yang kuat dalam community attachment (John et al., 1986; Sampson, 1988; Mooney, 2009). Tentunya
kepengurusan sosial juga sangat penting untuk membangun place attachment (Mooney, 2009).
Apabila place attachment ingin lebih berkelanjutan tentunya harus melibatkan perencana (Mooney,
2009). Meskipun bukan komunitas yang sejahtera, melalui sejarahnya mendapatkan bantuan dari
berbagai organisasi ahli untuk mendapatkan dana publik, sponsor korporat dan bantuan relawan untuk
proyek pembangunan komunitas (Mooney, 2009). Proyek yang dibantu oleh diri sendiri ini
dioperasikan dengan tujuan tertentu untuk mengkatalisasikan periode pembetulan baru dan renovasi di
perumahan tersebut (Atkins, 1977; Mooney, 2009). Properti yang berisi taman, menjadi oasis
perkotaan untuk penduduk dan merupakan surga bagi burung-burung dan kehidupan perkotaan serta
menciptakan jaringan sosial di penduduk perumahan (Mooney, 2009). Semakin banyak orang yang
peduli dengan perumahan ini karena semakin beragam penduduknya (Mooney, 2009).
Place attachment dalam geografi manusia membahas mengenai geografi manusia cenderung
berfokus pada kognisi manusia, persepsi, dan tujuan, "materialitas baru" cenderung menegaskan
kembali kejasmanian dan materialitas pengalaman manusia dan tindakannya (Diener dan Hagen,
2020). Menurut Tuan (1977), "attachment dari alam bawah sadar datang dengan familiaritas dan
kemudahan, pemastian pemeliharaan dan keamanan, memori pendengaran dan penciuman, aktivitas
komunal, dan kesenangan rumah yang terakumulasi seiring waktu (Diener dan Hagen, 2020). Oleh
karena itu, manusia selalu merevisi peta mental, mendorong pertimbangan aspek sosial dari tempat
dan bagaimana materialitas/familiaritas terhubung dengan performa/parsialitas tempat (Diener dan
Hagen, 2020). Fungsi interaktif dari keterikatan tempat, di mana elemen performa/parsialitas
mengintegrasikan dengan elemen materialitas/familiaritas dan narasi/memori untuk menyampaikan
makna melalui simbol publik, arsitektur, nama tempat, dan ketetanggaan (Diener dan Hagen, 2020).
Place attachment memiliki dua dimensi, yaitu place dependence yang mewakili dimensi
fungsional dan dideskripsikan sebagai attachment fungsional pengunjung terhadap sebuah tempat dan
kesadarannya terhadap keunikan dari setting tersebut (Anton dan Lawrence, 2014; Silva et al., 2018).
Sedangkan place identity adalah dimensi simbolis yang merujuk kepada koneksi antara sebuah tempat
dengan identitas personal, serta mengandung elemen kognitif maupun afektif (Silva et al., 2018).
Place attachment mempengaruhi apa yang individu lihat, pikir, dan rasakan dan melibatkan ekspresi
emosional dan simbolis (Silva et al., 2018). Apabila dihubungkan dengan tempat sakral, biasanya
pengunjung tempat pariwisata mengunjunginya untuk memenuhi kebutuhannya yang terlibat makna
dan nilai, yang kemudian membentuk place attachment (Tuan, 1980; Silva et al., 2018). Ada yang
berpendapat bahwa seluruh jenis keterikatan dibangun secara sosial (Wynveen et al., 2010; Baniak,
2015). Jadi pada kali ini juga dibahas mengenai peran sosial juru kunci bagi aktivitas spiritual
penduduk yang mungkin juga akan mendiferensiasikan place attachment pada Makam Pangeran
Muhammad.
1.2. Place Identity
Place identity adalah koneksi kognitif dan afektif antara diri dengan setting (Proshansky, 1978;
Silva et al., 2018). Dimensi ini digunakan untuk mengarakterisasikan peran lokasi dalam identifikasi
individu dan membuktikan afiliasinya dengan lokasi tertentu dan menambah makna lebih dalam
terhadap kualitas hidup dan kualitas kunjungan pengunjung (Proshansky, 1978; Silva et al., 2018).
Place identity adalah bagian dari identitas diri dan tergambar sebagai keterikatan emosional, simbolik,
dan psikologis terhadap tempat (Proshansky, 1978; Baniak, 2015).
Place identity lebih bersifat ukuran pribadi yang terhubung dengan tempat tertentu, hal ini
disebabkan karena pemahaman bahwa self-image seseorang dan nilainya seringkali dipengaruhi oleh
hubungannya dengan lingkungan fisik yang mereka tinggali (Proshansky et al., 1983; Manzo dan
Perkins, 2006; Mooney, 2009).

Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III


51

1.3. Place Dependence


Place dependence adalah koneksi atau ikatan dengan ruang tertentu yang terasosiasi dengan
potensi bahwa tempat ini harus memenuhi kebutuhan dan tujuan dari seseorang dan dengan proses
penilaian yang akan menunjukkan seberapa baik tempat tersebut dibandingkan tempat lainnya
(Stokols dan Shumaker, 1981; Silva et al., 2018). Place dependence terbentuk ketika seseorang
menunjukkan kebutuhan fungsional mengenai tempat yang tidak dapat ditrasferkan ke tempat lainnya
(Silva et al., 2018). Misalnya lokasi ini penting karena memiliki nilai fungsional karena kapasitasnya
untuk menciptakan sumber daya yang unik yang memnuhi ekspektasi dan pengalaman yang dicari
(Stokols dan Schumaker, 1981; Silva et al., 2018). Ketergantungan tempat digambarkan sebagai
fungsional atau adalah keterikatan yang bergantung pada sumber daya, biasanya hasil evaluasi bahwa
suatu tempat lebih baik dibandingkan tempat alternatif yang layak (Shumaker dan Taylor, 1983;
Baniak, 2015)
1.4. Tempat Sakral
Tempat sakral adalah tempat yang memiliki nilai keramat, untuk di pemakaman sendiri biasanya
nilai keramat ini menjadi faktor penarik para peziarah (Marwoto dan Santoso, 2018). Sakral sendiri
adalah sesuatu yang supernatural, luar biasa, penting, dan tidak mudah dilupakan (Eliade, 1959;
Marwoto dan Santoso, 2018). Sakral bernilai suci yang terhubung dengan sifat rohaniah (Marwoto
dan Santoso, 2018). Tempat sakral dikultuskan karena dianggap menjadi pemberi manfaat dan
pemberi dampak baik bagi kehidupan sekitarnya (Marwoto dan Santoso, 2018). Tempat sakral
muncul karena rasa takut dan persoalan duniawi yang dipercaya dapat diselesaikan dengan kekuatan
supranatural (Marwoto dan Santoso, 2018). Menurut Jean Holm (Marwoto dan Santoso, 2018), esensi
dari tempat sakral adalah titik pertampalan antara tempat fisik duniawi dengan alam gaib (Marwoto
dan Santoso, 2018). Kepercayaan yang melekat pada sebuah tempat dapat mempengaruhi aktivitas di
dalamnya, umumnya adalah aktivitas ziarah dan pariwisata (Marwoto dan Santoso, 2018).
Nilai-Nilai sakral sudah dipercaya sejak zaman animisme dan dinamisme, hubungan antara
mikrokosmos dan makrokosmos (Marwoto dan Santoso, 2018). Konsep ini berhubungan dengan
analogi kehidupan dengan alam semesta yang dikuasai dewa-dewa penguasa penjuru mata angin
(astadikpala) dan dapat digunakan untuk membangun tatanan lingkungan (vastu purusha mandala)
(Marwoto dan Santoso, 2018). Dalam skala perkotaan, tata letak keraton mengikuti arah gunung yang
merupakan tempat suci para dewa (Marwoto dan Santoso, 2018). Begitu pula dengan candi yang
menyimbolkan kehidupan di masa akan datang dan kehidupan menuju alam kematian (Marwoto dan
Santoso, 2018). Ketika manusia sudah mencapai akil baligh, manusia menjalankan proses kesucian
untuk berumah tangga hingga akhir hayatnya (Marwoto dan Santoso, 2018). Dalam aktivitas
peribadatan juga terdapat unsur kesucian, seperti wudhu (Marwoto dan Santoso, 2018). Menyucikan
diri dengan air ini biasanya adalah simbol untuk menghilangkan ego dan membersihkan sifat nafsu
duniawi dalam jiwa dan raga manusia (Marwoto dan Santoso, 2018). Nuansa sakral biasanya
melibatkan hubungan vertikal dengan Tuhan (Marwoto dan Santoso, 2018).
Makam, sebagai magnet dengan nilai sakral, menjadi tempat yang diziarahi (Marwoto dan
Santoso, 2018). Biasanya makam yang dianggap sakral adalah makam kalangan bangsawan dan orang
suci (wali) (Marwoto dan Santoso, 2018). Biasanya penempatan makam tokoh penting di suatu
wilayah disertai dengan masjid atau musala (Marwoto dan Santoso, 2018). Di Arab, sebenarnya tidak
ada budaya untuk menghormati kuburan atau membangun masjid di dekat kuburan (Marwoto dan
Santoso, 2018). Sedangkan di Indonesia makam tokoh tertentu memiliki daya tarik spiritual yang
tinggi (Marwoto dan Santoso, 2018). Untuk waktu kunjungan makam tokoh Muslim, biasanya
dipadati pada hari Jumat, hal ini disebabkan karena adalah puncak perhitungan amalan manusia di
dunia (Marwoto dan Santoso, 2018). Di Jawa, umumnya Hari Jumat Kliwon adalah hari yang paling
cocok untuk berziarah, karena adalah hari pasaran Jawa (Marwoto dan Santoso, 2018). Para peziarah
melakukan nenepi berdasarkan keyakinannya (Marwoto dan Santoso, 2018).
Seperti sebelumnya, diketahui bahwa tempat sakral dan konsep place attachment sarat akan
materialitas, simbol, performa, dan narasi. Geary dan Shinde (2021) juga melakukan penelitian
mengenai situs-situs sakral di Tibet bagi umat Buddha yang menjelaskan mengenai ekologi ziarah.
Tetapi, agar sesuai dengan konsep tempat sakral, akan dibahas mengenai praktik jasmani beserta

Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III


52

materialnya yang lazim digunakan, terkait dengan makna simbolisnya yang mendorong memori
sejarah, serta waktu kunjungan ziarah di Makam Pangeran Muhammad. Selain itu, mengetahui
bagaimana hubungan antara spasialitas dan materialitas yang memiliki makna di dalamnya sehingga
menimbulkan pemfungsian ruang tertentu (Geary dan Shinde, 2021). Akan tetapi, karena pembahasan
tempat sakral memiliki cakupan yang luas, terdapat batasannya yang berkaitan dengan motivasi ziarah
agama/kepercayaan (Geary dan Shinde, 2021). Ada pun motivasi lain yang biasanya berhubungan
dengan tempat sakral adalah kepercayaan, identitas, dan menarik (Silva et al., 2018). Sedangkan Putri
et al (2017) membagi secara sederhana menjadi motivasi ziarah dan nonziarah.
Pandangan seseorang terhadap tempat sakral juga dipengaruhi oleh ruang post-mortem (Novotný,
2019)). Wanita biasanya lebih memikirkan mengenai akhirat dan mempercayai konsep reinkarnasi
(Novotný, 2019)). Apabila penganut agama menggambarkan akhirat sebagai surga, hal ini
memberikan emosi yang lebih tenang dan berisikan harapan (Novotný, 2019)). Terdapat beberapa
orang lain yang memandang surga sebagai ruang tunggu saja di mana manusia akan kembali ke bumi
(Novotný, 2019)). Ada pula pandangan lainnya yang memandang surga seperti dunia terestrial, namun
tidak ada kekerasan, kesakitan, dan penderitaan (Novotný, 2019)). Biasanya, laki-laki tidak terlalu
memikirkan akhirat karena cenderung tidak realistis, mungkin beberapa memikirkannya namun tidak
mendalam (Novotný, 2019)). Laki-laki umumnya berpikir bahwa surga adalah ruang yang sempurna
dan konkret, sedangkan wanita sebaliknya (Novotný, 2019)). Sedangkan neraka adalah kondisi yang
menyakitkan karena kehidupan sebelumnya (Novotný, 2019)). Penganut agama seringkali
menghubungkan hal ini dengan setan, karena akan didominasi setan (Novotný, 2019)). Praktik occult
seringkali dianggap mustrik oleh para penganut agama (tempat persembahan, perdukunan, atau ritus
satanis) (Novotný, 2019)). Kemudian berdasarkan pandangan agama yang berbeda ini juga
memberikan persepsi yang berbeda apakah sebagai tempat yang terlarang ataukah tempat yang justru
memberikan pahala, misalnya masyarakat NU cenderung menerima hal ini dibandingkan warga
Muhammadiyah karena dianggap bid’ah (Jumroni, 2009).
1.5. Peran Sosial Pemuka Agama
Pengumpulan aspek sosial dan fisik dari tempat mendirikan lingkungan di mana "makhluk sosial
tidak pernah meninggalkan embeddedness (Harvey, 1996; Diener dan Hagen, 2020). Menurut Robert
Sack (1997), pengalaman tempat dari subjek mempengaruhi alam dalam tempat, karena diri dan
tempat dependen secara saling menguntungkan (secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya) (Diener
dan Hagen, 2020). Hal ini mencerminkan bagaimana perwujudan penting untuk menangkap aspek
emosional dan rasional dari place attachment (Thrift, 2007; Diener dan Hagen, 2020).
Peran pemuka agama, dalam hal ini adalah guru kunci yang juga menjadi guru spiritual, dapat
dibagi dua, yaitu spesifik dan difusif (Baniak, 2015). Peran spesifik biasanya lebih berhubungan
dengan religiusitas institusi dan dicirikan dengan totalitasnya (fungsi pengajar spiritual, pemimpin
perayaan, kepala komunitas, penjaga makam, dll) (Baniak, 2015). Kemudian secara difusif
berhubungan dengan religiusitas individu, lebih subjektif (Baniak, 2015). Apabila dalam agama
Katolik, imamat atau pemuka agama adalah lembaga profesi yang memenuhi kriteria didasarkan pada
persiapan sebelumnya dalam bentuk pendidikan prodesional dan pembentukan agama, spiritual, dan
moral (Ciupak, 1965; Baniak, 2015). Peran pemuka agama dikultuskan karena pengetahuan teologis
dan keterampilan praktis (Baniak, 2015).
Secara sosiologis, fungsi pendeta memiliki tiga fungsi, yaitu 1) Fungsi dasar: liturgi dan ritual,
administrasi paroki, karismatik dan amal, pengelolaan harta benda serta sumber daya ekonomi paroki;
2) Fungsi pelengkap: paraliturgi, sosial dan ekonomi, pendidikan, budaya, rekreasi, dan manajemen
paroki; 3) Fungsi pribadi: Cenderung bervariasi dan bergantung pada kesadaran diri dan identitas
spiritual imam mengenai sikapnya terhadap tugas-tugas imamat dan etos imamat. Fungsi-Fungsi ini
kemudian bergantung pada sikap dari umat Katolik awal terhadap gereja dan klerus, keterlibatan
keagamaan dan tingkat moralitas religius serta sekuler (Majka, 1971; Baniak, 2015). Jadi,
dipertimbangkan sikap penduduk terhadap peran juru kunci dan guru spiritualnya dalam religiusitas di
Makam Pangeran Muhammad.
1.6. Performa dan Fungsi Tempat

Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III


53

Individu melakukan performa mengenai identitasnya untuk menghadirkan mereka dalam gaya
tertentu (Diener dan Hagen, 2020). Parsialitas atau norma relasi sosial, struktur dari identitas
terspasialisasi dan moda keterikatan. Hal ini kemudian mewujudkan dalam praktik (Thrift, 2007), juga
dengan performa atau penanaman afinitas (penyukaan atau simpati spontan dari sesuatu, hubungan
namun bukan hubungan darah, kesamaan karakteristik yang mencerminkan hubungan) geografi dan
bias (Glass dan Rose-Redwood, 2014; Diener dan Hagen, 2020).
Materialitas dan performa terikat bersama melalui "medan kepedulian" atau jaringan
kekhawatiran interpersonal dan pertanggungjawaban dalam setting fisik tertentu, jadi terdapat hal
yang "in place" dan "out of place" (Wagner, 1972; Diener dan Hagen, 2020). Parsialitas ruang
dipelajari melalui proses interaksi bukan hanya dengan lanskap yang terkonstruksi secara sosial
(materialitas), namun juga dengan orang-orang yang bersosialisasi yang memberikan pandangan
berbeda. Parsialitas sebagai penentu sikap kemasyarakatan dan prasangka untuk mengandung
kekuasaan normatif dan askriptif (Diener dan Hagen, 2020).
Seringkali lanskap agama tidak boleh berhubungan dengan pemujaan dan politeistik (Pujalte dan
Navarra, 2017). Konsep ini secara historis sensitif bergantung pada perspektif modern dan
pengalaman (Pujalte dan Navarra, 2017). Tempat peribadatan memiliki desain yang berbeda, biasanya
bersifat hierarkis mengenai tingkat kepentingannya dalam struktur tertentu dan berhubungan dengan
aturan agama (Pujalte dan Navarra, 2017). Biasanya, rangkaian spasial dari ruang dipengaruhi oleh
pemanfaatan sesuai dengan rangkaian praktiknya, seperti penelitian (Pujalte dan Navarra, 2017).
Mendefinisikan dan menganalisis pengaruh sejarah pada konfigurasi perencanaaan dan elemen desain
ruang terbuka yang menyebabkannya sacred ground (Pujalte dan Navarra, 2017). Di bangunan-
bangunan suci, sekecil apapun dianggap sakral (Pujalte dan Navarra, 2017). Orientasi dan ukuran
peruntukan didikte oleh konsep tradisional dari desain yang terpola pada signifikansi historis dan
komemoratif (Pujalte dan Navarra, 2017). Hal ini merefleksikan budaya dan identitas spiritual
(Pujalte dan Navarra, 2017). Tetapi karena pada kali ini lebih berkaitan dengan lanskap, bagian
interior tidak terlalu dibahas karena dianggap memiliki fungsi yang seragam. Penggunaan di tempat
sakral biasanya berhubungan dengan acara sosial, budaya, edukasi, bahkan acara politik (Pujalte dan
Navarra, 2017).

2. Metodologi Penelitian
2.1. Wilayah Studi

Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III


54

Gambar 1. Lokasi Makam Pangeran Muhammad

Makam Pangeran Muhammad terletak di 108.231273 BT dan 6.85257 LS. Makam ini dikelilingi
oleh penggunaan lahan semak belukar dan sawah, tetapi dekat dengan jalan beraspal, jaraknya sekitar
300 m dari permukiman masyarakat. Makam Pangeran Muhamad adalah salah satu makam yang
dianggap keramat di Majalengka. Popularitasnya ini disebabkan karena Pangeran Muhammad adalah
utusan Sunan Gunung Djati untuk menyebarkan agama Islam di Majalengka (Pemerintah Provinsi
Jawa Barat, 2017). Makam ini ditutupi oleh kelambu putih dengan empat tiang besi (Pemerintah
Provinsi Jawa Barat, 2017). Jadi makam ini memberikan kesan yang penting bagi masyarakat sekitar.
2.2. Data
Secara umum dalam penelitian ini data yang digunakn sebagaimana tertulis pada Tabel 1 berikut ini.

Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III


55

Tabel 1. Data
Jenis Data Data yang Digunakan Sumber Data

Sejarah, performa, simbol, makna, dan Wawancara Juru Kunci Makam Pangeran
waktu kunjungan ziarah Muhammad dan Pengunjung

Denah Makam Pangeran Muhammad Observasi, Dokumentasi, dan Catatan


Lapang
Data Primer
Place Attachment Penduduk Kelurahan Wawancara Terstruktur Penduduk Desa
Cicurug, sosiodemografi, peran sosial guru
spiritual makam, familiaritas, dan motivasi
kunjungan

Tempat Tinggal Penduduk dan Lokasi Akuisisi Citra Google Earth


Sekunder Makam Pangeran Muhammad

2.3. Metode
2.3.1. Pengumpulan Data
Penelitian ini mencoba untuk menghubungkan variabel place attachment yang tersusun oleh place
identity dan place dependence dengan variabel keruangan, seperti jarak. Variabel lain adalah
familiaritas ruang (frekuensi kunjungan) dan motivasi penduduk saat mengunjungi Makam Pangeran
Muhammad. Model konseptualnya dikembangkan dengan skala Likert dari 1 hingga 7 dengan makna
"Sangat Setuju” hingga 7 "Sangat Tidak Setuju." Pertanyaan mengenai Place Identity dengan Place
Dependence sebagai indikator dari variabel place attachment diadopsi dari penelitian Anton dan
Lawrence (2014),

Tabel 2. Pertanyaan
Variabel Indikator Pertanyaan
Place attachment Place Identity Saya merasa bahwa makam tersebut
adalah bagian dari diri saya (1 =
“Sangat Setuju”, 7 = “Sangat Tidak
Setuju”)
Makam tersebut berarti untuk saya
(1 = “Sangat Setuju”, 7 = “Sangat
Tidak Setuju”)
Saya sering dikenal karena sikap
saya terhadap makam tersebut (1 =
“Sangat Setuju”, 7 = “Sangat Tidak
Setuju”)
Saya merasa terikat dengan makam
tersebut (1 = “Sangat Setuju”, 7 =
“Sangat Tidak Setuju”)
Makam tersebut cukup berarti untuk
saya (1 = “Sangat Setuju”, 7 =
“Sangat Tidak Setuju”)
Place Dependence Makam tersebut adalah tempat yang
paling baik untuk memenuhi
kebutuhan spiritual saya (1 =
“Sangat Setuju”, 7 = “Sangat Tidak
Setuju”)

Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III


56

Tidak ada makam lain yang lebih


baik untuk kebutuhan pengalaman
spiritual (1 = “Sangat Setuju”, 7 =
“Sangat Tidak Setuju”)
Saya mendapat kepuasan dari
kunjungan makam tersebut (1 =
“Sangat Setuju”, 7 = “Sangat Tidak
Setuju”)
Aktivitas spiritual di makam
tersebut paling baik dibandingkan
dengan makam lainnya (1 =
“Sangat Setuju”, 7 = “Sangat Tidak
Setuju”)
Saya tidak akan menggantikan apa
yang saya lakukan di makam ini
dibandingkan dengan tempat
lainnya (1 = “Sangat Setuju”, 7 =
“Sangat Tidak Setuju”)
Pemfungsian Tempat Hierarki keruangan Bagaimana rangkaian spasial dan
Sakral penggunaan ruang untuk struktur
agama?
Praktik Ritual/Agama Bagaimana hubungan antara
konfigurasi ruang dengan
performa/praktik ritual, materialitas,
simbol, dan sejarah?
Acara/Perhelatan Di mana dan bagaimana acara
agama/sosial/politik/edukasi/budaya
dilakukan?
Familiaritas Frekuensi kunjungan dalam Berapa frekuensi kunjungan Anda
satu tahun (mempertimbangkan dalam satu tahun?
perayaan siklis)
Afektif Kognitif Apa yang Anda ketahui mengenai
Makam Pangeran Muhammad dan
dari mana Anda mengetahui
informasi tersebut?
Motivasi kunjungan (Afektif) Apa motivasi utama Anda
mengunjungi Makam Pangeran
Muhammad? (alternatif jawaban:
refreshing)
Aktivitas (Konatif) Apa aktivitas yang biasanya Anda
lakukan ketika mengunjungi tempat
tersebut? Di mana aktivitas tersebut
biasanya dilakukan? (alternatif
jawaban: )
Sosiodemografi Pekerjaan Apakah pekerjaan Anda terhubung
dengan kepengurusan makam?
2.3.2. Pengolahan Data

Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III


57

Untuk menguji signifikansi antara variabel place attachment dengan indikator jarak,
digunakan uji korelasi Pearson. Kemudian untuk korelasi place attachment dengan peran sosial guru
spiritual digunakan ANOVA one-way. Sedangkan untuk hubungan place attachment dengan sikap
terhadap guru spiritual digunakan Spearman Rho. Lalu, variabel place-attachment, sosiospasial dan
demografi, dan peran sosial guru spiritual makam dihubungkan dengan familiaritas pengunjung.
Untuk analisis Makam Pangeran Muhammad sebagai tempat sakral dilakukan analisis dengan
menggunakan analisis naratif deskriptif, dengan triangulasi metode wawancara, observasi, dan video.
Kemudian di-coding dan diketahui persamaan mengenai pemfungsian dan hierarki ruang di Makam
Pangeran Muhammad.

Gambar 3. Diagram Alur Pikir Penelitian

Daftar Pustaka
Baniak, Józef. (2015). The Social Role of the Priest as Perceived by Polish Youth. A Sociological
Analysis. Polish Sociological Review, 191(3), 315 – 327.
Diener, A. C., dan Hagen, J. (2020). Geographies Of Place Attachment: A Place-Based Model Of
Materiality, Performance, And Narration. Geographical Review, 1 – 16.
Geary, D., dan Shinde, K. (2021). Buddhist Pilgrimage and the Ritual Ecology of Sacred Sites in
the Indo-Gangetic Region. Religions, 12(385).
Jumroni. (2009). Komunikasi antar Budaya (Studi pada Pola Komunikasi Masyarakat
Muhammadiyah dan NU di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah). Skripsi. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah.
Marwoto., dan Santoso, I. (2018). Tempat Sakral: Reinterpretasi Wisata Religi Di Kota Demak.
Seminar Nasional “Kearifan Lokal dalam Keberagaman untuk Pembangunan Indonesia”.
Mooney, Patrick. (2009). The Physical and Social Aspects of Place Attachment. TOPOS, 2, 28 – 31.
Pujalte, M. M., dan Navarra, N. (2017). Places of Faith: A Reflection on Landscape of Manila
Cathedral Plaza de Roma and Istiqlal Mosque Sacred Grounds of Jakarta. Earth and Environmental
Science, 91, 1 – 8.
Novotný, Gustav. (2019). The Spaces and Places of Czech Believers. Moravian Geographical
Reports, 27(3), 183 – 192.

Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III


58

Putri, S. L., Susilowati, M. H. D., dan Rizqihandari, N. (2017). Perilaku Keruangan Pengunjung
Objek Wisata Ziarah di Kota Serang, Provinsi Banten. 8thIndustrial Research Workshop and National
Seminar.

Ahmad Amanatunnawfal Ammar (2021). KKL III

Anda mungkin juga menyukai