Anda di halaman 1dari 8

Pembahasan pencahayaan

Bahaya fisik adalah salah satu jenis bahaya (hazard) yang berkaitan
dengan kesehatan kerja seperti kebisingan, suhu yang ekstrim, radiasi ionisasi,
radiasi nonionisasi, tekanan ekstrim, dan vibrasi yang semuanya merupakan
tekanan-tekanan fisik terhadap tubuh manusia [3]. Bahaya fisik dapat ditemukan
pada lingkungan kerja seorang atau lebih operator. Oleh karena itu, dibutuhkan
penanganan terhadap bahaya fisik untuk meminimalisir atau mencegah terjadinya
hal tersebut.

Lingkungan kerja yang nyaman sangat dibutuhkan oleh manusia untuk


dapat beraktifitas secara optimal dan produktif. Selain itu lingkungan kerja harus
ditangani dan didesain secara baik. Hal tersebut dikarenakan pengaruh buruk dari
lingkungan kerja akan memberikan dampak buruk bagi operator. Dapat dikatakan,
lingkungan kerja memiliki dampak langsung terhadap aktifitas operator.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas lingkungan dalam


beraktifitas, antara lain: intensitas penerangan, suhu dan kelembapan udara, serta
tingkat kebisingan. Kualitas lingkungan kerja fisik seperti penerangan, suhu, dan
kelembapan udara, dan tingkat kebisingan tersebut dapat menimbulkan gangguan
terhadap suasana kerja dan sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan
keselamatan kerja apabila tidak dapat dikendalikan

Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas lingkungan fisik kerja


seorang operator adalah intensitas pencahayaan. Pencahayaan merupakan
sejumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk
melaksanakan kegiatan secara efektif. Fungsi dari pencahayaan di area kerja
antara lain memberikan pencahayaan kepada benda-benda yang menjadi objek
kerja operator tersebut, seperti: mesin atau peralatan, proses produksi, dan
lingkungan kerja.

Nilai ambang dari bahaya fisik intensitas pencahayaan tidak ditampilkan


melalui satuan waktu paparan tetapi ditentukan melalui jenis pekerjaan dan berapa
taraf standar kebutuhan akan cahaya dalam melakukan pekerjaan tersebut.
Menurut IES (Illuminating Engineering Society), sebuah area kerja dapat
dikatakan memiliki pencahayaan yang baik apabila memiliki iluminansi sebesar
300 lux yang merata pada bidang kerja. Apabila iluminansinya kurang atau lebih
dari 300 lux, maka dapat menyebabkan ketidak nyamanan dalam bekerja, dan
pada akhirnya menurunkan kinerja pekerja.

Salah satu dampak negatif dari intensitas cahaya yang kurang atau berlebih
adalah kelelahan mata. Menurut Kelelahan mata adalah ketegangan pada mata dan
disebabkan oleh penggunaan indera penglihatan dalam bekerja yang memerlukan
kemampuan untuk melihat dalam jangka waktu yang lama yang biasanya disertai
dengan kondisi pandangan yang tidak nyaman. Kelelahan mata tersebut tentunya
memiliki tanda-tanda serta karakteristik antara lain mata berair, kelopak mata
berwarna merah, penglihatan rangkap, sakit kepala, ketajaman mata merosot, dan
kekuatan konvergensi serta akomodasi menurun.

Penerangan yang tidak didesain dengan baik akan menimbulkan gangguan


atau kelelahan penglihatan selama kerja. Pengaruh dan penerangan yang kurang
memenuhi syarat akan mengakibatkan dampak, yaitu:

1) Kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan effisiensi kerja.


2) Kelelahan mental, fisik dan psikologis.
3) Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata.
4) Kerusakan indra mata dan lain-lain. 

Selanjutnya pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara


kepada penurunan performa kerja, antara lain: Kehilangan
produktivitas ,kualitas kerja rendah, banyak terjadi kesalahan dalam bekerja,
kecelakan dan penyakit akibat kerja meningkat.

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kelelahan mata terbagi atas faktor


karakteristik pekerja (usia, kelainan refraksi, dan istirahat mata), faktor
karakteristik pekerjaan (durasi kerja), dan faktor perangkat kerja (jarak monitor).
Selain itu faktor yang mempengaruhi kinerja visual antara lain kemampuan
individual itu sendiri, jarak penglihatan ke objek, pencahayaan, durasi ukuran
objek, kesilauan, dan kekontrasan.

Suhu dan kelembaban

Manusia selalu berusaha mempertahankan keadaan normal tubuh dengan sistem


tubuh yang sangat sempurna sehingga dapat menyesuaikan dengan perubahan
yang terjadi diluar tubuhnya. Tubuh manusia menyesuaikan diri karena
kemampuannya untuk melakukan proses konveksi, radiasi, dan penguapan juka
terjadi kekurangan atau kelebihan yang membebaninya. Tetapi, kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan temperatur luar jika perubahannya tidak melebihi 20%
untuk kondisi panas dan 35% untuk kondisi dingin terhadap temperatur normal ±
24 °C. Temperatur udara lebih rendah dari 37 C berati temparatur dara ini
dibawah kemampuan tubuh unutk menyesuaikasn didi (35% dibawah normal),
maka tubuh manuasia akan mengalami kedinginan, karena hilangnya panas tubuh
yang sebagian besar diakibatkan oleh konveksi dan radiasi, juga sebagian kecil
akibat penguapan. Sebaliknya jika temperatur udara terlalu panas dibanding
temperatur tubuh, maka tubuh akan menerima panas akibat konveksi dan radiasi
yang jauh lebih besar dari kemampuan tubuh untuk mendinginkan tubuhnya
malalui sistem penguapan. Hal ini menyebabkan temperatur tubuh menjadi ikut
naik dengan tingginya temperatur udara. Temparatur yang terlalu dingin akan
mengakibatkan gairah kerja menurun. Sedangkan temperatur udara yang
terlampau panas, akan mengakibatkan cepat timbulnya kelelahan tubuh dan
cenderung melakukan kesalahan dalam bekerja. Secara fundamental, ergonomi
merupakan studi tentang penyerasian antara pekerja dan pekerjaannya untuk
meningkatkan performansi dan melindungi kehidupan. Untuk dapat melakukan
penyerasian tersebut kita harus dapat memprediksi adanya stressor yang
menyebabkan terjadinya strain dan mengevaluasinya. Mikroklimat dalam
lingkungan kerja menjadi sangat penting karena dapat bertindak
sebagai stressor yang menyebabkan strain kepada pekerja apabila tidak
dikendalikan dengan baik. Mikroklimat dalam lingkungan kerja terdiri dan unsur
suhu udara (kering dan basah), kelembaban nisbi, panas radiasi dan kecepatan
gerakan udara. Negara dengan empat musim, rekomendasi untuk comfort
zone pada musim dingin adalah suhu ideal berkisar antara 19-23°C dengan
kecepatan udara antara 0,1-0,2 m/det dan pada musim panas suhu ideal antara 22-
24°C dengan kecepatan udara antara 0,15-0,4 m/det serta kelembaban antara 40-
60% sepanjang tahun (WHS, 1992; Grantham, 1992 dan Grandjean, 1993).
Sedangkan untuk negara dengan dua musim seperti Indonesia. rekomendasi
tersebut perlu mendapat koreksi. Kaitannya dengan suhu panas lingkungan kerja,
Grandjean (1993) memberikan batas toleransi suhu tinggi sebesar 35-40°C,
kecepatan udara 0,2 m/detik, kelembaban antara 40-50%, perbedaan suhu
permukaan <4°C. Dengan demikian jelas bahwa mikroklimat yang tidak
dikendalikan dengan baik akan berpengaruh terhadap tingkat kenyamanan pekerja
dan gangguan kesehatan, sehingga dapat meningkatkan beban kerja, mempercepat
munculnya kelelahan dan keluhan subjektif serta menurunkan produktivitas kerja.
Metode terbaik untuk menentukan apakah tekanan panas di tempat kerja
menyebakan gangguan kesehatan adalah dengan mengukur suhu inti tubuh
pekerja yang bersangkutan. Normal suhu inti tubuh adalah 37° C, mungkin mudah
dilampaui dengan akumulasi panas dan konveksi, konduksi, radiasi dan panas
metabolisme. Apabila rerata suhu inti tubuh pekerja >38° C, diduga terdapat
pemaparan suhu lingkungan panas yang dapat meningkatkan suhu tubuh tersebut.
Selanjutnya harus dilakukan pengukuran suhu lingkungan kerja. Menurut
Sutalaksana, dkk (1979) berbagai tingkat temperatur akan memberikan pengaruh
yang berbeda-beda sebagai berikut: a. 49 °C: Temperatur yang dapat ditahan
sekitar 1 jam, tetapi jauh diatas tingkat kemampuan fisik dan mental. Lebih
kurang 30° derajat Celcius: aktivitas mental dan daya tanggap mulai menurun dan
cenderung untuk membuat kesalahan dalam pekerjaan. Timbul kelelahan fisik. b.
± 30°C: Aktivitas mental dan daya tanggap mulai menurun dan cenderung untuk
membuat kesalahan dalam pekerjaan, timbul kelelahan fisik. c. ± 24 °C: Kondisi
optimum. d. ± 10 °C: Kelakuan fisik yang extrem mulai muncul. Harga-harga
diatas tidak mutlak berlaku untuk setiap orang karena sebenarnya kemampuan
beradaptasi tiap orang berbeda-beda, tergantung di daerah bagaimana dia biasa
hidup. Orang yang biasa hidup di daerah panas berbeda kemampuan
beradaptasinya dibandingkan dengan mereka yang hidup di daerah dingin atau
sedang. Tichauer telah menyelidiki pengaruh terhadap produktifitas para pekerja
penenunan kapas, yang menyimpulkan bahwa tingkat produksi paling tinggi
dicapai pada kondisi temperatur 750F - 800F (240C - 270C). Nilai Ambang Batas
(NAB) untuk iklim kerja adalah situasi kerja yang masih dapat dihadapi tenaga
kerja dalam bekerja sehari-hari dimana tidak mengakibatkan penyakit atau
gangguan kesehatan untuk waktu kerja terus menerus selama 8 jam kerja sehari
dan 40 jam seminggu. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
405/Menkes/SK/XI/2002) NAB terendah untuk temperatur ruangan adalah 18° C
dan NAB tertinggi adalah 30° pada kelembaban nisbi udara antara 65% sampai
dengan 95%.

Pengertian Iklim Kerja 


Iklim Kerja
Iklim kerja adalah suatu kombinasi dari suhu kerja, kelembaban udara,
kecepatan gerakan udara dan suhu radiasi pada suatu tempat kerja.
Cuaca kerja yang tidak nyaman, tidak sesuai dengan syarat yang
ditentukan dapat menurunkan kapasitas kerja yang berakibat menurunnya
efisiensi dan produktivitas kerja (Subaris, dkk, 2008).

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor, iklim


kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan
gerakan udara dan panas radiasi akibat dari tingkat pengeluaran panas
dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat dari pekerjaannya
(PER.13/MEN/X/2011).

Suhu di tempat kerja dapat dipengaruhi dari mesin dan faktor lingkungan
di tempat kerja. Selama tubuh beraktivitas maka tubuh secara otomatis
akan memelihara dan menyeimbangkan antara panas lingkungan yang
diterima dengan panas dari dalam tubuh melalui kehilangan panas dalam
tubuh.

Suhu nyaman bagi orang Indonesia adalah antara 24 - 26 C. suhu yang


lebih dingin mengurangi efisiensi kerja dengan keluhan kaku atau
kurangnya koordinasi otot dan suhu panas sendiri akan berakibat
menurunkan prestasi kerja berfikir. Suhu panas mengurangi kelincahan,
memperpanjang waktu reaksi dan memperlambat waktu pengambilan
keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi
saraf perasa motoris, serta memudahkan emosi untuk dirangsang, maka
dari itu bekerja pada lingkungan kerja yang tinggi dapat membahayakan
bagi keselamatan dan kesehatan kerja sehingga perlu upaya penyesuaian
waktu kerja dan penyelenggaraan perlindungan yang tepat (Suma’mur,
2014).

Sumber Panas Lingkungan Kerja 


Menurut Suma’mur (2014), terdapat tiga sumber panas pada lingkungan
kerja, yaitu:

1. Iklim kerja setempat. Keadaan udara di tempat kerja, ditentukan


oleh faktor-faktor keadaan antara lain suhu udara, penerangan,
kecepatan gerakan udara dan sebagainya. 
2. Proses produksi dan mesin. Mesin mengeluarkan panas secara
nyata sehingga lingkungan kerja menjadi panas.
3. Kerja otot. Tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan memerlukan
energi yang diperlukan dalam proses oksidasi untuk menghasilkan
energi berupa panas.
Sedangkan menurut Wahyuni (2008), terdapat beberapa sumber tempat
kerja dengan iklim yang panas, yaitu:
1. Proses produksi yang menggunakan panas, seperti: peleburan,
pengeringan, pemanasan. 
2. Tempat kerja yang terkena langsung matahari, seperti : pekerjaan
jalan raya, bongkar muat barang pelabuhan, nelayan dan petani. 
3. Tempat kerja dengan ventilasi kurang memadai.

Pengaruh Iklim Kerja Terhadap Tenaga Kerja 


Menurut Gesang (2011), terdapat enam pengaruh iklim kerja yang tidak
sesuai terhadap tenaga kerja, yaitu sebagai berikut:

1. Gangguan perilaku dan performa kerja, seperti terjadinya kelelahan,


sering melakukan istirahat curian dan lain-lain. 
2. Dehidrasi, yaitu suatu kondisi kehilangan cairan tubuh yang
berlebihan yang disebabkan baik oleh penggantian cairan yang
tidak cukup maupun karena gangguan kesehatan).
3. Heat rash, seperti biang keringat atau keringat buntat, gatal kulit
akibat kondisi kulit terus basah.
4. Heat cramps, merupakan kejang-kejang otot tubuh (tangan dan
kaki) akibat keluarnya keringat yang menyebabkan hilangnya
garam natrium dari tubuh yang kemungkinan besar disebabkan
karena minum terlalu banyak dengan sedikit garam natrium. 
5. Heat syncope, keadaan yang disebabkan karena aliran darah ke
otak tidak cukup karena sebagian besar aliran darah di bawah ke
permukaan kulit atau perifer yang disebabkan pemaparan suhu
tinggi.  
6. Heat exhaustion, keadaan yang terjadi apabila tubuh kehilangan
terlalu banyak cairan dan atau kehingan garam, dengan gejalanya:
mulut kering, sangat haus, lemah, dan sangat lelah.

Baca Juga

 Tujuan, Fungsi, Jenis dan Kegiatan Perawatan (Maintenance)


 Bentuk, Prinsip dan Faktor Penempatan Kerja Karyawan
 Pengertian, Jenis, Karakteristik dan Manajemen Event

Pengukuran Iklim Kerja 


Iklim kerja yang sesuai dengan tenaga kerja dapat diukur menggunakan
metode sebagai berikut:

1. Suhu efektif. Yaitu indeks sensor dari tingkat panas yang oleh


seseorang tanpa baju dan kerja enteng dalam berbagai kombinasi
suhu, kelembaban, dan kecepatan aliran udara. Kelemahan
pemakaian suhu efektif adalah tidak memperhitungkan panas
radiasi dan panas metabolisme tubuh sendiri. 
2. Indek Suhu Bola Basah (Wet Bult Globe Temperature Index). Untuk
pekerjaan dengan sinar matahari dihitung dengan rumus: I.S.B.B =
0,7 x suhu basah + 0,2 x suhu radiasi + 0,1 x suhu kering.
Sedangkan untuk penilaian di dalam ruang kerja gedung tanpa
sinar matahari mengggunakan rumus: I.S.B.B = 0,7 x suhu basah +
0,3 x suhu radiasi. 
3. Indek kecepatan keluar keringat selama 4 jam (Predicated Four Hour
Sweat Rate). Indek yang berdasarkan perhitungan kecepatan keluar
keringat selama 4 jam sebagai akibat kombinasi suhu, kelembaban
dan kecepatan gerakan udara serta panas radiasi.
4. Indeks Belding-Hatch. Di Indonesia dikenal dengan nama indeks
tekanan panas. Indeks ini berdasarkan pada kebutuhan panas
penguapan yang digunakan untuk menghilangkan penimbunan
panas yang disebabkan oleh beban panas (lingkungan dan
metabolisme = E reg), dan panas penguapan maksimum yang
dapat dihasilkan oleh seseorang pada kondisi kerja tertentu.

Pengendalian dan Pengaturan Iklim Kerja 


Menurut Harrianto (2010), terdapat dua cara pengendalian tekanan panas
di tempat kerja, yaitu sebagai berikut:

a. Pengendalian teknik 
Merupakan usaha yang paling efektif untuk mengurangi pajanan
lingkungan panas yang berlebihan, dengan cara :

1. Mengurangi produksi panas metabolik dalam tubuh.


2. Otomatisasi dan mekanisasi beban tugas akan meminimalisasi
kebutuhan kerja fisik para tenaga kerja.
3. Mengurangi penyebaran panas radiasi dari permukaan benda-
benda yang panas, dengan cara memberikan Isolasi/penyekat dan
perisai.
4. Mengurangi bertambahnya panas konveksi. Kipas angin untuk
meningkatkan kecepatan gerak udara di ruang kerja yang panas.
5. Mengurangi kelembaban. AC, peralatan penarik kelembaban, dan
upaya lain untuk mengeliminasi uap panas sehingga dapat
mengurangi kelembapan di lingkungan kerja.
b. Pengendalian administratif
1. Periode aklimatisasi yang cukup sebelum melaksanakan beban
kerja yang penuh. 
2. Untuk mempersingkat pajanan dibutuhkan jadwal istirahat yang
pendek tetapi sering dan rotasi tenaga kerja yang memadai. 
3. Ruangan dengan penyejuk udara (AC) perlu disediakan untuk
memberikan efek pendinginan pada para tenaga kerja waktu
istirahat. 
4. Penyediaan air minum yang cukup.

Daftar Pustaka
 Subaris, H dan Haryono. 2008. Hygiene Lingkungan Kerja.
Yogjakarta: Mitra Cendekia Press.
 Suma'mur, PK. 2014. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja
(Hiperkes). Jakarta: Sagung Seto.
 Wahyuni, Sri. 2008. Pengaruh kompensasi, kemampuan dan
lingkungan kerja terhadap prestasi kerja karyawan pada PT. DUWA
ATMI MUDA Kudus.
 Gesang. 2010. Hubungan Tekanan Panas Dan Beban Kerja Dengan
Kelelahan Pekerja. Jakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
 Harrianto, Ridwan. 2010. Buku Ajar Kesehatan Kerja. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai