Anda di halaman 1dari 20

ASPEK-ASPEK YANG BERHUBUNGAN DENGAN

OTONOMI DAERAH

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Ujian Tengah Semester


Mata Kuliah Hukum Pemerintah Daerah kelas E

Oleh:
Nanda Dwi Haryanto E0014288

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan negara kesatuan yang sangat luas yang berbentuk
kepulauan, sehingga untuk mengatur antar daerah atau antar pulau dengan
pemerintahan terpusat kurang cocok untuk diterapkan di Indonesia. Oleh karena
itu, Pemerintah Pusat membagi daerah di Indonesia sebagai daerah-daerah sendiri
yang didalamnya terdapat pemerintahan yang berhak mengatur dan membangun
daerah kekuasaannya sendiri dan pusat kekuasaannya berada di tangan Pemerintah
Pusat. Hal ini dilakukan agar pembangunan di Indonesia lebih merata karena
dilakukan tiap-tiap daerah dan tidak terpusat.
Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk
diamati dan dikaji, karena semenjak para pendiri negara menyusun format negara,
isu menyangkut pemerintahan lokal telah diakomodasikan dalam Pasal 18 UUD
1945 beserta penjelasannya. Pemerintahan Daerah dalam pasal 18 UUD 1945
telah mengakui adanya keragaman dan hak asal-usul yang merupakan bagian dari
sejarah panjang bangsa Indonesia. Meskipun negara Republik Indonesia menganut
prinsip negara kesatuan dengan pusat kekuasaan berada pada Pemerintah Pusat
namun karena heterogenitas yang dimiliki bangsa Indonesia baik kondisi
sosial,ekonomi, budaya, maupun keragaman tingkat pendidikan masyarakat, maka
desentralisasi atau distribusi kekuasaan/kewenangan dari pemerintah pusat perlu
dialirkan kepada daerah yang berotonom.1 Dalam Pasal 18 UUD 1945 dikatakan
bahwa “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil , dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang
dan mengingat dasar permusyawaratan dalam pemerintahan negara, dan hak asal-
usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Penjelasan Pasal 18 UUD 1945

1
J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan
Lokal dan Tantangan Global, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), hlm.1

2
meneragkan bahwa karena negara Indonesia adalah negara kesatuan, Indonesia
tidak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang juga berbentuk
negara. Wilayah Indonesia dibagi menjadi daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi dibagi pula menjadi daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat
administratif belaka, semuanya menurut aturan-aturan yang akan ditetapkan
dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom diadakan badan
perwakilan daerah, karena daerah pun pemerintah akan bersendikan
permusyawaratan.2

Otonomi daerah sebagaimana kita ketahui merupakan wewenang daerah


untuk menjalankan urusan pemerintahan sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana kita lihat otonomi daerah
merupakan suatu hal yang menarik untuk dibahas, seperti bagaimana kewenangan
pemerintah pusat dalam mengatur suatu daerah karena dalam otonomi daerah,
setiap daerah memiliki hak untuk mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Oleh
karena itu penulis tertarik untuk membahas tentang otonomi daerah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan sejarah pemerintah daerah di Indonesia?
2. Bagaimana kewenangan antara pemerintah daerah dan pusat dalam
otonomi daerah?
3. Apa saja prinsip-prinsip yang terdapat dalam penyelenggaraan otonomi
daerah?
4. Asas-asas apa saja yang ada dalam penyelenggaraan otonomi daerah?
5. Bagaimana prospek mendatang dalam menyelenggarakan otonomi daerah?

2
C. S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. Pemerintahan Daerah di Indonesia, Hukum
Adminitrasi Daerah 1903-2001, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 2

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Daerah di Indonesia


Sejarah perkembangan Pemerintahan Daerah di Indonesia pada masa
penjajahan secara umum dapat dikategorikan dalam tiga fase, yakni masa
penjajahan Belanda dengan dua fase, dan satu fase sisanya dalam masa penjajahan
Jepang. Tujuh fase lainnya berada dalam masa pasca kemerdekaan, yang terbagi
atas empat fase dalam masa orde lama, satu fase pada masa orde baru, dan dua
fase terakhir dalam masa reformasi.
Fase pertama, berawal dari dikeluarkannya Decentralisatie Wet 1903 yang
juga disebut ‘desentralisasi lama’ dalam masa penjajahan Belanda. Faktor
pendorong dikeluarkannya UU ini adalah semakin beratnya beban Pemerintah
Belanda dalam menjalankan etik politik karena penyelenggaraan pemerintahan
secara sentralistis atas daerah yang sangat luas dan beraneka ragam kondisinya
(Koesoeatmadja, 1978). Ciri utama kebijakan ini adalah terbukanya kemungkinan
pembentukan suatu daerah dengan keuangan sendiri untuk membiayai keuangan
sendiri yang diurus oleh sebuah raad. Daerah ini disebut sebagai locale resort.
Sementara itu dewannya disebut locale raad yang terdiri atas Gewestelijke raad,
Platselijke raad, dan Gementeraad. Bagi daerah yang dianggap memenuhi syarat
maka bersamaan dengan ordonantie pembentukannya maka dipisahkanlah
sejumlah uang dari setiap tahun dari kas negara untuk diserahkan kepada daerah
tersebut serta dibentuklah raad-nya. Pada umumnya, jabatan ketua raad dipegang
oleh pejabat pusat yang menjadi kepala administratif. Para anggota locale raad
sebagian diangkat karena jabatannya dalam pemerintahan dan sebagian lagi
dipilih, kecuali gemente-raad yang sejak tahun 1917 semua anggotanya sudah
dipilih. Sampai tahun 1925 masa keanggotaannya ditetapkan 6 tahun, namun
sesudahnya menjadi 4 tahun. Locale raad berwenang menetapkan local
verordeningen mengenai kepentingan yang menyangkut kepentingan daerahnya

4
sepanjang belum diatur dalam perundang-undangan pusat. Pengawasan terhadap
daerah dilakukan oleh Gouverneur-General Hindia Belanda dengan cara daerah
wajib meminta pengesahan bagi keputusannya dan hak menunda sekaligus
membatalkan keputusan daerah serta hak untuk mengatur hal-hal yang dilalaikan
oleh locale raad.3
Fase kedua sesudah Perang Dunia I ditandai dengan munculnya
ketidakpuasan atas penyelenggaraan desentralisasi lama tersebut karena dianggap
terlalu sedikit dan terbatas maka keuangan dan kewenangan diserahkan kepada
daerah. Masyarakat golongan Bumi-Putera dan Eropa menyuarakan
ketidakpuasan tersebut. Akhirnya dikeluarkanlah pembaharuan dalam bentuk Wet
op de Bestuurshervorming pada tahun 1922. Ciri kebijakan ini adalah pemberian
hak otonomi yang lebih luas dan tegas kepada daerah otonom yang
memungkinkan pembentukan daerah otonom yang lebih luas dari “Gewest” lama
(karisidenan) dengan nama “Provincie” (provinsi), dan dapat dibentuk daerah
otonom yang tingkatannya lebih rendah yakni regentschap (kabupaten) dan
staadsgemeente (kotapraja). Susunan pemerintah daerah pada umumnya terdiri
dari tiga organ, yakni raad (dewan), college (menjalankan pemerintahan sehari-
hari), dan kepala daerah (gouverneur, regent, burgemeester) yang merupakan
kepala daerah administratif.4
Fase ketiga terjadi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-
1945). Jepang menerapkan pemerintahan militer dengan membagi wilayah
Indonesia menjadi tiga bagian, yakni pemerintahan militer angkatan darat yang
berkedudukan di Jakarta untuk Jawa dan Madura, serta berkedudukan di
Bukittinggi untuk wilayah Sumatera, serta pemerintahan militer angkatan laut
berkedudukan di Makassar untuk wilayah Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara,
Maluku, dan Irian Barat. Pada masa penjajahan Jepang, kedudukan provinsi
dihapus dan diganti dengan Syuu (setingkat karesidenan) sebagai daerah tingkat
teratas dan terpenting dalam pemerintahan daerah. Syuu membawahi Ken dan Si
dalam wilayahnya. Selain itu dibentuk Tokubetu Si yang mempunyai kedudukan
3
M. R. Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2007), hlm. 130.
4
Ibid., hlm. 131

5
setingkat Syuu. Raad dan college dihapuskan dan wewenangnya sekaligus
dijalankan oleh kepala daerah (Kentyoo dan Setyoo) sehingga membentuk sistem
pemerintahan tunggal. Pelaksanaan pengawasan terhadap daerah otonom
dilakukan oleh Gunseikan (Panglima Besar Militer Jepang).5
Fase keempat terjadi pada masa kemerdekaan Republik Indonesia dengan
dikeluarkan UU Nomor 1 Tahun 1945 sebagai pelaksanaan atas pasal 18 UUD
1945. Pada prinsipnya, UU ini bertujuan untuk mengadakan penyeragaman di
dalam pemerintah daerah seluruh Indonesia dan penyederhanaan jenjang
pemerintahan sampai maksimum tiga tingkatan, yakni provinsi, kabupaten (kota
besar), dan kota kecil. Tujuan lainnya adalah menghapuskan dualisme
pemerintahan karena kepala daerah juga memiliki pemerintahan sendiri seperti
pada masa penjajahan Belanda dan mengembalikannya kepada kedaulatan rakyat.
Tujuan berikutnya adalah untuk memberikan hak otonomi dan medebewind
kepada badan pemerintahan daerah yang disusun secara demokratis.6
Fase kelima adalah masa berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1948 yang
dianggap sebagai peraturan pelaksana Pasal 18 UUD 1945 yang bisa berlaku
efektif. Ada tiga tingkatan daerah otonom yakni provinsi, kabupaten atau kota
besar, dan desa atu kota kecil. Pemerintah daerah terdiri atas Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah. Daerah otonom memiliki dua
fungsi yakni mengatur dan mengurus otonominya. Maksud dari UU ini secara
umum adalah untuk mengadakan penyeragaman pemerintahan daerah seluruh
Indonesia, penghapusan sistem “sluitpost” (menutup kekurangan anggaran
pemerintah daerah yang seluruhnya dibebankan kepada pemerintah pusat), dan
kepala daerah mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD serta berhak menangguhkan
pelaksanaan keputusan DPRD dan DPD.7
Fase keenam terjadi setelah diberlakukanya UU Nomor 1 Tahun 1957
yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 131 dan 132 UUDS 1950. Ada tiga
tingkatan daerah otonom, yakni Daerah Tingkat I (provinsi, termasuk Kotapraja
Jakarta Raya), Daerah Tingkat II (kabupaten/kota besar), Daerah Tingkat III
5
Ibid., hlm. 131-132.
6
Ibid., hlm. 132.
7
Ibid., hlm. 133

6
(desa/kota kecil). Pemerintah daerah terdiri atas DPRD dan DPD. Perubahan
penting dalam UU ini adalah dihapuskannya dualisme pemerintahan daerah
dengan ketentuan kepala daerah hanya menjalankan tugas-tugas yang menjadi
urusn daerah otonomnya dengan tugas pengawasan yang selama ini diembannya
diambil alih oleh Menteri Dalam Negeri.8
Fase ketujuh adalah diberlakukannya UU Nomor 18 Tahun 1965 yang
dipicu oleh lemahnya posisi Kepala Daerah dalam UU Nomor 1/1957, terutama
berlakunya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 1959. Dengan berlakunya
UU Nomor 18 Tahun 1965 merupakan pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945, dengan
tetap ada tiga tingkatan daerah otonom namun berubah menjadi provinsi/kotaraya,
kabupaten/kotamadya, dan kecamatan/kotapraja. Pemerintah daerah terdiri atas
kepala daerah dan DPRD yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri serta memegang kekuasaan mengenai pengelolaan keuangan daerah.
DPRD menetapkan peraturan daerah yang harus ditandatangani oleh kepala
daerah. Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah memegang pimpinan
kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi
antara jawatan-jawatan dengan pemerintah daerah, mengadakan pengawasan atas
jalannya pemerintah daerah, dan menjalankan perintah pemerintah pusat. Sebagai
alat Pemerintah Daerah, ia memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif
pemerintah daerah di bidang ekonomi dan medebewind.9
Fase kedelapan dilatarbelakangi oleh runtuhnya rezim Orde Lama yang
diganti oleh Orde Baru. Pergantian rezim ini terjadi setelah UU No. 18/1965
relatif baru diberlakukan. Ada beberapa faktor yang mendorong Orde Baru
mengeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1974, yakni sejak awal ia menyusun strategi
untuk menciptakan keamanan, ketertiban, ketenangan, persatuan dan stabilitas
politik dengan formula setengah resmi dalam strategi pembangunan berupa para
ahli ekonomi sebagai pembuat kebijakan, ABRI sebagai stabilisator, dan birokrat
sipil sebagai pelaksana. UU Nomor 5/1974 ini mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan

8
Ibid., hlm. 133-134
9
Ibid., hlm. 134-135

7
medebewind untuk mencapai prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab,
bukan lagi otonomi nyata yang seluas-luasnya. Daerah otonom lalu
disederhanakan menjadi dua tingkatan, yakni Daerah Tingkat I (setingkat
provinsi) dan Daerah Tingkat II (setingkat kabupaten/kotamadya).10
Fase kesembilan pemerintahan daerah di Indonesia terjadi dalam era
reformasi yang ditandai dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan terjadi
beberapa perubahan mendasar yang terkandung dalam UU ini. Penyerahan urusan
yang semula mempergunakan prinsip ultra vires doctrine berubah menjadi
general competence. Selain itu, UU ini lebih memberdayakan DPRD dengan tiga
fungsi, yakni pengaturan, penganggaran, dan pengawasan. Kepala daerah kini
tidak lagi berfungsi ganda sebagai alat pemerintah pusat melainkan hanya sebagai
perangkat pemerintah daerah, ia dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD
dalam tiga jenis pertanggung jawaban setiap taun anggaran, mengenai hal tertentu
atas permintaan DPRD dan pada masa akhir jabatan. Kini DPRD memiliki hak
untuk mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada presiden. Perbedaannya
dalam fase pemerintahan daerah ini adalah berubahnya jenis bantuan keuangan
pemerintah pusat dari bentuk spesific grant menjadi block grant.11
Fase kesepuluh melihat beberapa kelemahan yang terjadi dalam fase
kesembilan, untuk itu UU Nomor 22 Tahun 1999 akhirnya disempurnakan
menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004. Beberapa perubahan penting yang
terkandung dalam kebijakan baru ini menyangkut semangat memasukkan kembali
pertimbangan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
partisipatif. Perubahan penting lainnya adalah penentuan kepala daerah yang
dilakukan melalui cara pemilihan langsung oleh masyarakat tidak lagi melalui
mekanisme pemilihan oleh DPRD. Selain itu, pembagian urusan kepada provinsi
kini lebih dipertegas daripada yang diatur dalam UU sebelumnya.12
B. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Dari perspektif hubungan struktur kelembagaan pemerintahan, implikasi
politik dari kewenangan urusan pemerintahan adalah adanya divergensi atau
10
Ibid., hlm. 135
11
Ibid., hlm. 136
12
Ibid., hlm. 137

8
pembagian urusan, yang kemudian setiap urusan dibagi ini menjadi kewenangan
dari setiap struktur pemerintahan. Filosofi yang mendasari diperlukan adanya
pembagian urusan pemerintahan adalah karenaa wilayah yang terlalu luas untuk
diurus oleh Pemerintah Pusat saja; oleh karena itu diperlukan desentralisasi
dengan pembentukan daerah otonom dan pembagian urusan.13
Eksistensi pemerintahan daerah sebagai bagian dari pemerintahan
nasional, dalam konteks kesejahteraan masyarakat adalah sangat penting.
Sebagaimana dalam Pasal 18 (a) UUD 1945 yang memberikan makna bahwa
Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota berkewajiban untuk
menciptakan ketertiban dan ketentraman serta kesejahteraan masyarakat.14
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pembagian urusan
pemeriintahan diatur secara rinci (pasal 10-18)
1. Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menurut Undang-Undang
ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal, agama)
2. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber
pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan
urusan yang di desentralisasikan.
3. Daerah yang memiliki laut diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya
wilayah laut (pasal 18 ayat (1)).15

Distribusi urusan pemerintahan di antara tingkat pemerintahan didasarkan


pada tiga kriteria, yaitu:
1. Eksternalitas (spill-over)
Siapa kena dampak, mereka yang berwenang mengurus. Pendekatan dalam
pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat
yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan tersebut. Apabila dampak
yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi
13
J. Kaloh, Op. Cit., hlm. 168.
14
Ibid.
15
B. N. Marbun, DPRD dan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Surya Multi Grafika, 2005),
hlm. 59

9
urusan kabupaten/kota. Apabila regional, menjadi urusan provinsi, dan apabila
nasional menjadi kewenangan pusat.
2. Akuntanbilitas
Yang berwenang mengurus adalah tingkatan pemerintahan yang paling dekat
dengan dampak tersebut (sesuai dengan prinsip demokrassi). Pendekatan
dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat
pemerintahan yang menangani sesuatu bagian dari urusan adalah tingkat
pemerintahan yang lebih langsung/ dekat dengan dampak/akibat dari urusan
yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntanbilitas penyelenggaraan
bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
3. Efisiensi
Otonomi daerah harus mampu menciptakan pelayanan publik yang efisien dan
mencegah high cost economy. Efisiensi dapat dicapai melalui skala ekonomis
(economic of scale) pelayanan publik. Skala ekonomis dapat dicapai melalui
cakupan pelayanan yang lebih optimal. Pendekatan ini dengan pertimbangan
bahwa apabila suatu urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih
berdaya guna dan berhasil guna dilaksanakan dalam suatu strata pemerintahan,
maka strata pemerintahan itulah yang lebih tepat untuk menangani urusan
pemeritahan yang dimaksud. Daya guna dan hasil guna dapat diukur dari
proses yang lebih cepat, tepat dan mura, serta manfaatnya lebih besar, luas dan
dengan resiko yang minimal.16
Bagian urusan pemerintahan yang dilaksanakan masing-masing tingkatan
pemerintahan berdasarkan tiga kriteria tadi adalah sebagai berikut:
1. Pusat berwenang membuat norma, standar, prosedur, keuangan, supervisi,
fasilitas, dan urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas nasional.
2. Provinsi berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan
dengan eksternalitas regional (lintas kabupaten/kota)
3. Kabupaten/kota berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan
pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam satu kabupaten/kota)17

16
Ibid., hlm. 171
17
Ibid., hlm. 172.

10
C. Prinsip-Prinsip Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah
pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertagung
jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada
hak, maka dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pemberian kewenangan
otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan pada asas
desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Kewenangan otonomi luas adalah kekuasaan Daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya
yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disamping itu, kekuasaan
otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.
Otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan
diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di Daerah. Sedangkan otonomi
yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai
konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepala Daerah dalam wujud tugas
dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian
otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang
semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan,
serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-
Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi untuk Daerah Propinsi diberikan secara terbatas yang meliputi
kewenangan lintas Kabupaten dan Kota, dan kewenangan yang tidak atau belum
dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, serta kewenangan bidang
pemerintahan tertentu lainnya.18

18
Deddy Supriady Bratakusumsh dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm.3-4

11
Atas dasar pemikiran diatas, berdasarkan penjelasan Undang-Undang No.
32 tahun 2004, prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah: 
1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan aspek demokrasi,
keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah dan
daerah kota, sedangkan otonomi provinsi adalah otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan otonomi harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap
terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah
kabupaten dan derah kota tidak lagi wilayah administrasi. Demikian pula di
kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah.
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan,
mempunyai fungsi anggaran atas penyelenggaraan otonomi daerah.
7. Pelaksanaan dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukan
sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah
tertentu dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.
8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya di pemerintah
daerah dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan, sarana dan pra
sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan
dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.19
Perbandingan prinsip otonomi yang dianut oleh Indonesia:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
Otonomi nyata dan bertanggung jawab (Penjelasan Umum Romawi I huruf
e).
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

http://oto-watcher.blogspot.co.id/2013/06/prinsip-otonomi-daerah.html , diakses pada


19

Jumat, 1 April 2016 pukul 19.06

12
Otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab (Penjelasan Umum angka 1
huruf h).
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus
dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan
Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini (Penjelasan Umum
angka 1 huruf b).20

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam otonomi daerah, yaitu:


a. Prinsip otonomi seluas-luasnya, artinya daerah berwenang mengatur
semua urusan pemerintahan yang ditetapkan Undang-undang (misalnya
selain bidang-bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiscal nasional, serta agama).
b. Prinsip otonomi nyata adalah bahwa untuk menangani urusan
pemerintahan, berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang
senyatanya telah ada serta berpotensi untuk hidup dan berkembangsesuai
potensi serta kekhasan daerah.

Prinsip otonomi bertanggung jawab adalah otonomi yang


penyelenggaraannya benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian
otonomi. 21

D. Asas-Asas Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah


Pada dasarnya prinsip penyelenggaraan otonomi daerah mencakup:
1. Asas desentralisasi
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).22

20
B.N. Marbun, Op. cit., hlm. 59-60
21
Dewi Aniaty, Aviani Santi, dan Dadang Sundawa, Pendidikan Kewarganegaraan 3
SMP dan MTs Kelas IX, (Jakarta: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm.42-43
22
J. Kaloh, Op. cit, hlm. 258.

13
Dengan demikian, prakarsa, wewenang, dan tanggung jawab mengenai
urusan-urusan yang diserahkan tadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab
daerah itu, baik mengenai politik kebijaksanaan, perencanaan, dan
pelaksanaannya maupun mengenai segi-segi pembiayaannya. Perangkat
pelaksanaannya adalah perangkat daerah sendiri.23
2. Asas dekonsentrasi
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 , dekonsentrasi adalah sebagai
pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur
sebagai wakil pemerintah/dan atau kepala instansi vertikal di wilayah
tertentu.24
Tanggung jawab tetap ada pada Peerintah Pusat. Baik perencanaannya
maupun pembiayaannya tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Unsure pelaksanaannya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam
kedudukannya selaku wakil pemerintah pusat. Latar belakang diadakannya
system dekonsentralisasi ialah bahwa tidak semua urusan Pemerintah Pusat
dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah menurut asas desentralisasi.25
3. Asas tugas pembantuan
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah penugasan dari pemerintah
kepada daerah dan/atau desa dari Pemerintah Provinsi kepada kabupaten/kota
dan/atau desa, serta dari kebupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan
tugas tertentu.26
Misalnya, Kotamdya menarik pajak-pajak tertentu seperti pajak kendaraan
yang sebenarnya menjadi hak da n urusan Pemerintah Pusat. Berdasarkan
prinsip-prinsip diatas, jelaslah bahwa wilayah Indonesia dibagi menjadi
daerah-daerah otonom dan wilayah-wilayah administrasi.
Daerah otonom atau daerah swatantra adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas wilayah tertentu, yang berhak, berwenang, dan
berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan

23
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Op. cit, hlm.3
24
J. Kaloh, Op. cit, hlm. 259.
25
.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Op. cit, hlm.4
26
J. Kaloh, Op. cit, hlm. 259

14
Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Daerah dibentuk berdasarkan asas desengtralisasi.
Wilayah administrasi atau wilayah adalah lingkungan kerja perangkat
pemerintah yang menyelenggarakan tugas pemerintahan umum di daerah.
Wilayah ini dibentuk berdasarkan asas dekonsentralisasi.
Syarat-syarat dibentuknya suatu daerah, antara lain:
a. Mampu membiayai kehidupannya (kemampuan ekonomi);
b. Jumlah penduduk yang ditentukan;
c. Luas daerah;
d. Memperhatikan pertahanan dan keamanan nasional;
e. Pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa;
f. Dapat melaksanakan pembangunan untuk daerahnya.27
E. Otonomi Daerah dan Prospeknya di Masa Mendatang
Kebijakan otonomi daerah pada hakikatnya adalah upaya pemberdayaan
dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat memenuhi aspirasi
berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta
hubungan Pusat dan Daerah. Jika kita memperhatikan prinsip-prinsip pemberian
dan penyelenggaraan otonomi daerah dapat diperkirakan prospek ke depan dari
otonomi daerah tersebut. Untuk dapat mengetahui prospek tersebut dapat
dilakukan dengan berbagai pendekatan, antara lain aspek ideologi, politik, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan.
Aspek ideologi, sudah jelas bahwa Pancasila merupakan daar falsafah
negara dan sekaligus ideologi nasional. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara
lain pengakuan Ketuhanan, semangat persatuan dan kesatuan nasional,
pengakuan hak azasi manusia, demokrasi, dan keadilan dan kesejahteraan sosial
bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan otonomi daerah dapat diterima dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui otonomi daerah

27
S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Op. cit, hlm.4

15
nilai-nilai luhur Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam
setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia.28
Aspek politik, pemberian otonomi dan kewenangan kepada daerah
merupakan suatu wujud dari pengakuan dan kepercayaan pusat kepada daerah.
Pengakuan pusat terhadap eksistensi daerah serta kepercayaan dengan
memberikan kewenangan yang luas kepada daerah akan menciptakan hubungan
yang harmonis antara pusat dan daerah. Selaanjutnya kondisi tersebut akan
mendorong tumbuhnya dukungan daerah terhadap pusat dimana akan memperkuat
persatuan dan kesatuan bangsa. Kebijakan otonomi daerah sebagai upaya
pendidikan politik rakyat akan membawa dampak terhadap peningkatan
kehidupan politik di daerah.29
Aspek ekonomi, kebijakan otonomi daerah yang bertujuan untuk
pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan kepada daerah
untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan
pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan
terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. Melalui kewenangan yang
dimilikinya untuk mengatur dan mengurus masyarakat, daerah akan berupaya
untuk meningkatkan perekonomian sesuai kondisi, kebutuhan, dan kemampuan.
Kewenangan daerah melalui otonomi daerah diharapkan dapat memberikan
pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional,
regional, maupun global.30
Aspek sosial budaya, kebijakan otonomi daerah merupakan pengakuan
terhadap keanekaragaman daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai sosial
dan budaya serta potensi lainnya yag terkandung di daerah. Pengakuan pusat
terhadap keberagaman daerah merupakan suatu nilai penting bagi eksistensi
daerah. Dengan pengakuan tersebut daerah akan merasa setara dan sejajar dengan
suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya
mempersatukan bangsa dan negara. Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai

28
Hassan Suryono, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi, (Surakarta: UNS Press, 2014), hlm.141.
29
Ibid.
30
Ibid.

16
budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan budaya
lokal akan memperkaya khasanah budaya nasional.31
Aspek pertahanan keamanan, kebijakan otonomi daerah memberikan
kewenangan kepada masing-masing daerah untuk memantapkan kondisi
ketahanan daerah dalam kerangka Ketahanan Nasional. Pemberian kewenangan
kepada daerah akan menumbuhkan kepercayaan daerah terhadap pusat.
Tumbuhnya hubungan dan kepercayaan daerah terhadap pusat akan dapat
mengeliminir gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia.32
Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek
ideologi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan
otonomi daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan otonomi daerah
mempunyai prospek yang sangat bagus di masa mendatang dalam menghadapi
segala tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.33
Namun demikian propek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana
jika berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan
baik. Untuk mewujudkan prospek otonomi daerah di masa mendatang tersebut
diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya yaitu:
1. Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah
dan lembaga perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan
implementasi kebijakan otonomi daerah.
2. Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi
kebijakan otonomi daerah.
3. Kepercayaan dan dukunngan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam
mewujudkan cita-cita otonomi daerah.34

31
Ibid., hlm. 142
32
Ibid.
33
Ibid.
34
Ibid., hlm. 143

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Fase terbentuknya otonomi daerah dimulai pada fase keenam, dimulai dengan
adanya tiga tingkatan daerah otonom. Selanjutnya pada masa orde baru
dirubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 daerah otonom
disederhanakan menjadi 2 tingkatan dan prinsipnya menjadi prinsip otonomi
yang nyata dan bertanggungjawab.
2. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pembagian urusan
pemerintahan diatur secara rinci (pasal 10-18):
a. Pemerintahan Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menurut
Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal, agama)
b. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan
sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian
sesuai dengan urusan yang di desentralisasikan.
c. Daerah yang memiliki laut diberi kewenangan untuk mengelola sumber
daya wilayah laut (pasal 18 ayat (1)).
3. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam otonomi daerah, yaitu:
a. Prinsip otonomi seluas-luasnya, artinya daerah berwenang mengatur
semua urusan pemerintahan yang ditetapkan Undang-undang (misalnya
selain bidang-bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiscal nasional, serta agama).
b. Prinsip otonomi nyata adalah bahwa untuk menangani urusan
pemerintahan, berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang
senyatanya telah ada serta berpotensi untuk hidup dan berkembangsesuai
potensi serta kekhasan daerah.

18
4. Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah:
1. Asas desentralisasi
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Asas dekonsentrasi
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 , dekonsentrasi adalah sebagai
pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur
sebagai wakil pemerintah/dan atau kepala instansi vertikal di wilayah
tertentu
3. Asas tugas pembantuan
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah penugasan dari pemerintah
kepada daerah dan/atau desa dari Pemerintah Provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari kebupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
4. Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek ideologi,
politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan
otonomi daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan
otonomi daerah mempunyai prospek yang sangat bagus di masa mendatang
dalam menghadapi segala tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

B. Saran
1. Sebaiknya dalam mengatasi berbagai kendala dan tantangan harus dilakukan
dengan baik agar menciptakan suasana yang kondusif untuk mewujudkan
prospek otonomi daerah di masa mendatang.
2. Para penyelenggara otonomi daerah harus memiliki konsistensi terhadap
implementasi kebijakan otonomi daerah.

19
DAFTAR PUSTAKA

Aniaty, Dewi, Aviani Santi dan Dadang Sundawa. 2009. Pendidikan


Kewarganegaraan 3 SMP dan MTS Kelas IX. Jakarta: PT. Remaja
Rosdakarya.

Bratakusumah, Deddy Supriady dan Dadang Solihin. 2004. Otonomi


Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil. 2002. Pemerintahan Daerah di


Indonesia, Hukum Administrasi Daerah 1903-2001. Jakarta: Sinar
Grafika.

J. Kaloh. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Putra, I Gede Wisnu Satria Chandra. 2013. Prinsip Otonomi Daerah. http://oto-
watcher.blogspot.co.id/2013/06/prinsip-otonomi-daerah.html. Diakses
pada Jum’at 1 April 2016 pukul 19.06.

Suryono, Hasan, dkk. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai


Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Surakarta: UNS Press.

Muluk, M. R. Khairul. 2007. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Malang:


Bayumedia Publishing.

20

Anda mungkin juga menyukai