Anda di halaman 1dari 26

ILMU EKONOMI PERUSAHAAN PENERBANGAN

MAKALAH :
“Perkembangan Angkutan Udara Komersial di Dunia pada umum nyadan khusus nya di
Indonesia tahun 2020-2025 ( empiris 5 tahun kebelakang)”
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ini

Disusun oleh :
SUBHAN MARDIKA
MTU-E
180505011057
Dosen Pengajar : IRZA TANJUNG SE.MM

INSTITUT TRANSPORTASI DAN LOGISTIK TRISAKTI


PROGRAM STUDI MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan lagi Maha Penyayang. Selain itu,
Kami juga memanjatkan puji syukur atas limpahan berkah dan hidayah-Nya, sehingga
penyelesaiaan makalah Serat Alam sebagai Bahan Baku Bisnis Kerajinan Tangan bisa berjalan
lancar. Kami juga berharap, agar makalah ini bisa menjadi inspirasi bagi para pembaca guna
mendirikan bisnis kerajinan tangan di Indonesia yang bisa berpotensi untuk dilakukan ekspor.

Makalah ini saya susun dengan lengkap dan detail, sehingga orang yang masih awam dapat
memahami mengenai informasi yang berkaitan dengan budidaya ikan Nila. Kami juga
menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang sudah berkontribusi dalam
penyelesaian makalah ini.

Saya juga menyadari bahwa saya masih memiliki banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Kamu memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan kata, sehingga
kami membuka dan menerima kritik dan saran bagi seluruh pembaca.

Akhir kata saya sampaikan, semoga makalah ini bisa bermanfaat dan memberi inspirasi bagi
seluruh orang yang membaca.saya juga berharap, agar makalah ini bisa menjadi sumber
informasi tentang perusahaan penerbangan .
1,1 DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
Latar Belakang.............................................................................................................................4
Rumusan Masalah........................................................................................................................4
Tujuan penulisan..........................................................................................................................4
BAB II..........................................................................................................................................5
PENYEBAB MASKAPAI INDONESIA BANGKRUT.............................................................6
VIRUS CORONA MENGANCAM MASKAPAI PENERBANGAN.......................................9
BAB III......................................................................................................................................12
LOW COST CARRIER ( LCC )................................................................................................12
BAB IV......................................................................................................................................19
PERUBAHAN KURS DOLLAR BERPENGARUH TERHADAP HARGA AVTUR...........19
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA AVTUR MAHAL........................................22
Pelemahan Rupiah Beratkan Industri Penerbangan...............................................................22
ditentukan.....................................................................................................................................22
KESIMPULAN..........................................................................................................................24
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perkembangan jasa pelayanan maskapai penerbangan dari tahun ke tahun semakin menjadi
perhatian masyarakat luas. Hal itu dapat dilihat dari ketatnya persaingan pelayanan, harga, dan
promosi yang ditawarkan berbagai maskapai penerbangan. Daya tarik (attractiveness)industry
penerbangan cukup besar dan menjanjikan. Hal ini dapat dilihat banyaknya industry penerbangan
yang menggeluti bisnis tersebut. Di lihat dari market size, industry penerbangan cukup
menggiurkan,setiap hari diseluruh dunia lebih dari empat juta penumpang yang lewat udara.
Suatu ukuran pasar yang cukup besar. Permintaan (demand) akan angkutan udara masih
memungkinkan meningkat diatas jumlah tersebut, terlebih pada musim sibuk (peak season)
seperti hari libur anak sekolah, hari besar keagamaan atau musim sepi/hari biasa (low season)
Dan banyak maskapai penerbangan yang kini terancam bangkrut dikarenakan tinggi nya biaya
oprasional dan mahal nya biaya perawatan pesawat yang tidak sebanding dengan pendapatan
yang di terima oleh airline tersebut. Tentu hal ini bias menjadi factor besar yang mengakibatkan
bangkrut nya sebuah maskapai penerbangan

Rumusan Masalah
1. Pengaruh apa saja yang membuat airlines bisa bangkrut
2. Penggunaan low cost carrier (LCC)
3. Perubahan kurs dollar rupiah berpengaruh pada harga bahan bakar avtur pesawat

Tujuan penulisan
1. Untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah IEPP
2. Berbagi wawasan kepada pembaca
3. Membagi informasi tentang potensi bangkrut nya maskapai penerbangan
4. Meningkatkan wawasan tentang industry penerbangan

BAB II
PEMBAHASAN

1.4 PENYEBAB AIRLINES BANGKRUT

Berikut Tagar rangkum empat penyebab banyaknya maskapai penerbangan yang bangkrut


dalam dua tahun terakhir.

1. Tingginya Biaya Operasional 

Isu biaya operasional maskapai penerbangan merupakan salah satu pemicu bangkrutnya
beberapa maskapai di dunia. 

Dilansir dari laman simpleflying.com, maskapai penerbangan saat ini mengeluarkan banyak dana
untuk membayar bahan bakar. Bahkan, kebijakan bahan bakar yang variatif di setiap negara
membuat keuangan maskapai terganggu.

Berdasarkan data yang dirilis Statista pada 2018, kebutuhan avtur menghabiskan rata-rata 23,5
persen dari biaya operasional maskapai pesawat terbang. Meski angka ini jauh lebih rendah dari
2012 yang mencapai 32,3 persen, namun diprediksi fluktuasi biaya avtur akan naik secara
perlahan dalam beberapa tahun ke depan.

Selain avtur, anggaran untuk membayar gaji karyawan merupakan salah satu pengeluaran


terbesar maskapai penerbangan. Dilansir dari Reuters, rata-rata maskapai penerbangan
menghabiskan 22 persen dari anggaran operasionalnya pada 2016. 

Sementara itu, Asosiasi Angkutan Udara Internasional (IATA) memprediksi secara global
maskapai penerbangan di dunia akan merugi sebesar 5 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau
sekitar Rp 70,4 triliun untuk menggaji pegawai setiap tahun.

2. Strategi Bisnis yang Buruk

Strategi bisnis yang buruk penyebab banyaknya maskapai penerbangan bangkrut. Monarch


Airlines salah satu maskapai yang tidak beroperasi kembali karena buruknya manajemen bisnis. 

Maskapai penerbangan berbiaya rendah asal Inggris itu tutup pada 2017 lalu, karena membuka
banyak destinasi yang tidak sebanding dengan arus penumpang.

Akibatnya, biaya operasional seperti pajak, biaya parkir, dan sebagainya membengkak dan
membebani keuangan maskapai.

3. Gagal Melakukan Ekspansi

Ekspansi dalam dunia bisnis merupakan salah satu pencapaian yang belum tentu dapat dilakukan
semua perusahaan. Dengan melakukan ekspansi bisnis, maka jaringan dan pada gilirannya akan
meningkatkan jumlah pendapatan (income). Strategi tersebut terjadi di sektor bisnis penerbangan
komersial.

Namun, upaya ekspansi tersebut juga memiliki risiko bisnis. Pengembangan bisnis yang
dilakukan justru menjadi benalu dalam keuangan perusahaan secara keseluruhan. 

Hal tersebut menimpa salah satu maskapai asal Denmark, Primera Airline. Dalam rangka
mengembangkan usaha, Primera melakukan ekspansi dengan merilis program penerbangan
trans-atlantik dengan skema biaya rendah. Namun, program ini tidak mendapatkan profit, justru
membebani keuangan maskapai sehingga bangkrut.
PENYEBAB MASKAPAI INDONESIA BANGKRUT

Batavia Air bukan satu-satunya maskapai yang tutup di industri penerbangan nasional. Padahal
potensi industri penerbangan di tanah air tersebut masih sangat menjanjikan.

Sebutlah, Adam Air yang tutup pada 2008 lalu. Selain itu Bouraq Airlines, dan Mandala Airlines
yang kemudian hidup kembali setelah dibeli Saratoga Group. Para maskapai tersebut terpaksa
menutup usahanya karena berbagai alasan.

Pengamat penerbangan, Alvin Lie, menilai ada banyak hal yang menyebabkan banyak maskapai
nasional bertumbangan. "Ini terjadi meski industri penerbangan nasional sedang tumbuh," ujar
dia kepada Liputan6.com, Kamis (31/1/2013).

Dia menilai kondisi di Indonesia juga terjadi di negara lain, bahkan negara maju sebesar
Amerika Serikat (AS). Khusus di Indonesia, dia memiliki penilaian sendiri sebagai faktor para
maskapai tersebut bisa bangkrut:

Pertama, dia menilai pertumbuhan industri penerbangan tidak merata. Banyak rute penerbangan
yang pertumbuhannya pesat sekali di satu daerah, sementara ada yang rendah sekali. Para
maskapai kurang pandai melakukan subsidi silang pendapatan dari rute-rute tersebut.

Kedua, banyak maskapai yang fokus pada segmen penerbangan bertarif murah (low cost
carrier/LCC) dan meninggalkan kelas atas (premium) dan menengah. Hasilnya, persaingan di
segmen LCC kian ketat karena terlalu banyak pemain.

Padahal, ada kelas lain yang bisa mereka garap seperti hal yang dilakukan PT Garuda Indonesia
Tbk yang fokus kembali ke segmen premium dan ternyata berhasil.

Ketiga, dia menilai maskapai LCC hanya fokus pada pemasaran seperti menawarkan tarif tiket
murah semata. Padahal, mereka seharusnya juga mengembangkan efisiensi pada berbagai hal
dengan konsep LCC tersebut seperti pada perputaran uang atau masalah manajemen internal.

Menurut dia, langkah efisiensi berlaku pada semua sektor, tidak sebatas pemasaran dan
pemberian tiket. "Hal ini yang membuat mereka 'keteteran," lanjut dia.

Khusus Batavia, dia menilai seharusnya perusahaan tidak perlu memiliki banyak jenis pesawat.
Dengan memiliki jenis pesawat lebih sedikit akan menciptakan efisiensi.

"Saat ini dari total 35 pesawat, Batavia memiliki 5 jenis pesawat. Hal tersebut tidak efisien dalam
hal logistik dan suku cadang," tandasnya.

Keempat, para maskapai harus pandai menambah pendapatan. Mereka diminta mencari sumber
pemasukan dengan cara lain.

Dia mencontohkan, dengan menawarkan konsumsi tambahan di dalam pesawat atau suvenir.
Langkah lain memberlakukan pembelian tiket sejak jauh hari. Pemasukan keuangan dari
pembelian tiket tersebut dapat diputar operasional perusahaan.

Terakhir, terkait ketepatan waktu penerbangan. "Kelemahan Batavia dinilai terletak pada
efisiensi waktu. Dia tidak mampu mencapai on time performance. Padahal unsur waktu krusial
dalam penerbangan karena juga terkait biaya," tandasnya. (Nur)

Sejumlah maskapai penerbangan Tanah Air tengah menghadapi situasi sulit di tengah wabah
virus corona atau COVID-19 yang saat ini melanda hampir seluruh wilayah di Indonesia. 

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association
(INACA), Denon Prawiraatmadja, Minggu (29/3).

“Sejumlah langkah diambil, terutama untuk memilih opsi tutup operasi. Selain itu, maskapai
nasional juga mulai merumahkan atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)
karyawannya baik bagi pilot, awak kabin, teknisi dan karyawan pendukung lainnya,” ujar
Denon. 

Dijelaskan, sejak awal bulan Maret 2020 ini terjadi penurunan jumlah penumpang yang sangat
drastis.

Karena itu, kata dia, semua maskapai penerbangan sudah mengurangi jumlah penerbangan baik
rute dan frekuensinya sampai dengan 50% atau lebih.

"Kalau dilihat banyak pesawat-pesawat parkir di airport, pesawat parkir itu pasti akan sangat
tidak efektif bagi perusahaan, jika (karyawan) masih harus hadir ke kantor," ungkapnya.

Adapun karyawan yang paling banyak di rumahkan ialah yang terlibat dalam kegiatan produksi
maskapai. Mulai dari bagian mekanik pesawat, pilot, hingga pramugari.
"Kalau kegiatan operasionalnya turun, yang akan banyak berkurang aktivitasnya adalah
karyawan yang berada di daerah operasional seperti pilot, engineer, pramugari dan kru yang
lainnya. Itu kan kalau pesawatnya berhenti berarti mereka ikut (berhenti)," bebernya. 

Dirinya pun menilai, industri penerbangan nasional sangat terpuruk akibat wabah Covid-19. Jika
tak ada respon positif dari pemerintah terkait hal ini maka dipastikan akan terjadi PHK besar-
besaran. 

“Dampaknya bukan hanya di industri penerbangan itu sendiri tapi juga untuk industri
pendukungnya baik hilir maupun hulu seperti bengkel pesawat, ground handling, dan agen
perjalanan yang terlibat,” ujar Denon.

Terkait karyawan yang di rumahkan digaji atau tidak, ia tidak mengetahuinya secara pasti.

Menurutnya, hal itu merupakan kebijakan dari masing-masing maskapai. 

"Itu variasi (digaji atau tidak) tergantung dari masing-masing perusahaan," sebutnya. 

"Untuk ini, INACA sangat mengharapkan respon positif dari Pemerintah yang cepat untuk
menghindari gelombang perumahan dan PHK yang tidak bisa dihindari tersebut,” pungkasnya.
PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk atau GMF mengaku tengah berdiskusi dengan
pemerintah terkait pembebasan bea masuk suku cadang pesawat terbang. Ini merupakan tindak
lanjut dari kebijakan pemerintah untuk menekan tiket pesawat melalui efisiensi biaya
operasional maskapai penerbangan.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama GMF Tazar Marta Kurniawan menuturkan impor suku
cadang pesawat terbang mencapai 300 jenis. Dari jumlah tersebut, baru 25 komponen yang
mendapatkan pembebasan bea masuk. Sedang sisanya, dibebankan pungutan bea masuk dari
rentang 5 persen-20 persen.

"Pembebasan bea masuk, sebelumnya sudah ada ini, tetapi yang kami harapkan bisa seluruhnya.
Sisanya masih progres, kami masih diskusi dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian
Keuangan supaya yang lain bisa masuk bagian dari insentif," katanya, Selasa (25/6).

Meski pelonggaran bea masuk berkontribusi pada penurunan biaya operasional maskapai, namun
Tazar menuturkan kontribusi terbesar justru datang dari biaya perawatan mesin.

Sebab, selama ini maskapai melalui perseroannya melakukan perawatan mesin pesawat di luar
negeri, seperti ke negara-negara di Eropa, Amerika, dan terdekat ke Malaysia.

Saat ini, perseroan baru memiliki dua lisensi perawatan mesin, yakni mesin untuk pesawat seri
A320 dan Boeing 737. Oleh sebab itu, ia bilang perseroan akan fokus meningkatkan kapabilitas
untuk melakukan perawatan mesin-mesin tersebut dalam negeri.

"Kontribusi GMF untuk menekan maintenance (perawatan) adalah meningkatkan kapabilitas


kami dalam negeri, supaya barang tidak dikirim ke luar negeri. (Biaya perawatan) kami hanya
US$40-US$50 per jam kalau di sana sampai US$90-an. Kalau kami kerjakan di sini sudah
berapa penghematan," paparnya.

Selain itu, perseroan menyebut potensi efisiensi di industri penerbangan ada pemberian insentif
pada pajak sewa menyewa mesin yang dibutuhkan selama pemeliharaan pesawat. Ia mengaku
belum membahas hal tersebut kepada pemerintah.

"Itu salah satu potensi. Selama ini kami masih membicarakan suku cadang. Bagi kami
sebenarnya tidak masalah, kalau kami dikenakan pajak kami akan charge lagi ke maskapai," kata
Tazar.

Pemerintah mengaku bakal membebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa sewa
pesawat yang datang dari luar negeri. Hal ini dilakukan guna membantu maskapai menurunkan
biaya operasional demi menurunkan harga tiket pesawat.

Selain pembebasan PPN jasa sewa pesawat, pemerintah berjanji akan memberikan insentif fiskal
bagi jasa sewa, perawatan dan perbaikan pesawat udara dan biaya impor dan penyerahan atas
pesawat udara dan suku cadangnya.

VIRUS CORONA MENGANCAM MASKAPAI PENERBANGAN


Maskapai penerbangan global mengalami paceklik penumpang selama pandemi corona.
Penyebabnya kebijakan negara-negara membatasi perjalanan dan pergerakan manusia
demi memutus penyebaran covid-19. International Air Transport Association (IATA)
mencatat 100 negara dunia membatasi perjalanan keluar dan masuk wilayahnya.  
Merujuk data OAG Aviation World Wide, tren kapasitas jadwal terbang mengalami
penurunan drastis dalam periode 6 Januari-23 Maret. Titik paling rendah dalam rentang
waktu itu pada 23 Maret, yakni menurut 28,7%.
Akibat hal ini, IATA memprediksi potensi kerugian maskapai penerbangan global akibat
kehilangan penumpang sebesar US$ 252 miliar sepanjang 2020. Kerugian ini berpotensi
membuat separuh dari maskapai dunia bangkrut. Sebab mayoritas maskapai hanya punya
modal untuk dua bulan operasional ketika memulai tahun, sementara setidaknya butuh
tujuh bulan sampai keadaan kembali norma
Guna mencegah kebangkrutan, maskapai penerbangan global telah mengambil langkah
efisiensi. Dalam catatan kami, 16 maskapai mem-PHK dan merumahkan sementara
karyawannya. Di antaranya Emirates yang meminta karyawannya mengambil cuti tak
bergaji mulai akhir Maret dan British Airways yang merumahkan 30 ribu karyawannya.
Di samping itu, maskapai juga mengajukan utang ke swasta dan bantuan ke pemerintah.
Data Bloomberg per 27 April mencatat maskapai di regional Amerika, Eropa dan Asia
telah mendapat lebih dari US$ 31 miliar pinjaman dari bank.
Pinjaman paling banyak diajukan maskapai asal Amerika dengan angka mencapai US$
20 miliar. Diikuti maskapai asal Eropa dengan angka mencapai US$ 7,4 miliar. Terakhir
maskapai di Asia mencapai US$ 4,1 miliar. Sementara untuk bantuan dari pemerintah,
Amerika Serikat (AS) memberi dana talangan sebesar US$ 50 miliar kepada lebih dari
200 maskapai yang dikucurkan sedikit demi sedikit mulai Maret dan direvisi pada 14
April. Melansir Businessinsider, Preisden AS Donald Trump menyatakan dana talangan
diberikan untuk mengembalikan kondisi industri penerbangan seperti semula, bukan
karena permintaan mereka. Berikut adalah deretan maskapai yang mendapat pinjaman
dari bank dan talangan pemerintah selama pandemi: Delta Airlines Maskapai
penerbangan berbendera AS ini, menurut data Bloomberg, mendapatkan utang dari bank
sebesar US$ 5,6 miliar. Sementara dari pemerintah AS mendapat talangan sebesar US$
5,4 miliar. Delta Airlines mengalami limbung setelah memangkas kapasitas rute
internasionalnya antara 20% sampai 25% dan kapasitas domestik 10%-15%. Pada 14
Maret lalu, Delta Airlines telah menerima 4.500 permintaan cuti tanpa gaji sukarela dari
pramugarinya. Permintaan diterima setelah maskapai ini memberi memo agar
pegawainya mengajukan cuti tak bergaji secara sukarela demi menjaga stabilitas
keuangan perusahaan. (Baca: Senat AS Dukung Trump Gelontorkan Stimulus Rp 32.000
T Hadapi Corona) American Airlines American Airlines dalam catatan Bloomberg
mendapatkan utang sebesar US$ 3,73 miliar dari bank. Sementara dari pemerintah AS
maskapai ini mendapat talangan terbanyak, yakni US$ 5,8 miliar. Pandemi corona
membuat maskapai ini memangkas 75% penerbangan interansionalnya sampai 6 Mei
yang mengakibatkan keuangannya terseok. Southwest Airlines Data Bloomberg
menyatakan Southwest Airlines mendapatkan utang sebesar US$ 3,3 miliar dari bank.
Dari pemerintah AS, maskapai ini mendapat dana talangan US$ 3,2 miliar. Maskapai ini
tercatat pula mengurangi kapasitas seluruh rutenya sekitar 20% sejak 14 April sampai 5
Juni 2020. Air France Air France dalam data Bloomberg tercatat sebagai maskapai
dengan jumlah pinjaman ke bank terbanyak, yakni US$ 5,96 miliar. Angka itu terkumpul
setelah enam bank memberi tambahan pinjaman dengan garansi dari pemerintah Perancis
mencapai 90%. Maskapai ini pun sedang merencanakan meminta pinjaman dari
pemerintah Perancis sebesar  € 3 miliar. Pada 16 Maret, Air France merumahkan
sementara 80% stafnya atau sekitar 40 ribu orang. CEO Air France Bens Smith dalam
pernyataan resminya yang dilansir media aerotime.aero pada 17 Maret mengatakan,
kebijakan ini dilakukan karena kapasitas terbang telah turun 90%. Maskapai ini juga
memarkir semua pesawat jenis Airbus A380s dan KLM Boeing 747s. (Baca: Eropa
Longgarkan Lockdown, WHO Ingatkan Pandemi Belum Selesai) Singapore Airlines
Singapore Airlines dalam data Bloomberg tercatat mendapat pinjaman dari bank sebesar
US$ 2,82 miliar. Maskapai ini, seperti diberitakan AlJazeera, mendapat injeksi dari
Temasek Holdings sebesar US$ 13,27 miliar. “Ini adalah masa yang berbeda bagi
perusahaan,” kata bos Singapore Airlines, Peter Seah. Pada 23 Maret, Singapore Airlines
menyatakan memangkas gaji 10 ribu stafnya. Chief Executive Goh Choong Pong, seperti
dilansit Reuters, menyatakan keputusan ini sudah disepakati bersama dengan serikat
pekerja. Kebijakan lain yang berlaku adalah tawaran cuti tak bergaji untuk level staf
sampai wakil presiden. EasyJet Data Bloomberg mencatat EasyJet menerima pinjaman
sebesar US$ 1,74 miliar. Pinjaman ini didapat dari program Covid Corporate Finance
Facility yang tak berbentuk talangan tapi pinjaman sebesar US$ 744 juta dan tambahan £
400 juta. Sejak pandemi corona terjadi, 344 pesawat EasyJet memarkir 344 pesawatnya
dan belum tahu kapan bisa menerbangkannya lagi. Melansir Reuters, maskapai ini pun
akan merumahkan sementara 4.000 awak kabinnya selama dua bulan. United Airlines
United Airlines tercatat dalam data Bloomberg menerima pinjaman dari bank sebesar
US$ 2,75 miliar. Sementara dari pemerintah AS mendapat dana talangan sebesar US$ 5
miliar. Maskapai ini tercatat mengalami limbung setelah memangkas kapasitas
penerbangan internasionalnya sebesar 95% akibat pandemi. Air Canada Maskapai
berbasis di Kanada ini, menurut data Bloomberg, menerima pinjaman dana dari bank
sebesar US$ 1,6 miliar. Air Canada memang sedang limbung. Pada 30 Maret, Chief
Executive Callin Rovinescu menyatakan merumahkan sementara 16.500 karyawannya
yang terdiri dari 15.200 level pekerja dan 1.300 level manajer. (Baca: Selamatkan
Bisnisnya, PO Bus Beralih Layani Jasa Pengiriman Barang) Alaska Air Alaska Air dalam
data Bloomberg tercatat mendapat pinjaman dari bank sebesar US$ 1,6 miliar. Sementara
dari pemerintah AS mendapat dana talangan sebesar US$ 1 juta. Maskapai penerbangan
yang berbasis di Seattle, AS ini selama pandemi telah mengurangi kapasitas
penerbangannya sebesar 80%. Pemangkasan kapasitas akan dilakukan sampai Juni tahun
ini. Jet Blue Airways Jet Blue Airways mendapat pinjaman dari bank sebesar US$ 1
miliar, seperti tercatat dalam data Bloomberg. Dari pemerintah AS, maskapai ini
mendapat dana talangan sebesar US$ 936 juta. Kondisi keuangannya tersuruk setelah
pendapatan per tempat duduk tersedia menurun 6%. Selain deretan maskapai yang
tersebut di atas, Bloomberg mencatat Bank Taiwan memberi pinjaman masing-masing
sebesar US$ 666 juta kepada China Airlines dan Eva Airways. Begitupun lebih kurang
US$ 5 miliar masih dalam pembahasan untuk dipinjamkan kepada Emirates, ANA
Holdings dan Iberia

BAB III

LOW COST CARRIER ( LCC )


Sejarah lcc.
Maskapai penerbangan bertarif rendah pertama yang berhasil adalah Pacific Southwest
Airlines di Amerika Serikat, yang menjadi perintis konsep tersebut ketika penerbangan
perdananya dilakukan pada tanggal 6 Mei 1949. Cara ini tidak disengaja diberikan
kepada Southwest Airlines yang memulai penerbangannya pada 1971 dan mendatangkan
keuntungan tiap tahunnya sejak 1973. Dengan munculnya deregulasi penerbangan, model ini
menyebar ke Eropa, dimana maskapai yang sukses berasal dari Irlandia, Ryanair, yang memulai
penerbangan bertarif rendahnya pada tahun 1991, dan easyJet, dibentuk pada 1995. Maskapai
bertarif rendah mulai dibentuk di Asia dan Oseania pada tahun 2000 oleh operator
seperti AirAsia dari Malaysia, Lion Air dari Indonesia, Cebu Pacific dari Filipina, Nok
Air dari Thailand, VietJet dari Vietnam, indiGo dari India dan Virgin Blue dari Australia. Model
maskapai bertarif rendah berlaku di seluruh dunia, meskipun pasar yang tertata ulang paling pas
untuk penyebarannya yang cepat. Tahun 2006, LCC baru diumumkan di Arab
Saudi dan Meksiko.

Boeing 737-900ER milik maskapai bertarif rendah asal Indonesia, Lion Air di Bandar Udara


Internasional Ngurah Rai
Maskapai bertarif rendah menaruh ancaman berat terhadap maskapai "layanan penuh" terdahulu,
sejak struktur harga tinggi maskapai layanan penuh mencegah mereka bersaing pada harga -
faktor yang paling penting di antara konsumen adalah ketika memilih sebuah maskapai. Sejak
2001 hingga 2003, ketika industri penerbangan dikejutkan dengan terorisme, perang dan SARS,
maskapai-maskapai besar mengalami kemerosotan ketika maskapai bertarif rendah tetap
menguntungkan.

Boeing 737-800 milik maskapai bertarif rendah asal Thailand, Nok Air


Banyak maskapai memilih meluncurkan versi tarif rendahnya, seperti Buzz KLM, Go Fly British
Airways, Citilink Garuda Indonesia, Air India-Express Air India dan Ted United Airlines, tetapi
mendapat kesulitan ketika mengorbankan inti bisnisnya. Pengecualian ini terjadi
pada bmibaby bmi, germanwings yang 49% dikontrol oleh Lufthansa dan Jetstar Qantas,
semuanya berhasil beroperasi pada layanan penuh.
Untuk tujuan wisata, maskapai bertarif rendah juga bersaing dengan penjualan sewa kursi.
Bagaimanapun, infleksibilitas maskapai sewaan menjadikan mereka tidak populer dengan
kebanyakan turis.
Masuknya negara-negara baru ke Uni Eropa dari Eropa Timur dan berjalan dengan legislasi UE
oleh siapapun yang belum bergabung, telah membawa kepada perluasan perjanjian langit
terbuka. Ini membawa peresmian rute bertarif rendah dengan menetapkan dan operator baru
seperti Wizz Air dari Hungaria yang melakukan penerbangan perdananya pada 19 Mei 2004.
Sejak 2004 hingga 2007, banyak rute yang diresmikan
menuju Bulgaria, Slovenia, Polandia, Hungaria, Republik Ceko, Turki dan Israel.
Di Kanada, Air Canada mengalami kesulitan untuk bersaing dengan pesaing bertarif rendah
barunya sepert iWestjet, Canjet dan Jetsgo meskipun posisinya sangat dominan sebelumnya di
pasaran: Air Canada memasuki periode perlindungan kebangkrutan pada tahun 2003, tetapi
keluar dari perlindungan pada bulan September 2004. Air Canada mengoperasikan dua subsidiari
bertarif rendah, Tango dan Zip, tetapi keduanya tidak melanjutkan. (Jetsgo sendiri menghentikan
operasinya pada tanggal 11 Maret 2005 dan Canjet mengumumkan bahwa mereka berhenti
beroperasi pada tanggal 10 September 2006.)
Maskapai penerbangan bertarif rendah pertama India, Air Deccan memulai penerbangannya
tanggal 25 Agustus 2003. Tarif maskapai untuk rute Delhi-Bangalore 30% lebih kurang daripada
yang ditawarkan oleh pesaingnya seperti Indian Airlines, Air Sahara dan Jet Airways pada rute
yang sama. Kesuksesan Air Deccan telah membawa masuknya sejumlah maskapai bertarif
rendah ke India. Air Deccan sekarang menghadapi kompetisi dari maskapai bertarif rendah India
lainnya seperti SpiceJet, GoAir dan Paramount Airways. IndiGo Airways baru-baru ini menaruh
pesanan untuk 100 Airbus A320 yang bernilai 6 miliar USD di Pertunjukan Udara Paris,
tertinggi di antara maskapai domestik Asia manapun. Setelah setahun beroperasi, pada
2006, Kingfisher Airlines mengubah model bisnisnya dari tarif rendah menjadi maskapai
menguntungkan.
Di Finlandia, kompetisi berjalan dengan arah yang berbeda, maskapai
nasional Finnair mengurangi tarifnya sehingga pesaing bertarif rendahnya Flying Finn terpaksa
menghentikan operasinya. Tiga bulan setelah kebangkrutan Flying Finn, operator
lainnya Blue1 memulai penerbangan menuju tiga tujuan paling menguntungkan Flying Finn.
Di Norwegia, maskapai bertarif rendah pertama adalah ColorAir pada tahun 1998. Tarif rendah
mereka disamakan dengan pesaing SAS dan Braathens, dan Color Air gulung tikar pada 1999.
Maskapai bertarif rendah berikutnya, Norwegian Air Shuttle (atau Norwegian), memulai
operasi Boeing 737-nya pada bulan September 2002, memunculkan kompetisi lebih berat untuk
pergabungan bagian Norwegian di SAS dan Braathens. Meskipun Norwegian dimulai dengan
rute domestik, hari ini operasi internasionalnya lebih besar daripada domestik. Dengan
melincurkan penerbangan tanpa henti dari kota seperti Stavanger, Bergen, Trondheim juga Oslo,
mereka akan menjadi terkenal. Orang Norwegia merupakan yang paling sering terbang di dunia,
terutama karena geografi negaranya tetapi juga pendapatannya yang tinggi.
Maskapai bertarif rendah pertama Australia adalah Compass yang meluncurkan operasinya pada
tahun 1990 tetapi tidak lama beroperasi. Tahun 2000, Impulse dan Virgin Blue mengumumkan
operasi bertarif rendah membawa kompetisi menuju kota-kota Australia. Virgin Blue telah
menjadi maskapai terbesar kedua di Australia, sementara Qantas membeli Impulse dan
mengoperasikannya pada sebuah perjanjian 'sewa basah' sebelum mengubahnya ke maskapai
bertarif rendah berunya Jetstar. Qantas telah meluncurkan dua maskapai bertarif rendah: JetStar
bersaing dengan Virgin Blue di pasaran domestik Australia, sementara Australian
Airlines beroperasi secara internasional menuju kota-kota Asia. Tahun 2006, Qantas mulai
mengoperasikan penerbangan Australian Airlines pada sebuah perjanjian 'sewa basah' yang
berarti kru dan pesawat Australian Airlines beroperasi dibawah merek Qantas. Pada tahun 2006,
Qantas ingin terus membangun sebuah merek bertarif rendah di sekitar Jetstar yang akan
meliputi kota-kota internasional.
Tahun 1995, Air New Zealand meresmikan sebuah subsidiari bertarif rendahnya, Freedom Air,
dengan pengumuman penerbangan diskon trans-tasman menggunakan maskapai Kiwi Airlines.
Kompetisi pada rute trans-Tasman membawa kepada runtuhnya Kiwi Airlines pada 1996.
Freedom Air berlanjut memberikan penerbangan diskon antara Australia dan Selandia Baru.
Subsidiari milik Qantas, Jetconnect dibentuk sebagai bagian Qantas bertarif rendah di Selandia
Baru, dengan Jetconnect yang beroperasi di semua penerbangan domestik Selandia Baru dan
beberapa penerbangan trans-tasman pada sebuah perjanjian 'sewa basah', menggunakan merek
Qantas. Qantas juga meluncurkan penerbangan Jetstar trans-Tasman.
Tanggal 3 Februari 2003, Air Arabia didirikan dan memulai operasinya pada 29 Oktober 2003.
Air Arabia dapat dikatakan menjadi maskapai bertarif rendah pertama di daerah Timur Tengah.
Tanggal 5 Mei 2004, maskapai bertarif rendah pertama Singapura, Valuair diluncurkan,
menghalangi maskapai Singapore Airlines untuk berinvestasi pada maskapai bertarif rendah
baru, Tiger Airways, untuk memenangi kompetisi tersebut. Belum selesai, maskapai paling
dominan kedua Bandar Udara Singapore Changi, Jetstar Asia Airways yang berbasis
di Singapura dan memulai operasinya pada tanggal 13 Desember 2004. AirAsia Malaysia telah
membuat keinginan yang diulang untuk membentuk sebuah operasi Singapura, tetapi
menggunakan Bandar Udara Seletar, dengan tambahan untuk mengurangi pajak penggunaan
bandara, menghambat kemampuannya dalam mencapai izin dari otoritas di Singapura. Ini dapat
menghentikan ambisi AirAsia melakukan perluasan ke Singapura. Bulan Juli 2005, pemilik
Jetstar Asia mengambil alih Valuair dan menggabungkan kedua maskapai. Dalam kontras
dengan AirAsia, tidak ada maskapai bertarif rendah Singapura yang menguntungkan.
Sementara jumlah maskapai bertarif rendah terus meningkat, maskapai-maskapai tersebut terus
bersaing dengan yang lainnya seperti maskapai terdahulu. Di AS, maskapai penerbangan telah
merespon dengan meluncurkan variasi bermodel tersebut. US Airways menawarkan produk
kelas pertama dan lounge bandara, sebagai contoh, sementara Frontier Airlines dan JetBlue
Airways berilan di televisi satelit. Para pengiklan mendukung Skybus Airlines yang akan
diluncurkan dari Columbus pada tahun 2007. Di Eropa, kepentingan tersebut berlanjut pada
pengurangan tarif dan penerbangan layanan minimum. Tahun 2004, Ryanair mengumumkan
proposal untuk menghapus layanan kursi baring, jendela kaca, penutup bantal kepala, dan
kantung kursi dari pesawatnya. [1]
Beberapa elemen model tarif rendah ini telah menjadi bahan kritikan oleh Pemerintah dan
Regulator, dan di Inggris sepertinya masalah "tidak mengikat" biaya tambahan oleh kedua
maskapai bertarif rendah dan lainnya (seperti pajak bandara, dan pajak lainnya sebagai biaya
yang dipisah daripada sebagai bagian dari harga yang diiklankan) untuk membuat "harga
headline" terlihat rendah yang mengakibatkan aksi pemaksaan. Jumlah itu membawa kepada
arah yang salah dalam memberikan harga, Perkantoran Perdagangan Harga pada bulan Februari
2007 memberikan semua maskapai dan perusahaan perjalanan tiga bulan untuk meliputi semua
harga non-pilihan dalam tarif dasar yang diiklankan. Meskipun maskapai layanan penuh telah
mematuhi jadwal yang ditentukan, maskapai bertarif rendah ini telah sedikit berhasil dalam
masalah ini, membawa kepada prospek aksi legal oleh

Penerbangan di Indonesia,tampaknya semakin berkembang.Hal itu ditunjukkan dengan hadirnya


maskapai baru,dan pembukaan rute-rute baru.Diantara maskapai yang beroperasi di
indonesia,kita dengan mudah menggolongkannya kedalam 2 kelompok besar:Low Cost
Carrier(maskapai berbudget rendah),medium cost carrier(maskapai berbiaya sedang),dan full
service carrier(maskapai dengan pelayanan penuh).

Low cost carrier(atau kita kenal LCC),adalah maskapai yang lebih mengutamakan jumlah
penumpang,dengan cara memberikan harga tiket murah terhadap penumpang,namun pelayanan
yang diberikan tidak sebaik maskapai full service carrier.Ciri yang mencolok dari maskapai
sejenis ini adalah:banyak memberi promo,memiliki armad pesawat berkapasitas kecil-
menegah,parmugarinya memiliki seragam tidak terlalu menarik,bagasi yang lebih banyak,serta
tidak ada perbedaan kelas tempat duduk.

Saat ini,Indonesia memiliki 3 maskapai berbiaya rendah,yaitu Indonesia Air Asia,dan Garuda
Citilink.Persamaan kedua maskapai ini,memiliki armada yang sama,Airbus A320-
200.Maklum,Airbus memiliki kapasitas yang cukup besar untuk maskapai LCC.

Di dunia,LCC cukup berkembang pesat.Khususnya di negara -negara Eropa,LCC berkembang


dengan sangat pesat,dengan banyaknya maskapai LCC,seperti Ryannair,Flybe,Air
Aurigny,dsb.Namun perbedaan dengan di Indonesia,mereka memiliki pesawat berkapasitas
kecil(biasanya pesawat baling2),untuk mengangkut penumpang jarak pendek.Airbus lagi-lagi
menjadi andalan maskapai LCC di Eropa.

Di Asia,Jumlah LCC masih terlalu sedikit,hanya Asia tenggara yang memiliki Jumlah maskapai
LCC terbanyak.

Untuk para traveller,LCC sangat diburu,apalagi untuk masa liburan,pasti harga tiket pesawat
kelas ini Naik,karena banyaknya penumpang.Hal ini bisa di siasati,dengan memesan tiket 1
bulan sebelum keberangkatan.Dan usahakan jangan membawa bagasi berlebihan,karena bila
berada diatas bagasi maksimum,akan dikenai biaya tambahan bagasi

. Menurut wiryanta (2014) penerbangan dapat diklasifikasikan menurut pelayanan yang


diberikan menjadi dua yaitu full service dan low cost carrier (LCC). Full service merupakan
layanan penerbangan penuh, meliputi kriteria: (1) bagasi maksimal 20 kg, (2) memiliki kelas
eksekutif, bisnis, dan ekonomi dengan jarak tempat duduk lebih dari 31 inci, (3) menyediakan
makanan dan minuman, (4) menyediakan hiburan dan Koran. Sementara itu layanana
penerbangan no frills atau LCC adalah penerbangan yang tidak memberikan layanan seperti
diberikan kelas layanan sebelumnya, yaitu: (1) tidak ada layanan bagasi, (2) jarak antarkursi 29
inci, (3) tidak ada hiburan dalam pesawat (4) tidak ada makan-minum. Salah satu perusahaan
penerbangan yang menyediakan penerbangan dari berbagai kota di Indonesia menuju Bali yaitu
PT. Indonesia AirAsia. Perusahaan penerbangan

ini menyediakan layanan low cost carrier. Layanan ini melakukan penghematan dari layanan full
service, dimana penghematan tersebut akan berdampak pada pengurangan harga tiket pesawat
yang ditawarkan. Low cost carrier merupakan penerbangan dengan mengupayakan harga
seefisien mungkin. Jika dibandingkan harga pada penerbangan regular melalui pengurangan
berbagai fasilitas seperti yang didapatkan pada penerbangan full service seperti magazine, in
flight entertainment, in flight shop, lounge, free taxy after landing, exclusive frequent flier
services dan lain sebagainya (Sandy,2015). Pada Desember 2014 PT. Indonesia AirAsia
mengalami suatu insiden kecelakaan untuk pertama kalinya semenjak perusahaan ini berjalan.
Insiden tersebut menimbulkan pertanyaan besar tentang kepuasan wisatawan pengguna jasa PT.
Indonesia AirAsia. Kepuasan wisatawan yang dimaksud yaitu berdasarkan layanan low cost
carrier yang diberikan oleh PT. Indonesia AirAsia terhadap wisatawan
atavia Air bukan satu-satunya maskapai yang tutup di industri penerbangan nasional. Padahal
potensi industri penerbangan di tanah air tersebut masih sangat menjanjikan.

Sebutlah, Adam Air yang tutup pada 2008 lalu. Selain itu Bouraq Airlines, dan Mandala Airlines
yang kemudian hidup kembali setelah dibeli Saratoga Group. Para maskapai tersebut terpaksa
menutup usahanya karena berbagai alasan.

Pengamat penerbangan, Alvin Lie, menilai ada banyak hal yang menyebabkan banyak maskapai
nasional bertumbangan. "Ini terjadi meski industri penerbangan nasional sedang tumbuh," ujar
dia kepada Liputan6.com, Kamis (31/1/2013).

Dia menilai kondisi di Indonesia juga terjadi di negara lain, bahkan negara maju sebesar
Amerika Serikat (AS). Khusus di Indonesia, dia memiliki penilaian sendiri sebagai faktor para
maskapai tersebut bisa bangkrut:

Pertama, dia menilai pertumbuhan industri penerbangan tidak merata. Banyak rute penerbangan
yang pertumbuhannya pesat sekali di satu daerah, sementara ada yang rendah sekali. Para
maskapai kurang pandai melakukan subsidi silang pendapatan dari rute-rute tersebut.

Kedua, banyak maskapai yang fokus pada segmen penerbangan bertarif murah (low cost
carrier/LCC) dan meninggalkan kelas atas (premium) dan menengah. Hasilnya, persaingan di
segmen LCC kian ketat karena terlalu banyak pemain.

Padahal, ada kelas lain yang bisa mereka garap seperti hal yang dilakukan PT Garuda Indonesia
Tbk yang fokus kembali ke segmen premium dan ternyata berhasil.

Ketiga, dia menilai maskapai LCC hanya fokus pada pemasaran seperti menawarkan tarif tiket
murah semata. Padahal, mereka seharusnya juga mengembangkan efisiensi pada berbagai hal
dengan konsep LCC tersebut seperti pada perputaran uang atau masalah manajemen internal.

Menurut dia, langkah efisiensi berlaku pada semua sektor, tidak sebatas pemasaran dan
pemberian tiket. "Hal ini yang membuat mereka 'keteteran," lanjut dia.

Khusus Batavia, dia menilai seharusnya perusahaan tidak perlu memiliki banyak jenis pesawat.
Dengan memiliki jenis pesawat lebih sedikit akan menciptakan efisiensi.

"Saat ini dari total 35 pesawat, Batavia memiliki 5 jenis pesawat. Hal tersebut tidak efisien dalam
hal logistik dan suku cadang," tandasnya.

Keempat, para maskapai harus pandai menambah pendapatan. Mereka diminta mencari sumber
pemasukan dengan cara lain.

Dia mencontohkan, dengan menawarkan konsumsi tambahan di dalam pesawat atau suvenir.
Langkah lain memberlakukan pembelian tiket sejak jauh hari. Pemasukan keuangan dari
pembelian tiket tersebut dapat diputar operasional perusahaan.
Terakhir, terkait ketepatan waktu penerbangan. "Kelemahan Batavia dinilai terletak pada
efisiensi waktu. Dia tidak mampu mencapai on time performance. Padahal unsur waktu krusial
dalam penerbangan karena juga terkait biaya," tandasnya. (Nur)

 Virus Corona semakin memakan korban. Tak hanya manusia, bisnis dunia pun ikut terimbas.
Salah satunya maskapai asal Inggris, Flybe, mengajukan pailit atau bangkrut.
Dilansir dari CNBC, pemerintah Inggris 'lepas tangan' dari upaya penyelamatan Flybe karena
dampak Virus Corona yang tak bisa dibendung. "Semua penerbangan dibatalkan dan kegiatan
bisnis di Inggris telah menurun," ujar Flybe dalam keterangannya ke pengadilan.

Kegagalan Flybe juga memberi dampak pada 2.400 lapangan kerja bakal hilang atau alami PHK.
Operator bandara dan bisnis perjalanan Inggris bakal terkena dampak.

Chief Executive Ryanair, Michael O'Leary, memprediksi virus corona akan menyebabkan
banyak usaha gulung tikar. "Tak bisa dihindari, dalam beberapa minggu ke depan kita akan
melihat banyak perusahaan bangkrut," ujarnya sehari sebelum Flybe menyatakan diri bangkrut.

"Ketika ada gejolak dalam pemesanan maka akan berdampak pada aliran keuangan yang
memburuk," tambahnya.

Norwegian Air, maskapai pencetus penerbangan murah, juga harus berjuang keluar dari masalah
virus corona. Disebabkan berkurangnya penjualan tiket karena virus corona membuat prediksi
pendapatan 2020 meleset. Imbasnya rencana pembayaran utang perusahaan terganggu.

Norwegian Air mengatakan akan membatalkan 22 penerbangan ke Eropa dan Amerika Serikat
mulai 28 Maret hingga 5 Mei akibat virus corona. Sementara, pengurangan frekuensi terbang
juga dilakukan, salah satunya pada rute London-New York menjadi 2 kali dari sebelumnya 3
penerbangan.
International Air Transport Association (IATA) memprediksi kerugian USD 29 miliar atau setara
Rp413,3 triliun pada pendapatan maskapai dunia tahun ini. Namun, angka tersebut keluar
sebelum sejumlah negara memberlakukan pembatasan perjalanan akibat virus corona pada 3
negara yakni Italia, Iran, dan Korea Selatan.

Maskapai dunia telah memangkas penerbangan dan harga tiket yang tentunya akan berdampak
pada pendapatan mereka tahun ini. Kekhawatiran akan meluasnya wabah virus corona hingga
keluar dari China membuat ekonomi global memasuki resesi.

Sebagai contoh kasus penyebab kerugian maskapai, satu pesawat Turkish Airlines harus terbang
kembali ke Istanbul dari Singapura Kamis lalu (5/3) tanpa penumpang. Hal ini terjadi usai satu
penumpang teridentifikasi positif terkena virus corona.

Finnair, maskapai asal Finlandia, menyebutkan dampak dari virus corona ini akan lebih besar
dari wabah SARS yang terjadi pada 2003 lalu. Sebab, virus corona sejauh ini sudah merenggut
3.000 korban dan menginfeksi ribuan orang lainnya di lebih dari 60 negara.

BAB IV

PERUBAHAN KURS DOLLAR BERPENGARUH TERHADAP HARGA AVTUR


Bahan bakar penerbangan atau avtur adalah bahan bakar jenis khusus berbasis dari
minyak bumi digunakan untuk daya pesawat. Pada umumnya kualitasnya lebih tinggi dari
bahan bakar yang digunakan dalam aplikasi yang lain, seperti mesin pemanasan atau mesin
angkutan jalan, dan sering mengandung aditif untuk mengurangi risiko icing atau ledakan
akibat suhu tinggi, antara sifat-sifat lainnya
Sebagian besar bahan bakar penerbangan yang tersedia untuk pesawat terbang jenis minyak
bumi yang digunakan dalam mesin dengan busi (yaitu mesin piston dan rotary Wankel), atau
bahan bakar untuk mesin turbin jet, yang juga digunakan dalam mesin pesawat diesel.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekan PT Pertamina (Persero) untuk memangkas harga avtur.
Berdasarkan informasi yang diterima Jokowi, Pertamina dituding menjual harga avtur lebih
mahal kepada penerbangan domestik dibandingkan luar negeri. Selain itu, Pertamina juga
dianggap melakukan monopoli karena menjadi pemain tunggal dalam distribusi avtur di Bandara
Soekarno-Hatta, Tangerang.

Polemik tingginya harga avtur sebenarya berawal dari keluhan masyarakat atas tiket pesawat
yang semakin mahal. Januari lalu, INACA IGN Ashkara Danadiputra menyebutkan salah satu
penyebabnya adalah mahalnya harga avtur di dalam negeri dibandingkan di luar negeri. Di
samping alasan lain, pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS.

Ketua Umum INACA IGN Ashkara Danadiputra mengatakan komponen biaya avtur
mendominasi sekitar 40 persen dari struktur biaya operasional maskapai. Tak ayal, INACA
meminta pemerintah menurunkan harga avtur.

Namun, dalam keterangan resminya tertanggal 1 Februari 2019 lalu, INACA memastikan bahwa
harga avtur tidak secara langsung mengakibatkan harga tiket pesawat menjadi lebih mahal.

"Beban biaya operasional penerbangan lainnya, seperti leasing pesawat, maintenance dan lain
lain memang menjadi lebih tinggi di tengah meningkatnya nilai tukar dolar Amerika Serikat,"
tulis Ashkara.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebenarnya telah
mengatur formulasi harga avtur. Dalam hal ini, pemerintah tidak bisa semena-mena menjual
harga avtur karena margin keuntungannya dibatasi sebesar 10 persen dari harga dasar

Hal tersebut telah tercantum dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 17 K/10/MEM/2019
tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak
Umum Jenis Avtur yang Disalurkan melalui Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) yang
ditetapkan 1 Februari 2019 lalu.

Beleid ini mengatur, komponen harga penjualan avtur di DPPU terdiri dari biaya perolehan,
biaya penyimpanan dan biaya distribusi, serta margin dengan batas atas, atau seperti formula
berikut: Mean Of Platts Singapore (MOPS) + Rp 3.581 per liter + Margin (10 persen dari harga
dasar).

Jika dibandingkan dengan negara lain, harga avtur di Indonesia memang masih lebih mahal di
beberapa negara tetangga, tetapi masih cukup kompetitif. Mengutip data Badan Administrasi
Informasi Energi AS yang ditampilkan situs www.aeroportos.weebly.com, harga avtur terakhir
di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng berkisar US$2,16 per galon AS (USG), Bandara Ngurah
Rai (Bali) US$2,39 per USG, dan Bandara Kualanamu (Medan) US$2,43 per USG.
Sebagai BBM non subsidi, lanjut Enny, Pertamina diberikan keleluasaan untuk menentukan
harga berdasarkan pertimbangan bisnis dan mekanisme pasar. Mengingat Pertamina masih
mengimpor minyak mentah, harga avtur akan dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak dunia
dan nilai tukar rupiah terhadap dolar.

"Sekarang, dengan harga minyak turun dan kurs rupiah berada di bawah Rp15 ribu per dolar AS
mestinya harga avtur di Indonesia tidak terlampau jauh dengan harga avtur yang dijual kepada
maskapai di negara-negara lain," katanya.

Karenanya, Enny menyarankan pemerintah mau menyampaikan simulasi mendetail dan


transparan terkait komponen-komponen terbesar yang berkontribusi terhadap harga tiket pesawat
dan kargo.

"Kalau misalnya ini merupakan kesalahan aksi korporasi ya tidak bisa dibebankan kepada
konsumen. Katakanlah misalnya, salah satu maskapai investasi pembelian pesawat besar sekali
ditambah pembiayaan suku bunga yang tinggi," jelasnya.

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah mengatur batas atas dan batas bawah harga tiket
pesawat dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2016 tentang Mekanisme
Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Bawah Penumpang Kelas Ekonomi
Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.

Dalam beleid tersebut, pengaruh harga avtur terhadap harga jual tiket pesawat diperhitungkan
sekitar 24 persen. Mengingat dinamika pasar yang terjadi selama dua tahun terakhir, Kemenhub
pun mengkaji kembali besaran komponen penyusun tarif penerbangan.

Indonesia National Air Carrier (Inaca), asosiasi maskapai, menyebut pelemahan nilai tukar
rupiah atas dollar Amerika Serikat beberapa waktu lalu memicu penaikan biaya operasional yang
berdampak harga tiket pesawat melambung. "Jadi memang ada pemicunya soal kurs rupiah
melemah. Ini membuat kenaikan variabel harga tiket mulai avtur, kurs rupiah terhadap dollar AS
sampai dan suku bunga pinjaman,” kata Ketua Inaca, Ari Ashkara di kawasan SCBD, Jakarta
Selatan, Minggu (13/1/2019). Dampak paling besar dari pelemahan rupiah, kata dia, terkait
dengan melambungnya hutang maskapai, karena menggunakan mata uang dollar AS. Kenaikan
bahan bakar pesawat, avtur, kata Ari terjadi sejak 2016 sebesar 125 persen. Padahal, pengeluaran
maskapai paling besar pada avtur sebesar 40 persen. Di sisi lain sejak 2016, maskapai belum
pernah menaikkan harga tiket. “Kenaikan yang terjadi belakangan ini pun sebetulnya masih
berada di dalam lingkup tarif batas atas yang ditentukan di Peraturan Menteri Perhubungan
nomor 14 tahun 2016,” ungkap dia.
penerbangan jarak jauh harga minimum : Maskapai pertama yang menawarkan penerbangan
transatlantik layanan minimum adalah Laker Airways milik Freddie Laker, yang
mengoperasikan penerbangan "Skytrain"-nya yang terkenal antara London dan New York
City sepanjang 1970-an. Penerbangan tersebut dihentikan setelah pesaing Laker, British
Airways dan Pan Am, mampu mengeluarkan Skytrain ke luar pasar.
Tahun 2004, perusahaan Irlandia Aer Lingus mengurangi tarifnya untuk bersaing dengan
perusahaan lainnya seperti Ryanair dan juga mulai menawarkan penerbangan
transatlantik layanan minimum dengan tarif €100. Pada tahun itu juga, maskapai Kanada Zoom
Airlines juga mulai menjual penerbangan transatlantik antara Glasgow, Britania; Manchester,
Britania; dan Kanada seharga £89.
Telah diperlihatkan bahwa Airbus A380, mampu mengangkut 853 penumpang dalam konfigurasi
kelas Ekonomi penuh [3], dapat menerapkan penerbangan jarak jauh bertarif rendah, Sementara
harga per kursi pada pesawat semacam itu dapat lebih rendah daripada kompetisi, terdapat
sedikit tabungan biaya yang mungkin pada operasi jarak jauh dan sebuah operator jarak jauh
bertarif rendah sulit membedakan dirinya dari maskapai konvensional. Agaknya, maskapai
bertarif rendah menerbangkan pesawat mereka dengan jam dan penerbangan lebih banyak setiap
hari, menjadwalkan keberangkatan pertama di pagi hari dan kedatangan terakhir di malam hari.
Bagaimanapun, menjadwalkan pesawat jarak jauh sangat tidak mungkin menurut percampuran
zona waktu (contohnya meninggalkan Pantai Timur AS di sore dan tiba di Eropa pada pagi
berikutnya), dan waktu tempuh penerbangan yang lebih lama berarti meningkatkan penggunaan
pesawat dengan menambah satu atau dua penerbangan pendek setiap hari.
Majalah industri Airline Business baru-baru ini menganalisa potensi untuk penerbangan jarak
jauh bertarif rendah [4] dan menyimpulkan bahwa sejumlah maskapai Asia dekat dengan
penerapan model pekerjaan semacam itu. Salah satunya AirAsia. Pada tanggal 2
November 2007, AirAsia X, sebuah subsidiari AirAsia dan Virgin Group melakukan
penerbangan perdananya dari Kuala Lumpur, Malaysia menuju Gold Coast, Australia. AirAsia X
mengklaim bahwa mereka adalah maskapai jarak jauh bertarif rendah asli setelah akhir era Sir
Freddie Laker.
Bulan Agustus 2006, Zoom Airlines mengumumkan bahwa mereka mendirikan subsidiari
Inggrisnya, kemungkinan berbasis di Bandar Udara Gatwick, untuk menawarkan penerbangan
jarak jauh bertarif rendah menuju Amerika Serikat dan India.
Tanggal 26 Oktober 2006, Oasis Hong Kong Airlines memulai penerbangannya dari Hong Kong
menuju Bandar Udara London Gatwick. Seharusnya terbang pada 25 Oktober tetapi ditunda
sehari karena Rusia membatalkan perjanjian terbang-di atas untuk penerbangan sejam sebelum
keberangkatan yang dijadwalkan. Tiket untuk penerbangan Hong Kong menuju London
serendahnya adalah £75 (sekitar US$150) per orang (tidak termasuk pajak dan biaya tambahan)
untuk kelas ekonomi dan £470 (sekitar US$940) per orang untuk kelas bisnis pada rute yang
sama. Kota tujuan yang direncanakan selanjutnya adalah Vancouver, kota besar di Kanada, yang
memulai penerbangannya pada tanggal 28 Juni 2007.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HARGA AVTUR MAHAL


Mahalnya harga avtur sebagai bahan bakar pesawat ditengarai menjadi penyebab meroketnya
harga tiket pesawat belakangan ini. Salah satunya disebabkan monopoli harga avtur oleh PT
Pertamina (Persero).

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira
Adhinegara mengatakan, avtur menyumbang 24% dari total biaya maskapai domestik, artinya
jika ada kenaikan avtur, dampaknya sangat signifikan.

"Kalau digali lebih dalam ternyata akar masalahnya ada di distribusi avtur yang belum efisien.
Pertamina dan pemerintah terlambat membangun infrastruktur penyaluran avtur ke bandara di
luar Jawa," kata Bhima, kepada CNBC Indonesia, Selasa (12/2/2019).
Sebagai gambaran, bahan bakar avtur jenis Jet A di Bandara Soekarno Hatta dijual Rp 8.210 per
liter. Sementara di Bandara Kualanamu, Medan dijual Rp 9.320 per liter. INDEF menilai,
selisihnya terlalu lebar mencapai 13,5% mengacu data Pertamina 12 Februari 2019.

"Padahal prinsipnya harga avtur sama dengan harga BBM jenis nonsubsidi, sama di semua
wilayah Indonesia," tuturnya.

Untuk membandingkan, harga avtur Jet A rata-rata di Asia Pasifik dibanderol sebesar 77 dolar
AS per barel atau setara Rp 6.850 per liter dengan asumsi kurs Rp 14.000 per dolar AS.
Disparitas harga yang terlalu lebar membuat maskapai menanggung ongkos yang terlalu mahal.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengemukakan wacana memasukkan pihak swasta untuk
ikut memasok avtur, sehingga harga bahan bakar avtur menjadi lebih kompetitif.

"Karena monopoli harganya jadi tidak kompetitif. Bandingkan harga avtur di situ dengan yang di
dekat-dekat kita. Terpaut kurang lebih 30-an persen dan itu yang harus dibenahi," kata Presiden
Jokowi, di Hotel Grand Sahid Jakarta, Senin (11/2/2019).

Mengenai rencana memasukkan pihak swasta ikut menjual avtur, Bhima menilai, seharusnya
pemerintah mewajibkan pihak swasta juga membangun infrastruktur penyaluran avtur ke
bandara di seluruh wilayah Indonesia. Karena jika tidak membangun infrastuktur, nantinya akan
tetap mengimpor, sehingga membebani neraca perdagangan.
Pelemahan Rupiah Beratkan Industri Penerbangan
Asosiasi Maskapai Penerbangan Indonesia (Indonesia National Air Carrier Association/ INACA)
menilai dampak melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga menembus Rp 13.000
memberatkan industri penerbangan tanah air. Soalnya pendapatan maskapai di Indonesia dalam
bentuk rupiah sementara sebagian komponen biaya dibayarkan dengan mata uang dolar.
 
“Kalau rupiah makin lemah terus makin berat memang (bagi) maskapai karena biaya maskapai
itu boleh dikatakan hampir semua dalam mata uang dolar, cukup tinggi, cukup banyak,” kata
Tengku Burhanuddin Sekretaris Jenderal INACA ketika ditemui di Kantor Kementerian
Perhubungan, Jakarta, Selasa (10/3).
 
Menurut Tengku, hampir 40 persen komponen biaya pesawat yang terdiri dari biaya sewa
pesawat, biaya asuransi dan biaya perawatan dibayarkan dalam mata uang dolar dolar.
 
“Di luar itu tentunya avtur meskipun (harga) minyak dunia turun tetapi kita beli dalam rupiah
dan Pertamina belinya dalam dolar, jadi akhirnya karena kurs dolarnya tinggi tentu harga
avturnya juga naik,” ujar Tengku.
 
Tengku menyebutkan, ketika menyusun tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBT) tiket
pesawat dengan Kementerian Perhubungan, pertimbangan nilai tukar rupiah yang digunakan
adalah Rp 13.000 per dolar sehingga apabila nilai tukar rupiah terus menerus melemah bukan
tidak mungkin nanti akan ada penyesuaian formula tarif kembali. Kendati demikian, untuk saat
ini maskapai masih menunggu perkembangan nilai tukar lebih lanjut.
 
“Di lain pihak juga kan mengetahui ekonomi kita kan tidak terlalu baik ya, jadi bukan hanya itu
saja, daya beli masyarakat juga menurun dan ini bisa mempengaruhi ekonomi kita dan tentunya
akan mempengaruhi dunia penerbangan kita,” kata Tengku.
 
Senada dengan Tengku, Managing Director PT Transnusa Aviation Mandiri merangkap Ketua
Penerbangan Berjadwal INACA Bayu Sutanto, juga menyatakan depresiasi kurs rupiah terhadap
dolar membebani biaya operasional maskapai.

Menurut Bayu, depresiasi kurs rupiah mempengaruhi sekitar 70 persen dari komponen biaya
operasional pesawat, termasuk biaya avtur. Sehingga apabila rupiah terdepresiasi 10 persen
sewajarnya ada kenaikan harga tiket sebesar 7 persen. “Kalau depresiasi rupiahnya 10 persen ya
mestinya ada kenaikan tiket atau surcharge 7 persen,” kata Bayu melalui pesan singkatnya
kepada CNN Indonesia.
 
Kendati demikian, dalam menentukan harga maskapai juga mempertimbangkan kondisi
permintaan dari penumpang. “Tetapi harga tiket dipengaruhi faktor demand and supply. Seperti
dalam kondisi low season yang low demand tentu naikkan harga tiket juga tidak efektif,” kata
Bayu.

Saat ini, maskapai yang melayani penerbangan di bagian Indonesia Tengah dan Timur masih
menyesuaikan harga tiket mendekati batas atas yang ditentukan.

KESIMPULAN
Bahwa maskapai penerbangan itu bersifat dinamis atau harus bisa mengikuti zaman
dengan banyak masalah pada perawatan pesawat atau pun masalah financial yang terjadi
di maskapai penerbangan pihak tersebut harus bisa mengeluarkan solusi nya apalagi
dengan berkurang nya minat masyarkat yang tidak lagi mengunakan jasa layanan
angkutan udara karena harga nya yang tergolong mahal, pihak maskapai harus mencari
solusi untuk menarik minat masyarakat dengan menggunakan metode LCC serta
menggunakan jenis pesawat yang sama untuk mengurangi biaya pelatihan pilot dan
memangkas biaya suku cadang pesawat

Daftar pustaka

1. https://www.liputan6.com/bisnis/read/501204/ini-penyebab-banyak-maskapai-tutup-di-
indonesia
2. https://tirto.id/industri-maskapai-penerbangan-terancam-bangkrut-karena-covid-19-eH33
3. https://www.cnbcindonesia.com/news/20190212174552-4-55132/faktor-apa-yang-
menyebabkan-harga-avtur-mahal
4. https://id.wikipedia.org/wiki/Bahan_bakar_penerbangan
5. https://tirto.id/harga-tiket-pesawat-melambung-dipicu-pelemahan-rupiah-dedt
6. atadata.co.id/berita/2020/04/28/terancam-bangkrut-akibat-corona-maskapai-dunia-
berlomba-tambah-utang
7. https://id.wikipedia.org/wiki/Maskapai_penerbangan_bertarif_rendah
8. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150310160526-92-38100/pelemahan-rupiah-
beratkan-industri-penerbangan

Anda mungkin juga menyukai