Anda di halaman 1dari 6

Kedatangan islam di Indonesia memunculkan masalah pokok di kalangan

para ilmuwan, yaitu tempat asal kedatangan islam, para pelopornya, dan waktu
kedatangannya. Ilmuan belanda memegang teori bahwa islam di Indonesia berasal
dari anak benua india, bukan dari Persia atau semenanjung arabia pijnapel
Teori ini kemudian dikembangkan oleh seorang orientalis belanda, yang
bernama Snouck Hurgronje (1875 – 1936). Beliau menegaskan bahwa ketika
islam berpijak kukuh dibeberapa kota pelabuhan anak benua India, sangat banyak
diantara orang beragama Islam menjadi pedagang perantara dalam perdagangan
Timur Tengah dengan Nusantara. Merekalah yang datang ke dunia Nusantara –
Melayu sebagai penyebar Islam pertama. Snouck Hurgronje Tidak menyebut
secara eksplisit dari Wilayah mana di India Selatan yang ia pandang sebagai asal
Islam di nusantara, tetapi beliau menyebut abad XII sebagai periode paling
mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara.
J.P. Moquette, berkesimpulan bahwa tempat asal Islam di nusantara adalah
Gujarat, beliau mendasarkan atas dasar setelah mengamati bentuk batu nisan di
Pasai, kawasan utara Sumatera, pada tepatnya tanggal 17 Zul hujah 831/27
September 1428. Batu nisan ini sangat mirip dengan baru nisan yang ditemukan di
makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/1419 M) di Gresik, Jawa Timur.
Beliau berkesimpulan bahwa baru nisan Gujarat dihasilkan tidak hanya untuk
pasar lokal, tetapi juga diimpor ke kawasan lain, dengan mengimpor batu nisan
dari Gujarat, orang – orang Nusantara juga mengambil islam dari sana.
S.Q. Fatimiyah (sarjana asal Pakistan) menentang kesimpulan Moquette,
yang berpendapat bahwa suatu kekeliruan mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai,
batu nisan Sultan dan Kesultanan Samudera Pasai, Malikussaleh Shaleh (w. 696
H/1297 M), dengan batu nisan di Gujarat. Beliau mengungkapkan bahwa bentuk
dan gaya batu nisan Malikussaleh berbeda dengan batu nisan yang terdapat di
Gujarat dan batu batu nisan lain yang ditemukan di Nusantara. Fatimi ini malah
menyebutkan bahwa batu nisan tersebut mirip dengan batu nisan yang ada di
Bengal (Bangladesh). Ini yang menjadi alasan utama untuk menyimpulkan bahwa
islam yang datang ke Nusantara berasal dari wilayah Bengal (Bangladesh).
Teori bahwa islam di Nusantara berasal dari Bengal bisa dipersoalkan
lebih lanjut berkenaan dengan adanya perbedaan madzhab yang dianut di
Nusantara (Syafi’i) dan (Hanafi). Namun teori Fatimi gagal meruntuhkan teori
Moquette dikarenakan teori ini diambil alih oleh ilmuwan lainnya, dan yang
paling terkenal diantara mereka ini adalah Kern, Winslet, Bouquet, Vlekke,
Gonda, Schrike, dan Hall. Winslet misalnya, mengungkapkan bahwa batu nisan
yang mirip bentuk dan gayanya di Bruas, pusat sebuah kerajaan kuno Melayu di
Perak, Semenanjung Malaya.
Teori tentang Gujarat sebagai tempat asal islam di Nusantara terbukti
mempunyai kelemahan – kelemahan tertentu. Ini dibuktikan oleh G. E. Marrison.
Marrion teori Gujarat dengan pernyataan – pernyataannya, bahwa ketika masa
Islamisasi Samudera Pasai, yang raja pertamanya wafat pada 698H / 1297 M,
Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Barulah setahun kemudian,
Camana(Gujarat) ditaklukan kekuasaan muslim. Mempertimbangkan semua ini,
Marrison mengemukakan teorinya bahwa islam di Nusantara bukan berasal dari
Gujarat, melainkan berasal dari para penyebar muslim dari pantai Koromandel
pada abad XIII.
Teori yang dikemukakan Marrison keliahatan mendukung pendapat yang
dipegang T.W. Arnold. Menulis jauh sebelum Marrison, Arnold berpendapat
bahwa islam dibawa ke Nusantara, yaitu Koromandel dan Malabar. Menurut
Arnold, para pedagang Koromandel dan Malabar Mempunyai peranan penting
dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Sejumlah besar pedagang ini
mendatangi pelabuhan – pelabuhan dagang dunia Nusantara-Melayu, mereka
ternyata tidak hanya terlibat dalam perdagangan, tetapi juga dalam penyebaran
Islam.
Menurut Arnold, Koromandel dan Malbar bukanlah satu – satunya tempat
asal islam, melainkan juga semenanjung Arabia. Menurutnya, para pedagang arab
juga menyebarkan Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur
sejak abad – abad awal Hijriah atau abad VII dan VIII Masehi. Meskipun tidak
terdapat catatan – catatan sejarah tentang kegiatan mereka dalam penyebaran
Islam, dapat diduga bahwa mereka terlibat pula dalam penyebaran Islam kepada
penduduk lokal di Nusantara. Sebagian orang Arab ini dilaporkan melakukan
perkawinan dengan wanita lokal sehingga membentuk inti sebuah komunitas
muslim yang terdiri dari orang Arab pendatang dan penduduk lokal. Menurut
Arnold, anggota-anggota komunitas muslim ini juga melakukan kegiatan
penyebaran Islam.
Kitab Aja'ib al-Hind, salah satu sumber Timur Tengah (aslinya berbahasa
Persia) paling awal tentang Nusantara, mengisyaratkan eksistensi komunitas
muslim lokal di wilayah Kerajaan Hindu – Budha Sabar (Sriwijaya). Kitab yang
ditulis oleh Burung bingung Shahryar al-Ramhurmuzi sekitar tahun 390H/1000M
ini meriwayatkan kunjungan para pedagang Muslim ke Kerajaan Zabaj. Para
pedagang Muslim ini menyaksikan kebiasaan di Kerajaan itu, bahwa setiap orang
Muslim baik pendatang maupun penduduk lokal yang menghadap raja harus
bersila. Namun, kebiasaan bersila tersebut kemudian dihapuskan oleh raja
sriwijaya setelah pedagang Oman memprotes bahwa tradisional itu tidak sesuai
dengan ajaran Islam.
Teori bahwa islam juga dibawa langsung dari semenanjung Arabia
dipegang pula oleh Crawford. Beliau berpendapat bahwa interaksi penduduk
Nusantara dengan kaum muslimin yang berasal dari pantai timur India juga
merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Keijzer memandang Islam di Nusantara berasal dari Mesir, berdasarkan
pertimbangan kesamaan kepemelukan penduduk muslim kedua wilayah pada
madzhab Syafi'i. Teori Arab ini juga dipegang oleh Nieminen dan de Hollande
dengan argumennya yaitu bukan Mesir sebagai sumber Islam melainkan
Hadramaut (Yaman). Sebagian ahli Indonesia setuju dengan teori Arab ini, Islam
datang langsung dari semenanjung Arabia, tidak dari India, tidak pada abad
XII /XII, tetapi pada abad pertama Hijriah atau abad VII Masehi.
Diantara pembela tergigit Teori Arab atau penentang terkeras Teori India
yaitu Syed Muhammad Naquibal-Attas. Setelah mempertimbangkan perubahan –
perubahan utama dalam pandangan rakyat Nusantara yang disebabkan kedatangan
islam, al Atas menyimpulkan bahwa sebelum abad XVII seluruh literatur
keagamaan Islam yang relevan tidak mencatat satu pengarang muslim India atau
karya yang berasal dari India. Kebanyakan sarjana barat memandang pengarang –
pengarangdari Arab atau Persia.
Argumen al-Attas selaras dengan yang diceritakan oleh historiografi lokal,
menurut Hikayat raja – raja Pasai (ditulis setelah tahun 1350), Syekh Ismail
datang dengan kapal dari Mekah melalui Malabar ke Pasai lalu membuat Merah
Selu, penguasa setempat, masuk islam. Merah Seluruh kemudian mengambil gelar
Malikussaleh (w. 696 H/1297 M). Sebuah riwayat lain menyebutkan bahwa islam
diperkenalkan ke kawasan Aceh oleh seorang Arab bernama Syekh Abdullah Arif
sekitar 506 H/1111 M).
Menurut Tersilap dari raja dari Kesultanan Sulu di Filipina meriwayatkan
bahwa islam disebarkan di wilayah ini pada paruh kedua abad VIII/XIV oleh
seorang Arab bernama Syarif Awliya Karim al-Makhdum, yang datang dari
Malaka pada 782 H/1380 M. Yang mengklaim bahwa ia adalah ayah dari Maulana
Malik Ibrahim, salah seorang diantara wali Songo yang dipercayai mengislamkan
Pulau Jawa. J. Hunt, seorang pengembara Barat di Sulu pada masa itu, menulis,
“Seorang Sufi lain datang dari Mekah, bernama Sayid Barzakh, berhasil
memasukkan hampir seluruh penduduk kedalam Islamisme”.
Para sarjana bersepakat bahwa diantara penyebar pertama islam di Jawa
adalah Maulana Malik Ibrahim. Beliau mengislamkan kebanyakan wilayah pesisir
utara Jawa, bahkan beberapa kali mencoba membujuk Raja Majapahit,
Wikramawardhana (w. 788 H/1386 M – 833H/1429 M) agar masuk islam. Tetapi,
hanya setelah kedatangan Raden Rahmat, putra seorang dai Arab di Campa, islam
memperoleh momentum di istana Majapahit. Ia digambarkan mempunyai peran
menentukan dalam Islamisasi pulau Jawa sehingga dipandang sebagai pemimpin
Walisongo dengan gelar Sunan Ampel.
Mempertimbangkan riwayat-riwayat yang dikemukakan historiografi
klasik ini, maka kita bisa mengambil 4 Tema pokok, pertama, Islam dibawa
langsung dari Arab, kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyiar
profesional yakni mereka yang memang khusus bermaksud menyebarkan Islam
ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa, dan keempat
kebanyakan para penyebar Islam profesional ini datang ke nusantara pada abad
XII dan XII. Sebagaimana dikemukakan oleh Arnold dan sarjana Indonesia serta
Malaysia, Islam sudah diperkenalkan di Nusantara sejak abad abad pertama
Hijriah. Oleh karena itu, proses Islamisasi tampaknya mengalami akselerasi
antara abad XII dan XVI.
JC Van leur berpendapat bahwa motif ekonomi dan politik merupakan
faktor penting penduduk Nusantara masuk Islam. Para penguasa pribumi yang
ingin meningkatkan kegiatan perdagangan di wilayah kekuasaan yang menerima
Islam. Mereka mendapatkan dukungan para pedagang muslim yang menguasai
sumber-sumber ekonomi. Dan sebaliknya para penguasa memberi perlindungan
dan konsesi konsesi dagang kepada para pedagang muslim. Dengan konversi
mereka pada islam para penguasa pribumi nusantara dapat berpartisipasi secara
lebih ekspresif dan menguntungkan dalam perdagangan internasional yang
mencakup wilayah dari laut merah hingga laut cina selatan. Para penguasa dapat
menghapus sahkan dan memperkuat kekuasaan mereka sehingga mampu
menangkis jaring-jaring kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Teori ini bertentangan dengan historiografi lokal. Teori ini meletakkan
terlalu banyak tekanan pada motif-motif ekonomi dan peran para pedagang.
Seperti bukti-bukti yang dikemukakan oleh A.H. Johns, sulit dipercaya bahwa
para pedagang muslim ini juga berfungsi sebagai para penyebar Islam. Meskipun
para penduduk pribumi Telah bertemu dan berinteraksi dengan para pedagang
muslim sejak abad VII, tidak ada bukti tentang terdapatnya penduduk muslim
lokal dalam jumlah besar atau tentang terjadinya Islamisasi substansial di
Nusantara.
B. J. O Schroeder juga membahas motif penyebaran Islam dikalangan
rakyat Nusantara. Beliau tidak percaya perkawinan antara pedagang dan para
keluarga bangsawan menghasilkan konversi pada Islam dalam jumlah besar. Iya
menolak pula bahwa kaum pribumi pada umumnya termotivasi masuk Islam
karena penguasaan mereka telah memeluknya, dalam pendapatnya, ancaman
Kristen merupakan pendorong penduduk Nusantara untuk masuk Islam dalam
jumlah besar. Menurutnya, penyebaran dan ekspansi luar biasa Islam merupakan
hasil dari semacam pertarungan antara Islam dan Kristen untuk mendapatkan
penganut-penganut baru di kawasan ini. Scrhike mendasarkan teori dari
pandangannya tentang konfrontasi antara Islam dan Kristen di Timur Tengah dan
semenanjung iberia. Menurutnya, penyebaran islam secara besar-besaran di
nusantara terjadi ketika pertarungan tengah berlangsung antara portugis dan
pedagang atau penguasa muslim. Argumen Schroeder ini sulit diterima karena
yang disebutnya sebagai pertarungan antara Islam dan Kristen di Nusantara paling
mungkin terjadi hanya setelah tahun 1500, ketika orang – orang Eropa mulai
datang ke Nusantara, tidak pada abad XII atau XIII, ketika berlangsungnya
Islamisasi besar – besaran di Nusantara.
Teori yang lebih masuk akal dengan tingkat penerapan lebih luas
dibandingkan semua teori di atas disajikan A.H. Johns. dengan
mempertimbangkan kecilnya kemungkinan bahwa para pedagang memainkan
peran terpenting dalam penyebaran Islam yang mengajukan para sufi pengembara
yang terutama melakukan penyiaran Islam di kawasan ini para sufi ini berhasil
mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara, setidaknya sejak abad 13
faktor utama keberhasilan konversi adalah kemampuan para sufi menyajikan
Islam dalam kemasan atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan
Islam atau kontinuitas ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik
keagamaan lokal dengan menggunakan tasawuf sebagai sebuah kategori dalam
literatur dan sejarah Melayu Nusantara. Johns memeriksa sejumlah sejarah lokal
untuk memperkuat hujjahnya.
Menurut Jons banyak sumber lokal mengaitkan pengenalan Islam ke
kawasan ini dengan guru-guru pengembara berkarakter sufi yang kental karakter
karakterisasi, mereka yang lebih terperinci jadi berkat otoritas karismatik dan
kekuatan magis mereka sebagai guru Subi dapat mengawini putri-putri bangsawan
dan mewariskan kepada anak-anak mereka darah bangsawan serta Aura ke Ilahi
and atau Kharisma keagamaan. Argumen Johns, islam tidak menancapkan
akarnya di kalangan penduduk nusantara atau para penguasa sebelum islam
disiarkan para sufi. Hal ini tidak merupakan gambaran dominan perkembangan
Islam di nusantara sampai abad XIII. Teori Sufi ini disokong oleh Fatin yang
menunjuk pada sukses yang sama dari kaum sufi dalam mengislamkan sejumlah
besar penduduk anak benua India pada periode yang sama.
Johns berpendapat, tarekat Sufi tidak menjadi ciri cukup dominan dalam
perkembangan dunia Islam sampai jatuhnya Bagdad ke tangan laskar Mongol.
Afiliasi ini memungkinkan para guru dan murid Sufi memperoleh sarana
pendukung untuk melakukan perjalanan dari pusat-pusat dunia muslim ke
wilayah-wilayah very very membawa keimanan dan ajaran Islam melintasi
berbagai batas bahasa dengan demikian hal ini mempercepat proses ekspansi
Islam dengan latar belakang semacam inilah sumber-sumber lokal yang disebut
dan dikotil terdahulu memberi informasi tentang kedatangan berbagai Syekh
Sayyid Makdum guru dan semacamnya dari Timur Tengah atau tempat-tempat
lain ke wilayah-wilayah mereka.
Teori Sufi ini berhasil membuat korelasi antara peristiwa-peristiwa politik
dan gelombang-gelombang konversi pada Islam. Meskipun peristiwa-peristiwa
politik dalam hal ini kekalifahan Abbasiyah merefleksikan hanya secara tidak
langsung pertumbuhan masa masyarakat muslim orang tak dapat mengabaikan
mereka karena semua itu mempengaruhi perjalanan masyarakat muslim di bagian
bagian lain dunia muslim. Teori ini juga berhasil membuat korelasi penting antara
konversi dan pembentukan serta perkembangan institusi institusi institusi Islam
yang menurut RW bunyi akhirnya membentuk dan menciptakan ciri khas
masyarakat tertentu sehingga ia benar-benar dapat disebut sebagai masyarakat
muslim. Yang terpenting di antara institusi institusi ini adalah Madrasah tarekat
Sufi persatuan Pemuda dan kelompok-kelompok dagang serta kerajinan tangan
semua institusi ini menjadi penting hanyalah sejak abad XI.
Periode konsolidasi yang diberikan boleh kelihatan sedikit lebih awal
dibandingkan dengan yang dikemukakan John tetapi riwayat lengkapnya dapat
dijelaskan lebih baik dengan Sebulan sekali lagi mengingat pada peristiwa-
peristiwa penting yang terjadi dalam abad-abad ini tidak ada persoalan bahwa
abad XI kekhalifahan Abbasiyah dengan cepat merosot. Kemerosotan kekuasaan
politik khususnya mendorong munculnya lembaga-lembaga dan struktur-struktur
nonpolitik untuk mengisi kevakuman dalam struktur dan kepemimpinan politik.
Dipandang dari perspektif lebih luas, orang akan lebih memahami proses
konversi dan islamisasi nusantara terdapat sejumlah faktor yang berkaitan satu
sama lain yang mempengaruhi seluruh proses yang ada akan tetapi terlepas dari
kompleksitas proses konversi dan islamisasi nusantara wilayah ini merupakan
contoh yang cukup unik dari transformasi masih besar keagamaan antar mayoritas
penduduknya.

Anda mungkin juga menyukai