Anda di halaman 1dari 16

EFEKTIVITAS ILMU KALAM DALAM

PERSPEKTIF AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

MAKALAH

Ditulis Oleh:

Mahasiswa Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah Samalanga

Nama : Kamallul Riza

Nim : 19150047

Unit : II (Dua)

Semester : II (Dua)

Prodi : Komunikasi Penyiaran Islam

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AL-AZIZIYAH

SAMALANGA KAB. BIREUEN

1441 H / 2020 M
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………………………. 1

B. Rumusan Masalah …………………………………………………… 2

C. Tujuan Makalah ……………………………………………………... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Kalam ………………………..……………………… 3

B. Pengertian Ahlussunnah wal Jamaah …………….…………………… 7

C. Efektivitas Ilmu Kalam dalam Perspektif Ahlussunah

wal Jamaah …………………………………………………….……… 9

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ……………………………………………………… 13

DAFTAR PUSTAKA
1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ilmu Kalam merupakan salah satu pembahasan mengenai dasar-dasar

keyakinan dalam agama Islam yang memiliki kedudukan strategis. Kalam sebagai

sebuah bidang studi menjadi cukup urgen dibahas karena bertujuan untuk

memperdalam pemahaman teologis seorang Muslim mengenai ajaran agama

Islam serta menjadi dasar untuk menge-tahui perkembangan ilmu-ilmu-Islam

yang memiliki ruang sendiri-sendiri. Untuk itu kiranya perlu dibahas secara

komprehensif mengenai kalam dalam Islam, agar tidak salah memahami dan

menjadi pijakan yang benar untuk mempelajari Islam secara utuh dan

menyeluruh. Secara historis, perjalanan kalam dari semenjak awal kemunculannya

hingga sekarang mengalami masa dan proses dengan dinamikanya yang sangat

panjang seiring perputaran waktu. Kalam tidak muncul begitu saja, tetapi melalui

proses yang keras serta peristiwa demi peristiwa yang melatar belakangi

munculnya.

Aqidah merupakan hal yang paling fundamental dalam keberagamaan

umat Islam. Mengingat adanya hadis yang menyebutkan bahwa Ahlussunnah wa

al-Jama’ah lah yang merupakan golongan yang selamat, maka banyak ulama yang

kemudian menuangkan pendapatnya mengenai Ahlussunnah wa al-Jama’ah

tersebut. Bahkan, tidak jarang ada orang yang secara gegabah menghukum orang

lain atau golongan lain sebagai ahli bid’ah atau di luar golongan najiyah. Padahal

pemaknaan Ahlussunnah wa al-Jama’ah ini tidak boleh dilakukan dengan selera


2

hawa nafsu, melainkan harus berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan

oleh Rasulullah saw. atau sesuai dengan apa yang disepakati oleh umat Islam.

Maka dalam makalah ini, penulis ingin membahas tentang seberapa

efektifkah ilmu kalam dalam perspektif aqidah Ahlusunnah wal Jamaah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan

dibahas dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimanakah pengertian ilmu kalam.

2. Bagaimanakah pengertian Ahlussunnah wal Jamaah.

3. Bagaimanakah efektivitas ilmu kalam dalam perspektif Ahlussunnah

wal Jamaah.

C. Tujuan Makalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka makalah ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui pengertian ilmu kalam.

2. Untuk mengetahui pengertian Ahlussunnah wal Jamaah.

3. Untuk mengetahui efektivitas ilmu kalam dalam perspektif

Ahlussunnah wal Jamaah.


3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Kalam

Diperlukan penjelasan yang menyeluruh untuk memberikan batasan

pengertian ilmu kalam, ilmu tauhid, ilmu ushuluddin, ilmu akidah dan teologi

Islam. Nama-nama tersebut faktanya memang digunakan untuk menyebut kalam

sebagai sebuah ilmu. Karena pada dasarnya istilah tersebut dipakai untuk

menyebut kalam sebagai sebuah bidang kajian. Hal itu perlu dilakukan untuk

mendapatkan pemhaman yang utuh tentang kalam dan derivasinya. Untuk

menghindari salah pengertian tentang kalam, perlu juga penulis tegaskan bahwa

kalam dimaksud bukan kalam dalam artian firman Tuhan dalam hal ini al-Qur’an.

Karena al-Qur’an juga sering disebut dengan kalam Allah atau kalam Ilahi. Oleh

karena itu, penulis membatasi pengertian kalam dengan arti ilmu kalam yang

memiliki nama lain seperti ilmu tauhid, ilmu aqaid, ilmu ushuluddin dan teologi

Islam. Berikut penulis akan memberi penjelasan nama kalam dan sebutan lainnya.

1. Ilmu kalam dalam Islam pada dasarnya adalah pembahasan mengenai

Allah dan Rasul. Secara bahasa ilmu kalam berarti perkataan atau pembicaraan

atau kata-kata. Secara umum dapat dikatakan membicarakan atau mendialogkan

suatu masalah atau topik tertentu. Ilmu kalam pun juga sering kalai di identikkan

dengan teologi atau ilmu tauhid. Sebutan ilmu dengan nama kalam digunakan

oleh Ja’far al-Shadiq, Imam Malik, dan Imam Syafi’i. Sementara itu, al-Farabi

mendefinisikan ilmu kalam sebagai sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang
4

zat dan sifat-sifat Allah, serta eksistensi semua yang mukmin, mulai yang

berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan

doktrin Islam.1

Secara harfiah kalam, berarti pembicaraan. Tetapi sebagai istilah, kalam

tidak dimaksudkan pembicaraan dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam

pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka, ciri

utama ilmu kalam ialah rasional atau logis. Karena kata kalam sendiri memang

dimaksudkan sebagai terjemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara

harfiah berarti pembicaraan, tapi dari kata itulah diambil kata logika dan logis

sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam bahasa Arab

menjadi mantiq.2

2. Ilmu Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, soal-

soal yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah dan Rasul-Nya, serta mengupas

dalil-dalil yang mungkin sesuai dengan akal, guna membuktikan adanya zat yang

mewujudkan, kemudian juga mengupas dalil-dalil sam’iyat guna mempercayai

sesuatu dengan yakin.

Menurut Muhammad Abduh, ilmu tauhid yang juga disebut Ilmu Kalam,

memberikan definisi tauhid sebagai sebuah ilmu yang membahas tentang wujud

Allah tentang sifat-sifat yang wajib tetap bagi-Nya, sifat-sifat yang jaiz disifatkan

kepada-Nya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib ditiadakan pada-Nya;

1
Abdul Rozak & Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 21.

2
Supiana & Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2009), h. 161.
5

juga membahas tentang rasul-rasul Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya,

apa yang wajib ada pada dirinya, hal-hal yang jaiz dihubungkan (dinisbatkan),

pada diri mereka dan hal-hal yang terlarang menghubungkannya kepada diri

mereka.3

Disebut ilmu tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah. Di

dalamnya pembahasan mengenai prinsip-prinsip tauhid yang diambil dari al-

Qur’an (Surat al-Anbiya’ [21]: 22).4 Ilmu tauhid adalah bahwa Allah itu Esa

dalam ZatNya, tidak terbagi-bagi, Esa dalam sifat-sifat-Nya yang azali, tiada tara

bandingan bagi-Nya dan Esa dalam perbuatanperbuatan-Nya, tidak ada sekutu

bagi-Nya. Di dalamnya juga dikaji pula tentang asma’ (nama-nama) dan af’al

(perbuatan-perbuatan) Allah yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Rasul-Nya. 5

Secara objektif ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid. Tetapi argumentasi ilmu

kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika.6 Oleh sebab itu, sebagian

teolog membedakan antara ilmu kalam dan ilmu tauhid. Istilah ilmu tauhid

digunakan oleh Taftazani untuk membahas pentingnya keesaan dan sifat-sifat

Allah. Karena menurutnya Ilmu Tauhid membahas bagian terpenting dalam Islam

dipergunakan oleh Muhammad Abduh (w. 1323 H/1905 M).

3. Ilmu Aqa’id adalah bentuk jamak dari aqidah yang berarti ikatan.

Dinamakan ilmu aqa’id karena sasaran yang utama dari ilmu ini adalah berupaya
3
Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), h. 1-2.

4
Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 104.

5
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid,(Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h. 25.

6
Musthafa ‘Abd al-Raziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah (Kairo: Lajnah al-
Ta’lif wa al-Tarjamah wal-Nasyr, 1959), h. 268.
6

semaksimal mungkin untuk meyakinkan dan mengiktikadkan tentang adanya

Allah, baik dari segi zat, sifat maupun perbuatan-Nya, sehingga akidah dan

keyakinan tersebut benar-benar terhujam dalam hati sanubari secara kokoh dan

kemudian mendasari setiap amal perbuatan atau tingkah laku seharihari. Sebutan

ilmu aqa’id digunakan oleh al-Ghazali.

4. Ilmu Ushuluddin, dilihat dari segi kandungan yang dibicarakan dalam

ilmu ini adalah mengenai keyakinan atau keimanan yang dianggap menjadi dasar

struktur ajaran Islam. Dalam membahas masalah ini dikemukakan dalil-dalil baik

yang berasal dari al-Qur’an dan Sunnah. Pokok-pokok kepercayaan terpenting

yang menjadi pembahasannya adalah ketauhidan. Tujuan ilmu ushuludin adalah

untuk memurnikan keesaan Allah. Ilmu ini menempati kedudukan yang sangat

penting di antara ilmu-ilmu keIslaman lainnya. Hal itu disebabkan objek

kajiannya adalah kepercayaan-kepercayaan pokok dalam Islam. Sebutan ilmu

ushuludin digunakan oleh Asy’ari al-Baghdadi.

5. Teologi Islam. Bila menyebut teologi Islam pada dasarnya disamakan

dengan kalam. Teologi itu sendiri sebagaimana disebutkan dalam kamus New

English Dictionary sebagaimana dikutip Hanafi adalah ilmu yang membahas

fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan antara Tuhan dengan manusia. 7

Harun Nasution menambahkannya hubungannya dengan alam semesta.8

7
Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 11.

8
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press,
1987), h. 43.
7

Dari berbagai sebutan tersebut secara umum pada hakikatnya memiliki

pengertian yang sama, walaupun dalam kalangan-kalangan tertentu

penggunaaanya berbeda-beda. Dalam dunia pesantren dan Islam tradisional lebih

senang menyebut istilah ilmu tauhid dengan mata pelajarannya tersendiri.

Sedangkan dalam dunia akademik istilah teologi Islam lebih sering digunakan.

Istilah ini umum dipakai oleh setiap agama, karena pada dasarnnya setiap agama

memiliki konsep teologi masing-masing.

B. Pengertian Ahlussunnah wal Jamaah.

Secara literal, Ahlussunnah wa al-Jama’ah dimaknai oleh Syaikh Abdul

Qadir Jailani dalam kitabnya, Al-Ghunyah bahwa sunnah ialah segala sesuatu

yang dilakukan oleh Rasulullah saw., sedangkan al-Jama’ah ialah apa yang

disepakati oleh para jama’ah sahabat Nabi pada masanya khalifah yang empat (al-

khulafa ar-rasyidin).9

Syihab menjelaskan ada beberapa pendapat para ahli mengenai kapan awal

mula munculnya istilah ahlussunnah wa alJama’ah sebagai berikut:

Pendapat pertama menyebutkan bahwa nomenklatur Ahlussunnah wa al-

Jama’ah telah ada sejak masa Rasulullah saw. Bahkan beliau sendiri yang

memunculkan istilah tersebut melalui sejumlah hadis yang diucapkan. Yakni

hadis riwayat Abu Daud dan hadis riwayat at-Tirmidzi.

9
Z. A. Shihab, Akidah versi Salaf-Khalaf dan posisi Asya’irah diantara keduanya
(Jakarta: Bumi Aksara, 1998).
8

Pendapat kedua menegaskan bahwa istilah Ahlussunnah wa al-Jama’ah

lahir pada akhir windu kelima tahuan Hijriyah, yakni tahun terjadinya kesatuan

jamaah dalam Islam, atau yang lebih dikenal dalam sejarah Islam dengan nama

‘am al-jama’ah (tahun persatuan). Sejarah mencatat bahwa bahwa pada akhir

tahun V H., Hasan ibn Ali meletakkan jabatannya sebagai khalifah, dan

menyerahkannya kepada Mu’awiyah ibn Abu Sufyan dengan maksud hendak

menciptakan kesatuan dan persatuan jama’ah Islam, demi menghindari perang

saudara sesama Islam. Jadi, dari kata ‘am al-jama’ah itulah lahirnya istilah wa al-

jama’ah yang kemudian berkembang menjadi Ahlussunnah wa al-Jama’ah.

Pendapat ketiga menyatakan bahwa istilah Ahlussunnah wa al-Jama’ah

lahir pada abad akhir abad II H. atau awal abad III H., yaitu di masa puncak

perkembangan ilmu kalam (teologi Islam) yang ditandai dengan berkembangnya

aliran modern dalam teologi Islam yang dipelopori oleh kaum Mu’tazilah

(rasionalisme). Oleh karena itu, dalam rangka mengimbangi aliran Mu’tazilah ini,

maka Imam Abu Hasan al-Asy’ari tampil membela aqidah Islam. Para

pengikutnya, menyebut gerakan Imam al-Asy’ari ini sebagai Ahlussunnah wa al-

Jama’ah. Akan tetapi, oleh sebagian kalangan lain yang tidak menyukai teologi

Imam al-Asy’ari, mereka menyebutnya dengan Asy’ariyyah atau Asya’irah.

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Harun Nasution bahwa

nomenklatur Ahlussunnah wa al-Jama’ah muncul sebagai reaksi terhadap paham-

paham golongan Mu’tazilah yang tidak begitu banyak berpegang pada sunnah

atau tradisi. Mu’tazilah menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan manusia

dalam berfikir, kemauan dan perbuatan. Nasution menambahkan bahwa sikap


9

mereka ini bukan dikarenakan mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para

sahabat, tetapi karena mereka ragu terhadap orisinalitas hadis-hadis yang

mengandung sunnah atau tradisi tersebut. Bisa jadi karena faktor inilah yang

menimbulkan istilah Ahlussunnah wa al-Jama’ah, yakni golongan yang berpegang

pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan Mu’tazilah

yang bersifat minoritas dan tidak kuat berpegang pada sunnah.10

Masih menurut Nasution, nomenklatur Ahlussunnah wa al-Jama’ah

tampaknya banyak dipakai pasca munculnya paham Asy’ariyah dan Maturidiyah,

dua aliran yang menentang ajaranajaran Mu’tazilah. Nasution mengutip statemen

Tasy Kubra Zadah bahwa aliran Ahlussunnah wa al-Jama’ah muncul atas

keberanian dan usaha Imam al-Asy’ari sekitar tahun 300 H., karena ia lahir di

tahun 260 H., dan menjadi pengikut Mu’tazilah selama 40 tahun. Atau dengan

kata lain, Imam al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah sekitar tahun 300 H.,

dan kemudian membentuk aliran teologi yang kemudian dikenal dengan namanya

sendiri, Asy’ariyah atau Asya’irah.11

C. Efektivitas Ilmu Kalam dalam Perspektif Ahlussunnah wal Jama’ah.

Ditinjau dari perspektif mutakallimin (ahli ilmu Kalam), tampak bahwa

Ahlussunnah wa al-Jama’ah ini merupakan golongan tengah yang dapat memadu-

padankan antara aqli dengan naqli.

10
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
UI Press, 1986), h. 64.

11
Harun Nasution, Teologi Islam… h. 65.
10

Sebagaimana diungkap di atas, aliran Ahlussunnah wa al-Jama’ah identik

dengan Asy’ariyah. Ini berarti aqidah aliran Asy’ariyah menjadi aqidah

Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Oleh karena itu, referensi terkait dengan aqidah itu

harus pula dirujuk dari karya-karya Imam al-Asy’ari sendiri, seperti al-Luma’ dan

al-Ibanah, juga karya-karya pengikutnya, seperti al-Juwaini, alIsfirayini, al-

Ghazali dan lainnya yang pada umumnya selalu disebut sebagai tokoh-tokoh

Ahlussunnah.

Di antara ajaran Asy’ariyah ini adalah: Pertama, Tuhan bukan

pengetahuan (‘ilm) melainkan Yang Maha Mengetahui (‘alim) Tuhan mengetahui

dengan pengetahuan dan pengetahuanNya bukanlah zat-Nya. Demikian pula

dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar, dan melihat. Kedua,

al-Qur’an tidak diciptakan. Ketiga, Tuhan dapat dilihat di akhirat, dengan

argumen bahwa sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah

sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan. Sifat dapatnya

Tuhan dilihat tidak membawa kepada hal ini, karena apa yang dapat dilihat tidak

mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan.

Keempat, perbuatan-perbuatan manusia bukanlah diwujudkan oleh

manusia sendiri, melainkan diciptakan Tuhan, tetapi manusia memiliki peranan

dalam perbuatannya. Dalam konsep kasb ini, aqidah Asy’ariyah menjadikan

manusia selalu berusaha untuk bersikap kreatif dalam kehidupannya, akan tetapi

tidak boleh melupakan bahwa Tuhanlah yang menentukan semuanya. Kelima,

terkait anthropomorphisme, Asy’ari menjelaskan bahwa Tuhan memiliki muka,

tangan, mata dan sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kaifa)
11

yakni dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la yuhad)

Keenam, terkait dengan keadilan Tuhan, Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan

berkuasa mutlak dan tak ada satu pun yang wajib bagi-Nya. Tuhan dapat berbuat

sekehendak-Nya. Ini artinya, jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga

maka tidak dapat dinyatakan bahwa Tuhan tidak adil. Atau sebaliknya, jika Ia

memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka juga tidak dapat dikatakan bahwa

tuhan bersifat zhalim. Di sini, tampak bahwa Asy’ari menentang ajaran

Mu’tazilah tentang al-wa’ad wa al wa’id Ketujuh, tidak ada konsep manzilah

bain al-manzilatain. Ini artinya, orang yang berdosa besar tetaplah mukmin,

karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi

fasiq. Seandainya orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, maka

di dalam dirinya tidak didapati kufr atau iman, dan ini tidaklah mungkin.12

Jika dicermati dalam beberapa literatur yang terkait dengan aqidah

Ahlussunnah wa al-Jama’ah memang banyak kesamaan dengan aqidah Asy’ariyah

dan Maturidiyah, seperti: Tuhan bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat; sifat-

sifat Tuhan seperti qudrat, iradat, dan seterusnya adalah sifat-sifat yang lain dari

zat Tuhan, tetapi bukan juga lain dari zat; al-Qur’an sebagai manifestasi

kalamullah yang qadim adalah qadim, sedang al-Qur’an yang berupa huruf dan

suara adalah baru; Ciptaan Tuhan tidak karena tujuan; Tuhan menghendaki

kebaikan dan keburukan; Tuhan tidak berkewajiban membuat yang baik dan yang

terbaik, mengutus utusan (rasul-rasul), memberi pahala kepada orang yang taat

dan menjatuhkan siksa atas orang yang durhaka; Tuhan boleh memberi beban di

12
Harun Nasution, Teologi Islam… h. 69-71.
12

atas kesanggupan manusia; Kebaikan dan keburukan tidak dapat diketahui akal

semata; Pekerjaan manusia Tuhanlah yang menjadikannya meski ada peran

manusia di dalamnya; Ada syafaat pada hari kiamat; Utusannya Nabi Muhammad

saw. Diperkuat dengan mukjizat-mukjizat; Kebangkitan di akhirat, pengumpulan

manusia (hasyr), pertanyaan Munkar dan Nakir di kubur, siksa kubur, timbangan

amal perbuatan manusia, jembatan (shirath) kesemuanya adalah benar; Surga dan

neraka makhluk kedua-duanya; Semua sahabat-sahabat Nabi adil dan baik;

Sepuluh orang sahabat yang dijanjikan masuk surga oleh Nabi pasti terjadi; Ijma

adalah suatu kebenaran yang harus diterima; Orang mukmin yang mengerjakan

dosa besar, akan masuk neraka sampai selesai menjalani siksa, dan akhirnya

masuk surga.13

Nomenklatur Ahlussunnah wa al-Jama’ah memang pada mulanya hanya

terkait dengan persoalan aqidah, yang dimaksudkan untuk membedakan antara

aqidah yang selamat (najiyah) dan aqidah yang sesat menyesatkan (dhalalah)

Namun, nomenklatur ini selanjutnya mengalami perluasan makna hingga meliputi

madzhab-madzhab fiqh, politik, dan bidang ilmu keislaman lainnya.

Perbedaan prinsip dalam bidang aqidah (ushul) antara sunni dan non-sunni

ditambah dengan perbedaan sebagian besar permasalahan syari’ah (furu’)

membawa dampak dan konsekuensi logis dalam bidang ketata negaraan atau

politik. Dalam peta politik negara-negara Islam terlihat dengan jelas adanya

perbedaanperbedaan antara negara-negara muslim sunni dengan Negara-negara

Islam model Syi’ah.

13
Harun Nasution, Teologi Islam… h. 127-128.
13

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Ditinjau dari perspektif mutakallimin (ahli ilmu Kalam), tampak bahwa

Ahlussunnah wa al-Jama’ah ini merupakan golongan tengah yang dapat memadu-

padankan antara aqli dengan naqli.

Ilmu kalam memiliki beberapa sebutan yaitu: ilmu tauhid, ilmu ‘aqaid,

ilmu ushuluddin, dan teologi Islam. Namun dari berbagai sebutan tersebut secara

umum pada hakikatnya memiliki pengertian yang sama, walaupun dalam

kalangan-kalangan tertentu penggunaaanya berbeda-beda. Dalam dunia pesantren

dan Islam tradisional lebih senang menyebut istilah ilmu tauhid dengan mata

pelajarannya tersendiri. Sedangkan dalam dunia akademik istilah teologi Islam

lebih sering digunakan. Istilah ini umum dipakai oleh setiap agama, karena pada

dasarnnya setiap agama memiliki konsep teologi masing-masing.


14

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak & Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2012
Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1989
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah Jakarta: UI
Press, 1987
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: UI Press, 1986

Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Jakarta: Bulan Bintang, 1965


Musthafa ‘Abd al-Raziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah Kairo:
Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wal-Nasyr, 1959
Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Supiana & Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009
Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Rajawali Pers, 1989
Z. A. Shihab, Akidah versi Salaf-Khalaf dan posisi Asya’irah diantara keduanya
Jakarta: Bumi Aksara, 1998

Anda mungkin juga menyukai