Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Mengenal Filsafat Islam serta Sejarah dan Kontak Intelektual Islam


dan Filsafat Yunani

Oleh:

Aulia Isyahaf Syumsikum(11210210000081)

Azka Tazkia(11210210000098)

Azra Zulaikha Redho(11210210000088)

Muhammad Thohir(11190210000088)

Dosen Pengampu :D.r Zubair,M,Ag

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Al-
Qur’an sebagai sumber ajaran islam pertama dan Sunnah Hadits sebagai sebagai ajaran
islam kedua” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah pembelajaran Studi Islam dengan dosen Bapak Dr.Zubair,M.Ag

Selain itu,makalah ini juga bertujuan untuk mengerti dan memahami


bahwasannya Al-Qur’an itu sebagai ajaran islam pertama dan Sunnah Hadits sebagai
sumber ajaran islam kedua.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Zubair,M.Ag selaku dosen


mata kuliah pembelajaran Studi islam yang memeberikan tugas makalah kelompok ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan kami.

Saya sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna.Oleh karena
itu,kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah
saya ini dan makalah-makalah berikutnya.

Tangerang Selatan, 8 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................................................2

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................................3

BAB I..................................................................................................................................................................4

PENDAHULUAN..................................................................................................................................................4

Latar Belakang...............................................................................................................................................4

Rumusan Masalah..........................................................................................................................................4

Manfaat penulisan.........................................................................................................................................5

BAB II................................................................................................................................................................. 5

PEMBAHASAN....................................................................................................................................................5

Pengertian atau Makna Filsafat.....................................................................................................................6

A.Definisi Filsafat……………………………………………………………………………………………………………………6

B.Definisi Filsafat Islam…………………………………………………………………………………………………………7

C.Definisi Filsafat Yunani………………………………………………………………………………………………………..7

D.Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani………………………………………………………………….8

Perbedaan Filsafat Islam dengan Filsafat yang Lain.....................................................................................11

Sejarah dan Kontek Pengetahuan filsafat Islam...........................................................................................14

KESIMPULAN.............................................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................................22
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pemikiran filosofis masuk kedalam Islam melalui filsafat Yunani yang


dijumpai ahli-ahli piker Islam di Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir.
Kebudayaan dan filsafat Yunani dating ke daerah-daerah itu dengan ekspansi
Alexander Yang Agung ke Timur di abad keempat sebelum Kristus. Politik
Alexander untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan kebudayaan Persia
meninggalkan bekas besar di dasrah-daerah yang pernah dikuasainya dan
kemudian timbullah pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur, seperti Alexandria
di Mesir, Antioch di Suria, Jundisyapur di Mesopotamia dan Bactra di Persia.

Di zaman Bani Umayyah, karena perhatian lebih banyak tertuju kepada


kebudayaan Arab, pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu
terlihat. Pengaruh baru nyata terlihat di masa Bani Abbas, karena yang
berpengaruh di pusat pemerintahan bukan lagi orang-orang Arab, tetapi orang-
orang Persia seperti keluarga Baramikah, yang telah lama berkecimpung dalam
Kebudayaan Yunani. Golongan yang banyakk tertarik kepada filsafat Yunani
adalah kaum Mu’tazilah. Abu Al-Huzzail, Al-Nazzam, Al-Jazhiz, Al-Jubba’I dan
lalin-lainnya banyak membaca buku filsafat Yunani dan pengaruhnya dapat
dilihat dengan pemikiran-pemikiran teologi mereka, disamping itu segera
bersamaan pula timbullah filosof-filosof islam.
2. Rumusan Masalah

1. Pengertian atau makna filsafat


a.Definisi filsafat
b.Definisi filsafat Islam
c.Definisi filsafat Yunani
d.Hubungan filsafat islam dengan filsafat Yunani
2. Apakah perbedaan-perbedaan filsafat islam dengan filsafat yang lainnya?
3. Bagaimanakah sejarah dan kontek pengetahuan filsafat islam?
4. Apa itu filsafat Yunani?

3. Manfaat penulisan

1. Agar memahami dan mengerti pengertian apa itu filsafat dan apa itu filsafat islam

2. Agar dapat membedakan antara filsafat islam dengan filsafat yang lainnya

3. Agar mengetahui bagaimana sejarah dan kontek pengetahuan filsafat islam kala itu

4. Agar memahami dan mengerti apa itu filsafat Yunani


BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian atau makna filsafat

A.Definisi filsafat

Secara etimologis, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu


philosophia yang terdiri atas philo dan sophia. Philo artinya cinta. Dalam arti yang
luas, kata tersebut memiliki arti ingin dan berusaha mencapai yang diinginkannya.
Sementara itu, sophia artinya kebijakan yang berarti pandai. Dari segi bahasa,
filsafat berarti keinginan yang mendalam untuk mendapat kebijakan atau
keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak. Filsafat merupakan jenis
pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala
sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Dalam pengertian lainnya, filsafat adalah
sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai
ketuhanan, alam semesta, dan manusia. Berdasarkan pengertian tersebut, filsafat
dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang
dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah
mencapai pengetahuan tersebut. Dalam perkembangannya, akhir-akhir ini
cakupan filsafat Islam diperluas kepada segala aspek ilmu-ilmu yang terdapat
dalam khazanah permikiran keislaman. Bukan saja meliputi hal-hal yang
diperbincangkan oleh para filsuf dalam wilayah kekuasaan Islam, melainkan lebih
luas lagi yang mencakup ilmu kalam, ushul figih, dan tasawuf. Filsafat Islam
secara khusus dapat diartikan sebagai pokok-pokok atau dasar-dasar pemikiran
yang dikernukakan oleh para filsuf Islam. Ketika filsafat Islam dibicarakan, akan
terbayang beberapa nama tokoh yang direbut sebagai filsuf muslim seperti Al
Kindi, Ibnu Sina, Al- Farabi, Ibnu Rusyd, dan Al-Ghazali. Kehadiran para tokoh
ini memang tidak bisa dihindarkan. Mereka tidak hanya mengenalkan filsafat
Iklam, tetapi juga mengembangkan filsafat Islam itu sendiri.Semakin bertambah
masa, semakin berkembang pula pemikiran manusia, termasuk perkembangan
filsafat Islam.

B.Definisi filsafat islam


Filsafat Islam merupakan hasil pemikiran filsuf tentang ketuhanan,
kenabian, kemanusiaan, dan dalam Islam sebagai suatu aturan pemikiran yang
logis dan sistematis. Selain itu, filsafat Islam memaparkan pula secara luas
tentang ontologi dan menunjukkan pandangannya tentang ruang, waktu, materi,
serta kehidupan. Filsafat Islam berupaya memadukan antara wahyu dengan akal,
antara akidah dengan hikmah, antara agama dengan filsafat, dan menjelaskan
kepada manusia bahwa wahyu tidak bertentangan dengan akal. yang dilandasi
ajaran Dalam perkembangan selanjutnya, cakupan filsafat Islam diperluas ke
segala aspek ilmu-ilmu yang terdapat dalam khasanah pemikiran keislaman,
seperti ilmu kalam, ushul fiqih, tasawuf, dan ilmu pikir lainnya yang diciptakan
oleh ahli pikir Islam. Ibrahim Makdur memberikan batasan bahwa filsafat Islam
adalah pemikiran yang lahir dalam pemikiran dunia Islam untuk menjawab
tantangan zaman, meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan
filsafat. Pendapat lainnya mendefinisikan tentang filsafat Islam sebagai
pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam (Fu'ad, 1978:
19-20).

C.Definisi filsafat Yunani

Pada abad ke-6 SM masyarakat Yunani sistem kepercayaan bahwa segala


sesuatunya harua diterima sebagai sesuatu kebenarannya bersumber pada mitos
atau dongeng. Artinya sesuatu yang kebenarannya lewat akal pikir (logos) tidak
berlaku. Setelah abad ke-6 SM muncul sejumlah ahli pikir yang menentang
adanya mitos. Mereka menginginkan pertanyaan tentang misteri alam semesta ini
jawabannya dapat diterima oleh akal (rasional). Keadaan ini juga disebut sebagai
demitologi artinya suatu kebangkitan pemikiran untuk menggunakan akal pikir
dan meninggalkan hal-hal yang sifatnya mitologi.
Kemudian ada 3 faktor yang menyebabkan lahirnya filsafat yunani 

1. Bangsa yunani yang kaya akan mitos (dongeng), dimana mitos dianggap
sebagai awal untuk mengetahui atau mengerti sesuatu

2. Karya sastra yunani yang dapat dianggap sebagai pendorong lahirnya filsafat
yunani seperti karya homerus tentang pendidikan.

3. Pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia (Mesir) dilembah


sungai nil, kemudian berkat kemampuan dan kecakapannya ilmu tersebut
dikembangkan.

Dengan adanya 3 faktor tersebut, kedudukan mitos digeser oleh akal (logos)
sehingga lahirlah filsafat. Pengertian filsafat pada masa itu masih berwujud ilmu
pengetahuan yang masih global, sehingga nanti satu demi satu berkembang Dan
berdiri sendiri.

D.Hubungan filsafat islam dengan filsafat Yunani

Tidak dapat dipungkiri bahwa filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat


Yunani. Hal ini karena kontak umat Islam dengan kebudayaan Yunani bersamaan
waktunya dengan penulisan ilmu-ilmu Islam. Oleh karena itu, unsur-unsur
kebudayaan Yunani memberikan pengaruh dan corak tertentu, terutama dalam
bentuk dan isi. Pada bentuk pengaruh logika Yunani, ilmu-ilmu Islarn diberi warna
baru serta ditempa menurut pola Yunani dan disusun dengan sistem Yunani. Jadi,
logika Yunani mempunyai pengaruh yang sangat besar pada alam pikiran Islam
pada zaman Dinasti Abbasiyyah . Para filsuf muslim mengambil sebagian besar
pandangan Aristoteles. Mereka pun banyak mengagumi Plato dan mengikutinya
pada berbagai aspek. Akan tetapi, berguru bukan berarti mengekor atau menjiplak.
Mereka hanya mengambil beberapa pemikiran yang dikemukakan oleh para filsuf
Yunani secara garis besar kemudian dikembangkan sendiri. Secara sederhana,
filsafat Islam dapat dirangkum menjadi tiga aspek, yaitu sebagai berikuE. Filsafat
Islam membahas masalah yang sudah pernah dibahas filsafat Yunan dan lainnya,
seperti ketuhanan, alam, dan roh. Namun, penyeesaian filsafat Ilam berbeda
dengan para filsafat lain. Para filsuf muslim juga mengembangkan dan
menambahkan ke dalamnya hasil hasil pemikiran mereka sendiri. Filsafat Islam
membahas masalah yang belum pernah di-bahas Wleti generasi sebelumsya,
sepeinisafat kenabian. Dalam filsafat Islam terdapat pemaduan antara agama dan
filsafat, akidah dan hikmah serta wahyu dan akal. Jika dilihat dari aspek sejarah
kelahiran ilmu filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan
naskah-naskah ilmu filsafat ke dalam bahasa Arab yang telah dilakukan sejak masa
klasik Islam. Usaha ini melahirkan sejumlah filsuf besar muslim. Dunia Islam
belahan timur yang berpusat di Baghdad lebih dahulu melahirkan filsuf muslim
daripada dunia Islam belahan barat yang berpusat di Cordoba, Spanyol.

Untuk memperkuat pernyataan di atas, sejarah kebudayaan Islam mencatat


bahwa ilmu filsafat tidak diketahui oleh orang-orang Islam, kecuali setelah masa
Daulah Abbasiyyah pertama (132-232 H/75- 847 M). Ilmu ini ditransfer ke dunia
Islam melalui penerjemahan buku-buku filsafat Yunani yang telah tersebar di
daerah-daerah seperti Iskandariah, Anthakiah, dan Harran. Terlebih pada masa
Al- Makmun, berkuasa antara 198-218 H/813-833M yang mengadakan hubungan
kenegaraan antara raja-raja Romawi, Bizantium yang beribu kota di
Konstantinopel, yang juga dikenal sebagai kota Al- Hikmah dan merupakan pusat
dari ilmu filsafat. Dari kota ini, buku- buku filsafat diperoleh dan diterjemahkan,
termasuk dari bahasa Suryani. Kegiatan penerjemahan ini disertai pula dengan
uraian dan penjelasan seperlunya. Para cendekiawan pada waktu itu berusaha
memasukkan filsafat Yunani sebagai bagian dari metodologi dalam menjelaskan
Islam, terutama akidah, untuk melihat perlunya kesesuaian antara wahyu dan akal.
filsuf muslim sangat bersentuhan dengan Aktivitas penafsiran Al-Qur'an. Bahkan,
kecenderungan menafsirkan Al- Qur'an secara filosofis besar sekali. Misalnya,
Al-Kindi sebagai Bapak Filsuf Arab dan Muslim, berpendapat bahwa untuk
memahami Al-Qur'an dengan benar, isinya harus ditafsirkan secara rasional,
bahkan filosofis Al-Kindi berpendapat bahwa Al-Qur'an mengandung ayat-ayat
yang mengajak manusia untuk merenungkan peristiwa peristiwa alam dan
menyingkap makna yang lebih dalam di balik terbit-tenggelamnya matahari,
berkembang, menyusutnya bulan, pasang surutnya air laut dan seterusnya.
Sumber dan pangkal tolak filsafat dalam Islam adalah ajaran Islam, sebagaimana
terdapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Meskipun memiliki dasar yang kokoh
dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, filsafat banyak mengandung unsur-
unsuar dari luar, terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani (Madjid,
1995: 218-219). Berdasarkan uraian di atas terlihat jelas bahwa di satu sisi,
filsafat Islam berkembang setelah umat Islam memiliki hubungan interaksi
dengan Yunani. Pemakaian kata filsafat di dunia Islam digunakan untuk
menerjemahkan kata hikmah yang ada dalam teks-teks keagamaan Islam, seperti
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Orang-orang Islam berkenalan dengan ajaran
Aristoteles dalam bentuk yang telah ditafsirkan dan diolah oleh orang-orang
Syiria. Hal itu berarti masuknya unsur-unsur Neoplatonisme dan sebagian orang
Islam sadar tentang Aristoteles serta apa yang mereka anggap sebagai ajaran-
ajarannya. Ini menyebabkan sulitnya membedakan antara kedua unsur Hellenisme
yang paling berpengaruh terhadap filsafat Islam karena memang terkait satu sama
lainnya (Madjid, 1995:228). Sekalipun begitu, masih dapat dibenarkan melihat
adanya pengaruh khas Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam, seperti yang
terdapat dalam berbagai paham tasawuf. Misalnya, Ibnu Sina dapat dikatakan
sebagai seorang Neoplatonis dilihat dari ajarannya tentang mistik perjalanan
rohani menuju Tuhan. Meskipun terdapat variasi, semua muslim bahwa wahyu
adalah sumber ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, mereka juga membangun
berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan Ibnu Sina dengan salah
satu risalahnya yang terkenal, Isbat An-Nubuwwat.
Merekajugamencurahkanbanyak tenaga untukmembahaskehidupan sesudah mati,
suatu hal yang tidak terdapat pada Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada
kaum Hellenis. Para filsuf muslim juga membahas masalah baik dan buruk,
pahala dan dosa, tanggung jawab pribadi Allah, kebebasan dan keterpaksaan,
serta asal-usul penciptaan. Semua itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam
dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme.
Dengan demikian, tampak jelas adanya hubungan yang akomodatif, yakni
filsafat Yunani memberi modal dasar penelusuran berpikir yang sejatinya
ditopang oleh Al-Qur'an sejak dulu. Secara teologis, dapat dikatakan bahwa
sumber Al-Qur'an secara azali telah ada. Filsafat Yunani hanya sebagai pembuka,
sedangkan bahan- bahannya telah ada di dalam Al-Qur'an. Dengan kata lain, di
satu pihak filsafat Islam merupakan barang baru di dunia Islam, Namun, di pihak
lain dalam pengembangan ilmu ini terdapat hal original bukan milik Barat.
Bahkan barat sendirilah bersifat yang meminjamnya yang dari Islam seperti
matematika dan kimia.

2. Perbedaan filsafat islam dengan filsafat lainnya

Para orientalis seperti Leon Gauthier, E. Brehier, dan Dugat mengatakan


bahwa filsafat Islam tidak lain hanyalah filsafat Yunani yang ditulis dalam bahasa
Arab atau filsafat Yunani yang diislamkan. Mereka menyatakan hal tersebut tanpa
mengindahkan karakteristik filsafat Islam. Tapi, benarkah kenyataan yang
sebenarnya adalah demikian? Hal ini bisa dimaklumi sebab para orientalis tidak
bisa memahami pemikiran filsafat Islam secara benar. Mengapa bisa begitu?
Sebab, buku-buku Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tidak
memberikan penjelasan memadai. Sementara itu, sumber yang berbahasa Arab
tidak dikuasai dengan baik oleh para orientalis. Berikut adalah tiga pembahasan
sederhana tentang karakteristik filsafat Islam yang sekiranya bisa membuktikan
bahwa filsafat Islam bukanlah pengalihan bahasa atau jiplakan dari filsafat
Yunani seperti yang tercantum dalam buku Filsafat Islam (2014) karya Sirajuddin
Zar.

Pertama, filsafat Islam memang membahas masalah yang sudah pernah


dibahas oleh filsafat Yunani dan filsafat lainnya seperti pembahasan tentang
ketuhanan, alam, dan roh. Tapi, cara penyelesaian dalam filsafat Islam berbeda
dengan filsafat lain. Selain itu, para filsuf Muslim juga berhasil mengembangkan
dan menambahkan hasil-hasil pemikiran mereka sendiri. Seperti pula bidang
keilmuan lain, filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan juga diperdalam dan
disempurnakan oleh generasi yang datang sesudahnya. Jadi, ada pembaharuan
dalam setiap perjalanan pemikiran filsuf Islam termasuk sanggahan, saling bantah
dan saling kritik, serta pengembangan pemikiran filsuf yang baru muncul
terhadap filsuf pendahulunya.

Kedua, filsafat Islam membahas masalah yang belum pernah dibahas


filsafat sebelumnya seperti filsafat kenabian (al-nazhariyyat al-nubuwwat). Dalam
filsafat Yunani, tak ada pembahasan tentang filsafat kenabian. Hal inilah yang
sangat membedakan filsafat Islam dan filsafat Yunani. Inilah pembahasan yang
unik dan mahapenting dalam diskursus filsafat Islam.

Ketiga, ada perpaduan antara agama dan filsafat dalam pembahasan


filsafat Islam. Semisal, pembahasan antara akidah dan hikmah serta antara wahyu
dan akal. Bentuk pembahasan seperti ini banyak terlihat dalam pemikiran filsuf
Muslim seperti al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama) dalam filsafat Al-Farabi
yang menjelaskan bahwa yang mampu menjadi kepala negara adalah Nabi atau
filsuf.

Pembahasan ini juga terdapat dalam pendapat Al-Farabi pada Nadhariyyat


Al-Nubuwwat (filsafat kenabian) yang menjelaskan bahwa nabi dan filsuf
sebenarya sama-sama menerima kebenaran dari sumber yang sama yakni Akal
Aktif (Akal X) yang juga disebut Malaikat Jibril.Tapi, berbeda dari segi teknik,
filsuf bisa menerima kebenaran melalui Akal Perolehan (mustafad) dengan
latihan-latihan. Sementara itu, Nabi bisa memperoleh kebenaran dengan Akal Had
yang memiliki daya yang kuat (al-qudsiyyat). Kekuatannya sangat jauh melebihi
Akal Perolehan filsuf yang memang hanya manusia biasa. Akal Had Nabi adalah
anugerah dari Allah Swt. Hal itu diperoleh bukan berdasarkan latihan-latihan
berpikir. Oleh karena itu, pengetahuan yang diperoleh para Nabi (wahyu) tidak
mungkin bertentangan dengan pengetahuan yang diperoleh para filsuf. Perbedaan
filsafat Islam dengan filsafat Yunani begitu terlihat sehingga tidaklah tepat
apabila filsafat Islam disebut sebagai filsafat Yunani yang ditulis dalam bahasa
Arab atau filsafat Yunani yang diislamkan.

Tiga karakteristik filsafat Islam ini semestinya menjadi pegangan untuk


kita semua agar bisa mendalami filsafat Islam dengan baik, tanpa terpengaruh
para orientalis dengan pendapatnya yang bermacam-macam dan tumpang-tindih.

Secara garis besar perbedaan antara filsafat islam dengan filsafat umum
yaitu sebagai berikut :

filsafat islam
1. bersifat theosentris (berpusat pada Allah)
2. berdasarkan Al Qur'an dan Hadits
3. meyakini hal-hal ghaib
4. belajar mengajarkannya selalu dikaitkan dengan Allah
5. meyakini dan membahas kehidupan sebelum dan sesudah kematian
6. dalam pendidikannya ada dosa dan pahala

filsafat umum
1. bersifat anthroposentris (berpusat pada manusia)
2. berdasarkan hasil pemikiran manusia dari generasi ke generasi
3. positivistik, yaitu hanya yang dapat diterima oleh indra
4. belajar mengajarnya tidak ada hubungannya dengan Allah
5. tidak membahas kehidupan setelah kematian, kecuali hanya membahas
kehidupan yang sekarang
6. tidak dikaitkan dengan dosa dan pahala
3. Sejarah dan kontek pengetahuan filsafat islam

Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa sebelum Islam datang bangsa


Arab belum mempunyai filsafat. Akan tetapi dengan mengatakan bahwa filsafat
tidak terdapat pada bangsa Arab pada permulaan Islam, bukan berarti  mereka
tidak menghiraukan filsafat. Setelah filsafat meninggalkan Yunani, ia
dikembangkan oleh orang Islam, sehingga filsafat tersebut menjadi bagian
terpenting dari kebudayaan Islam. Beratus tahun filsafat itu lepas dari bangsa
Yunani, selama itu pula filsafat dibangun oleh orang Islam. Pada saat pertama kali
filsafat itu pindah ke dalam masyarakat Islam belum kelihatan bahwa filsafat
tersebut merupakan bagian dari peradaban. Ia baru kelihatan peranannya dalam
peradaban Islam pada abad ke-9 Masehi, yaitu di masa pemerintahan Abassiyah.
Filsafat muncul dalam gelanggang pemerintahan Islam. Rupanya sebelum itu
filsafat merupakan sesuatu yang belum matang di kalangan kaum muslimin. Dari
abad ke-9 sampai abad ke-12 filsafat berkembang dengan suburnya dalam
khazanah ilmu pengetahuann dan masyarakat Islam. Masa ini adalah masa
perkembangan filsafat yang tiada taranya dalam dunia Islam.

Dunia Islam telah melahirkan ahli-ahli filsafat Islam yang banyak


jumlahnya, bahkan ada yang sampai diberi julukan sebagai “guru kedua” filsafat,
yaitu Al-Farabi. Guru pertamanya adalah Aristoteles, dan sampai saat ini belum
ada guru ketiganya. Demikianlah halnya, filsafat mengalami perkembangan yang
pesat di dunia Islam yaitu pada masa pemerintahan Abbasiyah. Akan tetapi pada
abad ke- 12 secara tiba-tiba perkembangan filsafat Islam terhenti, karena
mendapat serangan dari ahli-ahli agama. Banyak ahli-ahli filsafat dihukum
sebagai orang-orang mulhid (atheis), akibatnya pada akhir abad ke-12
menghilanglah filsafat dari kebudayaan Islam. Buku-buku filsafat betapapun
besar dan tinggi nilainya, dibakar dalam perunggunan di musim dingin dan
akhirnya pada abad ke 14. Tidak seorangpun lagi dalam dunia Islam yang berani
mempelajari filsafat, apalagi menamakan dirinya sebagai filosuf. Sebab dengan
demikian akan menyebabkan dia dihukumi sebagai orang mulhid. Sejak itulah
perkembangan filsafat di dunia Islam menjadi tertinggal.

Sementara dunia Barat yang pada mulanya mempelajari filsafat dari


orang-orang Islam dan mengalami kemajuan yang amat pesat sampai saat ini.
Demikianlah, filsafat Islam telah mengalami perkembangan yang pesat dalam
kurun waktu yang sangat lama, akan tetapi setelah mendapat serangan dari ahli-
ahli agama, filsafat Islam menjadi mandek. Kemandekan filsafat Islam inilah yang
dianggap oleh sebagian kalangan, yang menyebabkan tertinggalnya umat Islam
saat ini dari negara-negara Barat. V1. Gerakan Keilmuan Islam dan
Pengaruhnya Terhadap Renaissance Wahyu pertama yang turun
(Q.S. Al-’Alaq :1-5) itu --dan sejumlah hadis Nabi-- memiliki implikasi besar
terhadap perkembangan keilmuan pada masa-masa berikutnya. Sebagaimana yang
dicatat oleh Ahmad Amin (1969:141) bahwa pada awal timbulnya Islam, barulah
tujuh belas orang suku Quraisy yang pandai baca-tulis. Nabi juga menganjurkan
para pengikutnya untuk belajar membaca dan menulis. Aisyah, isterinya pun
belajar membaca. Anak angkatnya, Zaid bin Haritsah disuruh pula belajar tulisan
Ibrani dan Suryani. Para tawanan perang dibebaskan setelah mereka dapat
mengajar sepuluh orang muslim untuk membaca dan menulis (meski Nabi
sendiri ummi, tetapi ke-ummi-an beliau sangat beralasan untuk menolak
anggapan, bahwa al-Qur’an itu ciptaannya). Beberapa wahyu (nash) penting
mengenai ilmu telah menjadikan alasan bagi dukungan dan respon Islam terhadap
ilmu pengetahuan dan peradaban. Oleh sebab itu, tak heran jika tradisi keilmuan
dalam Islam lantas begitu subur dan semarak pada masa-masa berikutnya.
Demikianlah, gerakan melek huruf untuk pertama kalinya dilakukan Islam dalam
rangka pengamalan ilmu pengetahuan. Jika pada mulanya aktivitas keilmuan itu
hanya telaah agama yang lebih khusus, maka pada periode berikutnya menjadi
berkembang secara menyeluruh dan dalam skop yang lebih luas. Jika pada
umumnya kajian keislaman hanya terpusat pada al-Qur’an, al-Hadits, Kalam, Fiqh
serta ilmu gramatika bahasa (nahwu, sharaf, balaghah), maka pada periode
berikutnya, setelah kemenangan Islam ke berbagai wilayah, kajian itu
berkembang dalam berbagai disiplin ilmu: filsafat, kedokteran, astronomi, fisika
dan ilmu-ilmu sosial. Kenyataan ini bisa dibuktikan pada masa kegemilangannya,
antara abad 8-15 Masehi, dari dinasti Abbasiyah (750-1258) hingga jatuhnya
Granada (1492). Perluasan wilayah Islam dimulai sejak khalifah Abu Bakar As-
Shiddiq hingga dinasti ‘Abbasiyah. Berturut-turut jatuh ke tangan Islam adalah,
wilayah: Damsyik (629), seluruh Syam dan Irak (673), Mesir hingga Maroko
(645), Persi (646), Samarkand (680) dan seluruh Andalusia (719). Satu abad
kemudian (setelah hijrah), negara Islam telah membentang dari teluk Biskaya di
sebelah barat hingga Turkestan (Tiongkok) dan India yang melebihi imperium
Romawi pada puncak kejayaannya (Poeradisastro, 1986: 8). Bahwa jauh sebelum
umat Islam menaklukkan wilayah Timur Dekat, Syria merupakan tempat
bertemunya dua negara “super power” waktu itu, Roma dan Persia. Bangsa Syria
memang memiliki peran penting dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan
peradaban Yunani ke Timur dan Barat, terutama
kaum Monofisit¯ dan Nestorian¯. Hanya saat itu ilmu pengetahuan (seperti
kedokteran) tetap merupakan pengetahuan sekuler dan dengan demikian
kedudukannya lebih rendah daripada pengobatan spiritual yang merupakan hak
istimewa para pendeta, bahwa berdasarkan peraturan mazhab Nisibi, mulai tahun
590, kitab-kitab suci dilarang dibaca dalam satu ruangan dengan buku-buku
mengenai profesi keduniaan (sekuler). Di pusat-pusat ilmu pengetahuan, seperti di
Antokiah, Ephesus dan Iskandariah, penterjemahan buku-buku Yunani ke dalam
berbagai bahasa, terutama bahasa Syria (Suryani) tetap dilakukan dan tetap
memiliki pengaruh yang besar, bahkan setelah pusat-pusat kota itu ditaklukkan
oleh umat Islam. Ketika pemikiran-pemikiran Yunani itu merasuk pada umat
Kristiani dan mewarnai pemikiran tokoh gereja, Nestorius, Uskup Constantinopel,
maka serta merta mendapat tantangan keras dari kaum konservatif dan ortodoks,
sehingga pada tahun 481, ajaran-ajarannya dilarang oleh gereja. Tetapi meski
begitu, Nestorius dan sebagian pengikutnya tetap tidak mau tunduk dan malah
melarikan diri ke Syria. Di sinilah ia mengembangkan ilmu pengetahuan dan
filsafat Yunani itu dan bahkan mendirikan sekolah-sekolah serta tetap aktif
menterjemah. Karya-karya Yunani yang diterjemahkan antara lain mnengenai
filsafat dan logika.

Perluasan wilayah Islam ke berbagai penjuru telah membawa konsekuensi


bahwa Islam harus berhadapan dengan berbagai pluralitas bangsa dan
“globalisasi“ dunia saat itu: ras, bahasa, tradisi, budaya, agama dan bangsa itu
sendiri. Islam harus berhadapan dengan agama yang beragam: Yahudi, Kristen,
Zoroaster, Manes, Hindu dan seterusnya, dengan aneka budayanya: Yunani,
Romawi, Mesir (Qibti dan Nubia) dan Persi. Heteroginitas dan globalisasi itu
menuntut umat Islam untuk senantiasa mampu menampilkan ajaran-ajarannya
dalam bentuk yang kosmopolit dan egaliter. Di sinilah kemudian umat Islam juga
mulai mempelajari karya-karya Yunani untuk kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Suryani, suatu bahasa yang masih serumpun dengan bahasa Arab.

Upaya ini terus berlanjut hingga masa kegemilangannya pada masa dinasti
Abbasiyah. Pada abad ini (abad 7), terdapat dua pusat ilmu pengetahuan: di Haran
dan Jundishapur. Tsabit bin Qurra’ dan anaknya, Sinan bin Tsabit, serta kedua
cucunya, Tsabit dan Ibrahim adalah produk-produk pendidikan lembaga
Aleksandria (Haran) ini, yang ahli dalam bidang matematika dan astronomi.
Sementara di Jundishapur, Khosru Anusirwan (521-579) mendirikan lembaga
studi filsafat dan kedokteran. Karena letaknya yang dekat dengan Baghdad, maka
dengan mudah lembaga tersebut berpengaruh terhadap umat Islam disana. Oleh
karena Jundhisapur  berdekatan dengan Baghdad, maka hubungan politis orang-
orang Persia dengan khalifah Abbasiyah sangat erat, yang memiliki dampak
positif bagi umat Islam di sana. Sejak awal Jundishapur telah menyumbangkan
tabib-tabib istana, seperti halnya sejumlah keluarga Nestorian, Bakhtisyu yang
mengabdi kepada khalifah dengan penuh hormat. Mereka juga banyak membantu
pembangunan: rumah sakit dan observatorium di Baghdad dengan mengikuti pola
Jundishapur selama pemerinyahan Harun Al-Rasyid (789-809) dan penerusnya
Al-Makmun (813-833. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa ketika bangsa Arab
menaklukkan negeri-negeri di Asia Barat dan Timur dekat, mereka tidak
mengganggu urusan bahasa dan kebudayaan bangsa yang mereka taklukkan
tersebut. Itulah sebabnya, di bagian awal sejarah Islam, sebelum dinasti
Mu’awiyyah memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi,
bahasa Persi dan Yunani tetap dipergunakan pada waktu itu, hingga secara resmi
diganti dengan bahasa Arab. Oleh sebab itu karya Yunani yang masih ada
sebagian berbahasa Persi dan sebagian lain tetap berbahasa Yunani. Ilmu
pengetahuan yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa
dinasti Umayyah di bawah pemerintahan Marwan bin Hakam (684-685) adalah
ilmu kedokteran. Ketika itu seorang dokter bernama Masarjaweh menerjemahkan
buku yang ditulis oleh seorang pendeta bernama Ahran bin A’yun dari bahasa asli
Suryani ke dalam bahasa Arab. Buku tersebut masih tersimpan baik di
pertustakaan hingga pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (718-720). Kemudian
buku itu dipindahkannya ke mushalla dengan maksud agar dapat dimanfaatkan
oleh umum. Sebagian riwayat menyebutkan, bahwa orang yang pertama kali
menterjemahkan itu adalah Khalid bin Yazid Al-Umawi (w. 678) dan buku yang
diterjemah adalah ilmu kimia (Shun’ah) yang tekenal saat itu (Al-Ahwani, 1962:
31). Segera setelah penobatan khalifah Abbasiyah, dilakukanlah penerjemahan
karya-karya ilmiah dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab secara serius.
Dimasa kekuasaan Harun Al-Rasyid telah banyak diterjemahkan karya mengenai
astronomi, satu diantaranya adalah Siddhanta --sebuah risalah India yang
diterjemahkan oleh Muhammad Ibrahim Al-Fazari (w. 806). Sebuah karya
astronomi lainnya adalah Quadripartitus karya Ptolemy dan karya-karya lain
mengenai astrologi. Selain bernilai ilmiah, karya-karya terjemahan itu mempunyai
nilai praktis. Yahya bin Bitriq misalnya telah menterjemahkan Timaeus, karya
Plato dan De Anima, Analytica Priori dan Secret of Secret-nya Aristoteles. Saat
itu tidak hanya khalifah dan wazir-wazir saja yang menaruh perhatian terhadap
para filosof dan ilmuwan, melainkan juga masyarakat biasa. Misalnya keluarga
Banu Musa, seorang hartawan terpandang telah menyumbangkan banyak uangnya
untuk keperluan terjemahan tersebut. Ia mengutus orang-orang pergi ke
Byzantium untuk membeli naskah-naskah Yunani dan mengupah para
penterjemah dengan harga tinggi. Beberapa karya selain astrologi dan matematika
yang diusahakan adalah karya mengenai atom (the Treatise on the Atom) dan
karya mengenai kekekalan dunia ( Treatise on the Eternity of the World), dua
risalah yang bernilai filosofis (C.A Qadir, 1989:39). Nampaknya Baghdad tidak
ingin ketinggalan dengan tradisi Aleksandria dan Jundishapur, maka dibangunlah
Lembaga Ilmu Pengetahuan (Bait al-Hikmah) tahun 830 oleh Al-Ma’mun (813-
833) sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan dan filsafat yang sarat dengan
fasilitasnya: ada perpustakaan,  laboratorium penterjemahan dan observatorium
bintang. Penterjemah penting di Bait al-Hikmah ini adalah Hunayn bin Ishaq (w.
873) seorang Kristen Haran dan murid Hasawaih, seorang yang berjasa besar
dalam menterjemah karya-karya medis klasik, ia sendiri juga sebagai dokter
pribadi Harun Al-Rasyid. Di samping Hunayn, terdapat penterjemah lain, seperti
Qusta bin Laqa (seorang Kristen juga) dan Tsabit bin Qurra’ (w. 901) dari
kalangan penyembah bintang-bintang (Sabi’ah) yang bersama murid-muridnya
menterjemahkan karya astronomi (lihat pula C.A Qadir, 1989:40). Seperti yang
diidentifikasi oleh Ahmad Hanafi (1982:66-73), bahwa karya-karya Plato dan
Aristoteles yang diterjemahkan itu adalah:

1. Theatetus, Cratylus, Sophistes, Permanides.

Keempat karya tersebut diterjemahkan oleh Ishaq bin Hunayn dan


semuanya tercatat dalam buku Al-Fihris karya Ibnu Nadim dan Tarikh al-
Hukama’ karya Al-Qafti;

1. Timaeus, buku mengenai fisika yang diterjemahkan oleh Hunayn bin Ishaq


dengan ulasan Plutarchus. (Yahya bin Bitrik juga menterjemahkan karya
tersebut);
2. Phado, karya tentang jiwa dan keabadian sesudah mati dan Phaedrus karya
tentang cinta, keduanya merupakan disiplin psikologi;
3. Politicus, karya tentang ilmu politik yang diterjemahkan oleh Hunayn bin
Ishaq dan Law (undang-undang) yang diterjemahkan oleh Yahya bin ‘Adi;
Sedangkan karya-karya Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab,
seperti:

1. Categorie  (Al-Maqalat) berisi tentang sepuluh macam ke yang diterjemahkan


oleh Ibn al-Muqaffa’, lantas diterjemahkan lagi oleh Ishaq bin Hunayn dan
selanjutnya diterjemahkan oleh Yahya bin ‘Adi dengan ulasannya dari
Iskandar Aphrodisis;
2. Interpretation yang dunia Arab Islam dikenal dengan nama Pori-
Armenias,  berisi keterangan mengenai bahasa: proposisi dan bagian-
bagiannya. Karya tersebut semula diterjemahkan oleh Ibn al-Muqaffa’ (ke
dalam bahasa Persi kuno) kemudian disalin ke dalam bahasa Arab oleh Ishaq
bin Hunain;
3. Analytica Priaora (uraian pertama) yang membahas tentang metode
keilmuan. Diterjemahkan oleh Mattius bin Yunus ke dalam bahasa Suryani.
Kemudian diterjemahkan lagi oleh Ishaq bin Hunayn;
4. Analytica Posteriora (uraian kedua) diterjemahkan oleh Yahya bin ‘Adi dan
Abu Utsman al-Damsyiqi;
5. Sophistic Elenchi (kesalahan-kesalahan Sofistik) disalin ke dalam bahasa
Arab oleh Ishaq bin Hunayn dengan judul Al-Hikmah al-
Muwawwahah (filsafat yang menipu);
6. De Caelo (langit) diterjemahkan oleh Petrick, kemudian diringkas oleh
Naicholas Damascus;
7. Anima (jiwa) diterjemahkan oleh Ishaq bin Hunayn (semula diterjemahkan
oleh Yahya bin Bitrik, pen.);
8. Ethica Nicomachaes yang berisi tentang pembagian ilmu etika menurut
Aristoteles.
KESIMPULAN

Filsafat seringkali tidak memiliki batasan atas apa yang perlu dan harus
dicari jawabannya. Rasa penasaran dalam diri manusia adalah hal yang bersifat
lahiriah dan pasti akan selalu ada. Namun, dengan rasa penasaran ini, manusia
hendaknya masih bisa berpikir akan keyakinan, bukan malah menghilangkan
keyakinan itu sendiri dari dalam diri mereka. Filsafat bukan ingin menghilangkan
apa yang ada dan mengadakan apa yang hilang. Filsafat juga bukan sebatas hanya
apa yang dapat dilihat. Namun, filsafat bukanlah ilmu yang tak berujung. Semua
ilmu memiliki ujung yang dimana akan kita temukan penyelesaian. permasalahan
tanpa jalan keluar sama sekali. Dan filsafat pun sama halnya dengan ilmu-ilmu
yang tanpa jalan keluar tersebut. Tergantung bagaimana kita memahami filsafat
itu sendiri. Apakah ketika kita menghadapi jalan buntu harus kita tabrak meski
hasilnya kita tak bergerak, atau kembali kejalan yang lain dan menemukan jalan
keluar yang lain? Filsafat sama halnya dengan analogi ini, apabila kita sudah tidak
menemukan jawaban jangan terlalu memaksakan kehendak dan keinginan akan
ilmu yang belum tentu itu benar ataupun salah. Kurangnya penguas aan amu
kendali pemikiran dan kendali diri juga harus diperhatikan dalam mempelajari
ilmu ini. Tak ada salahnya jika hanya sekedar menambah pengetahuan
dikarenakan kita cinta akan pengetahuan dan ilmu. Tapi hasil yang dapat kita
bawa setelah mmempelajari sesuatu harus berupa sesuatu yang dapat dibuktikan
dan sesuai dengan apa yang dapat diterima masyarakat. Dan jangan pula keluar
dari norma dan juga nilai yang ada dalam diri kita sebagai manusia yang berakal.
Karena hal tersebut akan membuat apa yang kita pelajari dianggap menyimpang
dan berbeda dari apa yang dapat diterima dalam kehidupan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Nasution,Harun.2012.Islam ditinjau dari berbagai aspeknya.Penerbit Universitas


Indonesia(UI-Press), Jakarta.

Nababan, Nazareth.2020.Sejarah Filsafat Yunani.Penerbit Syahadah,Sulawesi


Selatan Indonesia.

Zainuddin, HM.2013. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan filsafat


islam,Gema media informasi dan kebijakan kampus, Malang Jawa Timur.

Alfiah, Ayu.2020. Karakteristik filsafat islam dan perbedaannya dengan filsafat


Yunani atau umum,Bintang Syariah

Anda mungkin juga menyukai