Anda di halaman 1dari 8

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mangga Agri Gardina

Mangga Agri Gardina 45 merupakan mangga hasil persilangan mangga

Arumanis 143 dengan Saigon, tingginya 3,2 meter, lingkar batangnya 28 cm,

diameter batang 8,9 cm, adapun untuk warna batangnya coklat keabu-abuan,

bentuk tajuknya semi melingkar, lebar tajuknya 3,7 cm, pertumbuhannya

batangya tegak, bentuk daun lanset, bentuk ujung daunnya runcing, ukuran

panjang daunnya 15,5-24,5 cm dan lebarnya 4,0-6,0 cm, adapun warna daunnya

hijau tua dibagian atas dan hijau muda dibagian bawah, tepi daunnya berombak,

bentuk bunganya bintang, bentuk malai piramida lancip, warna kelopak bunganya

hijau kekuningan, warna mahkota bunganya putih kemerahan, warna kepala

putiknya putih kekuningan, warna benangsari ungu, adapun waktu berbunganya

bulan juli-september, untuk waktu panennya oktober-desember, bentuk buahnya

jorong, ukuran buah 7,32-9,12 cm, diameter buah 5,00-5,96 cm, bentuk apex buah

runcing, tipe paruh runcing menonjol, warna kulit buahnya adalah merah dibagian

pangkal dan kuning dibagian ujung, untuk warna daging buahnya kuning, rasa

daging buahnya manis, bentuk bijinya lonjong berlekuk, warna bijinya putih,

kandungan air 80-90 %, kadar asamnya 0,60-1,97 %, kandungan vitamin C 22,67-

26,03 mg/100 gram, berat per buahnya 93-172 gram, dan daya simpannya 6-10

hari setelah panen dalam suhu 22-32oC, hasil per pohonnya mencapai 25-30

kg/pohon/tahun, keunggulan varietas ini adalah umur panen genjah yaitu 90-100

hari setelah mekar (Rebin et.al,. 2010).

5
6

Menurut Steenis (2003) dalam tata nama sistematika (taksonnomi)

tumbuhan, tanaman mangga diklasifikasikan sebagai berikut :

Kerajaan : Plantae

Filum : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Sapindales

Famili : Anacardiaceae

Genus : Mangifera

Spesies : Mangivera Indica

Nama Binomial : Mangivera Indica L.

Sabari (1989) mengungkapkan tentang karakteristik fisiologi buah mangga

sebagai berikut : (a). Buah mangga termasuk kelompok buah klimaterik, yang

ditandai dengan adanya peningkatan jumlah CO2 yang mendadak, yang

dihasilkan sebelum terjadi pematangan buah. Hal ini terjadi pada mangga yang

masih di pohon atau yang telah dipanen. (b). Buah mangga mencapai puncak

respirasi pada hari kempat, dan terjadi aktivitas fisiologis yang paling tinggi. Pada

saat tersebut diperlukan sumber energi yang banyak untuk mendukung aktivitas

sel yang meningkat. Hidrolisis pati sudah mulai aktif, namun belum selesai

sampai buah tersebut mencapai puncak klimaterik dan aktivitasnya masih

berlanjut.

Kematangan buah yang siap dikonsumsi dalam keadaan segar, baru akan

terjadi beberapa hari setelah buah mencapai puncak aktivitas biologisnya. Selain

laju respirasi, parameter yang digunakan untuk mengamati perubahan fisiologis

6
7

adalah produksi gas etilen. Etilen adalah senyawa kimia yang secara alami

diproduksi oleh buah dan merupakan hormon yang mempercepat kematangan

buah. Biasanya buah-buahan memiliki pola produksi gas etilen yang sejalan

dengan laju respirasinya. Adapun buah Mangga Agri Gardina 45 daya simpannya

yaitu 6-10 hari setelah panen pada suhu 22-32 ̊C. Dan Mangga Agri Gardina 45

memiliki kandungan gula 15-18 ̊ brix, kadar asam 0,60-1,97 %, kandungan

vitamin C 22,67-26,03 mg/100 g (Rebin et.al,. 2010).

2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Simpan Buah

2.2.1 Respirasi

Pada setiap proses pertumbuhan terjadi respirasi. Hal tersebut dapat

ditunjukkan dengan hubungan antara proses pertumbuhan dengan laju respirasi,

dimana laju respirasi tinggi pada saat pembelahan sel, dan menurun pada tahap

pembesaran sel. Selanjutnya laju respirasi dapat tiba-tiba meningkat dan menurun

kembali atau terus menurun dengan perlahan-lahan menuju tahap kelayuan

(senescence). Meningkatnya proses respirasi ternyata tergantung pada beberapa

hal diantaranya adalah jumlah etilen yang dihasilkan serta meningkatnya sintesa

protein dan RNA (Ribose Nucleic Acid). Perubahan pola respirasi yang mendadak

sebelum proses kelayuan pada bahan, biasanya dikenal sebagai klimaterik

respirasi atau biasanya disingkat menjadi klimaterik.

Pada buah-buahan yang tergolong klimaterik, proses respirasi yang terjadi

selama pematangan mempunyai pola yang sama yaitu menunjukkan peningkatan

CO2 yang mendadak. Contohnya buah apel, pisang, mangga, adpokat, pepaya,

7
8

peach, tomat. Pada keadaaan tersebut jumlah O2 yang dikeluarkan dan CO2 yang

dihasilkan menurun hingga menuju masa kelayuan.

Sedangkan pada buah-buahan yang tergolong non-klimaterik seperti

semangka, ketimun, anggur, limau, jeruk, nanas, arbei, setelah dipanen proses

respirasi CO2 yang dihasilkan tidak terus meningkat, tetapi langsung turun secara

perlahan-lahan (Syarief & Irawati, 1988)

2.2.2 Transpirasi

Transpirasi adalah pengeluaran air dari dalam jaringan produk nabati. Laju

transpirasi dipengaruhi oleh faktor internal (morfologi/anatomi, rasio permukaan

terhadap volume, kerusakan fisik, umur panen) dan faktor eksternal (suhu, RH,

pergerakan udara dan tekanan atmosfir). Menurut Sastry, et al dalam Sucahyo

(1999), kehilangan air pada buah-buahan itu terjadi karena faktor transpirasi,

dimana laju transpirasi akan dipengaruhi oleh faktor komoditi dan faktor

lingkungan.

Namun, pada proses respirasi terjadi suatu proses metabolisme biologis

dengan menggunakan oksigen dalam perombakan senyawa kompleks (seperti

karbohidrat, protein dan lemak) untuk menghasilkan CO2, air dan sejumlah

elektron-elektron. Pada umumnya bahan hasil pertanian setelah dipanen masih

melakukan proses respirasi serta metabolisme lain sampai bahan tersebut rusak

dan proses kehidupan berhenti (Syarief dan Irawati, 1988).

Adanya aktivitas respirasi pada hasil-hasil pertanian dapat menyebabkan

hasil pertanian menjadi matang dan menjadi tua. Proses matangnya hasil pertanian

merupakan perubahan dari warna, aroma, dan tekstur berturut-turut menuju ke

8
9

arah hasil pertanian yang dapat dimakan/dapat digunakan dan memberikan hasil

sebaik-baiknya. Proses menjadi tua (senescence) merupakan proses secara normal

menuju ke arah kerusakan sejak lewat masa optimal (Hadiwiyoto dan Soehardi,

1981).

2.3 Pelilinan Buah

Pelilinan (waxing) merupakan salah satu pelapisan pada buah untuk

menambah lapisan lilin alami yang biasanya hilang saat pencucian, dan juga untuk

menambah kilap buah. Keuntungan lain pelilinan adalah menutup luka yang ada

pada permukaan buah. Pelilinan digunakan untuk memperpanjang masa segar

buah atau memperpanjang daya tahan simpan buah bilamana fasilitas pendinginan

(ruang simpan dingin) tidak tersedia. Namun perlu diingat bahwa tidak semua

komoditi buah memiliki respon yang baik terhadap pelilinan. Faktor kritis

pelilinan buah adalah tingkat ketebalan lapisan lilin. Terlalu tipis lapisan lilin

yang terbentuk di permukaan buah membuat pelilinan tidak efektif, namun bila

pelapisan terlalu tebal akan menyebabkan kebusukan buah, Beberapa macam lilin

yang digunakan dalam upaya memperpanjang masa simpan dan kesegaran buah

adalah lilin tebu (sugarcane wax) lilin karnauba (carnauba wax), resin, terpen

resin termoplastik, shellac, lilin lebah madu (beeswax) dan sebagainya. Saat

sekarang lilin komersial siap pakai yang dapat dan sering digunakan para

produsen buah adalah lilin dengan nama dagang atau biasanya dengan label

Brogdex-Britex Wax. Salah satu jenis pelapis lainnya yang dikembangkan selain

9
10

pelapis lilin adalah khitosan, yaitu polisakarida yang berasal dari limbah kulit

udang-udangan (Crustaceae), kepiting dan rajungan (Crab). Khitosan mempunyai

potensi yang cukup baik sebagai pelapis buah-buahan misalnya pada tomat dan

leci. Sifat lain khitosan adalah dapat menginduksi enzim chitinase pada jaringan

tanaman yaitu enzim yang dapat mendegradasi khitin yang merupakan penyusun

dinding sel fungi, sehingga ada kemungkinan dapat digunakan sebagai fungisida.

Teknik aplikasi atau penggunaan lilin pada buah dapat dengan menggunakan

teknik pencelupan buah dalam larutan lilin (dipping), pembusaan (foaming),

penyemprotan (spraying), dan pengolesan atau penyikatan (brushing). Tentunya

masing-masing teknik cocok untuk masing-masing jenis buah yang berbeda,

artinya jenis buah yang berbeda memerlukan teknik pelilinan yang berbeda

(Pantastico 1996).

Dari hasil penelitian Dewandari, et al., (2011) menyimpulkan bahwa

pelapisan 6% pada buah mangga gedong dapat mempertahankan kesegaran buah

hingga mencapai minggu ke 4 dibandingkan dengan tanpa pelilinan dan selain itu

pelilinan dapat menurunkan serangan penyakit antraknosa dan buah memiliki

penampakan yang lebih baik secara fisik.

2.4 Lilin Lebah

Beberapa syarat yang diperlukan untuk lilin sebagai bahan pelapis antara

lain : tidak mempengaruhi bau dan rasa buah yang dilapisi, mudah kering, tidak

mudah pecah, mengkilap dan licin, tidak menghasilkan permukaan yang tebal,

murah harganya, dan tidak beracun (Furness, 1997).

10
11

Salah satu sumber lilin yang diduga memenuhi syarat tersebut adalah lilin

lebah (beeswax). Lilin lebah menurut Winarno dan Aman (1981), merupakan hasil

sekresi dari lebah madu (Apis mellifica). Madu dapat diekstrak dengan

menggunakan dua cara, yaitu sistem sentrifugal dan pengepresan. Madu yang

diekstrak dengan sentrifugal sisir madu akan tetap utuh sehingga dapat digunakan

lagi, sedangkan ekstrasi madu menggunakan sisir madu yang ditekan atau dipres,

sisir akan hancur. Sisir yang hancur dapat dibuat lilin atau bibit bahan sarang

baru. Hasil sisa pengepresan ini, kemudian dicuci dan dikeringkan, lalu

dipanaskan sehingga menjadi lilin atau malam. Lilin lebah terbagi atas lilin putih

(Cera alba) dan lilin kuning (Cera flava). Rumus molekul lilin lebah adalah

C15H31CO2C30H61. Komposisinya terdiri dari 71% ester lilin, 13.5-14.5% asam

lemak bebas, 10.4-13.6% hidrokarbon, 1-2% air dan 1-1.5% alkohol bebas

(Donhowe and Fennema, 1994). Lilin ini berwarna putih, kuning, sampai coklat,

dengan titik cair 62.8-700C, bobot jenis sebesar 0.952-0.975 pada suhu 20 0C.

Lilin lebah bersifat plastis pada suhu kamar tetapi menjadi keras bila disimpan

pada suhu dingin. Lilin lebah ini banyak digunakan untuk pelilinan produk

hortikultura karena mudah didapat dan harganya murah (Bennet, 1964). Lapisan

lilin untuk produk hortikultura seperti sayuran biasanya digunakan lilin lebah

yang dibuat dalam bentuk emulsi lilin dengan konsentrasi 4- 12% (Setyowati dan

Budiarti, 1992).

Cara pembuatan emulsi lilin lebah Standart 12% menurut Chotimah, 2008

adalah memanaskan 120 ml lilin lebah pada suhu 90-95 ̊ C sampai mencair, lalu

menambahkan 20 ml asam oleat ke dalam lilin yang mencair dan diaduk hingga

11
12

rata, setelah itu menambahkan 40 ml trietanolamin, sambil terus diaduk suhu

dipertahankan pada 90-95 ̊ C, dan campuran yang telah terbentuk dibiarkan dan

didinginkan selama 10 menit, kemudian ditambahkan aquades sehingga volume

mencapai 1 liter.

Adapun untuk mendapatkan emulsi lilin dengan konsentrasi 4% dan 6%,

maka menurut Balai Penelitian Hortikultura (1985) dalam Sefina (2002),

dilakukan pengenceran larutan dengan aquades pada saat emulsi telah mencapai

suhu ruang dengan cara dicampur langsung sambil terus diaduk. Untuk formulasi

pengencerannya sebagai berikut

Tabel 1. Formulasi pengenceran lilin lebah menjadi 4% dan 6%

Perbandingan
% Emulsi
Emulsi lilin 12 % Aquades
4% 1 2
6% 1 1

Pelapisan lilin lebah dapat menghambat proses pematangan dan menunda

pembusukan untuk memperpanjang masa simpan buah. Lilin lebah dapat

digunakan untuk membantu menahan air didalam buah dan sayuran selama

pengiriman dan pemasaran, membantu menghambat pertumbuhan jamur,

melindungi buah dan sayuran dari memar, mencegah kerusakan fisik dan penyakit

serta meningkatkan tampilan (Selvita, 2008).

12

Anda mungkin juga menyukai