1. Badan Pemeriksa Keuangan terbentuk berdasarkan Surat Penetapan
amanat UUD tahun 1945 yang dikeluarkan pemerintah No. 11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan yang berada di Kota Magelang. Aturan yang digunakan untuk sementara masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pelaksanaan tugas Alemene Rekenkamer (BPK Hindia Belanda) yakni ICW dan IAR. Pada era reformasi, BPK telah mendapat dukungan konstitusi dari MPR RI dalam Sidang Tahun 2002 dengan memperkuat kedudukan BPK sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang Keuangan Negara. Di mana dikeluarkannya TAP MPR Nomor VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan professional.
2. Menurut UU Nomor 15 Tahun 2006 Pasal 14 dijelaskan bahwa
anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Kemudian pertimpangan DPD disampaikan secara tertulis yang memuat semua nama calon secara lengkap dan diserahkan kepada DPR dalam jangka waktu paling lama 1 bulan terhitung sejak tangal diterimanya surat permintaan pertimbangan dari pimpinan DPR. Calon anggota BPK diumumkan oleh DPR kepada public untuk memperoleh masukan dari masyarakat. DPR memulai proses pemilihan anggota BPK terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan anggota BPK yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota BPK yang lama.
3. BPK menyerahkan hasil pemeriksaaan atas pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. DPR, DPD, dan DPRD menindaklanjuti hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat sesuai dengan Peraturan Tata Tertib masing-masing lembaga perwakilan. Penyerahan hasil pemeriksaan BPK kepada DPRD dilakukan oleh Anggota BPK atau pejabat yang ditunjuk.
4. Secara khusus Audit adalah sebuah proses pemeriksaan. Mengingat
pentingnya proses audit, maka biasanya pihak auditor (pihak yang melakukan audit bisa disebut dengan auditor) akan memerintahkan kepada lembaga/ perusahaan yang akan diaudit untuk menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan. Dalam kasus tertentu terkadang proses audit dilakukan oleh sebuah lembaga audit independent supaya hasilnya bisa lebih dipercaya, biasanya bagi perusahaan akan menunjuk sebuah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terpercaya KAP yang dapat mengikuti proses pemilihan merupakan KAP yang terdaftar di BPK. KAP dan auditor yang akan ditugaskan memiliki kualifikasi dan perijinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak sedang dikenai sanksi. Memiliki Pemahaman terhadap Standar Akuntansi Pemerintahan dan berpengalaman melakukan audit terhadap klien minimal setara dengan BLU yang akan diperiksa, diutamakan pada klien pada bidang usaha yang sama. Memperhatikan prinsip best value for money, yaitu kombinasi yang paling menguntungkan dari biaya imbal/jasa, kualitas, dan kesinambungan layanan yang antara lain yang diwujudkan dengan memilih KAP yang sesuai dengan skala bisnis dan kompleksitas transaksi keuangan BLU, KAP berkomitmen menjaga rahasia data.informasi BLU dan bersungguh-sungguh dalam menyampaikan rekomendasi untuk perbaikan kelemahan pengendalian intern setelah mempelajari dan mengevaluasi pengendalian intern BLU selama proses audit (sebagaimana dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Sistem Pengedalian Inter). KAP tersebut harus bebas dari Pengaruh Dewan Pengawas, Pejabat Pengelola dan pihak lain yang berkepentingan di BLU (stakeholders).
5. BPK adalah lembaga negara di luar eksekutif (Presiden) yang
kedudukannya sejajar dengan Presiden, DPR dan MA. Sedangkan BPKP adalah lembaga yang bertanggungjawab kepada Presiden. Jadi, BPKP adalah bagian dari eksekutif. Konsekuensinya, hasil laporan BPK disampaikan ke DPR, sedangkan BPKP menyampaikannya ke Presiden, karena memang membantu Presiden dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan.
6. Laporan Hasil Pemeiksaan (LHP) disampaikan oleh BPK RI kepada
Bupati dan DPD dengan tembusan disampaikan kepada Inspektorat. Untuk selanjutnya Tim Tindakaanjut Hasil Pemeriksaan BPK RI yang dibentuk oleh Bupati menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan BPK RI dengan batas waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah LHP diterima, sesuai ketentuan perundang-undangan. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 9 tahun 2009 yang menjelaskan bahwa pimpinan unit kerja pada instansi pemerintah yang tidak melaksanakan kewajiban menindaklanjuti rekomendasi dalam LHP dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu undangundang nomor 15 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 20 ayat 5 yang menyatakan bahwa pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan, dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian, yaitu: Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang sudah diubah menjadi Peraturan Pemerintah nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri.
7. Mencegah kecurangan, menghasilkan keluaran yang berharga untuk
menjadi masukan bagi pihak auditor eksternal, eksekutif dan legislatif dalam memperbaiki pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah pada waktu yang akan datang. BPK dapat memanfaatkan hasil pengawasan APIP terutama dari hasil reviu atas laporan keuangan pemerintah, mendukung manajemen pemerintah daerah dalam pelaksanaan rekomendasi BPK dan perbaikan sistem pengendalian Internal.
8. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian
Hukum dan HAM Mualimin Abdi mengatakan kerugian negara hanya bisa diungkap melalui pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan tersebut baru dapat dilakukan apabila ada alasan yang cukup kuat dan akurat, sehingga pemeriksaan investigatif dapat dilaksanakan secara objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Menurutnya, pemeriksaan investigatif merupakan kewenangan yang boleh digunakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengungkap indikasi perbuatan pidana yang dapat menimbulkan kerugian negara. “Dalam menggunakan kewenangan tersebut, BPK berpedoman kepada tata kerja yang berlaku di lingkungan BPK serta standar pemeriksaaan. Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyatakan: Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
9. BPK menemukan potensi kerugian perusahaan sebesar Rp16,7 triliun.
Perhitungan ini berdasarkan kesalahan penempatan investasi Asabri pada dua instrumen investasi yakni saham (Rp9,7 triliun) dan reksadana (Rp6,7 triliun). BPK turun tangan dalam penanganan dugaan korupsi PT Asabri. BPK melakukan pemeriksaan investigatif terhadap Asabri. Hasil pemeriksaan investigatif Asabri akan disampaikan secara resmi oleh pimpinan BPK.
10. Korporasi sebagai suatu entitas atau subjek hukum yang
keberadaannya memberikan konteirbusi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional, namun dalam kenyataannya korporasi ada kalanya juga melakukan pelbagai tindak pidana (corporate crime) yang membawa dampak kerugian terhadap negara dan masyarakat. Dalam kenyataannya korporasi dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam pertanggungjawaban pidana. TPK Korporasi ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Tindak pidana korupsi korporasi merupakan fenomena yang berkembang pesat dewasa ini. Perbuatan pidana tersebut dilakukan dengan berbagai modus, mehimpang dari ketentuan hokum yang berlaku dengan tujuan menguntungkan perusahaan. Perbuatan korupsi korporasi tersebut membawa dampak kerugian pada perekonomian dan keuangan negara, yang berdampak pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Namun penegakan hokum terhadap tindak pidana korupsi korporasi, sangat jarang dihadapkan di pengadilan. Biasanya pengurus korporasi saja yang mewakili perseroan di muka hokum. Sementara masyarakat mengehendaki agar korupsi yang dilakukan korporasi tidak cukup menjerat direksinya saja, tapi menjatuhkan juga sanksi pidana pada korporasinya. .