Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KEBIJAKAN MENGENAI PEDOFILIA DAN KEKERASAN SEKSUAL

Disajikan untuk memenuhi tugas mata kuliah :


ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK
Dosen Pengajar :
DRS. INDRA MUDA, MAP

Disusun oleh :
Dian Hardiati 198520020

ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNVERSITAS MEDAN AREA
2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatklan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan karunia-Nya, maka makalah ini dapat terselesaikan dengan
baik, tepat pada waktunya. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah
memenuhi tugas Mata Kuliah Analisis Kebijakan Publik pada semesrer IV, di
tahun ajaran 2021 dengan judul “ Kebijakan Mengenai Pedofilia dan Kekerasan
Seksual”.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan,
terumata disebebkan kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namu, berkat
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak dan sumber yang telah membantu dan
memberikan kami pengarahan sehingga bisa menyelesaikan makalah ini. Karena
itu, sudah sepantasnya jika kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang terlibat.
Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses
pembelajaran, penulisan makalh ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan adanya kritikan dan saran yang bersifat positif,
guna penulisan makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Harapan
kami, semoga makalah yang sederhana ini, dapat memberikan kesadaran
tersendiri bagi generasi muda.

Medan, 1 Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
1.1 Latar Belakang......................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................
1.3 Tujuan Pembelajaran............................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................
2.1 Pengertian Pedofilia dan Kekerasan Seksual........................................
2.2 Analisa Kebijakan ................................................................................
2.3 Kebijakan Pemerintah...........................................................................
2.4 Faktor penyebab dan Penanggulangan Pedofilia..................................
2.5 Kebijakan Kriminal terhadap Pedofilia...............................................
BAB III PENUTUP........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Maraknya kasus kekerasan seksual yerhadap anak, khususnya pedofilia telah
menyedot perhatian banyak masyarakat yang akhirnya membuat pemerintah
menyatakan bahwa tahun 2014 merupakan Tahun Darurat Kekerasan Seksual
terhadap anak. Tulisan ini dimaksudkan memberikan gambaran dan juga
pemikiran mengenai pedofilia sebagai dari kekerasan seksual dan tulisan ini juga
menempatkan kebijakan pemerintah dalam menangani kasus kekerasan seksual
dan pedofilia, baik itu dari pemerintahan pusat maupun daerah bagaimana langkah
dalam penyelamatan anak dari kekerasan seksual mulai dari jaminan hukum yang
ketat, tegas, sampai dukungan sosial dari masyarakat. Banyaknya kasus kekerasan
terhadap anak, khususnya kekerasan seksual dikarenakan secara fisik dan psikis,
anak merupakan kaum yang lemah sehingga rentan menjadi korban kekerasan dan
pelecehan seksual. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan mulai dari
pencegahan terjadinya tindak kekerasan seksual terhadap anak, perlindungan
terhadap anak korban tindak kekerasan seksual serta perlindungan terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum (anak pelaku) tindak kekerasan seksual. Hukum
di tuntut untuk dapat memberikan perhatian yang khusus bagi kepentingan anak,
dalam hal ini dapat menanggulangi tindak kekerasan seksual yang banyak dialami
oleh anak-anak Indonesia. Agar dapat berjalan dengan baik maka perlu
dilakukannya penegakkan hukum bagi pelaku tindak kekerasan seksual sehingga
dapat memberikan efek jera dan meminimalisir tindak kekerasan seksual terhadap
anak-anak.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi anak terhadap tindak
kekerasan seksual di Indonesia?
2. Bagaimana penanggulangan hukum tindak kekerasan seksual terhadap
anak di Indonesia?
3. Kebijakan apa yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah dalam
menangani Kasus Kekerasan Seksual dan Pedofilia tersebut?

1.3 Tujuan Pembelajaran


Tujuan pembelajaran ini mahasiswa dapat mengkaji lebih dalam
mengenai bentuk-bentuk perlindungan serta penegakkan hukumnya dalam
hal penanggulangan tindak kekerasan seksual terhadap anak dengan baik
dan memberikan informasi tentang adanya aturan-aturan hukum mengenai
bentuk perlindungan anak dari kekerasan dan non diskriminasi terhadap
anak yang tertuang dalam perundang-undangan positif di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pedofilia dan Kekerasan Seksual


Pedofilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang dewasa
atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia 18 atau lebih tua)
biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau eksklusif
pada anak prapuber (umumnya usia 16 tahun atau lebih muda, walaupun
pubertas dapat bervariasi). Anak harus minimal dua belas tahun lebih muda
dalam kasus pedofilia remaja (12 tahun atau lebih tua) baru dapat
diklasifikasikan sebagai pedofilia. Menurut Diagnostik dan Statistik Manual
Gangguan Jiwa (DSM), pedofilia adalah parafilia di mana seseorang memiliki
hubungan yang kuat dan berulang terhadap dorongan seksual dan fantasi
tentang anak-anak prapuber dan di mana perasaan mereka memiliki salah satu
peran atau yang menyebabkan penderitaan atau kesulitan interpersonal.
Kekerasan Seksual adalah Setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual , pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar, dan
atau idak sesuai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untu
komersial dan/atau dengan tujuan tertentu (UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Kekerasan terhadap anak dapat disebabkan oleh banyak faktor, baik secara
individu maupun melalui kombinasi faktor-faktor tersebut. Menurut Richard J.
Helles (1982), faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap
anak adalah: 2) Stres sosial meliputi pengangguran, penyakit, kondisi
perumahan yang buruk, kecacatan dan kematian anggota keluarga. 3) isolasi
sosial dan sedikit partisipasi masyarakat; 4) Struktur keluarga, misalnya orang
tua tunggal, lebih cenderung melakukan tindakan kekerasan daripada seluruh
keluarga (Kurniawati, 2013). Ini mengacu pada kekerasan seksual (Terry
Lawson, 2008). Ini adalah tindakan pemaksaan hubungan seksual dengan cara
yang tidak wajar dan tidak diinginkan serta pemaksaan hubungan seksual
dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tertentu (Huraerah, 2008).
Kekerasan seksual dapat berupa alat kelamin oral, alat kelamin kelamin, alat
kelamin dubur, alat kelamin tangan tangan, tangan dubur, tangan dada,
anatomi seksual, pemaksaan melihat, dan demonstrasi pornografi.
Kekerasan seksual dapat dibagi menjadi dua jenis tergantung pada
identitas pelakunya. Artinya, family abuse jika pelaku masih kerabat atau
menjadi bagian dari keluarga inti, termasuk ayah tiri. Jika orang lain selain
keluarga korban melakukan, mereka akan dianiaya di luar keluarga. Kekerasan
seksual yang dilakukan orang dewasa terhadap anaknya (Struve, 1990) disebut
pedofilia, dan hubungan seksual antara laki-laki dewasa dan anak laki-laki
disebut pedofilia (Kurniawati, 2013). Namun dalam banyak penelitian,
aktivitas seksual yang dilakukan orang dewasa terhadap anak (laki-laki
dan/atau perempuan) lebih tepat disebut sebagai pedofilia (pedofil).
Kekerasan seksual terhadap anak berdampak pada anak sebagai korban
yang tidak mudah. Sebagian besar korban perkosaan menderita gangguan jiwa
yang disebut dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), yang gejalanya
selanjutnya adalah kecemasan yang intens, kecemasan yang tinggi, dan toilet
emosional (Kurniawati, 2013). Korban yang pernah mengalami kekerasan
membutuhkan waktu satu sampai tiga tahun untuk membuka pintu mereka
bagi orang lain.
Perilaku seksual beragam dan ditentukan oleh interaksi faktor yang
kompleks. Perilaku seksual dipengaruhi oleh hubungan dengan orang lain,
lingkungan, dan budaya tempat Anda tinggal. Dokter harus mewaspadai
berbagai perubahan perilaku seksual di lingkungan sosial yang terkait dengan
perilaku ini. Ada dua alasan untuk ini. Permulaan; Pengetahuan ini membantu
dokter menghindari memaksakan tindakan mereka pada pasien. Dokter
membantu mengidentifikasi perilaku seksual yang abnormal. Gangguan
seksual adalah sarana di mana seseorang dapat memperoleh kesenangan
seksual secara tidak benar. Orang biasanya menggunakan objek seks yang
tidak wajar. Penyebab gangguan ini bersifat psikologis atau psikologis, seperti
pengalaman masa kecil, lingkungan sosial, trauma, dan gangguan keturunan.

2.2 Analisa Kebijakan


Kebijakan penanganan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia pada
awalnya terkait dengan kebijakan hukum pidana KUHP kemudian
berkembang melalui instruksi kebijakan khusus perlindungan anak yaitu UU
23 Tahun 2002 dan UU 35 Tahun 2014. bottom. Nomor presiden dari tahun
2014 melalui GNAK SA 5.
Ketentuan KUHP Tindak pidana legitimasi meliputi pelanggaran
keabsahan dan pelanggaran keabsahan. Rumusan tunggal yang mendekati
definisi pedofilia dan dapat digunakan untuk tindakan pedofilia termasuk
pasal-pasal tentang kelajangan dalam Bab XIV 289, 290, dan 292296. Jenis
sanksi pidananya adalah denda paling banyak Rp15.000.00 (Rp15.000) per
tahun dengan jangka waktu intimidasi 9 sampai 7 bulan.
UU No. 23 Tahun 2002 secara umum mengatur tentang perlindungan
khusus bagi anak, termasuk mereka yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual. Ketentuan pidana untuk tindak pidana kekerasan seksual
terdapat dalam Pasal XII, Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 88. Penjara paling
lama 3 tahun selama 15 tahun dan (2) denda paling sedikit Rp60.000.000. Dan
maksimal Rp. 300.000.000;.
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang GNAKSA diterbitkan
kepada Menteri, Menteri Kehakiman, Kapolri, Kepala Lembaga Pemerintah
Non Kementerian, Gubernur, dan Pemerintah/Walikota untuk melakukan
tindakan: mengambil tindakan yang diperlukan tindakan yang sesuai dengan
amanat, fungsi dan kewenangannya secara terkoordinasi dan terpadu untuk
mencegah dan memberantas kejahatan seksual terhadap anak melalui
GNAKSA dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan dunia usaha.
UU No. 35 Tahun 2014 mengatur beberapa perlindungan terhadap anak
terhadap kejahatan seksual, terutama dalam Pasal 15, 17, 54, 59, 66 dan 69A.
Ketentuan KUHP bagi pelaku tindak pidana seksual terhadap anak terdapat
dalam Pasal 76 C, D, dan E. Sanksi bagi pelaku sanksi adalah (1) penjara 5
sampai dengan 15 tahun dan (2) denda paling banyak Rp. 60.000.000;
Maksimal Rp. 300.000.000;
Pedoman tersebut merupakan produk yang sah, terutama berupa undang-
undang, untuk melindungi anak dan melarang kekerasan seksual terhadap
anak yang diancam dengan sanksi pidana dan denda. Hasil studi kasus
implementasi kebijakan menunjukkan bahwa terdapat permasalahan dalam
sistem peradilan pidana yang belum efektif mengadili dan menghukum
pelaku. Banyak hakim yang memutus perkara tidak mempertimbangkan
pemulihan hak-hak korban.
Sementara itu, Agustinus Pohang menemukannya, menurut pakar hukum
pidana Universitas Parahangan. Dari hasil pemeriksaan akhir yang dilakukan
mahasiswa, ternyata pelaku tidak akan dikenai hukuman maksimal di
pengadilan setelah hukumannya diperberat. Penilaian yang ringan akan
membuat para penjahat dan calon pelanggar percaya bahwa hukuman untuk
kejahatan kekerasan seksual sebenarnya rendah, meskipun ancaman
hukumannya sangat tinggi. Oleh karena itu, aparat penegak hukum perlu
memberikan perhatian lebih. Akibatnya, strategi yang diterapkan di Indonesia
untuk memerangi kejahatan kekerasan seksual terhadap anak pada umumnya
tetap tidak efektif baik dari segi pencegahan maupun penuntutan pelaku
kejahatan tersebut.

2.3 Faktor Penyebab dan Penanggulangan Pedofilia/Kekerasan Seksual

Pedofilia sendiri sudah menjadi jaringan internasional dan Indonesia


menjadi salah satu tujuan pedofilia. Faktor-faktor yang membuat Indonesia
menjadi sasaran pedofilia adalah:
a. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak yang Lemah dan
penegakannya di Indonesia, misalnya KUHP bagi Pelaku Pelecehan
Seksual Anak, hukuman maksimal sembilan tahun penjara.
b. Lemahnya alat keamanan Indonesia menahan perilaku pedofilia yang
semakin canggih. Pedofil menggunakan peralatan internet untuk
mencari mangsanya.
c. Faktor kemiskinan Indonesia yang semakin meningkat membuat anak-
anak semakin rentan terhadap berbagai bentuk kejahatan dan
eksploitasi. Informasi tentang trauma psikologis yang dialami oleh
korban kasus pedofilia di Bali, sebagaimana dijelaskan oleh korban
yang mengalami berbagai gangguan seperti lekas marah, gangguan
tidur dan sering mengigau, kecenderungan untuk mengisolasi diri dari
teman sebaya, dll, menunjukkan perlunya dukungan khusus. program
bagi anak korban kejahatan seks dengan upaya sosialisasi yang lebih
luas, termasuk dukungan khusus bagi korban laki-laki.

Karena kejahatan seks biasanya disamakan dengan korban perempuan


dan anak perempuan, beberapa program bantuan, seperti yang baru-baru
ini dilaksanakan oleh beberapa pusat krisis Indonesia, disalahartikan hanya
oleh perempuan dan anak perempuan, bukan anak laki-laki.

Upaya untuk membantu korban kejahatan seksual laki-laki relatif lebih


sulit dilaksanakan daripada program untuk anak perempuan. Beberapa
faktor budaya dalam masyarakat kita merupakan hambatan utama bagi
anak laki-laki untuk mengungkap kasus mereka. Fakta-fakta ini menjadi
perhatian yang lebih serius bagi beberapa pemangku kepentingan, baik
pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM), sebagai bagian
dari program pendampingan bagi anak-anak yang menjadi korban
kejahatan seks di masa depan di Indonesia.

2.4 Kebijakan Kriminal terhadap Pedofilia

Kebijakan kriminalisasi adalah kebijakan untuk memutuskan suatu


perbuatan yang semula bukan kejahatan (tidak dipidana) menjadi
perbuatan pidana (tindak pidana). Kebijakan pidana terhadap kejahatan
ideologis tidak hanya menitikberatkan pada rule of law, tetapi juga
memerlukan kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi berdasarkan
berbagai kondisi sosial lainnya.
Oleh karena itu, kebijakan kriminalisasi pada hakekatnya
merupakan bagian dari hukum pidana (criminal law) yang menggunakan
hukum pidana (criminal law), dan karenanya merupakan bagian dari
“criminal law policy” (hukum pidana), terutama kebijakan formalisasi
sebagai kebijakan politik. . Pidana. Hal ini dilakukan untuk pedoman
penegakan hukum atau “law enforcement”.
Adapun kebijakan kriminal atau criminal policy, seperti
dikemukakan Sudart yang dikutip oleh Barda Nawawi Aliev, upaya
pemberantasan kejahatan disebut dengan kebijakan kriminal (crime
policy), dan rasionalisasi oleh masyarakat untuk memerangi kejahatan atau
kegiatan kriminal, artinya suatu upaya. Dalam kaitannya dengan kebijakan
kriminal, Sudart memberikan tiga implikasi dalam kaitannya dengan
kebijakan kriminal yaitu :
1. Dalam arti sempit, keseluruhan asas dan cara yang mendasari
penanggulangan pelanggaran hukum berupa tindak pidana.
2. Dalam arti yang lebih luas, ini adalah keseluruhan fungsi penegakan
hukum, termasuk pekerjaan pengadilan dan kepolisian.
3. Dalam arti luas (diwarisi dari Jorgen Jeppesen) adalah keseluruhan
kebijakan yang dilaksanakan oleh hukum dan penguasa yang bertujuan
untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat. Kebijakan kriminal
pada hakekatnya merupakan bagian integral dari kebijakan sosial, baik
kriminal (criminal policy) maupun non kriminal, namun kita perlu
memperhatikan pencapaian tujuan kebijakan sosial dan membimbingnya.

Upaya penal
Penerapan dalam upaya penanggulangan yang dapat diberikan dalam
upaya penal sebagai berikut:
a. Pemberian sanksi pidana (penjara) sebagai salah satu bentuk upaya
penanggulangan tindak pidana kekerasan terhadap anak tidak
berdampak signifikan terhadap penurunan kualitas tindak pidana
tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya tindak kekerasan
terhadap anak. Penahanan hanya menciptakan kondisi perlindungan
sementara bagi masyarakat terhadap tindakan kekerasan terhadap anak,
khususnya kekerasan seksual, dan tidak memberikan efek jera bagi
pelakunya.
b. Pelaksanaan pidana penjara yang tidak memberikan efek jera terhadap
pelaku tindak pidana memerlukan model hukum pidana baru yang
bertujuan untuk melindungi masyarakat khususnya anak-anaknya.
Pemerintah saat ini adalah Undang-Undang Perlindungan Anak
(Perppu) Tahun 2016 No. Alih-alih satu, ia meratifikasi hukuman
tambahan, undang-undang yang berfokus pada penanaman chip pada
pelaku dan mengungkapkan identitas pelaku dan kebiri kimia. Namun,
hukuman tersebut diyakini belum memberikan efek jera bagi pelaku
kejahatan kekerasan terhadap anak. Terutama kekerasan seksual.
Semua kejahatan ini berasal dari pikiran atau otak, meskipun alat yang
digunakan tidak berfungsi. Oleh karena itu, model pendisiplinan yang
dianggap cukup memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan terhadap
anak khususnya kekerasan seksual adalah hukuman mati.
c. Selain itu, tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak telah
menyebabkan pengenaan sanksi pidana tambahan berupa kebiri kimia,
sebuah langkah berani yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Amerika Serikat telah menggunakan kebiri kimia sejak tahun 1944
karena tingginya tingkat kejahatan kekerasan seksual terhadap anak-
anak. Dan tingkat residivisme pelaku kejahatan ini turun menjadi 50%.
d. Penggunaan kebiri kimia di Indonesia sangat tidak tepat. Hal ini
melanggar Pasal 28B (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia sejak tahun 1945. Berdasarkan pasal ini, warga negara
berhak membesarkan keluarga dan meneruskan keturunannya melalui
perkawinan yang sah.

Upaya Non-Penal
Masyarakat masih dikenal melakukan upaya-upaya non pidana untuk
menanggulangi kejahatan. Upaya non-pidana untuk memerangi kejahatan sangat
erat kaitannya dengan upaya kriminal. Upaya non pidana ini sendiri akan sangat
membantu pelaksanaan sistem peradilan pidana mencapai tujuannya. Pencegahan
atau penanggulangan kejahatan harus dilakukan antara pendekatan esensial: cara
kriminal dan non-kriminal.
Menurut M. Hamdan, penanggulangan yang merupakan bagian dari
kebijakan sosial pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari upaya
pertahanan sosial dan dapat ditempuh dengan dua cara:
a. Jalur penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal law
application)
b. Jalur nonpenal, yaitu dengan cara : 1) Pencegahan tanpa pidana
(prevention without punisment), termasuk di dalamnya penerapan
sanksi administrative dan sanksi perdata. 2) Mempengaruhi pandangan
masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan lewat media massa
(influencing views of society on crime and punishment).
Upaya Pencegahan Kejahatan Jalur “non kejahatan” merupakan tindakan
pencegahan terhadap terjadinya kejahatan, sehingga tujuan utamanya adalah
memerangi faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor yang
memfasilitasi fokus, antara lain, pada isu-isu atau situasi sosial yang secara
langsung atau tidak langsung mengarah pada atau mempromosikan kejahatan.
Oleh karena itu, dari perspektif makro dan global tentang kebijakan kriminal,
upaya non-kriminal menempati posisi sentral dan strategis dalam semua upaya
kebijakan kriminal. Upaya strategis untuk mencegah penyebab kejahatan disorot
di berbagai konferensi PBB dengan tema "mencegah kejahatan dan mengobati
penjahat."
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pedofilian dan Kekerasan Seksual, pedofilia diddefinisikan sebagai
gangguan kejiwaan pada orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa
(pribadi dengan usia 18 atau lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu
kepentingan seksual primer atau eksklusif pada anak prapuber (umumnya usia
16 tahun atau lebih muda, walaupun pubertas dapat bervariasi). Kekerasan
seksual yang dilakukan orang dewasa terhadap anaknya disebut pedofilia dan
hubungan seksual antara laki-laki dewasa dan anak laki-laki disebut pedofilia.
Namun banyak penelitian, aktivitas seksual yang dilakukan orang dewasa
terhadap (anak laki-laki dan/ perempuan) lebih tepat disebut sebagai pedofilia
(pedofil). Kekerasan seksual terhadap anak berdampak pada anak sebagai
korban yang tidak mudah. Dokter harus mewaspadai berbagai perubahan
perilaku seksual di lingkungan sosial yang terkait dengan perilaku ini.
Kebijakan penanganan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia pada
awalnya terkait dengan kebijakan hukum pidana KUHP kemudian
berkembang melalui instruksi kebijakan khusus perlindungan anak yaitu UU
23 Tahun 2002 dan UU 35 Tahun 2014. bottom. Nomor presiden dari tahun
2014 melalui GNAK SA 5.
Dari hasil pemeriksaan akhir yang dilakukan mahasiswa, ternyata pelaku
tidak akan dikenai hukuman maksimal di pengadilan setelah hukumannya
diperberat. Penilaian yang ringan akan membuat para penjahat dan calon
pelanggar percaya bahwa hukuman untuk kejahatan kekerasan seksual
sebenarnya rendah, meskipun ancaman hukumannya sangat tinggi. Oleh
karena itu, aparat penegak hukum perlu memberikan perhatian lebih.
Akibatnya, strategi yang diterapkan di Indonesia untuk memerangi kejahatan
kekerasan seksual terhadap anak pada umumnya tetap tidak efektif baik dari
segi pencegahan maupun penuntutan pelaku kejahatan tersebut.
Upaya Pencegahan Kejahatan Jalur “non kejahatan” merupakan tindakan
pencegahan terhadap terjadinya kejahatan, sehingga tujuan utamanya adalah
memerangi faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor yang
memfasilitasi fokus, antara lain, pada isu-isu atau situasi sosial yang secara
langsung atau tidak langsung mengarah pada atau mempromosikan kejahatan.
Oleh karena itu, dari perspektif makro dan global tentang kebijakan kriminal,
upaya non-kriminal menempati posisi sentral dan strategis dalam semua upaya
kebijakan kriminal. Upaya strategis untuk mencegah penyebab kejahatan disorot
di berbagai konferensi PBB dengan tema "mencegah kejahatan dan mengobati
penjahat."
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai