Anda di halaman 1dari 11

PELANGGARAN HAK CIPTA DI BIDANG MUSIK DAN LAGU

(STUDI KASUS PADA LAGU “KEKE BUKAN BONEKA” OLEH KEKEYI)

Oleh: Rini Julia Agnes (NIM: 192214001)

Abstrak:

Beberapa waktu yang lalu masyarakat pengguna media sosial digemparkan oleh Youtuber
Rahmawati Kekeyi Putri Cantika yang viral dengan video musik berjudul ‘Keke Bukan
Boneka’. Lagu tersebut dianggap sebagai ‘plagiat’ dari lagu yang dibawakan oleh Rinni
Wulandari berjudul ‘Aku Bukan Boneka’ yang diproduksi oleh Sony Music Indonesia.
Pemilik lagu tersebut dikatakan melanggar Hak Cipta berdasarkan pasal 44 ayat (1) Undang-
Undang No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui
bentuk pelanggaran hak cipta di bidang musik dan lagu dan bagaimana upaya penegakan
hukum terhadap pelanggaran hak cipta di bidang musik dan lagu.

Kata kunci: pelanggaran hak cipta; musik dan lagu; upaya penegakan hukum

Abstract

Some time ago, the social media user community was shocked by Youtuber Rahmawati
Kekeyi Putri Cantika who went viral with a music video titled 'Keke Not a Doll'. The song is
considered as 'plagiarism' from a song sung by Rinni Wulandari entitled 'I'm Not a Doll'
which was produced by Sony Music Indonesia. The owner of the song is said to have violated
Copyright under Article 44 paragraph (1) of Law no. 28 of 2014 concerning Copyright. This
paper aims to find out the forms of copyright infringement in the field of music and songs and
how to enforce the law against copyright infringement in the field of music and songs.

Keywords: copyright infringement; music and songs; law enforcement efforts


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak cipta merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang memiliki
ruang lingkup objek dilindungi paling luas, karena mencakup ilmu pengetahuan, seni
dan sastra. Perkembangan ekonomi kreatif yang menjadi salah satu andalan Indonesia
dan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mengharuskan adanya
pembaruan Undang-Undang Hak Cipta, mengingat Hak Cipta menjadi basis terpenting
dari ekonomi kreatif nasional.

Di Indonesia, terlebih dikarenakan pandemi covid-19, aktivitas di media sosial


semakin populer dan berkembang. Munculnya orang-orang baru yang dikenal karena
tindakan yang membuatnya viral, mendorong diri untuk berkarya melalui dunia hiburan
agar lebih dikenal. Namun, tidak sedikit dari mereka yang mengesampingkan Undang-
Undang Hak Cipta hanya untuk sebuah ‘ketenaran’. Dalam berkarya mereka dengan
sadar meniru karya seni orang lain tanpa memikirkan dampak apa yang akan terjadi.

Penegakan hukum hak cipta yang dimaksud tidak lain untuk mewujudkan cita-
cita hukum yang terkandung dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dengan
kata lain dimaksudkan untuk mencapai tujuan perlindungan hak cipta itu sendiri.
Pelanggar hak cipta tidak hanya dapat digugat secara perdata untuk mendapatkan ganti
rugi terhadap karya yang diplagiat, tetapi juga dapat dituntut sesuai dengan hukum
acara pidana yang berlaku. Pelanggaran hak cipta tidak hanya merugikan kepentingan
pribadi pencipta, tetapi juga merugikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk pelanggaran hak cipta di bidang musik dan lagu?
2. Bagaimana penegakan hukum terhadap pelanggaran hak cipta di bidang musik dan
lagu?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Bentuk Pelanggaran Hak Cipta dalam Bidang Musik dan Lagu

Hak Cipta dikenal juga dengan istilah Copyright. Copyright adalah perlindungan
terhadap suatu karya yang sudah didaftarkan dan diakui sebagai milik pihak tertentu.
Selain itu copyright juga berarti hak cipta yang dilekatkan terhadap sebuah karya untuk
melindungi dan mempatenkan karya serta pemiliknya. Keberadaan hak cipta telah lama
diakui oleh masyarakat. Sebagai salah satu bentuk karya intelektual yang dilindungi
dalam HAKI, maka hak cipta memiliki peranan penting bagi kemajuan suatu bangsa
dan negara. Peranan hak cipta bagi suatu bangsa atau negara dapat berupa upaya
mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil karya ilmu, seni, dan
sastra serta teknologi untuk mempercepat pertumbuhan dan kecerdasan kehidupan
bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2000 pada
pembangunan pendidikan, khususnya program penelitian, peningkatan kapasitas dan
pengembangan kemampuan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi.

Suatu ciptaan dapat memberi nilai ekonomis bagi para pencipta dan pemegang
izin melalui penjualannya secara komersial ke pasar. Upaya menghasilkan suatu ciptaan
membutuhkan proses waktu, inspirasi, pemikiran, dana, dan kerja keras sehingga wajar
hasil karya para pencipta harus dilindungi oleh hukum dari setiap bentuk pelanggaran
hak cipta yang amat merugikan para pencipta. Sebaliknya, pada batas-batas tertentu
dalam undangundang hak cipta, maka hasil ciptaan seseorang dapat dibenarkan diambil
orang lain dengan izin atau tanpa izin pemilik yang bersangkutan. Artinya, ada “nilai
sosial” hak cipta yang dapat diberikan kepada orang lain.

Pada pasal 12 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 menentukan ciptaan yang dapat
dilindungi ialah ciptaan dalam bidang ilmu, sastra dan seni yang meliputi karya:

1. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan,


dan semua hasil karya tulis lain
2. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu
3. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan
4. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks
5. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim
6. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan
7. Arsitektur
8. Peta
9. Seni batik
10.Fotografi
11.Sinematografi
12. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil
pengalihwujudan.

Setiap ciptaan seseorang, kelompok orang ataupun badan hukum dilindungi oleh
undang-undang karena pada ciptaan itu otomatis melekat hak cipta yang seyogianya
harus dihormati oleh orang lain. Perlindungan itu dimaksudkan agar hak pencipta
secara ekonomis dapat dinikmati dengan tenang dan aman mengingat cukup lamanya
diatur undang-undang waktu perlindungan tersebut. Masa berlaku perlindungan hak
cipta secara umum adalah selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50
tahun setelah penciptanya meninggal dunia dimulai sejak tanggal 1 Januari untuk tahun
berikutnya setelah ciptaan tersebut diumumkan, diketahui oleh umum, diterbitkan, atau
setelah penciptanya meninggal dunia (Pasal 34).

Setiap pencipta atau pemegang hak cipta adalah bebas untuk dapat menggunakan
hak ciptanya, akan tetapi undang-undang menentukan pula adanya pembatasan
terhadap penggunaan hak cipta itu. Pembatasan tersebut dimaksudkan, para pencipta
dalam kegiatan kreatif dan inovatifnya tidak melanggar norma-norma atau asas
kepatutan yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, terutama di
negara hukum seperti Indonesia mengingat hasil ciptaan umumnya akan dijual ke pasar
(dalam dan luar negeri) untuk memperoleh keuntungan ekonomis bagi para pencipta
atau pemegang izin guna dapat dinikmati oleh masyarakat luas.

Pelanggaran hak cipta dapat dibedakan dua jenis, yakni (1) mengutip sebagian
ciptaan orang lain dan dimasukkan ke dalam ciptaan sendiri seolah-olah ciptaan sendiri
atau mengakui ciptaan orang lain seolah-olah ciptaan sendiri. Perbuatan ini disebut
plagiat atau penjiplakan (plagiarism) yang dapat terjadi antara lain pada karya cipta
berupa buku, lagu dan notasi lagu, dan (2) mengambil ciptaan orang lain untuk
diperbanyak dan diumumkan sebagaimana aslinya tanpa mengubah bentuk isi,
pencipta, dan penerbit/perekam. Perbuatan ini disebut dengan pembajakan yang banyak
dilakukan pada ciptaan berupa buku, rekaman audio/video seperti kaset lagu dan
gambar (VCD), karena menyangkut dengan masalah a commercial scale.

B. Landasan Hukum Perlindungan Hak Cipta di Indonesia

Saat ini Undang-Undang tentang Hak Cipta yang terbaru dan berlaku di Indonesia
adalah Undang-Undang No. 28 tahun 2014 (selanjutnya disingkat UU HC 28/2014).

Secara garis besar Hak Cipta dalam UU HC 28/2014 mengatur perlindungan Hak
Cipta dilakukan dengan waktu yang lebih panjang sejalan dengan penerapan aturan di
berbagai negara sehingga jangka waktu perlindungan Hak Cipta di bidang tertentu
diberlakukan selama hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah pencipta meninggal
dunia.

C. Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Cipta di Bidang Musik dan Lagu

Banyaknya pelanggaran hak cipta lagu dan/atau musik dalam masyarakat


menyebabkan adanya kesan bahwa negara kita kurang memberikan perhatian serius
terhadap masalah hak cipta dan dipandang masih lemah dalam melakukan penegakan
hukumnya.

Dalam prakteknya tidak dapat dipungkiri bahwa penegakan hukum hak cipta
belum dilakukan maksimal. Sekalipun peraturan perundang-undangan hak cipta telah
beberapakali mengalami perubahan demi perubahan, tetapi tampaknya tidak
menyebabkan kapoknya para pelanggar hak cipta. Dalam UUHC No. 19 tahun 2002,
dicantumkan ancaman hukum atas pelanggar hak cipta (ancaman pidana penjara dan
denda) yang cukup tinggi. Akan tetapi, jika kita mendalami undang-undang tersebut,
sebenarnya masih terdapat banyak kekurangan. Bahwa ketentuan undang-undang ini
tidak membawa perubahan apa-apa dalam perlindungan hak cipta di Indonesia
sesungguhnya juga disebabkan berbagai kelemahan yang m asih melekat pada undang-
undang ini.
Sejauh ini belum ada kasus plagiarisme yang dibawa sampai ke tingkat
pengadilan. Padahal, apabila dicermati ketentuan sanksi pidana dalam Undang-Undang
Hak Cipta, perbuatan plagiarisme termasuk ke dalam kriteria tindak pidana yang
diancamkan. Undang-Undang Hak Cipta menyebutkan delapan pasal perbuatan-
perbuatan yang dapat dijerat dengan ancaman pidana. Semua perbuatan tadi
dikategorikan sebagai delik aduan. Dari pasal-pasal tersebut, tidak ada satupun yang
menyebutkan istilah plagiarisme dan autoplagiarisme.

Atas pelanggaran hak cipta dalam Pasal 2 UUHC, pelaku plagiarisme dapat
dijerat dengan ancaman pidana. Dalam Pasal 72 ayat (1) UUHC dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
1.000.000 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

Adapun penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran ini dapat dilakukan melalui


Pengadilan Niaga, arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa. Berdasarkan Pasal
56 ayat (1) UUHC, pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada
Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap
ciptaannya. Kemudian, selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan niaga, para
pihak juga dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa (Pasal 65 UUHC).

D. Kasus Lagu ‘Keke Bukan Boneka’ oleh Kekeyi

Pada tahun 2020, warganet Indonesia dihebohkan dengan selebgram (sebutan


untuk selebritis yang terkenal melalui media sosial Instagram) bernama Kekeyi yang
mempublikasikan lagu berjudul ‘Keke Bukan Boneka’. Lagu ini menuai kontroversi
lantaran dianggap mirip dengan karya milik Rinni Wulandari yang berjudul ‘Aku
Bukan Boneka’.

Secara hukum, lagu milik Rinni Wulandari sudah memenuhi syarat sebagai karya
cipta menurut Undang-Undang 12 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002. Lagu yang
diproduksi oleh Sony Music Production ini telah didaftarkan di Direktorat Jenderal
Kekayaan Intelektual dengan nomor C00200803568 pada tanggal 26 September 2008.
Kekeyi melanggar hak cipta lagu ‘Aku Bukan Boneka’ yang dipopulerkan Rinni
Wulandari. Melodi dan iramanya sama, bahkan liriknya juga sama hanya diganti kata
‘aku’ dan ‘Keke’. Dapat dikatakan bahwa Kekeyi dapat dikatakan melanggar Hak Cipta
berdasarkan Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta
yang berbunyi:

“Penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan


dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagaian yang substansial tidak
dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau
dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:

1. pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,


penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan
kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;
2. keamanan serta penyelenggaraan pemerintah, legislatif, dan peradilan;
3. ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
4. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan
tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.”

Dari pasal tersebut, lagu ‘Keke Bukan Boneka’ terdengar menggunakan unsur
substansial dari lagu ‘Aku Bukan Boneka’ oleh Rinni.

Berdasarkan hal-hal tersebut Sony Music Publishing yang merupakan produser


untuk lagu ‘Aku Bukan Boneka’, mempunyai hak untuk menempuh jalur hukum ketika
memang tidak ada permohonan maupun pembicaraan sebelumnya dari tim Kekeyi
mengenai lagu ‘Keke Bukan Boneka’. Jika memang Sony Music Publishing merasa
bahwa konten Kekeyi tidak pernah dimintakan izin dari pihaknya sebagai pemegang
hak, maka sambil membawa bukti-bukti mengenai kemiripan substansial ini, mereka
berhak mengajukan gugatan.

Setelah beberapa saat kasus ini berjalan, kita tidak melihat adanya upaya hukum
yang dilakukan oleh Sony Music Publishing. Video yang diunggah ke YouTube sempat
di take down dalam beberapa hari, namun setelah beberapa hari video tersebut diunggah
kembali. Dapat diasumsikan bahwa sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak,
yaitu melalui proses mediasi sebagaimana terdapat dalam Pasal 18 ayat 2c Peraturan
Bersama antara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) No. 14 tahun 2015 dan No. 26 tahun
2015 tentang Pelaksanaan Penutupan Konten dan/atau Hak Akses Pengguna
Pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam Sistem Elektronik.

Dalam peraturan tersebut, salah satunya disebutkan bahwa pihak yang merasa
dirugikan sebagai palapor dapat mengajukan keberatan kepada Kemenkumham untuk
kemudian menjadi rekomendasi Kemenkumham kepada Kemenkominfo untuk
melakukan take down terhadap konten yang mengandung pelanggaran Hak Cipta
tersebut. Ketika kemudian mediasi dilakukan sehingga tercapai kesepaktan antara
kedua belah pihak, maka dapat diajukan pencabutan permohonan take down tersebut
dan video dapat kembali diunggah.

Dalam kasus ini dapat kita lihat bahwa penyelesaian yang dilakukan adalah
melalui alternatif yaitu mediasi. Pihak Rinni Wulandari dan Sony Music Production
berpendapat untuk tidak membawa kasus ini ke ranah hukum dan memilih ranah
diskusi secara kekeluargaan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Undang-Undang Hak Cipta dapat menjadi penentu atau parameter untuk sebuah
karya menjadi penting, unik dan khas, seperti pada bagian refrain, intro dan masih
banyak lagi, yang secara kualitatif dapat dikategorikan sebagai hal substansial sebagai
mana tertulis dalam Pasal 44 ayat (1) UU Hak Cipta. Dengan adanya Undang-Undang
Hak Cipta, maka musisi dan pencipta karya lainnya dapat lebih kreatif, inovatif dan
terus berkembang untuk berkarya.

Perlu dilakukan edukasi dan sosialisasi secara terus-menerus kepada masyarakat


awam terutama kepada musisi dan artis. Banyak dari mereka tidak paham bahkan tidak
tahu tentang hal ini. Hak Cipta dapat diibaratkan sebagai ‘itikad baik’ , salah satunya
itikad baik untuk meminta izin jika ingin menggunakan Hak yang dimiliki oleh
Pencipta.

B. Saran

Diharapkan agar pemahaman mengenai HKI perlu terus disosialisasikan kepada


masyarakat awam, khususnya musisi agar lebih memahami ‘aturan main’ dan
mengurangi resiko terjadinya pelanggaran Hak Cipta terutama masalah penggunaan
karya orang lain tanpa izin.

Selain itu, pihak yang membuat karya dan/konten dalam bidang seni dan lainnya
agar mendaftarkan karyanya dalam rangka melindungi dari pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab. Mengingat saat ini dalam dunia digital, kesesuaian data dan
algoritma menjadi sesuatu yang penting dan mengharuskan pemilik karya agar selalu
ter-update.
DAFTAR PUSTAKA

Kansil. CST. Hak Milik Intelektual (Paten, Merek, Perusahaan dan Hak Cipta). Bumi
Askara. Jakarta. 1990

Kilanta, Devega R. Penegakan Hukum terhadap Hak Cipta Berdasarkan Undang-


Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cupta. Lex Crimen, vol. 6, no. 3, 2017.

Lopes, Fransin M. Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Cipta Di Bidang


Musik Dan Lagu. Lex Privatum, vol. 1, no. 2, 2013.

Riwandi, B., Syamsudin, M. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Raja
Grafindo Persada. Jakarta 2005.

Sanusi Bintang. Hukum Hak Cipta. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1998.

Umar Hasan. Eksistensi Hak Cipta dan Pelindungan Hukumnya. Citra Aditya Bakti.
Bandung. 2001.

Sumber Internet:

https://kumparan.com/ricky-vinando-1590062324241827207/kekeyi-langgar-hak-cipta-
lagu-aku-bukan-boneka-karya-rinni-idol-1tYTqpdGgys (diakses pada tanggal 27 November
2021)

https://redcomm.co.id/knowledges/mengenal-copyright-arti-fungsi-dan-jenisnya (diakses
pada tanggal 27 November 2021)

https://www.kompas.com/hype/read/2020/06/05/165542166/novi-umar-sudah-serahkan-
persoalan-lagu-keke-bukan-boneka-ke-sony (diakses pada tanggal 30 November 2021)

https://www.mediajustitia.com/berita/polemik-lagu-keke-bukan-boneka-marcell-siahaan-
melanggar-hak-cipta/ (diakses pada tanggal 27 November 2021)

https://www.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-01394353/pengamat-musik-sebut-
keke-bukan-boneka-langgar-hak-cipta-kekeyi-bisa-kena-denda-miliaran-rupiah?page=2
(diakses pada tanggal 30 November 2021)
Sumber Lainnya:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Anda mungkin juga menyukai