2015
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………1
A. Latar Belakang……………………………………………………………1 - 2
C. Teori………………………………………………………………………..7 – 9
D. Analisis……………………………………………………………………9 – 12
BAB 2
PENUTUP
A Kesimpulan………………………………………………………………12 – 13
DAFTAR PUSTAKA
i
A. Latar Belakang
Perubahan dan kerusakan lingkungan yang terjadi ini lebih dikarenakan oleh
ulah dan perilaku manusia untuk meningkatkan status social ekonominya. Upaya
peningkatan status tersebut, antara lain dikeranakan faktor kemiskinan yang terjadi
dalam kehidupan manusia. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk
meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan
sumberdaya alam. Dalam suatu proses pembangunan ini justruk akan banyak terjadi
dampak-dampak terhadap lingkungan hidup termasuk ekosistem dan sumber daya.
Pertama yang perlu diketahui adalah definisi dari reklamasi itu sendiri,
Reklamasi adalah suatu kegiatan atau proses memperbaiki daerah atau areal yang
tidak berguna menjadi daerah yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan
manusia antara lain untuk sarana dan prasarana baru seperti pelabuhan, bandara,
kawasan perindustrian, pemukiman, sarana sosial, rekreasi dan sebagainya
(Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990).1
Bali adalah sebuah pulau di sebelah timur pulau Jawa dan di sebelah barat
pulau Lombok. Terdiri atas beberapa pulau, yaitu Pulau Bali, Pulau Nusa Penida,
Pulau Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Serangan, dan Pulau
Menjangan. Luas wilayah Pulau Bali secara keseluruhan 5.632,86 km2 dan jumlah
penduduknya kurang lebih 3, 7 – 4 juta jiwa (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali,
2012).
1
https://www.kajianpustaka.com/2016/09/pengertian-tujuan-dan-dampak-reklamasi.html
1
Meskipun Bali sebuah pulau kecil yang luasnya hanya 0,29% dari luas
Nusantara (5.632,86 km2), namun memiliki semua unsur lengkap di dalamnya,
mulai dari empat buah danau, ratusan sungai, gunung dan kawasan hutan yang
membentang di pesisir utara dari barat ke timur. Wisatawan mancanegara yang
berulang kali menghabiskan liburan di Pulau “Seribu Pura” tidak pernah merasa
bosan dan jenuh, karena selalu menemukan suasana baru serta atraksi yang unik
dan menarik untuk dinikmati.2
B. Kasus Aksi Tolak Reklamasi dan Dorongan Teluk Benoa sebagai Kawasan
Suci
2
Dikutip dari https://bem.unud.ac.id/mengapa-kami-menolak-reklamasi-teluk-benoa/
Pada tanggal 20 juni 2018
2
Budi Yowana dan ST. Sandhi Wigraha kembali mendirikan Baliho yang
bertuliskan”Tolak Reklamasi Berkedok Revitalisasi Teluk Benoa.” Ini Baliho
kesekian kali didirikan setelah sebelumnya dirobek, terutama ketika ada presiden
atau wakil presiden lewat.Desa ini terletak di kawasan strategis, pasti dilewati dari
dan ke bandara Ngurah Rai.3I Ketut Nevo Prayogi, Wakil Ketua ST. Dharma
Sentana, Kedonganan mengatakan perobekan baliho tidak akan memadamkan
semangat juang pemuda di desa Kedonganan dan Kelan untuk menolak rencana
reklamasi seluas 700 ha di Teluk Benoa.“Kami memasang baliho karena kami
semua sudah tahu dampak dari reklamasi itu bisa menenggelamkan kawasan rendah
terutama kawasan pesisir seperti Kedonganan, Kelan dan Jimbaran,” ungkapnya.4
Gambar 1
Sumber : http://www.mongabay.co.id/2015/10/28/aksi-tolak-reklamasi-dan-
dorongan-teluk-benoa-sebagai-kawasan-suci/pada tanggal 22 Juni 2018
3
Dikutip dari http://www.mongabay.co.id/2015/10/28/aksi-tolak-reklamasi-dan-dorongan-teluk-
benoa-sebagai-kawasan-suci/pada tanggal 22 Juni 2018
44
Dikutip dari http://www.mongabay.co.id/2015/10/28/aksi-tolak-reklamasi-dan-dorongan-teluk-
benoa-sebagai-kawasan-suci/pada tanggal 22 Juni 2018
3
300 Ribu Warga Bali Menolak
5
Dikutip dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160714192114-20-
144817/proyek-reklamasi-teluk-benoa-akan-rusak-70-titik-suciPada tanggal 21
Jubni 2018
6
Dikutip dari http://www.mongabay.co.id/2015/10/28/aksi-tolak-reklamasi-dan-dorongan-teluk-
benoa-sebagai-kawasan-suci/pada tanggal 22 Juni 2018
4
suci (wahyu).”Demikian penjelasan soal kawasan suci ketika itu.7Tempat-tempat
suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut daerah kekeran dengan ukuran
Apeneleng Apenimpug, dan Apenyengker. Untuk Pura Sad Kahyangan dipakai
ukuran Apeneleng Agung (minimal 5 km dari Pura), untuk Dang Kahyangan dipakai
ukuran Apeneleng Alit (minimal 2 km dari Pura), dan untuk Kahyangan Tiga dan
lain-lain dipakai ukuran Apenimpug atau Apenyengker.
Gambar 2
Sumber : http://www.mongabay.co.id/2015/10/28/aksi-tolak-reklamasi-dan-dorongan-teluk-
benoa-sebagai-kawasan-suci/pada tanggal 22 Juni 2018
7
Dikutip dari http://www.mongabay.co.id/2015/10/28/aksi-tolak-reklamasi-dan-dorongan-teluk-
benoa-sebagai-kawasan-suci/pada tanggal 22 Juni 2018
5
campuhan, laut, dan pantai.”8Para penolak reklamasi mengajukan hal ini untuk
dibahas dalam pertemuan para tokoh agama Hindu, Pesamuhan Agung PHDI Pusat
di Jakarta yang berakhir 25 Oktober kemarin.
Kajian Prof. Dr. I Ketut Rahyuda tentang Kawasan Suci Teluk Benoa atas
nama Love Bali Forum (LBF). Kelompok para akademisi ini menyampaikan
kriteria pembangunan berkelanjutan harus memperhatikan 5 hal pokok yakni tidak
merusak bahkan membunuh keanekaragaman hayati, hendaknya menggunakan
sumberdaya terbarukan, memperhatikan filosofi Tri Hita Karana sehingga tidak
membunuh aktivitas sosial petani nelayan dan seharusnya peduli terhadap kualitas
hidup masyarakat. Terakhir, program pembangunan berkelanjutan membutuhkan
penyesuaian dari masyarakat, bukan penyesuaian untuk memenuhi kepentingan
investor dan corporate-nya.Sugi Lanus, peneliti sejarah dan budaya menyampaikan
analisisnya tentang kesucian wilayah Teluk Benoa dan sekitarnya ini. “Saya buka
naskah 2700 lontar yang bisa diakses dengan baik disimpan di pusat dokumentasi,
12 ribu salinannya ada di Leiden. Apa sebenarnya kosmologi Bali dalam Teluk
Benoa ini dengan Pulau Sakenan,”.Ia menyusun secara detail lokasi-lokasi dan titik
hubung kawasan suci di kawasan ini dan diserahkan ke PHDI Bali. “Hanya orang
yang bebal saja tak memahami hal ini.Hanya satu tempat di Bali, laut
bersambungan dengan teluk dan Gunung Agung. Saujana itu pemandangan spirit
batiniah yang entah berapa nilainya yang akan dihancurkan jika direklamasi,”.9
Melalui siaran pers, disebutkan hasil pertemuan para pemimpin ritual ini di
Jakarta. Pesamuhan Sabha Pandita merupakan musyawarah para Pandita Hindu
guna merumuskan prinsip-prinsip dasar kehidupan beragama umat Hindu di
Indonesia, berlangsung 23-25 Oktober 2015 di Park Hotel Jakarta yang dibuka oleh
Dharma Adhyaksa PHDI Pusat Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar
Arimbawa.Hasil-hasil Pesamuhan Sabha Pandita ditindaklanjuti dengan
Pesamuhan Agung yang merupakan rapat kerja nasional Parisada Hindu Dharma
seluruh Indonesia berlangsung di tempat yang sama untuk mengevaluasi
pelaksanaan program kerja Parisada Pusat dan Daerah. Dr. Ketut Arnaya sebagai
Ketua SC Panitia, keputusan Pesamuhan Sabha Pandita terkait kawasan suci Teluk
Benoa adalahmembentuk Tim 9 Pandita yang diketuai oleh Ida Pandita Mpu Jaya
Acaryananda yang akan mengkaji aspek kesucian Teluk Benoa.“Masukan dan
analisis soal kawasan suci akan jadi referensi oleh tim 9,” kata Arnaya, saat
dikonfirmasi Mongabay.Ia tak membantah ada tarik menarik kepentingan di dalam
8
Dikutip dari http://www.mongabay.co.id/2015/10/28/aksi-tolak-reklamasi-dan-dorongan-teluk-
benoa-sebagai-kawasan-suci/pada tanggal 22 Juni 2018
9
Dikutip dari http://www.mongabay.co.id/2015/10/28/aksi-tolak-reklamasi-dan-dorongan-teluk-
benoa-sebagai-kawasan-suci/pada tanggal 22 Juni 2018
6
forum pemimpin agama Hindu ini. “Kita tak bisa memuaskan semua pihak,”
tambahnya.Tidak ada keputusan kapan hasil kajian harus disampaikan ke publik.10
C. Teori
Teori ini berasal dari berbagai sumber tetapi tidak ada satupun sumber yang dapat
memberikan pernyataan tunggal isi dari teori ini. Tetapi ada satu pemikiran yang
memaparkan bahwa ide dasar teori ini bersifat menentang behaviorisme radikal
yang dipelopori oleh J.B Watson. Dimana hal ini tercermin dari gagasan tokoh
sentral teori interaksionisme simbolik yaitu G.H Mead yang bermaksud untuk
membedakan teori ini dengan teori beaviorisme radikal itu.11 Dalam pengertiannya
behavior adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia secara obyektif dari
luar. Sedang kan Mead dari interaksionisme simbolik, mempelajari tindakan sosial
dengan mempergunakan teknik itrospeksi untuk dapat mengetahui barang sesuatu
yang melatar belakangi tindakan sosial itu dari sudut actor. Teori ini berpandangan
bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi dan penilaian subjektif individu.
Struktur sosial merupakan definisi bersama yang dimiliki individu yang
berhubungan dengan bentukbentuk yang cocok, yang menghubungkannya satu
sama lain. Tindakan - tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh
definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses interaksi.
Teori ini menolak pandangan paradigma fakta sosial dan paradigma prilaku sosial
(social behavior) dengan alasan yang sama. Karna keduanya tidak mengakui arti
penting kedudukan individu. Bagi paradigma fakta sosial, individu dipandangnya
sebagai orang yang terlalu mudah dikendalikan oleh kekuatan yang berasal dari luar
dirinya seperti kultur, norma dan peran-peran sosial. Mereka tidak melihat bahwa
didiri manusia mempunyai kepribadian sendri. Sedangkan paradikma perilaku
sosial melihat tingkahlaku manusia sama-sama ditentukan oleh suatu rangsangan
yang datang dari luar dirinya. Dengan melupakan bahwa manusia mampu
menciptakan dunia sendiri. Prinsip dasar teori ini adalah:
1. Tak seperti binatang, manusia memiliki akal untuk berfikir
2. Kemampuan berfikir dibentuk oleh interaksi sosial
3. Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan
mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka yang khusus itu.
4. Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan
berinteraksi.
5. Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan
dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi.
6. Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan,sebagian karena
kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan
mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan dan kerugian
10
Dikutip dari http://www.mongabay.co.id/2015/10/28/aksi-tolak-reklamasi-dan-dorongan-teluk-
benoa-sebagai-kawasan-suci/pada tanggal 22 Juni 2018
11
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
7
relatif mereka dan kemudian memilijh satu di antara serangkaian peluang tindakan
itu. Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan
masyarakat.12
Berbeda dengan hewan manusia mempunyai otak untuk mengembangkan
pikiran. Dimana interaksionisme simbolik ini tidak membeyangkan pikiran sebagai
benda, sesuatu yang memiliki struktur fisik, tetapi lebih membayangkan sebagai proses
yang berkelanjutan. Hal ini yang membedakan manusia dengan hewan, yang mana
hewan hanya bisa melakukan tukar menukar isyarat yang di dalamnya akan terjadi aksi
dan reaksi. Namun hal tersebut tidak bermaksud untuk memberikan suatu pesan yang
akurat. Yang kedua, kemampuan berpikir manusia dikembangkan dari proses interaksi
(sosialisasi). Yang mana hal ini ditujukan untuk mengembangkan cara hidup manusia
itu sendiri. Dimana dalam proses ini manusia akan menerima berbagai informasi,
menyusun, dan menyesuaikan informsi itu dengan kebutuhan mereka sendiri.
1.) Agama adalah fenomena yang terjadi dalam subyek manusia serta
terungkapkan dalam tanda dan simbol
12
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, 2005), 289
8
5.) Fakta-fakta keagamaan adalah fakta psikis dan spiritual.13
D. Analisis
Dari permasalahan logika dalam melihat Common Pool Resource kasus Reklamasi
Teluk Benoa Bali diatas, Garret Hardin memperkenalkan metaphor tragedy of the
commons untuk mengilustrasikan kemerosotan lingkungan yang semakin parah,
apabila manusia terus-menerus mengeksploitasi sumber daya yang terbatas. Setelah
itu, Elinor Ostrom memperkenalkan Governing the Commons, yang merupakan
upaya sistematis untuk merumuskan bagaimana tindakan bersama bisa dilakukan
bahkan dipostulasikan menjadi mekanisme pengelolaan Common Pool Resources.
Konsep ini diperkenalkan untuk mengelola Common Pool Resource dikarenakan
logika rasionalitas individu yang cenderung ingin memanfaatkan sumber daya
dengan sifatnya yang berlebihan semata-mata untuk keuntungannya sendiri. Oleh
karena itu Common Pool Resource hanya bisa dikelola oleh para pelaku yang secara
sukarela dan sadar mau bekerja dan bertindak bersama. Tanpa kerjasama ini mereka
akan terperangkap dalam tragedy of the commons. Konsekuensinya, para pelaku
dituntut untuk bekerjasama baik untuk memanfaatkan maupun untuk menjaga
keberadaan atau kontiniuitas sumber daya alam Mekanisme pengelolaan melalui
pendekatan jaringan akan lebih efektif dijalankan dalam mengelola Common Pool
Resource. Pendekatan jaringan bisa didefinisikan sebagai upaya untuk mengelola
relasi aktor yang otonom (teori governance), menjaga interdependensi dan kerjasama
(teori resource exchange), mengelola sumber daya bersama (teori tragedy of the
commons), dan memaksimalisasi kemanfaatan bersama (teori collective actions and
gain). Dalam konteks kasus Reklamasi Teluk Benoa tersebut dapat dilihat ada relasi
beberapa aktor dalam upaya melihat potensi dari Common Pool Resource tersebut,
dengan keinginan dan kepentingan yang berbeda-beda seperti: Aktor Negara
(Pemprov Bali) berorientasi pada pemanfaatan lahan dan pertumbuhan ekonomi,
Aktor Swasta (PT Tirta Wahana Bali) berorientasi pada profit korporasi, Aktor LSM
(Walhi Bali) berorientasi pada sustanabilitas dan kelestarian lingkungan, dan Aktor
Society (Masyarakat Teluk Benoa) yang tentunya menginginkan reward maupun
dampak positif yang akan didapat dari pemanfaatan lahan Teluk Benoa tersebut.14
13
Dikutip dari https//www.google.com/amp/s/berartiekl.wordpress.com/2017/05/06/konsep-
sosiologi-agama/amp/pada tanggal 23 juni 2018
14
Dikutip dari https://ngakanyudha.wordpress.com/2014/03/24/analisis-kasus-reklamasi-teluk-
benoa-bali-konsep-cpr-dan-gagasan-pengelolaan/pada tanggal 23 juni 2018
9
penduduk setempat yang memiliki hak untuk menolak atau memberikan aspirasi lain.
Tetapi, apabila reklamasi menjadi satu-satunya jalan, maka harus ada
keseimbangandalam pemeliharaannya. Sehingga yang seharusnya memperbaiki
kawasan tidak menjadi biang dari kerusakan yang terjadi di kawasan tersebut. Maka
diperlukan kerja sama dari berbagai pihak terkait sehingga tidak menjadikan
reklamasi sebagai sumber musibah. Serta perwujudan perawatan kawasan reklamasi
harus direalisasikan, jangan hanya dijadikan jalan untuk mendapat persetujuan
dari masyarakat lokal tetapi harus ada aksi nyatanya. Contoh saja Singapura dan
Dubai karena Reklamasi Negaranya menjadi bagus.15
Secara umum, ada tiga aktor yang dapat kita identifikasi dalam soal reklamasi, baik
yang terjadi di Teluk Benoa maupun di Jakarta yaitu pemerintah, pengembang, dan
masyarakat.
Analisis ini tidak bermaksud memberikan gambaran mendetail mengenai apa yang
terjadi di kedua tempat itu, tetapi lebih ke soal gambaran umum bagaiman setiap
stakeholder bersikap. Ada proses penyederhanaan di sini karena akan sulit untuk
menjelaskan semua yang terjadi dalam jumlah kata yang terbatas. Dan tentu saja akan
selalu ada anomali yang terjadi dalam setiap kelompok aktor. Pengembang memiliki
sikap pro-reklamasi dengan motif utama pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi tidak melulu berarti negatif karena jika ia terjadi sesuai dengan yang
direncanakan, toh masyarakat juga yang akan merasakan manfaatnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Kelas menengah di Jakarta cenderung apatis terhadap isu reklamasi, bahkan sebagian
dari mereka malahan mendukung membabi buta kebijakan ini karena fanatismenya
terhadap kebijakan gubernur. Pemerintah memiliki sikap yang cukup ambigu. Ia
seharusnya berada di antara kelompok yang pro dan kontra. Akan tetapi, ia memiliki
kecenderungan yang kuat untuk berpihak terhadap kelompok pemilik modal.
Keberpihakan ini dapat dipahami dengan logika bahwa idealnya reklamasi akan
menggenjot pemasukan daerah, menimbulkan efek berganda (multiplier effect), dan
menginisiasi munculnya trickle down effect kepada masyarakat Jakarta atau sekitar
Teluk Benoa.
15
ttps://www.kompasiana.com/gerardodicky/analisis-konflik-lingkungan-yang-ditimbulkan-dari-
kebijakan-reklamasi-teluk-benoa_590d55a2ad7e611708ed3589 pada tanggal 23 juni 2018
10
Keberpihakan pemerintah terhadap reklamasi memainkan peran yang sangat penting
dalam proses politik karena pemerintah memilki sumber daya yang kuat dalam
memainkan isu dan dapat dengan mudah mengeluarkan peraturan perundangan yang
mendukung kebijakan reklamasi. Meski begitu, ada juga bagian dari pemerintah yang
terang-terangan menolak kebijakan reklamasi, seperti yang dilakukan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup, juga oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan
dalam kasus reklamasi di Jakarta.
Cara penyelesainnya?
Dapat dilakukan dengan melakukan pembangunan secara terbatas di area-area yang
telah disetujui bersama. Harus dipastikan bahwa ada kajian lingkungan yang
mendalam yang memastikan tidak adanya kerusakan lingkungan dalam
pembangunan ini, juga perlu dipastikan bahwa masyarakat tidak dibatasi aksesnya
dalam mengarungi hutan sebagaimana yang telah mereka lakukan sejak lama. Begitu
juga dalam soal reklamasi. Pembangunan bisa saja dilakukan, tetapi dalam area
terbatas yang sebisa mungkin tidak mengganggu daerah kerja tradisional para
nelayan. Harus ada kajian lingkungan yang menyeluruh.
Sayangnya sekali lagi, menerapkan paradigma tersebut menjadi suatu kebijakan nyata
sulitnya bukan main. Kebijakan reklamasi baik dari pihak pro dan kontra masing-
masing—di pantai Jakarta atau Teluk Benoa—memiliki argumen yang mendukung
premis bahwa ada-tidak adanya reklamasi justru semakin mendukung kelestarian
lingkungan. Rumitnya juga, setiap pihak memiliki kajian sendiri yang mendukung
argumen mereka. Setiap pihak selalu kekeuh bahwa hanya ada dua solusi yang
memungkinkan: jadi atau tidaknya reklamasi.
Kebijakan dengan dasar eco-populism tidak akan pernah terlaksana jika kontradiksi-
kontradiksi ini tidak bisa menemui titik temu. Idealnya, untuk mencapai tahap itu,
para pihak yang bertikai harus bertemu dalam forum yang difasilitasi pihak ketiga
yang kompeten (mediasi). Dalam forum itu, mereka harus willingly to give some and
take the other (bersedia untuk memberikan beberapa hal untuk mendapatkan hal
lainnya). Jika satu pihak hanya fokus kepada apa yang mereka diinginkan,
kesepakatan yang disetujui kedua belah pihak tidak akan pernah tercapai.
11
Partisipasi dalam pembuatan kebijakan. Sebuah kebijakan dalam negara demokrasi
seharusnya merupakan manifestasi dari kepentingan-kepentingan yang ada di
masyarakat. Dalam konteks Indonesia, kepentingan itu disalurkan oleh saluran resmi
seperti partai politik/anggota DPR dan DPRD, serta eksekutif/birokrasi. Bisa juga
melalui saluran lainnya seperti media. Pembuat kebijakan yang baik seharusnya
mengajak masyarakat untuk berpatisipasi aktif dalam proses pembuatan kebijakan,
bukannya justru mengejutkan masyarakat dengan sosialisasi ‘dadakan’ ketika
kebijakan itu sudah selesai dibuat. Sayangnya dalam banyak kasus di Indonesia, lebih
sering ditemui kasus ketika masyarakat merasa kecolongan ketika kebijakan itu sudah
selesai dibuat atau mencapai finalisasi.
Begitu juga yang terjadi dalam kasus reklamasi pantai Jakarta dan Teluk Benoa.
Kedua kebijakan itu dianggap tidak melibatkan masyarakat luas dalam proses
pembuatan kebijakan. Pada kasus Teluk Benoa, pemerintah merasa sudah melakukan
proses partisipasi. Ada pertemuan-pertemuan rutin yang dilakukan di lingkungan
desa/banjar untuk membahas soal reklamasi, bahkan pertemuan-pertemuan ini
diadakan dengan pembiayaan yang tidak sedikit jumlahnya.
Masalahnya, saat masyarakat di sekitar Teluk Benoa ditanyakan soal reklamasi,
banyak yang merasa tidak dilibatkan dalam proses itu. Malahan mereka justru
mengetahui soal perkembangan kasus reklamasi dari media massa. Di Jakarta,
kebijakan reklamasi mendapat penentangan kuat dari kelompok nelayan. Reklamasi
dianggap akan merugikan nelayan akibat dijadikannya perairan tempat mereka biasa
melaut menjadi daratan baru. Implikasinya, nelayan harus melaut lebih jauh ke lautan
lepas. Padahal untuk berlayar lebih jauh, nelayan harus mengeluarkan ongkos bahan
bakar yang lebih banyak, sementara volume tangkapan ikan hanya stagnan atau
semakin berkurang. Nelayan mengeluh bahwa ongkos untuk melaut perharinya
mencapai Rp.300.000 per hari, sedangkan penghasilan mereka hanya Rp.30.000 per
harinya.
Senada dengan yang terjadi di Teluk Benoa, para nelayan merasa bahwa proyek
reklamasi pantai Jakarta adalah proyek elitis yang melibatkan pemerintah daerah,
DPRD DKI Jakarta, dan para pengembang. Di luar itu, para nelayan yang langsung
terkena dampak reklamasi merasa tidak diberikan ruang. Karena itu mereka
melakukan berbagai usaha untuk membatalkan kebijakan itu, misalnya dengan
melakukan tuntutan melalui PTUN.
E. Kesimpulan
12
oleh sebab itu, upaya yang harus diperhatikan pemerintah adalah harus
memperhatikan kawasan sekitar dari kawasan tersebut tentunya dari aspek
lingkungan dan sosial masyarakat sehingga apabila reklamasi dijadikan jalan satu-
satunya ada penyembuhan dari pihak ketiga agar menjadi rekalamasi yang lebih
bagus dan bermanfaat. Dalam hal membangun kembali kepercayaan publik terkait
lemahnya legitimasi publik terhadap pemerintah dalam kasus kebijakan rencana
reklamasi Teluk Benoa Bali, maka diperlukan dukungan dari masyarakat sipil
dalam penentuan kebijakan publik itu sendiri ataupun peran yang lebih besar dari
publik dalam menentukan arah kebijakan. Adapun untuk mengembalikan
kepercayaan publik ada beberapa pilihan yang dianggap bisa ditempuh oleh
pemerintah dan juga rakyat Bali.
Sangat sulit untuk memberikan saran konkrit yang dapat memuaskan semua pihak.
Namun sebagaimana telah dibahas tulisan ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, apa pun solusi yang diambil, masyarakatlah (yang terdampak langsung)
yang harus menentukan solusi itu. Pemerintah selalu punya saluran partisipasi
masyarakat, tetapi sayangnya saluran itu lebih sering digunakan sebagai sarana
prosedural untuk menggolkan suatu kebijakan. Alangkah baiknya jika pemerintah
kembali turun ke daerah pesisir untuk menanyakan pendapat para nelayan di daerah
pesisir Jakarta dan sekitarnya mengenai kebijakan itu. Jika kemudian sulit untuk
menentukan pendapat masyarakat, bisa dibuat survei oleh pihak ketiga yang netral
dan diawasi publik untuk meihat bagaimana tren pandangan yang berkembang di
masyarakat. Jika melalui cara ini masyarakat terbukti menolak reklamasi, lebih
bijak jika kemudian rencana kebijakan reklamasi dihentikan.
Kedua, paradigma yang perlu digunakan dalam kasus reklamasi ini ialah paradigma
eco-populism yang menyeimbangkan antara pembangunan dengan kelestarian
lingkungan. Jika reklamasi jadi dilakukan, harus dipastikan dampak-dampak
negatif dari reklamasi paling tidak bisa diminimalisasi. Selain itu pemerintah dan
pengembang harus memapakarkan skema rencana pengembangan daerah reklamasi
baik dlihat dari segi teknologi, dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial dalam
sebuah dokumen yang dapat dengan mudah diakses oleh publik.
Kita tidak dapat menafikkan bahwa pengembang bergerak berdasarkan orientasi
profit. Perlu dipahami bahwa biaya untuk melakukan reklamasi sangat besar
sehingga ada kemungkinan pengembang akan menerapkan cara-cara tertentu
(dengan menjadikan area reklamasi untuk kepentingan yang berduit misalnya)
untuk bisa balik modal.
Namun, harus dipastikan ada kompensasi yang sesuai kepada masyarakat. Misalnya
dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan dan area khusus yang memang ditujukan
oleh masyarakat kelas bawah. Lapangan pekerjaan harus disediakan secara masif
dan area untuk masyarakat kelas bawah disediakan luas, bukan hanya sekadar fasos
(fasilitas sosial) dan fasum (fasilitas umum) dengan besaran minimal sekadar untuk
memenuhi syarat prosedural proyek. Lantas bagaimana jika pengembang (dan
pemerintah) tidak mampu menyediakan syarat-syarat tersebut? Kalau begitu lebih
13
baik kebijakan reklamasi tidak perlu jadi dilaksanakan. Setiap kebijakan tujuannya
untuk menyejahterakan rakyat, bukan untuk semakin memiskinkan mereka.
14
Daftar Pustaka
http://www.mongabay.co.id/2015/10/28/aksi-tolak-reklamasi-dan-dorongan-teluk-
benoa-sebagai-kawasan-suci/
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160714192114-20-144817/proyek-
reklamasi-teluk-benoa-akan-rusak-70-titik-suci
https://bem.unud.ac.id/mengapa-kami-menolak-reklamasi-teluk-benoa/
https://www.kajianpustaka.com/2016/09/pengertian-tujuan-dan-dampak-reklamasi.html
https//www.google.com/amp/s/berartiekl.wordpress.com/2017/05/06/konsep-sosiologi-
agama/amp/
https://ngakanyudha.wordpress.com/2014/03/24/analisis-kasus-reklamasi-teluk-benoa-
bali-konsep-cpr-dan-gagasan-pengelolaan/
ttps://www.whiteboardjournal.com/column/27248/titik-suci-dan-reklamasi/
ttps://www.kompasiana.com/gerardodicky/analisis-konflik-lingkungan-yang-
ditimbulkan-dari-kebijakan-reklamasi-teluk-benoa_590d55a2ad7e611708ed3589 (Ritzer,
Teori Sosiologi Modern, 2005)
15