Anda di halaman 1dari 5

BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Analisis dari Sudut Pandang Medis

1. Penggunaan antibiotik profilaksis pada kasus bedah dapat mengurangi dan


menurunkan adanya kejadian infeksi luka operasi, penurunan morbiditas serta
mortalitas pasca operasi, penghambat munculnya flora resistensi bakteri dan dapat
menurunkan biaya pelayanan kesehatan (Kemenkes, 2011). Akan tetapi semua
antibiotik mempunyai potensi toksisitas. Efek toksik dapat berupa idiosinkrasi, seperti
alergi atau aplasia sumsum tulang disebabkan kloramfenikol, atau kerusakan organ
atau jaringan seperti ginjal karena aminoglikosida dan ototoksik oleh amphotericin B.
Antibiotika juga dapat mengakibatkan perubahan ekologi mikroba di rumah sakit
yang menyebabkan resistensi. Oleh karena itu evaluasi rasionalitas diperlukan agar
tujuan dari penggunaan antibiotik profilaksis dapat tercapai. Kriteria antibiotik
profilaksis yang tepat meliputi tepat indikasi, tepat jenis antibiotik, tepat dosis, tepat
rute, tepat waktu, dan durasi pemberian antibiotik. Antibiotik profilaksis tidak
diindikasikan untuk prosedur bersih yang tidak terkait prostetik. Bukti ilmiah tidak
cukup mendukung profilaksis untuk pembedahan minor atau pemasangan AKDR dan
profilaksis dalam praktik kedokteran umum biasanya tidak diperlukan kecuali jika
pasien memiliki infeksi terkait. Sehingga selama pemasangan AKDR dilakukan
dengan aseptik maka antibiotik profilaksis tidak diperlukan mengingat efek samping
toksik yang dapat ditimbulkan. (Johan, 2019).
2. Antibiotik tidak di indikasikan pada pasien yang sehat dengan luka terbuka sederhana
karena jarang terjadi infeksi pada luka. Namun, antibiotik diindikasikan untuk luka
dengan jaringan mati, kontaminasi dengan tanah atau feces, kontak air liur (gigitan),
atau pasien dengan limfoma. Sebagaimana luka yang di sebabkan akibat penjepitan
tenakulum pada portio termasuk luka yang sederhana dan juga tidak terkontaminasi.
Antibiotik harus selalu dianggap sebagai terapi tambahan pada debridement dan
irigasi bukan terapi pengganti. Pemilihan antibiotik profilaksis tergantung pada
banyak faktor, termasuk lokasi luka, jenis patogen, biasanya dikaitkan dengan cedera
tertentu, dan fakta bahwa luka terkontaminasi mengandung berbagai macam
organisme. Hanya terdapat sedikit bukti pada yang mendukung pemberian rutin
antibiotik topikal pada luka sederhana (Emergency nurses association, 2017).
3. Antibiotik profilaksis tidak dibutuhkan setelah pemasangan IUD karena pemberian
antibiotik tidak memberikan efek signifikan terhadap penurunan insidensi penyakit
radang panggul (pelvic inflammatory disease /PID) setelah pemasangan. Risiko
infeksi terbesar yaitu dalam waktu 20 hari setelah pemasangan. Penyebab utamanya
adalah kontaminasi saat pemasangan IUD, bukan disebabkan oleh alat IUD itu
sendiri. Efek samping yang paling sering dari pemasangan IUD adalah nyeri, kram
perut, perdarahan uterus abnormal, dan ekspulsi. Untuk mengurangi nyeri setelah
pemasangan IUD, obat anti nyeri lebih dibutuhkan (F.Vidal, 2018).
4. Berdasarkan salah satu kriteria pemberian antibiotic profilaksis yaitu tepat dosis maka
pemakaian obat antibiotik yang tidak tepat (yang dimaksud adalah jika pasien tidak
mengkonsumsi antibiotik sesuai anjuran) akan merugikan karena selain kuman tidak
terbunuh juga terdapat kemungkinan resisten terhadap antibiotik jenis tersebut. (Apin
Dewanity, 2015).
5. Penggunaan doksisiklin 200 mg atau azitromisin 500 mg per oral sebagai pencegahan
infeksi pasca pemasangan IUD hanya memberikan sedikit manfaat. Sementara
pengurangan kunjungan tidak terjadwal ke penyedia sedikit signifikan, efektivitas
biaya profilaksis rutin tetap dipertanyakan. Dengan kesimpulan wanita yang
mengonsumsi antibiotik untuk mencegah infeksi tidak mendapatkan PID sesering
mereka yang menggunakan plasebo atau tanpa pengobatan. Namun, angka dengan
PID rendah untuk semua kelompok, sehingga pengobatan tidak memiliki pengaruh
yang besar (John Wiley, 2012).
6. Menurut UU No 4 Tahun 2019 tentang kebidanan bahwa bidan tidak mempunyai
wewenang dalam pemberian antibiotic profilaksis.
7. Dari hasil penelitian (Munteanu O et al., n.d.) tahun 2013 dilakukan evaluasi secara
prospektif terhadap 44 pasien, dirawat di Rumah Sakit Darurat Bucharest antara
tanggal 1 Februari 2012 dan 1 Oktober 2012, di mana IUD dipasang. Pasien yang
terdaftar dibagi menjadi dua kelompok. Dalam kelompok A, sejumlah 22 pasien,
menerima, setelah penyisipan sistem intrauterin pelepas levonorgestrel, 875mg
Amoxicillin Trihydrate + 125 mg Potassium Clavulanate, dosis setiap 12 jam selama
5 hari. Grup B diwakili oleh 22 pasien lainnya yang tidak menerima antibiotik
profilaksis. Semua pasien dievaluasi ulang pada 4 dan 12 minggu setelah pemasangan
sistem intrauterin yang melepaskan levonorgestrel. Hasil: Selama 4 minggu pertama
setelah pemasangan sistem intrauterin yang melepaskan levonorgestrel hanya dua
pasien, satu dari kelompok A dan satu dari kelompok B yang didiagnosis dengan
penyakit radang panggul. Pada kunjungan lanjutan kedua - 12 minggu setelah
pemasangan sistem intrauterin yang melepaskan levonorgestrel, tidak ada pasien lain
yang didiagnosis dengan penyakit radang panggul. Kesimpulan: Profilaksis antibiotik
tidak wajib dilakukan setelah dilakukan insersi sistem intrauterin yang melepaskan
levonorgestrel untuk menurunkan risiko penyakit radang panggul.
8. Hasil Penelitian dari Alice tahun 2019 (Alice et al., 2012) menunjukkan Kultur
Candida positif secara signifikan meningkat 3 bulan setelah pemasangan IUD (25,3%
vs 11,6%, P = 0,007). Spesies teridentifikasi paling umum sebelum dan sesudah
pemasangan IUD , masing-masing adalah Albicans , Glabrata dan kemudian
keduanya ' Albicans & Glabrata '. Ituprevalensi Albicans dan Glabrata menurun,
sedangkan ' Albicans & Glabrata ' meningkat tidak signifikan. Kesimpulannya ada
lebih dari sekitar empat kali peningkatan pada kultur Candida positif setelah
pemasangan IUD. Seperti prevalensi infeksi simultan dengan spesies ' Albicans &
Glabrata ' yang resisten terhadap pengobatan biasa( Profilaksis) meningkat, maka
perlu untuk memberikan perawatan lanjutan yang lebih intensif bagi pengguna IUD
bukan hanya pemberian antibiotic profilaksis.
9. Pada telaah kepustakaan (Hidayati & Liuwan, n.d.) menyebutkan bahwa Biofilm
menghambat proses eliminasi dan terbunuhnya organisme patogen oleh antibiotik,
sehingga infeksi menjadi lebih berat dan lama. Biofilm Gardnerella vaginalis
menunjukkan resistensi yang tinggi dan mekanisme protektif yang kuat terhadap flora
normal vagina, termasuk hidrogen peroksida dan asam laktat yang diproduksi oleh
laktobasilus. Hal itu merupakan penyebab terjadinya relapse dan rekurensi yang tinggi
dari Vaginitis Bacterial . Biofilm dapat memengaruhi patogenesis dan pengobatan
BV. Biofilm juga berperan dalam resistensi antibiotik. Simpulan: Biofilm memegang
peranan kunci tidak hanya dalam hal patogenesis dari VB tetapi juga berperan
terhadap kegagalan terapi dan rekurensinya.
10. Pada penelitian (Latif, 2017). Uji kepekaan antibiotik untuk sel planktonik dan bakteri
pembentuk biofilm dilakukan dengan metode mikrodilusi kaldu. Hasil: Penelitian ini
menunjukkan bahwa kultur IUD positif pada 70 (97,2%) wanita dan negatif jin 2
(2,8%) wanita. Penelitian kami menunjukkan bahwa spesies bakteri yang paling
banyak diisolasi dari 56 bakteri dan hasil kultur IUDS campuran adalah stafilokokus
Coagulase negatif (32,1%), Escherichia coli (25,0%), Pseudomonas aeruginosa
(21,4%), Klebsiella spp. (12,5%) dan Staphylococcus aureus (9%). Dalam penelitian
kami, kami menemukan bahwa di antara 56 isolat bakteri, 10 (17,89%) adalah bakteri
pembentuk biofilm sedang, 37 (66,196) adalah bakteri pembentuk biofilm lemah dan
9 (16,1%) adalah bakteri pembentuk non biofilm. Hasil pengujian kerentanan
antimikroba bakteri pembentuk biofilm terhadap antibiotik yang berbeda baik dalam
bentuk planktonik maupun biofilm menunjukkan bahwa sel biofilm memiliki
ketahanan yang lebih tinggi dibandingkan sel planktonik terhadap antibiotik tersebut.
Kesimpulan: Infeksi IUD oleh bakteri pembentuk biofilm relatif tinggi. Semua isolat
bakteri pembentuk biofilm dalam bentuk biofilm menunjukkan resistensi yang lebih
tinggi terhadap semua antibiotik daripada rekan planktoniknya

3.2 Analisis dari sudut pandang Ekonomi

1. Dengan manfaat yg sedikit pada pemberian antibiotik sehingga masalah biaya (cost)
merupakan hal yang juga perlu mendapat perhatian dalam pemilihan antibiotika.
Pemilihan antibiotika tidak hanya ditentukan oleh harga obatnya saja (drug
acquisition cost) tapi perlu dipertimbangkan biaya pemberian, waktu pemberian, serta
biaya monitoring yang akan menambah pengeluaran pasien (Johan, 2019). Sehingga
jika dirasa tidak memberikan keuntungan yang signifikan maka pemberian antibiotic
profilaksis tidak diperlukan bagi pasien yang tidak mengalami infeksi.
2. Pada pemberian antibiotic yang tidak benar akan mengakibatkan perubahan ekologi
mikroba yang menyebabkan resistensi serta efek toksik berupa idiosinkrasi, seperti
alergi atau aplasia sumsum tulang disebabkan kloramfenikol, atau kerusakan organ
atau jaringan seperti ginjal karena aminoglikosida dan ototoksik oleh amphotericin B
(Johan, 2019). Maka akan menambah biaya pengeluaran yang lebih besar terhadap
pasien oleh karena itu hal ini menjadi pertimbangan untuk tidak memberikan antibitik
profilaksis pada pemasangan AKDR
DAFTAR PUSTAKA

Alice, T. N. D., Kives, S., Merovitz, L., Nitsch, R., Tessler, K., & Yudin, M. H. 2012.
Screening for Bacterial Vaginosis at The Time of Intrauterine Contraceptive
Device Insertion. J Obsstet Gynaecol Canada, 179-185

Apin, Dewanitya. 2015. Hubungan Penggunaan Alat Kontrasepsi Iud Dengan Fluor Albus
Pada Ibu Usia 25-44 Tahun. Kebidanan Dharma Husada Vol. 4, No. 1.

Emergency nurses association. 2017. Sheehy’s Emergency and Disaster Nursing. Elsevier
Health Sciences

Hidayati, A. N., & Liuwan, C. C. (n.d.). Peran Biofilm terhadap Infeksi Saluran Genital yang
disebabkan oleh Vaginosis Bakterial ( The Role of Biofilm in Genital Tract
Infection Caused by Bacterial Vaginosis ) (pp. 150–158).

Johan Indra Lukito. 2019. Antibiotik Prolaksis pada Tindakan Bedah Johan Indra Lukito
Medical Department, PT. Kalbe Farma Tbk. Jakarta, Indonesia Vol.46 No.14.

John Wiley. Antibiotic prophylaxis for intrauterine contraceptive device insertion. Cochrane
Collaboration. Published in Issue 5, 2012.

Latif, A. A. E. and R. S. abde. (2017). Al man Hal. Egyption Journal of Medical


Microbiology, 26/N0.3/Ju(Antybiotic Susceptibility), 145–152.

PERMENKES RI. 2011. Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Nomor


2406/MENKES/PER/XII/2011.

Undang-Undang tentang Kebidanan, UU Nomor 4 Tahun 2019.

Anda mungkin juga menyukai