Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN TUBUH DAN ELEKTROLIT

OLEH :
NAMA : ROY PRADANA ARISTIN
NIM : P00341019078
KELAS : TK 3B TLM

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KENDARI
JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
2021
KATA PENGANTAR

Puji kami syukur kita panjatkan kepada kehadirat Allah Swt., yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayahnya kepada kita semua sehingga dapat
menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktunya. Tugas ini kami buat
untuk melatih kami agar dapat membuat makalah yang baik dan benar. Karena
hasil yang memuaskan membutuhkan kerja keras dan bersungguh-sungguh. Kami
sadar apabila di dalam maklah ini masih banyak kesalahan penulisan dan tanda
baca yang jauh dari harapan dosen pembimbing. Namun sebagai awal
pembelajaran dan penambah semangat belajar tidak ada salahnya jika kami
mengucapkan rasa syukur dan hamdalah.
     Terima kasih kepada dosen telah mempercayai kami untuk mengerjakan tugas
ini. Kesalahan yang ada di dalam makalah ini bukanlah disengaja namun karena
kekhilafan, kelupaan dan kurang ketelitian kami dalam mengerjakannya. Kami
telah berusaha dan semaksimal mungkin untuk memberikan makalah ini
selengkap-lengkapnya. Kami telah berusaha dan semaksimal mungkin untuk
memberikan makalah ini selengkap -lengkapnya dan sebaik-baiknya. Saya harap
dosen dan teman-teman dapat menerima makalah dari kami ini.
Terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan banyak saran dan
komentarnya. Demikian,  saya harap makalah ini berguna untuk dapat menambah
ilmu dan referensi  teman-teman sekalian.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR 
DAFTAR ISI 
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 
B. Rumusan Masalah 
C. Tujuan 

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Tubuh
B. Komposisi Cairan Tubuh
C. Pergerakan Cairan Tubuh
D. Pengaturan Cairan tubuh
E.  Pengaturan Elektrolit
F.  Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
G. Faktor yang mempengaruhi keseimbangan cairan tubuh

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan 
B. Saran 

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai organisme multiseluler dikelilingi oleh
lingkungan luar (milieu exterior) dan sel-selnya pun hidup dalam milieu
interior yang berupa darah dan cairan tubuh lainnya. Cairan dalam tubuh,
termasuk darah, meliputi lebih kurang 60% dari total berat badan laki-laki
dewasa. Dalam cairan tubuh terlarut zat-zat makanan dan ion-ion yang
diperlukan oleh sel untuk hidup, berkembang, dan menjalankan fungsinya.
Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik sangat dipengaruhi oleh
lingkungan di sekitarnya. Semua pengaturan fisiologis untuk
mempertahankan keadaan normal disebut homeostasis.
Homeostasis ini bergantung pada kemampuan tubuh
mempertahankan keseimbangan antara substansi-substansi yang ada di
milieu interior. Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2
(dua) parameter penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas
cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan
mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan
ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal
mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan
air dalam urin sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan
kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut. Ginjal juga turut
berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dengan
mengatur keluaran ion hidrogen dan ion bikarbonat dalam urin sesuai
kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan asam-
basa adalah paru-paru dengan mengekskresi ion hidrogen dan CO 2, dan
sistem dapar (buffer) kimia dalam cairan tubuh.
Cairan tubuh ini sangat penting perannya dalam menjaga
keseimbangan (Homeostasis) proses kehidupan. Peranan tersebut
dikarenakan air memiliki karakteristik fisiologis. Cairan dalam tubuh
manusia normalnya adalah seimbang antara asupan (input) dan haluaran
(output). Jumlah asupan cairan harus sama dengan jumlah cairan yang
dikeluarkan dari tubuh. Dalam rangka mempertahankan fungsi tubuh maka
tubuh akan kehilangan cairan antara lain melalui proses penguapan
ekspirasi penguapan kulit, ginjal (urine), ekskresi pada proses metabolisme
(defekasi). Dalam tubuh, fungsi sel bergantung pada keseimbangan cairan
dan elektrolit. Keseimbangan ini diurus oleh banyak mekanisme fisiologik
yang terdapat dalam tubuh sendiri. Perubahan sedikit pada keseimbangan
cairan dan elektrolit tidak akan memberikan dampak bagi tubuh. Akan
tetapi, jika terjadi ketidakseimbangan antara asupan dan haluaran, tentunya
akan menimbulkan dampak bagi tubuh manusia. Kondisi sakit dapat
menyebabkan gangguan pada keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.
Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti dari air tubuh total dan elektolit
kedalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit saling
bergantung satu sama lainnya, jika salah satu terganggu maka akan
berpengaruh dengan lainnya. Pada bayi dan anak sering terjadi gangguan
keseimbangan tersebut yang biasanya disertai perubahan Ph cairan tubuh.
Hal itu dikarenakan anak mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya
dehidrasi. Ada banyak alasan untuk hal ini, salah satunya dikarenakan
anak-anak mempunyai insiden yang cukup tinggi pada gangguan sistem
gastrointestinal, terutama diare. Pada anak yang mengalami diare, akan
terjadi ketidakseimbangan asupan dan haluaran cairan.
Gangguan cairan dan elektrolit sangat umum pada periode
perioperatif. Cairan intravena dengan jumlah yang besar sering diperlukan
untuk memperbaiki defisit cairan dan mengkompensasi kehilangan darah
selama operasi. Cairan dan elektrolit di dalam tubuh merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Komposisi cairan dan elektrolit di
dalam tubuh diatur sedemikan rupa agar keseimbangan fungsi organ vital
dapat dipertahankan.3 Gangguan besar dalam keseimbangan cairan dan
elektrolit dapat dengan cepat mengubah kardiovaskular, saraf, dan fungsi
neuromuskular, dan penyedia anestesi harus memiliki pemahaman yang
jelas air normal dan elektrolit fisiologi.
Kebutuhan cairan dan elektrolit adalah suatu proses dinamik
karena metabolisme tubuh membutuhkan perubahan yang tetap dalam
berespons terhadap stressor fisiologis dan lingkungan. Keseimbangan
cairan adalah esensial bagi kesehatan. Dengan kemampuannya yang sangat
besar untuk menyesuaikan diri, tubuh mempertahankan keseimbangan,
biasanya dengan proses-proses faal (fisiologis) yang terintegrasi yang
mengakibatkan adanya lingkungan sel yang relatif konstan tapi dinamis.
Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan cairan ini
dinamakan “homeostasis”
Diare yang sering menyerang balita karena daya tahan tubuhnya
yang masih lemah, sehingga dapat terkena bakteri penyebab diare jika
diare disertai muntah berkelanjutan akan menyebabkan dehidrasi
(kekurangan cairan). Inilah yang harus diwaspadai karena sering terjadi
keterlambatan dalam pertolongan dan menyebabkan kematian
dehidrasiyang terjadi pada anak akan cepat menjadi parah. hal ini
disebabkan karena seorang anak berat badanya lebih rendah daripada
dewasa
Diare adalah kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan
yang terjadi karena frekuensi tiga kali atau lebih buang air besar dengan
konsistensi feses yang encer atau cair, dapat berwarna hijau atau dapat
pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja. Dasar dari semua diare
adalah gangguan transportasi larutan usus, akibat perpindahan air melalui
membran usus berlangsung secara pasif dan hal ini ditentukan oleh aliran
larutan secara aktif maupun pasif, terutama natrium klorida, dan glukosa.
Diseluruh dunia terdapat kurang lebih 500 juta anak menderita diare setiap
tahunnya dan 20% dari seluruh kematian pada anak yang hidup di negara-
negara berkembang. Di Indonesia, proporsi terbesar penderita diare pada
balita adalah kelompok umur 6 – 11 bulan yaitu sebesar 21,65%, lalu
kelompok umur 12-17 bulan sebesar 14,43%, kelompok umur 24-29 bulan
sebesar 12,37%, sedangkan proporsi terkecil pada kelompok umur 54 – 59
bulan yaitu 2,06%. Penyebab utama kematian yang disebabkan oleh diare
adalah karena dehidrasi sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit
melalui feses.

B. Rumusan Masalah
1.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Gangguan Keseimbangan Dan Cairan Tubuh


Tubuh manusia pada kelahiran mengandungi sekitar 75% berat cairan.
Di usia satu bulan, nilai ini menurun menjadi 65% dan pada saat dewasa berat
cairan dalam tubuh manusia bagi pria adalah 60% dan wanita pula sekitar
50%. Selain itu, faktor kandungan lemak juga mengkontribusi kepada
kandungan cairan dalam tubuh. Semakin tinggi jumlah lemak yang terdapat
dalam tubuh, seperti pada wanits, semakin ssemakin kurang kandungan cairan
yang ada.
Nilai normal ambilan cairan dewasa adalah sekitar 2500ml, termasuk
300ml hasil metabolism tenaga susbtrat. Rata-rata kehilangan cairan adalah
sebanyak 2500ml dimana ia terbahagi kepada 1500ml hasil urin, 400ml
terevaporasi lewat respiratori, 400ml lewat evaporasi kulit, 100ml lewat peluh
dan 100ml melalui tinja. Kehilangan cairan lewat evaporasi adalah penting
kerna ia memainkan peranan sebagai thermoragulasi, dimana ia mengkontrol
sekitar 20-25% kehilangan haba tubuh. Perubahan pada kesimbanngan cairan
dan volume sel bisa menyebabkan impak yang serius seperti kehilangan
fungsi pada sel, terutama ada otak.
Bentuk gangguan yang paling sering terjadi adalah kelebihan atau
kekurangan cairan yang mengakibatkan perubahan volume.
1. Overhidrasi
Air, seperti subtrat lain, berubah menjadi toksik apabila
dikonsumsi secara berlebihan dalam jangka waktu tertentu. Intoksikasi air
sering terjadi bila cairan di konsumsi tubuh dalam kadar tinggi tanpa
mengambil sumber elektrolit yang menyeimbangi kemasukan cairan
tersebut. Overhidrasi terjadi jika asupan cairan lebih besar daripada
pengeluaran cairan. Kelebihan cairan dalam tubuh menyebabkan
konsentrasi natrium dalam aliran darah menjadi sangat rendah. Penyebab
overhidrasi meliputi, adanya gangguan ekskresi air lewat ginjal (gagal
ginjal akut), masukan air yang berlebihan pada terapi cairan, masuknya
cairan irigator pada tindakan reseksi prostat transuretra, dan korban
tenggelam. Gejala overhidrasi meliputi, sesak nafas, edema, peningkatan
tekanan vena jugular, edema paru akut dan gagal jantung. Dari
pemeriksaan lab dijumpai hiponatremi dalam plasma. Terapi terdiri dari
pemberian diuretik(bila fungsi ginjal baik), ultrafiltrasi atau dialisis
(fungsi ginjal menurun), dan flebotomi pada kondisi yang darurat.
2. Dehidrasi
Dehidrasi merupakan suatu kondisi defisit air dalam tubuh akibat
masukan yang kurang atau keluaran yang berlebihan. Kondisi dehidrasi
bisa terdiri dari 3 bentuk, yaitu: isotonik (bila air hilang bersama garam,
contoh: GE akut, overdosis diuretik), hipotonik (Secara garis besar terjadi
kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang hilang.
Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen intravaskular
berpindah ke ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume
intravaskular), hipertonik (Secara garis besar terjadi kehilangan air yang
lebih banyak dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium
tinggi, air di kompartemen ekstravaskular berpindah ke kompartemen
intravaskular, sehingga penurunan volume intravaskular minimal).
Kondisi dehidrasi bisa terdiri dari 3 bentuk, yaitu: isotonik (bila air
hilang bersama garam, contoh: GE akut, overdosis diuretik), hipotonik
(Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak
dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di
kompartemen intravaskular berpindah ke ekstravaskular, sehingga
menyebabkan penurunan volume intravaskular), hipertonik (Secara garis
besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang
hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstravaskular
berpindah ke kompartemen intravaskular, sehingga penurunan volume
intravaskular minimal).
Terapi dehidrasi adalah mengembalikan kondisi air dan garam yang
hilang. Jumlah dan jenis cairan yang diberikan tergantung pada derajat dan
jenis dehidrasi dan elektrolit yang hilang. Pilihan cairan untuk koreksi
dehidrasi adalah cairan jenis kristaloid RL atau NaCl.5
Kehilangan volume cairan yang ringan bisa diganti dengan cairan oral
meskipun banyak senter melakukan penggantian secara parenteral.
1. Rehidrasi Parenteral
Langkah awal dari rehidrasi adalah mengisi vaskuler secara cepat
dengan tujuan mencegah terjadinya syok dan meningkatkan fungsi ginjal.
Cairan fisiologis (salin normal) atau ringer laktat (10-20 cc/kg) harus
diberikan dalam waktu 1 jam. Jumlah ini harus diluar jumlah kebutuhan
cairan perharinya. Cara lain yang dikembangkan WHO adalah 100 mL/kg
diberikan sesuai umur, yaitu untuk bayi diberikan 1 jam pertama 30 mL/kg,
kemudian 5 jam berikutnya 70 mL/.kg, sedangkan untuk anak 30 ml/kg
diberikan dalam ½ jam pertama, sisanya 70 mL/ kg diberikan dalam 21/2
jam berikutnya. neonatus, anak dengan malnutrisi atau pasien dengan
hipernatremia dan syok.
Keuntungan normal salin dan ringer laktat adalah untuk mengisi
ruangan intravaskuler secara cepat. Dibanding Nacl 0,9%, ringer laktat lebih
fisiologis karena rasio Natrium : Klorida ialah 1,17:1 dan mempunyai
konsentrasi Natrium lebih rendah (130 mEq/L) serta mengandung Ca, K+
dan laktat. Langkah selanjutnya adalah memenuhi kebutuhan cairan rumatan
dan mengganti jumlah cairan yang hilang bersama tinja dari diare yang
sedang berlangsung. Pada dehidrasi berat setelah rehidrasikalau perlu
pemberian cairan rumatan diberikan ½ jumlah cairan dalam 8 jam pertama
sedangkan sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya.
Pemberian Kalium+ intravena tidak boleh melebihi 4 mEq/kg per hari
untuk menghindari kelebihan kapasitas uptake sel terhadap Kalium+ untuk
mencegah hiperkalemia. Pada diare yang berkelanjutan atau berhari hari
maka pemberian cairan per oral perlu diperhatikan untuk mengganti setiap
kali diare; jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan jumlah feses yang
dikeluarkan, demikian juga jika terjadi muntah. Asidosis metabolik ringan
yang terjadi pada diare dehidrasi isonatremik akan membaik jika fungsi
ginjal sudah baik, tapi asidosis metabolik yang berat perlu di koreksi dengan
bikarbonat.
2. Rehidrasi Oral
Rehidrasi oral sangat effektif untuk penggantian cairan pada diare
bahkan juga pada diare yang sedang berlangsung dengan muntah. Rehidrasi
oral diberikan pada dehidrasi ringan/sedang. Pemberian rehidrasi oral
diberikan sedikit demi sedikit sampai mencapai dosis 75cc/kg selama 4-6
jam untuk dehidrasi ringan/sedang. Jika sudah membaik dilanjutkan dengan
100cc/kg perhari.
3. Dehidrasi hiponatremik dan hiponatremia
Diagnosis hiponatremia harus dibedakan pada kontek hipovolemia,
euvolemia atau hipervolemia untuk menyatakan apakah rendahnya kadar
Natrium benar benar diikuti kadar Na+ tubuh yang rendah. Gejala dan tanda
hiponatremia berhubungan dengan berat dan cepatnya penurunan kadar Na+
serum.
Gejala di sistema syarat pusat meliputi apatis, mual, muntah, sakit
kepala, kejang atau koma. Sedangkan gejala muskuloskeletal berupa kramp
dan lemah. Jadi bayi atau anak dengan dehidrasi hiponatremik tampak sakit
berat, karena kehilangan cairan bersama hiponatremia yang menyebabkan
kegagalan sirkulasi karena pengurangan volume cairan ekstraselluler yang
tidak seimbang. Jika osmolilalitas serum turun maka air akan masuk
kedalam sel menyebabkan disfungsi muskuloskeletal dan sel otak akan
mengalami udem. Otak akan beradaptasi terhadap hiponatremia dengan
mendorong cairan interstisil kedalam cairan cerebrospinal juga dengan
mengubah larutan selluler terutama dengan Kalium dan asam amino. Hal
yang penting untuk diketahui pada keadaan ini adalah bahwa proses
rehidrasi jangan terlalu cepat melebihi kemampuan otak mengatur
larutannya. Oleh karena itu pada dehidrasi hiponatremia koreksi Natrium+
plasma tidak boleh melebihi 10-12 mEq/L perhari untuk menghindari
pertukaran cairan.
Hiponatremia hipovolemia disebabkan terutama karena diare dan
muntah infeksi pada gastroenteritis karena virus. Sedangkan penyebab lain
adalah kehilangan cairan perkutaneus seperti asites, luka bakar, dan
peritonitis. Euvolemia hiponatremia terjadi pada sindrom karena kelainan
sekresi antidiuretik hormon (ADH). Hiponatremia hipervolemia disebabkan
oleh keadaan yang berhubungan dengan udem seperti pada nefrosis, gagal
jantung, sirosis dan gagal ginjal. Pengelolaan dehidrasi hiponatremik
didahului dengan pengelolaan dehidrasi secara umum kemudian dilanjutkan
dengan penanganan hiponatreminya dengan menambahkan cairan yang
mengandung garam untuk mengkoreksi kekurangan Na+. Jumlah Na+ yang
diberikan adalah 10-12 mEq/L perhari dan jika perlu 15 mEq/L per hari
pada hiponatremia yang berat.
4. Dehidrasi Hipernatermik dan Hipernatermia
Dehidrasi hipernatermik terjadi apa bila jumlah cairan yang keluar lebih
banyak dibanding larutannya atau Na+. Sebetulnya kadar Natrium+ tubuh
mungkin naik atau normal atau bahkan turun, seperti pada hiponatremia,
kadar Natrium+ serum tidak menggambarkan kadar Natrium+ tubuh.
Hipernatremia menyebabkan plasma menjadi hipertonik, sehingga
badan akan merespon dengan mengeluarkan ADH dengan merangsang rasa
haus. Individu yang tak bisa mengeluarkan atau merespon ADH akan
cenderung mengalami hipernatremia. Gejala yang timbul adalah penurunan
kesadaran seperti letargi atau bingung, iritabel seperti berkedipan, refleks
meningkat atau bahkan kejang, kadang-kadang disertai demam dan kulit
teraba lebih tebal.
Hipertonik ekstrasel akan menyebabkan air akan keluar dari sel dan sel
akan menjadi lebih kecil ukurannya. Di otak keadaan ini akan menyebabkan
berkerutnya jaringan arahnoid sampai terjadi perdarahan subarahnoid,
intradural atau subdural. Apabila keadaan hipertonik berlanjut maka sel otak
akan beradaptasi dengan mengatur osmolar intraselluler yang disebut proses
produk osmolar idiogenik.
Proses menurunkan gardien osmolar ekstraseluler ke intraseluler
dapat melindungi sel dari penyusutan atau berkerut. Untuk mencegah
terjadinya udem otak pada saat dilakukan koreksi plasma hipertonis, perlu
diketahui bahwa peralihan osmoler intraseluler lambat. Oleh karena itu
koreksi hipernatremia harus dilakukan perlahan lahan.
Hipernatremia berat ( Na+ > 160 mEq/L) bisa menyebabkan sekuele
(sisa gejala) yang permanen dengan mortalitas yang tinggi mencapai 10%.
Diare yang tadinya iso atau hiponatremia bisa berkembang menjadi
dehidrasi hipernatremia apabila diikuti dengan panas yang lama, anoreksia,
muntah dan masukan cairan yang tidak adekwat. Pada bayi prematur dengan
kemampuan mengatur pemasukan air yang masih kurang, fungsi ginjal
belum sempurna, disertai dengan infeksi saluran cerna serta malabsorpsi
sering terjadi hipernatremia.
Pada pengelolaan pasien hipovolemia dengan hipernatremia pada
saat awal dibutuhkan salin normal atau ringer laktat untuk mengembalikan
sirkulasi effektif volume plasma. Albumin 5% atau plasma dapat dipakai
juga. Pasien dengan hipovolemia dan hipernatremia membutuhkan larutan
hipotonik yang terdiri dari garam untuk mengembalikan kadar Na+ 2-5
mEq/kg berat badan dan mulai dengan rumatan Na+ (3mEq/kg Na+) dalam
cairan terdiri dari 20 sampai 40 mmol/L KCl dan 5% glukosa. Untuk kadar
Na+ 150-160 mEq/L, maka volume cairan yang akan diberikan harus dalam
periode 24 jam.
Osmolaritas cairan ekstraseluler akan turun lebih cepat dibandingkan
dengan otak yang melakukan osmoler idogenik untuk melindungi
osmolaritas intraseluler, maka koreksi Natrium+ tidak boleh melebihi 10
mEq/ L perhari. Untuk kadar Na+ serum > 160 mEq/L, maka rehidrasi harus
dibagi dalam beberapa hari untuk menurunkan kadar Na+ secara pelahan
sampai kadar 150 mEq/L dengan pemeriksaan 10 mEq/L perhari. Misalnya
kadar Na+ 170 mEq/L maka diperlukan 2 hari.
5. Kalium
Kalium adalah kation intraselular yang terbanyak, jadi perubahan
akut dalam serum tidak menggambarkan persediaan kalium total tubuh.
Perubahan kronis, terutama hipokalemia lebih menggambarkan persediaan
kalium tubuh. Konsentrasi kalium serum diatur di nefron terminal ginjal dan
dikeluarkan juga dengan jumlah sedikit melalui tinja. Rasio kalium intra dan
ekstraselluler merupakan faktor penentu potential listrik di sel membran; hal
ini berperan dalam bangkitan potensial jaringan syaraf dan otot. Gangguan
kadar Kalium+ serum sangat mempengaruhi ke kelangsungan hidup karena
effeknya terhadap fungsi jantung, yaitu karena peran Kalium+ terhadap
irritabilitas neuromuskuler dan metabolisme sel. Pada asidemia konsentrasi
K+ dalam cairan ekstraseluler meningkat karena sekresi K+ dari dalam sel,
dengan perkiraan setiap penurunan pH 0.1 unit terdapat kenaikan K+ 1
mEq/L, sedangkan pada alkalosis terjadi sebaliknya.
B. Mekanisme Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Pergerakan zat dan air di bagian-bagian tubuh melibatkan transpor
pasif, yang tidak membutuhkan energi terdiri dari difusi dan osmosis,dan
transporaktif yang membutuhkan energi ATP yaitu pompa Na-K. Osmosis
adalah bergeraknya molekulmelalui membran semipermeabeldari larutan
berkadar lebih rendah menuju larutan berkadar lebih tinggi hingga kadarnya
sama. Seluruh membran sel dan kapiler permeabel terhadap air, sehingga
tekanan osmotik cairan tubuh seluruh kompartemen sama. Tekanan osmotik
plasma darah ialah 270-290 mOsm/L4 . Difusi ialah proses bergeraknya
molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari konsentrasi tinggi ke
arah larutan berkonsentrasi rendah. Difusi tergantung kepada perbedaan
konsentrasi dan tekanan hidrostatik.Pompa natrium kalium merupakan suatu
proses transpor yang memompa ion natrium keluar melalui membran sel dan
pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar ke dalam.
Berikut merupakan beberapa mekanisme pengaturan keseimbangan
cairan dan elektrolit antar kompartemen.
1. Keseimbangan Donnan
Keseimbangan Donnan merupakan keseimbangan antara cairan
intraseluler dengan cairan ekstraseluler yang timbul akibat adanya peran
dari sel membran. Protein yang merupakan suatu molekul besar
bermuatan negatif, bukan hanya ukuran molekulnya yang besar namun
merupakan suatu partikel aktif yang berperan mempertahankan tekanan
osmotik. Protein ini tidak dapat berpindah, tetapi akan mempengaruhi ion
untuk mempertahankan netralitas elektron (keseimbangan muatan positif
dan negatif) sebanding dengan keseimbangan tekanan osmotik di kedua
sisi membran. Pergerakan muatan pada ion akan menyebabkan perbedaan
konsentrasi ion yang secara langsung mempengaruhi pergerakan cairan
melalui membran ke dalam dan keluar dari sel tersebut1.
2. Osmolalitas dan Osmolaritas
Osmolalitas digunakan untuk menampilkan konsentrasi larutan
osmotik berdasarkan jumlah partikel, sehubungan dengan berat pelarut.
Lebih khusus, itu adalah jumlah osmol disetiap kilogram pelarut.
Sedangkan osmolaritas merupakan metode yang digunakan untuk
menggambarkan konsentrasi larutan osmotik. Hal ini didefinisikan
sebagai jumlah osmol zat terlarut dalam satu liter larutan. Osmolaritas
adalah properti koligatif, yang berarti bahwa tergantung pada jumlah
partikel terlarut dalam larutan. Selain itu osmolaritas juga tergantung
pada perubahan suhu. Tekanan Koloid Osmotik Tekanan koloid osmotik
merupakan tekanan yang dihasilkan oleh molekul koloid yang tidak dapat
berdifusi, misalnya protein, yang bersifat menarik air ke dalam kapiler
dan melawan tekanan filtrasi. Koloid merupakan molekul protein dengan
berat molekul lebih dari 20.000-30.000. Walaupun hanya merupakan
0,5% dari osmolalitas plasma total, namun mempunyai arti yang sangat
penting. Karena, hal ini menyebabkan permeabilitas kapiler terhadap
koloid sangat kecil sehingga mempunyai efek penahan air dalam
komponen plasma, serta mempertahankan air antar kompartemen cairan
di tubuh. Bila terjadi penurunan tekanan koloid osmotik, akan
menyebabkan timbulnya edema paru. Kekuatan Starling (Starling’s
Forces) Tekanan koloid osmotik plasma kira-kira 25 mmHg sedang
tekanan darah 36 mmHg pada ujung arteri dari kapiler darah dan 15
mmHg pada ujung vena. Keadaan ini menyebabkan terjadinya difusi air
dan ion-ion yang dapat berdifusi keluar dari kapiler masuk ke cairan
interstisiil pada akhir arteri dan reabsorsi berkisar 90% dari cairan ini
pada akhir arteri dan reabsosrsi berkisar 90% dari cairan ini pada ujung
venous.
C. Sistem Pengaturan Cairan Tubuh
Dalam kondisi normal, cairan tubuh stabil dalam petaknya masing-
masing. Apabila terjadi perubahan, tubuh memiliki sistem kendali atau
pengaturan yang bekerja untuk mempertahankannya. Mekanisme pengaturan
dilakukan melalui 2 cara, yaitu kendali osmolar dan kendali nonosmolar.
Kendali Osmolar Mekanisme kendali ini dominan dan efektif dalam
mengatur volume cairan ekstraseluler. Terjadi melalui:
1. Sistem osmoreseptor hipothalamus-hipofisis-ADH
Osmoreseptor terletak pada hipotalamus anterior bagian dari
nukleus supra optik. Terdiri dari vesikel yang dipengaruhi osmolaritas
cairan ekstraseluler. Bila osmolaritas cairan meningkat, vesikel akan
mengeriput. Sebaliknya bila osmolaritas cairan menurun, vesikel akan
mengembang sehingga impuls yang dilepas dari reseptor akan berkurang.
Impuls ini nantinya merangsang hipofisis posterior melepaskan ADH.
Jadi semakin rendah osmolaritas suatu cairan ekstraseluler, semakin
sedikit ADH yang dilepaskan. ADH berperan untuk menghemat air
dengan meningkatan reabsorbsi.
2. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
Mekanisme pengaturannya melalui pengaturan ekskresi Na pada
urin melalui interaksi antara aktivitas ginjal dengan hormon korteks
adrenal. Lebih dari 95% Na direabsorbsi kembali oleh tubulus ginjal.
Korteks adrenal merupakan faktor utama yang menjaga volume cairan
ekstraseluler melalui hormon Aldosteron terhadap retensi Na. Pelepasan
renin dipengaruhi oleh baroreseptor ginjal. Konsep Makula lutea, yang
tergantung pada perubahan Na di tubulus distalis. Bila Na menurun,
volume tubulus menurun, sehingga mengurangi kontak makula dengan sel
arteriol. Akibatnya terjadi pelepasan renin. Renin akan membentuk
Angiotensin I di hati yang kemudian oleh converting enzim dari paru
diubah menjadi Angiotensin II sebagai vasokonstriktor dan merangsang
kelenjar supra renal menghasilkan aldosteron. Peranan Angiotensin II
adalah untuk mempertahankan tekanan darah bila terjadi penurunan
volume sirkulasi dan Aldosteron akan meningkatkan reabsorbsi Na yang
menyebabkan retensi air.
Kendali Non Osmolar Mekanisme kendali ini meliputi beberapa
cara sebagai berikut:
1. Refleks “Stretch Receptor” Pada dinding atrium jantung terdapat
reseptor stretch apabila terjadi dilatasi atrium kiri. Bila reseptor ini
terangsang, maka akan timbul impuls aferen melalui jalur simpatis
yang akan mencapai hipotalamus. Kemudian akibat aktivitas sistem
hipotalamushipofisis akan disekresikan ADH1.
2. Refleks Baroreseptor Bila tekanan darah berkurang, baroreseptor
karotid akan terangsang sehingga menyebabkan impuls aferen yang
melalui jalur parasimpatis menurun. Akibatnya, terjadi hambatan efek
hipotalamus terhadap hipofisis sehingga sekresi ADH meningkat. Bila
terjadi peningkatan tekanan darah, impuls aferen akan mempengaruhi
hipotalamus yang akan menginhibisi hipofisis posterior sehingga
sekresi ADH berkurang.
D. Komposisi Cairan Tubuh
Telah disampaikan pada pendahuluan di atas bahwa cairan dalam tubuh
meliputi lebih kurang 60% total berat badan laki-laki dewasa. Prosentase
cairan tubuh ini bervariasi antara individu sesuai dengan jenis kelamin dan
umur individu tersebut. Pada wanita dewasa, cairan tubuh meliputi 50% dati
total berat badan. Pada bayi dan anak-anak, prosentase ini relative lebih besar
dibandingkan orang dewasa dan lansia.
Cairan tubuh menempati kompartmen intrasel dan ekstrasel. Dua pertiga
bagian (67%) dari cairan tubuh berada di dalam sel (cairan intrasel/CIS) dan
sepertiganya (33%) berada di luar sel (cairan ekstrasel/ CES). CES dibagi
cairan intravaskuler atau plasma darah yang meliputi 20% CES atau 15% dari
total berat badan, dan cairan intersisial yang mencapai 80% CES atau 5% dari
total berat badan. Selain kedua kompartmen tersebut, ada kompartmen lain
yang ditempati cairan tubuh, yaitu cairan transel. Namun, volumenya
diabaikan karena kecil, yaitu cairan sendi, cairan otak, cairan perikard, liur
pencernaan, dll. Ion Na+ dan Cl- terutama terdapat pada cairan ekstrasel,
sedangkan ion K+ di cairan intrasel.
Anion protein tidak tampak dalam cairan intersisial karena jumlahnya
paling sedikit dibandingkan dengan intrasel dan plasma. Perbedaan komposisi
cairan tubuh berbagai kompartmen terjadi karena adanya barier yang
memisahkan mereka. Membran sel memisahkan cairan intrasel dengan cairan
intersisial, sedangkan dinding kapiler memisahkan cairan intersisial dengan
plasma.
Dalam keadaan normal, terjadi keseimbangan susunan dan volume
cairan dan elektrolit antar kompartmen. Bila terjadi perubahan konsentrasi
atau tekanan di salah satu kompartmen, maka akan terjadi perpindahan cairan
atau ion antar kompartmen sehingga terjadi keseimbangan kembali. Difusi
Partikel (ion atau molekul) suatu substansi yang terlarut selalu bergerak dan
cenderung menyebar dari daerah yang konsentrasinya tinggi ke konsentrasi
yang lebih rendah sehingga konsentrasi substansi partikel tersebut merata.
Perpindahan partikel seperti ini disebut difusi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi laju difusi ditentukan sesuai dengan hukum Fick (Fick’s law
of diffusion). Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Peningkatan perbedaan konsentrasi substansi.
2. Peningkatan permeabilitas.
3. Peningkatan luas permukaan difusi.
4. Berat molekul substansi.
5. Jarak yang ditempuh untuk difusi
E. Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Gangguan keseimbangan elektrolit yang umum yang sering ditemukan
pada kasuskasus di rumah sakit hanyalah beberapa sahaja. Keadaan-keadaan
tersebut adalah: Hiponatremia dan hypernatremia, Hipokalemia dan
hyperkalemia serta Hipokalsemia.
1. Hiponatremia
Hiponatremia selalu mencerminkan retensi air baik dari peningkatan
mutlak dalam jumlah berat badan (total body weight, TBW) atau hilangnya
natrium dalam relatif lebih hilangnya air. Kapasitas normal ginjal untuk
menghasilkan urin encer dengan osmolalitas serendah 40 mOsm / kg (berat
jenis 1,001) memungkinkan mereka untuk mengeluarkan lebih dari 10 L air
gratis per hari jika diperlukan. Karena cadangan yang luar biasa ini,
hiponatremia hampir selalu merupakan efeknya dari akibat kapasitas
pengenceran urin tersebut (osmolalitas urin> 100 mOsm / kg atau spesifik c
gravitasi> 1,003).
Kondisi hiponatremia apabila kadar natrium plasma di bawah
130mEq/L. Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan
mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika
kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma. Antara penyebab
terjadinya Hiponatremia adalah euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik),
hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses,
diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Terapi untuk mengkoreksi
hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan secara perlahan-
lahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif.
Dosis NaCl yang harus diberikan, dihitung melalui rumus berikut:
NaCl = 0,6( N-n) x BB
N = Kadar Na yang diinginkan
n = Kadar Na sekarang
BB = berat badan dalam kg
Tabel gradasi hiponatermia

Gradasi Gejalah Tanda


Ringan ( Na 105- Haus Mukosa kering
118)
Sedang (Na 90-104) Sakit kepala, mual, Takikardi, hipotensi
vertigo
Berat (Na Apatis, koma Hipotermik
Tabel

Hiponatremia sering merupakan manifestasi dari gangguan yang


medasari sebuah penyakit, justeru memerlukan evaluasi pra operatif yang
amat teliti. Konsentrasi natrium plasma lebih besar dari 130 mEq / L
biasanya dianggap aman untuk pasien yang menjalani anestesi umum.
Dalam sebagian besar keadaan, plasma [Na +] harus diperbaiki untuk lebih
dari 130 mEq / L untuk prosedur elektif, tanpa adanya gejala neurologis.
Konsentrasi yang lebih rendah dapat menyebabkan edema serebral
signifikan yang dapat dimanifestasikan secara intraoperatif sebagai
penurunan konsentrasi alveolar minimum atau pasca operasi sebagai agitasi,
kebingungan, atau mengantuk. Pasien yang menjalani reseksi transurethral
dari prostat dapat menyerap jumlah air yang banyak dari cairan irigasi
(sebanyak 20 mL / menit) dan berada pada risiko tinggi untuk
pengembangan cepat yang mendalam keracunan air akut.
Pasien hiponatremia amat sensitif terhadap vasodilatasi dan efek
inotropik negatif dari anestesi uap, propofol, dan agen terkait dengan
pelepasan histamin (morfin, meperidine). Persyaratan dosis untuk obat lain
juga harus dikurangi untuk mengimbangi penurunan volume distribusi.
Pasien hiponatremia sangat sensitif terhadap blokade simpatik dari anestesi
spinal atau epidural. Jika anestesi harus diberikan sebelum koreksi yang
memadai hipovolemia, etomidate atau ketamin mungkin agen induksi
pilihan untuk anestesi umum.
2. Hipernatremia
Hiperosmolalitas terjadi setiap kali total kandungan tubuh terlarut
meningkatkan relatif terhadap TBW dan biasanya, tapi tidak selalu,
berhubungan dengan hipernatremia ([Na +]> 145 mEq / L).
Hiperosmolalitas tanpa hipernatremia dapat dilihat selama hiperglikemia
ditandai atau mengikuti akumulasi zat osmotik aktif normal dalam plasma.
Konsentrasi natrium plasma dapat benar-benar berkurang karena air diambil
dari intraseluler ke kompartemen ekstraseluler. Untuk setiap 100 mg
peningkatan / dL pada konsentrasi glukosa plasma, natrium plasma menurun
sekitar 1,6 mEq / L.
Hipernatremia hampir selalu merupakan hasil dari baik kerugian
relatif air lebih dari natrium (hipotonik cairan rugi) atau retensi dalam
jumlah besar natrium. Bahkan ketika kemampuan berkonsentrasi ginjal
terganggu, haus biasanya sangat efektif dalam mencegah hipernatremia.
Hipernatremia karena itu paling sering terlihat pada pasien lemah yang tidak
dapat minum, sangat tua, yang sangat muda, dan pasien dengan gangguan
kesadaran. Pasien dengan hipernatremia mungkin memiliki konten natrium
tubuh total yang rendah, normal, atau tinggi.
Jika kadar natrium > 150 mg/L maka akan timbul gejala berupa
perubahan mental, letargi, kejang, koma, lemah.3 Manifestasi neurologis
akan mendominasi dahulu pada pasien dengan hipernatremia dan umumnya
diduga hasil dari dehidrasi selular. Gelisah, lesu, dan hyperreflexia dapat
berkembang menjadi kejang, koma, dan akhirnya kematian. Gejala
berkorelasi lebih dekat dengan laju pergerakan air keluar dari sel-sel otak
daripada tingkat absolut hipernatremia. Cepat penurunan volume otak akan
menyebabkan pembuluh darah otak pecah dan mengakibatkan fokus
perdarahan intraserebral atau subarachnoid. Kejang dan kerusakan saraf
serius yang umum, terutama pada anak-anak dengan hipernatremia akut
ketika plasma [Na +] melebihi 158 mEq / L. Hipernatremia kronis biasanya
ditoleransi lebih baik berbanding dengan bentuk akut.
Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (yang
disebabkan oleh diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat
berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium berlebihan. Pengobatan
hipernatremia bertujuan untuk mengembalikan osmolalitas plasma normal
serta mengoreksi penyebab yang mendasari. Defisit air umumnya harus
diperbaiki dalam 48 jam dengan larutan hipotonik seperti 5% dextrose
dalam air. Kelainan pada volume ekstraseluler juga harus diperbaiki.
Namun, koreksi yang cepat dari hipernatremia dapat mengakibatkan kejang,
edema otak, kerusakan saraf permanen, dan bahkan kematian. Justeru
pemberian serial Na + osmolalitas harus diperoleh selama pengobatan.
Secara umum, penurunan konsentrasi natrium plasma tidak harus
melanjutkan pada tingkat yang lebih cepat dari 0,5 mEq / L / jam. Terapi
keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5% dekstrose dalam air
sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140.
Pertimbangan anestesi Hasil kajian mendapatkan hipernatremia akan
meningkatkan konsentrasi alveolar minimum pada anestesi inhalasi pada
hewan percobaan, tetapi signifikasi klinisnya lebih mendekati dengan defisit
cairan yang terkait. Hipovolemia akan lebih terlihat pada setiap vasodilatasi
atau depresi jantung dari agen anestesi dan predisposisi hipotensi dan
hipoperfusi jaringan. Penurunan volume distribusi untuk obat memerlukan
pengurangan dosis untuk sebagian besar agen intravena, sedangkan
penurunan cardiac output meningkatkan penyerapan anestesi inhalasi.
Operasi elektif harus ditunda pada pasien dengan hipernatremia yang
signifikan (> 150 mEq / L) sampai penyebabnya didirikan dan defisit cairan
dikoreksi. Air dan defisit cairan isotonik harus diperbaiki sebelum operasi
elektif.
3. Hipokalemia
Nilai kalium plasma adalah 3,5-4,5 mEq/L. Disebut hipokalemia
apabila kadar kalium <3,5 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut
kalium dari cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis
kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejalah hipoklemia dapat berupa
distrimik jantung, perubahan EKG (QRS segmen melebar, ST segmen
depresi, hipotensi pastural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi
glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi
( aklasosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium klorida sampai
10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia > 2 mEq/L) atau infus potasium
klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk
hipoklemia berat <2mEq/L disertai perubahan EKG, dan kelemahan otot
yang hebat.
Rumus untuk menghitung defisit kalium:
K = K1 - (K0 x 0,25 x BB)
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)
Pertimbangan anestesi
Hipokalemia merupakan temuan pra operasi umum. Keputusan
untuk melanjutkan dengan operasi elektif sering didasarkan pada plasma
lebih rendah [K +] antara 3 dan 3,5 mEq / L. Keputusan, bagaimanapun,
juga harus didasarkan pada tingkat perkemkembangan hipokalemia serta ada
atau tidak adanya disfungsi organ sekunder. Secara umum, hipokalemia
ringan kronis (3-3,5 mEq / L) tanpa perubahan EKG tidak meningkatkan
risiko anestesi. Namun ini mungkin tidak berlaku untuk pasien yang
menerima digoksin, yang mungkin mempunyai peningkatan risiko
mengembangkan lagi toksisitas digoxin dari hipokalemia tersebut. Maka
nilai plasma [K +] di atas 4 mEq / L yang diinginkan pada pasien tersebut.
Manajemen intraoperatif hipokalemia membutuhkan pemantauan
EKG yang teliti dan berwaspada. Kalium intravena harus diberikan jika
atrium atau ventrikel aritmia terjadi. Solusi intravena glukosa bebas harus
digunakan dan hiperventilasi harus dihindari untuk mencegah penurunan
lebih lanjut dalam plasma [K +].
Peningkatan sensitivitas terhadap blocker neuromuskuler (NMBS) akan
dapat dilihat pada status hipokalemia, oleh karena itu dosis NMBS harus
dikurangi 25-50%, dan stimulator saraf harus digunakan untuk mengikuti
tingkat kelumpuhan dan kecukupan reversinya.
4. Hiperkalemia
Kalium (K+) memainkan peran utama dalam elektrofisiologi dari
membran sel serta karbohidrat dan protein sintesis. Potensial membran sel
istirahat biasanya tergantung pada rasio intraseluler dan ekstraseluler
konsentrasi kalium. Konsentrasi kalium intraseluler diperkirakan 140 mEq /
L, sedangkan konsentrasi kalium ekstraseluler biasanya sekitar 4 mEq / L.
Dalam beberapa kondisi, redistribusi K+ antara cairan ekstraselular dan
kompartemen cairan intraselular dapat mengakibatkan perubahan yang
nyata dalam ekstraseluler K+ tanpa perubahan total konten kalium tubuh.
Hiperkalemia adalah jika kadar kalium > 5 mEq/L. Hiperkalemia sering
terjadi karena insufisiensi renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium
(NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya
terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan
sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Efek paling penting dari
hiperkalemia berada di otot rangka dan jantung. Kelemahan otot rangka
pada umumnya tidak terlihat sampai plasma [K +] lebih besar dari 8 mEq /
L, dan karena depolarisasi berkelanjutan spontan dan inaktivasi kanal Na +
membran otot, akhirnya mengakibatkan kelumpuhan.
Perubahan EKG berlaku secara berurutan dari simetris memuncak
gelombang T (sering dengan interval QT memendek) → pelebaran
kompleks QRS → perpanjangan interval P-R → hilangnya gelombang P →
hilangnya amplitudo R-gelombang → depresi segmen ST (kadang-kadang
elevasi) → EKG yang menyerupai gelombang sinus, sebelum
perkembangan fibrilasi ventrikel dan detak jantung. Kontraktilitas dapat
relatif baik dipertahankan sampai akhir dalam perjalanan hiperkalemia
progresif. Hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis menonjolkan efek
jantung hiperkalemia.
Kadar K plasma Gambaran EKG
5,5-6 mEq/L Gelombang T tinggi
6-7 mEq/L P-R memanjang dan QRS
melebar Pertim
7-8 mEq/L P mengecil & takikardi
bangan
ventrikel
>8 mEq/L Fibrilasi ventrikel
Anestesi
Operasi elektif sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan
hiperkalemia signifikan. Manajemen anestesi pasien bedah hiperkalemia
diarahkan pada menurunkan konsentrasi kalium plasma dan mencegah
kenaikan lebih lanjut. EKG harus hati-hati dipantau. Suksinilkolin
merupakan kontraindikasi, seperti penggunaan setiap solusi intravena yang
menagndungi kalium seperti injeksi Ringer laktat.
Menghindari asidosis metabolik atau respiratorik sangat penting untuk
mencegah kenaikan lebih lanjut dalam plasma [K +]. Ventilasi harus
dikontrol dengan anestesi umum, dan hiperventilasi ringan mungkin
diinginkan. Terakhir, fungsi neuromuskular harus dipantau secara ketat,
karena hiperkalemia dapat menonjolkan efek NMBS.
5. Hipokalsemia
Meskipun 98% dari total kalsium tubuh dalam tulang, pemeliharaan
konsentrasi kalsium ekstraseluler normal adalah penting untuk homeostasis.
Ion kalsium terlibat dalam fungsi biologis hampir semua penting, termasuk
kontraksi otot, pelepasan neurotransmitter dan hormon, pembekuan darah,
dan metabolisme tulang, dan kelainan pada keseimbangan kalsium dapat
mengakibatkan derangements fisiologis yang mendalam.
Asupan kalsium pada orang dewasa rata-rata 600-800 mg / d.
Penyerapan kalsium terjadi di usus terutama di usus kecil proksimal tetapi
adalah variabel. Kalsium juga disekresi ke dalam saluran usus, dimana
sekresi ini tampaknya konstan dan independen dari penyerapan. Hingga
80% dari asupan kalsium harian biasanya hilang dalam feses. Ginjal
bertanggung jawab untuk sebagian besar ekskresi kalsium.
Rata-rata ekskresi kalsium ginjal 100 mg / d namun dapat bervariasi
dari serendah 50 mg / d ke lebih dari 300 mg / d. Biasanya, 98% dari
kalsium disaring dan diserap kembali. Reabsorpsi kalsium paralel dengan
natrium dalam tubulus ginjal proksimal dan loop menaik Henle. Di tubulus
distal, bagaimanapun, reabsorpsi kalsium tergantung pada hormon paratiroid
(PTH) sekresi, sedangkan reabsorpsi natrium tergantung pada sekresi
aldosteron. tingkat PTH meningkat meningkatkan reabsorpsi kalsium distal
dan dengan demikian menurunkan ekskresi kalsium urin. 90% kalsium
terikat dalam albumin, sehingga kondisi hipokalsemia biasanya terjadi pada
pasien dengan hipoalbuminemia. Hipokalsemia disebabkan karena
hipoparatiroidism, kongenital, idiopatik, defisiensi vit D, defisiensi
125(OH)2D3 pada gagal ginjal kronik, dan hiperfosfatemia.3 Manifestasi
dari hipokalsemia termasuk kulit kering, parestesia, gelisah dan
kebingungan, gangguan irama jantung, laring stridor (spasme laring), tetani
dengan spasme karpopedal (tanda Trousseau), masseter spasme (Tanda
Chvostek), dan kejang. kolik bilier dan bronkospasme. 1,3 EKG dapat
mengungkapkan irritasi jantung atau interval QT perpanjangan yang
mungkin tidak berkorelasi antara tingkat keparahan dengan tingkat
hipokalsemia. Penurunan kontraktilitas jantung dapat mengakibatkan gagal
jantung, hipotensi, atau keduanya. Penurunan respon terhadap digoxin dan
β-adrenergik agonis juga dapat terjadi.
Seperti yang diketahui, hipokalsemia adalah suatu kondisi yang gawat
darurat karena menyebabkan kejang umum dan henti jantung. Dapat
diberikan 20-30 ml preparat kalsium glukonas 10% atau CaCl 10% dapat
diulang 30-60 menit kemudian sampai tercapai kadar kalsium plasma yang
optimal. Pada kasus kronik, dapat dilanjutkan dengan terapi per oral.
Pertimbangan anestesi
Hipokalsemia yang signifikan harus diperbaiki sebelum operasi. Kadar
kalsium terionisasi harus dipantau intraoperatif pada pasien dengan riwayat
hipokalsemia. Alkalosis harus dihindari untuk mencegah penurunan lebih
lanjut dalam Ca 2+. Kalsium intravena mungkin diperlukan seiring transfusi
darah sitrat atau pada solusi albumin dengan jumlah besar. Potensiasi efek
inotropik negatif dari barbiturat dan anestesi volatile harus diintipasi.
Respon untuk NMBS adalah tidak konsisten dan memerlukan pemantauan
ketat dengan stimulator saraf.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku G, Senapathi TGA. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam
Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks; 2010. 6 (5) :
h.272 – 98.
2. Hahn RG. Crystalloid Fluids. Dalam Clinical Fluid Therapy in the
Perioperative Setting. Cambridge: Cambridge University Press. 2012; 1 :
h. 1 – 10.
3. Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shafer S. Intravenous Fluids and
Electrolytes. Dalam Handbook of Pharmacology and Physiology in
Anesthetic Practice 3rd ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health. 2015
4. Miller RD. 2015. Miller’s Anesthesia. 8th Edition. Philadelphia, PA:
Elsevier Saunders.
5. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD.Management of Patients with
Fluid and Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology 5th ed. New York: Mc-Graw Hill. 2013
6. Voldby AW, Branstrup B. Fluid Therapy in the Perioperative Setting.
Journal of Intensive Care. 2016; 4 : h.27 – 39.
7. Hines RL, Marschall KE. Fluid, Electrolytes, and Acid-Base Disorders.
Dalam Handbook for Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease 4th
ed. Philadelphia: Elsevier Inc. 2013; 18: h.216 – 230.
8. Nanda International. 2012. Diagnosa Keperawatan : Defenisi dan
Klasifikasi 2012-2014 Edisi 10. Jakarta: EGC
9. Sodikin. 2011. Keperawatan Anak: Gangguan Pencernaan. Jakarta: EGC.
10. Tarwonto & Wartonah. 2010. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai