Anda di halaman 1dari 14

A.

Latar Belakang Masalah

Istilah ‘pluralisme’ yang berarti ‘beragam’, pendapat orang tentang istilah ini

juga beraneka ragam pula. Secara harfiah pluralisme berarti jamak, beberapa, berbagai

hal, keberbagaian atau banyak. Oleh karenanya sesuatu dikatakan plural pasti terdiri

dari banyak hal; jenis, berbagai sudut pandang serta latar belakang. 1

Dengan kata Pluralisme adalah gagasan atau pandangan yang mengakui

adanya hal-hal yang bersifat banyak dan berbeda-beda (heterogen) di suatu komunitas

masyarakat.2

Istilah pluralisme sendiri sesungguhnya adalah istilah lama yang hari-hari ini

kian mendapatkan perhatian penuh dari semua orang. Dikatakan istilah lama karena

perbincangan mengenai pluralitas telah dielaborasi secara lebih jauh oleh para pemikir

filsafat Yunani secara konseptual dengan aneka ragam alternatif memecahkannya.

Para pemikir tersebut mendefinisikan pluralitas secara berbeda-beda lengkap dengan

beragam tawaran solusi menghadapi pluralitas. Permenides menawarkan solusi yang

berbeda dengan Heraklitos, begitu pula pendapat Plato tidak sama dengan apa yang

dikemu-kakan Aristoteles.3 Hal itu berarti bahwa isu pluralitas sebenarnya setua usia

manusia.

Dalam kehidupan praktis sehari-hari, umat manusia telah menjalani kehidupan

yang pluralistik secara alamiah dan wajar-wajar saja. Kehidupan mengalir apa adanya

tanpa ada prasangka dan perhitungan lain yang lebih rumit. Persoalan menyeruak
1
Syafa’atun Elmirzanah, et. al., Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar
Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 7.
2
Lorens Bagus, Kamus Filasafat, Gramedia, Jakarta, 2000, hal. 853
3
Perbincangan pluralisme menurut Amin Abdullah sesungguhnya tak lebih seperti put a new
wine in the old bottle (memasukkan minuman anggur baru dalam kemasan lama). Baca M. Amin
Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer, Bandung: Mizan,
2000), 68.
ketika berbagai kepentingan dan pertimbangan tadi menempel dalam pola interaksi

antar manusia. Apalagi jika kepentingan yang disebut di atas lebih menonjol, maka

gesekan dan konflik adalah sesuatu yang tak terelakkan.

Demikian juga dalam menyikapi pluralisme beragama, Alwi Shihab memberi

gabaran cukup baik dalam mengartikulasikan pluralisme agama. Menurutnya,

“Pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui

keberadaan dan hak orang lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan

dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan”. Hal ini senada

dengan pernyataan Adhyaksa Dault bahwa pluralitas di satu segi dipandang sebagai

sesuatu yang dengan mudah diikat dalam selogan Bhinneka Tuggal Ika. 4Melalui pe-

mahaman tentang pluralisme yang benar dengan diikuti upaya mewujudkan kehidupan

yang damai seperti inilah akan tercipta toleransi antar umat beragama.

Toleransi yang sesungguhnya, yang mengajak setiap umat beragama untuk

jujur mengakui dan mengekspresikan keberagamaannya tanpa ditutup-tutupi. Dengan

demikian identitas masing-masing umat beragama tidak tereliminasi, bahkan masing-

masing agama dengan bebas dapat mengembangkannya. Inilah toleransi yang dulu

pernah dianjurkan oleh Kuntowijoyo.5

Jika Pluralitas telah menjadi kenyataan dalam kehidupan masyarakat

(Pluralistic Societi), maka kebutuhan yang segera muncul mukan meredam dan

menyembunyikan pluralitas yang ada, atau memaksanya agar menghablur, melainkan

member ruang terbuka agar berbagai perbedaan tersebut muncul kepermukaan,

4
Adhiyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks
Nasional, (Jakarta: Pustaka Alkausar, 2005), hal. 88
5
Bachtiar Effendi, “Menyoal Pluralisme di Indonesia” dalam Living Together in Plural
Societies; Pengalaman Indonesia Inggris, ed. Raja Juli Antoni (Yogyakarta: Pustaka Perlajar, 2002),
239-249.
berkelindan dan berdialektika secara wajar.6 Pengabaian hak-hak minoritas oleh

kelompok mayoritas adalah kecenderungan arogan yang dapat memunculkan konflik

dan pertentangan peradaban.7 Pernyataan ini memiliki implikasi strategis dalam

mencermati realitas kebijakan komunitas dalam sebuah negara. Negara Muslim pada

umumnya menunjukkan sikap toleransi yang cukup baik dibandingkan dengan negara

Kristen Barat. Adalah sangat signifikan jika dihadapkan betapa sikap masyarakat Islam

terhadap penganut Yahudi, dengan perlakuan Kristen Eropa terhadap minoritas Yahudi

selama berabad-abad.8 Karena itu, persoalan yang penting didiskusikan kembali adalah

posisi minoritas non-muslim ditengah-tengah mayoritas muslim.

Berkaitan dengan itu belakangan ini sering dibicarakan bagaimana "nasib"

masyarakat non-muslim di Aceh ketika diberlakukannya penerapan syariat Islam.9

Secara de facto masyarakat Aceh adalah masyarakat yang sosio-kulturalnya

mencerminkan ruh yang Islam. Akan tetapi, ketika ada 'kebijakan politik' penegakkan

syariat Islam secara luas diberikan kewenangan bagi masyarakat Aceh, sehingga telah

memunculkan harapan dan tantangan yang amat varian, salah satunya adalah sering

orang mempertanyakan "Bagaimana non-muslim ?". Meskipun demikian, semua pihak

diharapkan berkenan mengevaluasi kembali kepada berbagai pemikiran dan data sejarah

yang diwarisi oleh masyarakat Islam. Konsekuensi ini akan memberi arti serta solusi terhadap

problematika tersebut.

Namun tanpa berlebihan dan tidak cenderung emosional, dapat ditegaskan bahwa

penegakan syariat Islam di Aceh adalah sangat didukung oleh sosio-kultural


6
Samoel Koto, Pluralitas dan Demokrasi, Makalah Diskusi Mingguan INDEMO, Jakarta
2002
7
Hasan Hanafi, pemikiran muslim kontemporer, tesis tersebut diperoleh ketika penulis aktif
sebagai peserta acara International Conference on Word Peace di IAIN Alauddin Makassar.
8
Ann Elizabeth Mayer. Islam and Human Righ: Tradition and Politics (London: Pinter
Publisher), 1991, hal. 148.
9
UU Nomor 44 tahun 1999 dan Perda Nomor 5 tahun 2000 adalah ketentuan yang
menegaskan diberlakukannya penegakan syariat Islam di Aceh.
masyarakat Aceh yang memang Islami ditambah lagi dengan keputusan 'politik'

pemerintah yang telah memberikan payung hokum (kewenangan) untuk itu.

Di dalam penegakan syariat, masyarakat muslim harus kembali kepada nilai syariat

itu sendiri yang berpola untuk mendatangkan kemaslahatan kehidupan manusia. Dalam

berinteraski antara manusia adalah dinilai sama, tidak ada perbedaan di antara manusia

itu kecuali ketakwaannya. Karena itu, posisi non-muslim dalam tataran normatif keislaman

adalah jelas dan tidak perlu dikhawatirkan di dalam prilaku kehidupan mayoritas Muslim,

apalagi dalam aspek interaksi bermuamalah. Sebab aspek agama (keyakinan) telah banyak

ilmuan membicarakan dan mengkaji serta membatasi kecenderungan yang menyangkut

bidang aqidah

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok

permasalahan dan dicari penyelesaiannya sebagai berikut:

1. Bagaimana pluralisme beragama dalam sudut pandang Islam?

2. Bagaimana masyarakat Aceh memposisikan kelompok non-muslim dalam

kerangka pelaksanaan syari’at Islam?

3. Bagaimana solusi yang diberikan Masyarakat Aceh apabila non-muslim

melanggar aturan-aturan yang diterapkan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan

1. Untuk mengetahui pluralisme beragama dalam sudut pandang Islam.


2. Untuk mengetahui masyarakat Aceh memposisikan kelompok non-muslim dalam

kerangka pelaksanaan syari’at Islam.

3. Untuk mengetahui solusi yang diberikan Masyarakat Aceh apabila non-muslim

melanggar aturan-aturan yang diterapkan.

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah:

a. Diharapkan berguna untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan,

khususnya Pluralisme agama dalam lingkungan syariat di Nanggroe Aceh

Darussalam.

b. Untuk mengetahui bagaimana masyarakat Aceh memposisikan kelompok non-

muslim dalam kerangka pelaksanaan syariat Islam.

c. Untuk mengetahui solusi yang diberikan masyarakat Aceh bila non- muslim

melanggar aturan yang telah ditetapkan..

D. Kerangka Teoritis

Allah Swt, telah menegaskan bahwa Dia telah menunjukkan dua jalan kepada

manusia, yaitu jalan yang benar itu adalah Islam dan jalan yang tidak benar adalah

pengingkaran (kufr) terhadap Islam. Dengan potensi akal yang dimiliki manusia, ia

diberika kebebasan untuk kemudian menerima Islam atau menolaknya.10 Tetapi,

bagaimanapun juga dalam penghayatan agama, potensi akal menjadi strategis, karena

memang, “Agama itu adalah (menuntut) akal, dan tidak ada agama bagi orang yang

tidak berakal”, demikian rasulullah Saw, bersabda.

Dengan fitrah dan potensi akal, manusia akan bisa memilih jalan hidupnya

sendiri. Nabi Muhammad telah berhasil gemilang merealisasikan secara baik pesan al-
10
Lihat surat al-Balad: 10, al-Insan: 3, al-Kahf: 29.
Quran. Konstitusi Madinah adalah bukti kongkrit, misalnya secara tegas digariskan

bahwa kaum non-muslim dibenarkan hidup secara bersama dibawah kepemimpinan

nabi.11 Kalaupun ada pembicaraan, bahwa nabi Saw pernah bertindak tegas terhadap

kaum yahudi, sikap itu semata bukanlah ditunjukkan karena perbedaan agama

(minoritas non-muslim) tetapi karena kegagalan mereka mentaati kekuasaan politik

yang ada di tangan Nabi. Lain halnya, ketika beliau pergi ke Thaif yang diterima

secara tidak bersahabat oleh penduduk disana, beliau hanya berucap: “Saya hanya

mengajak anda sekalian kepada kebenaran, jika anda tidak ingin mendengarkan, ya

tidak apa-apa”.

Penjabaran dari syariat Islam dalam realitas sejarahnya, menyangkut

kebebasan beragama adalah sangat diperhatikan dan bahkan menjadi sesuatu yang

problematik dalam “kajian keagamaan” setelah tampilnya konsep zimmi.12 Term ini

mendapat bahasan yang serius dalam literature keagamaan dalam tataran konsep

Negara dan masyarakat dalam islam, atau lebih dikenal dengan bahasan al-Fiqh al-

Siyasah.

Memang terdapat klaim bahwa konsep zimmi itu bersifat diskriminatif yang sangat

menyedihkan yang harus diderita oleh kalangan zimmi. Dalam konteks sejarahnya, tradisi

zimmi yang muncul di tengah kaum muslim itu adalah produk modifikasi tradisi Arab

yang dikenal dengan jiwar, yaitu tradisi memberi-kan perlindungan kepada pihak asing.

Diakui atau tidak, terdapat oknum penguasa muslim yang bertindak diskriminatif

terhadap kalangan zimmi. Seperti kebijakan al-Mutawakkil (W. 481 M) memberikan

11
W. Montgomery Watt. Islamic Political Thought (Edinburg: University Press), hal. 130-
134.
12
Zimmi, zimmah mengandung arti “suatu perjanjian” yang menyatakan pihak muslim setuju
untuk menghargai pihak non-muslim dan pelanggaran terhadapnya dikenal zam (dicela). Dalam konteks
hokum, istilah zimmah menunjuk kepada status tertentu yang dengannya seseorang akan mendapatkan
hak tertentu yang dijamin oleh Negara.
batasan pakaian yang boleh dipakai atau tidak boleh dipakai dan hal lainnya. Terhadap

hal ini adalah lumrah, kalaupun ini disebut penyimpangan yang dilakukan oknum

penguasa muslim, saya pikir masih dalam batas kewajaran, fenomena seperti ini kapan dan

dimana saja pun dapat terjadi.

Masyarakat Islam harus realistis, al-Quran telah memberikan penegasan

tentang diperlukannya sikap toleransi yang harus ditunjukkan oleh penguasa dan

masyarakat muslim terhadap kelompok minoritas non-muslim. Banyak kalangan di

negara Islam atau mayoritas muslim yang memperhatikan ini, yaitu memberikan

penganut agama dan kepercayaan lain kebebasan hidup damai di tengah kaum muslim

dan kesempatan yang seluas-luasnya untukberpartisipasi dalam aneka kegiatan, sepanjang

tidak menyangkut penyelenggaraan ibadah.

Lain halnya dengan kondisi minoritas-muslim di tengah-tengah non-muslim

terdapat fenomena yang menarik perhatian. Sepertinya menunjukkan situasi yang

berbeda, adalah sulit untuk menemukan orang-orang Islam yang mengemban posisi

strategis di negara-negara yang mayoritas non-muslim. Bahkan, posisi muslim senantiasa

ditempatkan dalam ‘bahaya’, dapat dilihat pada kaum muslim moro di Fillipina dan muslim

India.

Kelompok minoritas non-muslim massive dipersoalkan ketika dihadapkan pada

realitas ia berada di tengah-tengah masyarakart muslim. Semangat deklarasi HAM yang

menjadi acuan PBB telah memposisikan kelompok minoritas non-muslim di tengah kaum

muslim muncul sebagai masalah. Perbedaan agama tidak menjadi cukup alasan untuk

memberikan per-lakuan yang berbeda kepada satu individu dengan individu lain dalam

hal-hal yang sangat mendasar.13 Bagaimanapun juga, diskriminasi atas dasar agama telah
13
Diantara teks deklarasi HAM berbunyi: “Setiap individu mendapat hak dan kebebasan yang
sama terhadap hal-hal yang telah ditetapkan dalam deklarasi ini tanpa mengenal perbedaan suku,
warna kulit, seks, bahasa, agama, politik, nasionalisme, kekayaan, kelahiran, dan status lainnya”.
menjadi salah satu sumber konflik, bahkan perang antar sesama manusia. Tidak meng-

herankan jika AN. Wilson mengemukan bahwa "Relegion is the tragedy of mankind"

Pada dasarnya, pemikiran seperti itu adalah wujud ke-khawatiran bahwa jika

Islam, realitasnya menjadi salah satu kekuatan di dunia, berkuasa ia tidak akan

memberikan peluang hidup yang layak kepada minoritas non-muslim. Apalagi di-

perburuk oleh kenyataan adanya gerakan yang diklaim sebagai fundamentalisme atau

muslim militan yang ter-'lanjur' divonis bersemangat untuk menghancurkan agama lain.

Lain halnya, dengan kenyataan historis Islam yang didiskripsikan sebagai the relegion

of sword yang dikait-kaitkan dengan term dar al-harb dan dar al-Islam. Mungkin saja,

fenonema keagamaan hari ini akan menimbul-kan semakin luasnya kekhawatiran non-

muslim, penegakan syariat Islam dilihat sebagai sesuatu yang menakutkan, ke-kejaman

dan ketidakadilan. Prinsip ini tidak semestinya terjadi, karena kekhawatiran itu adalah

tidak berdasar. Kita perlu melihat kembali kemasan normatif kelslaman dan bagaimana

realisasinya dalam perjalanan sejarah.

E. Tela’ah Kepustakaan

Sejauh pemahaman peneliti, masalah pluralisme beragama dalam wilayah

syari’at belum ada yang membahas dan meneliti secara spesifik. Namun beberapa

intelektual dalam menuliskan tentang flural dalam aspek yang berbeda. Seperti

Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik: Refleksi tiologi

Untuk Aksi Dalam Keberagamaan dan Pendidikan, mengupas tentang agama sebagai

tema yang paling penting sehingga terkesan demikian besar terlebih dalm era

postmodent dan masalah yang bersifat keagamaan sehingga berpengaruh sekali

terhadap proses terhadap perkembangan manusia, terutama dalam aspek humanistik,

moral, etika dan estetika. Kemudian Anis Malik Thoha, dalam bukunya Tren
Pluralisme: Tinjauan Kritis, mengatakan bahwa tren-tren pluralism agama secara

umum dapat diklarifikasi kedalam empat katagori; Humanisme Sekuler, Teologi

Global, Sinkritisme dan Hikmah Abadi. Sedangkan Syamsul Rijal, Kelompok

Minoritas dalam Realitas Syariat Islam di Aceh, dalam syariat di Wilayah Syariat

mengungkapkan posisi kelompok lain yang minoritas dalam kontek penegakan syariat

Islam yang bersifat ketentraman publik yang diatur secara sistematis tidak hanya

sebatas normative tetapi juga realistik.

Imam Sukardi Dkk, Pilar Islam bagi Pluralisme Modern, 2003 Menelusuru

aspek agama sebagai perspektif dalam menilai dan memandang sesuatu yang sarat

dengan muatan moral sehingga identitas keagamaan adalah sebagai sebuah pespektif

yang dapat menetukan cara pandang seseorang, disamping itu ia mengutip pendapat

Kaarl marx mengatakan bahwa agama adalah candu dan pendapat Carnap berpendapat

tuhan adalah sesuatu yang tidak bermakna, dalam hal itu Imam Sukardi dan kawan-

kawan menghubungkannya dengan moralitas; berkaralistik sama atau saling

bertentangan.

Sysamsul Rijal, Kelompok Minoritas dalam Realitas Syariat Islam di Aceh,

dalam Syariat Diwilayah Syariat, 2002, mengupas dalam konteks penegakan syariat

Islam yang bersifat ketentraman publik. Diperlukan pengaturan mekanisme yang

sistematis sesuai semangat hidup terkini, tidak hanya sebatas normative tetapi juga

bersifat realistis sehingga syariat Islam di Aceh menjadi potret kehidupan masyarakat

muslim di era modern.

F. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Kota Lhokseumawe, mengingat kota

Lhokseumawe merupakan kota plural dan terdapat beragam keyakinan (agama),

sehingga sangat layak untuk melaksanakan penelitian.

2. Populasi dan Sample

Populasi dalam penelitian ini adalah pengurus Majelis Permusyawaratan

Ulama (MPU) di tiga Kecamatan Kota Lhokseumawe; yaitu Kecamatan Banda Sakti,

Muara Dua, dan Muara Satu. Sedangkan sample dipilih secara purposive atau sample

tujuan (beberapa pengurus inti), dengan pertimbangan bahwa mengingat waktu dan

jadwal yang sangat singkat serta tenaga dan dana yang terbatas, sehingga tidak

memungkinkan untuk mengambil sample yang lebih banyak dan luas.

3. Data Penelitian

Jenis data yang dikumpulkan menurut sifat data adalah data kualitatif. Cara

memperoleh data adalah dengan mengumpulkan data primer dan sekunder. Data

primer dikumpulkan adalah diperoleh langsung dari responden, artinya pengumpulan

data peneliti menggunakan metode wawancara. Sedangkan data sekunder yang

dikumpulkan bersumber pada dokumen adalah yang terdapat dalam buku-buku dan

media cetak yang berhubungan dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini.

Sedangkan alat (instrument) pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian

ini adalah pedoman wawancara, alat perekam suara dan alat perekam gambar.

4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data dikumpulkan dari lapangan dengan lengkap, tahap berikutnya

adalah mengolah data. Teknik mengolah data dilakukan dengan; editing, coding, dan
display. Sedangkan analisis data peneliti mengunakan metode kualitatif. Metode ini

digunakan untuk analisis deskriptif terhadap variable penelitian dengan memberikan

standar jawaban, yang selanjutnya dikategorikan ke dalam tingkat masing-masing.

Sesuai analitis diskriptif tersebut, peneliti menggunakan dua pendekatan sebagai dasar

analisis, yaitu: pendekatan sosio-historik.14 dan content analysis.15

G. Daftar Pustaka

Adhiyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam


Konteks Nasional, (Jakarta: Pustaka Alkausar), 2005

14
Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi Dilengkapi Contoh Analisis Statistik,
Cet. V, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 21
15
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Edisi III, Cet. VII, (Yogyakarta: Reka
Sarasin, 1996), hlm. 49
Ann Elizabeth Mayer. Islam and Human Righ: Tradition and Politics (London: Pinter
Publisher), 1991

Bachtiar Effendi, “Menyoal Pluralisme di Indonesia” dalam Living Together in Plural


Societies; Pengalaman Indonesia Inggris, ed. Raja Juli Antoni Yogyakarta:
Pustaka Perlajar, 2002

Hasan Hanafi, pemikiran muslim kontemporer, tesis tersebut diperoleh ketika penulis
aktif sebagai peserta acara International Conference on Word Peace di IAIN
Alauddin Makassar.

Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi Dilengkapi Contoh Analisis


Statistik, Cet. V, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997

Lorens Bagus, Kamus Filasafat, Gramedia, Jakarta, 2000

M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Islam


Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Edisi III, Cet. VII, Yogyakarta:
Reka Sarasin, 1996

Syafa’atun Elmirzanah, et. al., Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi Bersama
Antar Iman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

Samoel Koto, Pluralitas dan Demokrasi, Makalah Diskusi Mingguan INDEMO,


Jakarta 2002

UU Nomor 44 tahun 1999 dan Perda Nomor 5 tahun 2000

W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought Edinburg: University

Proposal Penelitian
ISLAM DAN PLURALISME
(Tinjauan Hubungan dan Kerjasama Komunitas Muslim
dan Kelompok Civil Society di Kota Lhokseumawe)

Usulan Penelitian Tesis

Oleh:

ZAMRI, S. Sos.I
Nim. 09 Komi 1710

I A I N
S U M ATE A
R U TA RA
M E D A N

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SUMATERA UTARA

2011

OUT LINE
Kata Pengantar
Abstrak
Daftar Isi

BAB SATU : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah …………………………………. 1


B. Rumusan Masalah .......…………………………………… 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………... 4
D. Kerangka Teoritis ................................................................ 5
E. Tela’ah Kepustakaan ……………………………………... 8
F. Metode Penelitian ……..………………………………….. 9
G. Daftar Pustaka.................. ………………………………… 10
H. Jadwal Penelitian .................................................................. 11

BAB DUA : KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
B. Hasil Penelitian
C. Kerangka Berfikir dan Hipotesis

BAB TIGA : PELAKSANAAN PENELITIAN

A. Perencanaan Penelitian
B. Pelaksanaan Penelitian
C. Observasi dan Anaslisis

BAB EMPAT: HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
B. Pembagian Hasil

BAB LIMA : PENUTUP

A. Kesimpulan

Lampiran-Lampiran

Anda mungkin juga menyukai