Anda di halaman 1dari 16

NAMA :MAISi

Nim. :200104082

MK. :Usul fikih

RESUME MAKALAH 9

KAIDAH USHULIYAH

1.pengertian ushuliyah

Ushul Fiqh berasal dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk jamak dari Ashal dan kata fiqh.Ashal secara
etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi Ataupun Bukan”.3Sedangkan
secara terminologi, kata ashal mempunyai beberapa Pengertian sebagai Berikut:

Pertama : Dalil (landasan hukum), seperti pernyataan para Ulama ushul fiqh bahwa ashl dari

Wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT Dan Sunnah Rasul.

Kedua : Qaidah (dasar, fondasi), yaitu dasar atau fondasi sesuatu, Seperti sabda Nabi

Muhammad SAW : ”Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau Fondasi)”.

Ketiga : Rajih (yang terkuat), yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para Ahli ushul fiqih

: ”Yang terkuat dari (isi/kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.

Keempat : Far’un ( cabang), seperti perkataan ulama ushul : ”Anak adalah cabang dari Ayah”

(Abu Hamid Al-Ghazali). Kelima : Mustashab (memberlakukan hukum yang ada

Berdasarkan penjelasan mengenai definisi di atas, kaidah ushuliyah dapat Dipahami Sebagai kaidah
atau metode atau pendekatan atau teori yang ditempuh Mujtahid dalam Menggali hukum syara‟
agar tidak terjadi kesalahan dalam Penggaliannya. Dengan kata lain, Kaidah ushuliyah merupakan
instrumen penting Untuk memelihara keadilan dan kemaslahatan Masyarakat setiap masa.

2. Ruang Lingkup Qawaidul Ushuliyah

a. Amar dan Nahi


Amar adalah tuntutan melakukan pekerjaan dari orang yang derajatnya lebih tinggi Kepada
Orang yang derajatnya lebih rendah.4Nahi adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan
dari orang yang lebih tinggi Derajatnya Kepada yang rendah.
b. ‘Am (umum) dan Khas (khusus)
‘Am adalah lafal yang menujukan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan ( Afrad)
Yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tertentu.Menurut jumhur ulama, ‘am
Dibangun dari khas. Oleh karena itu khas lebih kuat dari ‘am. Maka ‘am dapat digugurkan
Ketika ditemukan khas. Sedangka khas tidak dapat Digugurkan dengan adanya ‘am.
c. Mutlaq dan Muqoyyad
Mutlaq adalah suatu lafadz tertentu yang tidak terikat oleh batasan lafadz yang Mengurangi
Keumumannya.Muqayyad adalah lafadz tetentu yang dibataasi oleh batasan lafadz lain yang
Mengurangi keumumannya.
d. Mantuq (yang tersurat) dan Mafhum (yang tersirat)
Mantuq adalah lafal yang kandungan hukumnya tersurat di dalam apa yang
diucakan.MafhumAdalah lafal yang kandungan hukumnya ada dibalik arti mantuq.Mafhum
terbagi dua : Mafhum muwafaqoh yaitu menetapkan hukum dari maknanya yang sejalan
atau Sepadan dengan makna yang tersurat. Mafhum Mukhalafah adalah menetapkan
hukum kebalikan dari hukum mantuqnya.
e. Mujmal dan Mubayyan
Mujmal adalah lafal yang mencakup kemungkinan segala keadaan dan hukum yang
Terkandung di dalam lafal tersebut. Ia bersifat global dan menyeluruh
sehingaMembingungkan dan tidak dapat diketahui secara jelas maksudnya tanpa danya
Mubayyan (penjelas).

F.Muradif (sinonim) dan Musytarak (homonim)

Muradif adalah dua kata atau lebih, satu arti. Contohnya : Qur’an adalah mukjizat, Baik dari
Sudut lafazd maupun maknanya , karena itu tidak diperbolehkan Mengubahnya. Lafadz
musytarak adalah satu lafadz yang mempunyai dua arti atau lebih dengan Kegunaan Yang
banyak yang dapat menunjukkan artinya secara gantian.
f. Zahir dan Takwil
Zahir adalah lafal yang menunjukan arti secara langsung dari nas itu sendiri, tanpa
Memerlukan qarinah (penyerta) lain yang dating dari luar untuk memahami Maksudnmya.
Oleh karenanya lafad zahir tidak memungkinkan adanya takhshis, Takwil, dan
naskh.TakwilAdalah memalingkan arti zahir kepada makna lain yang memungkinkan
Berdasarkan dalil / Bukti.
g. Nasakh dalam Nas
Naskh adalah membatalkan pelaksanaan hukum dengan hukum yang datang Kemudian.

3. Fungsi Kaidah Ushuliyyah

Fungsi utama dari kaidah Ushuliyah menurut Amin Darmah adalah untuk Mengangkat Ketentuan-
ketentuan hukum islam yang terpapar dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, sehingga Setiap orang
mukallaf dapat mengetahuinya dengan baik, dan Menerimanya sebagai ketentuan Syara’ baik secara
yakin maupun dzan.

Selain itu, kaidah ushuliyah memiliki sifat dinamis Sesuai dengan kebutuhan dan Pemahaman pada
setiap zaman dengan tidak Mendobrak syarat dan ketentuan yang berlaku Atau yang disepakati oleh
ulama, Bersifat deduktif dan dalam praktiknya diciptakan terlebih Dahulu baru diterapkan Atau
diaplikasikan serta secara struktur kalimatnya ringkas.

Perumusan kaidah-kaidah ushuliyah, setidaknya bersumber pada empat hal,Yaitu nushûs alQuran,
nushûs al-Sunnah/al-Hadis, bahasa dan ilmu bahasa Arab Serta akal/rasio.

4. Perbedaan antara Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyah

Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perbedaan antara qawaid fiqhiyyah dengan qawaid Ushuliyyah
adalah sebagai berikut:7

a). Ruang lingkup qawaid ushuliyyah Adalah dalil dan hukum Seperti amr itu menunjukan
wajib,nahyi menunjukan haram, Dan wajib mukhayar bila Telah dikjerjakan sebagaian orang, maka
yang lainya bebas Dari tanggung jawab. Qawaid Fiqhiyyah adalah qaidah kulliyah atau aktsariyah
(mayoritas) yang juz’i-juz’inya (farsial-Farsialnya) beberapa masalah fiqih dan ruang Lingkupnya
selslu perbuatan orang mukalaf.

b).Qawaid ushuliyyah merupakan qawaid kulliyah yang dapat diaplikasikan pada seluruh Juz’i
dan ruanglingkupnya. Ini berbeda dengan qawaid fiqhiyyah yang merupakan Kaidah Aghlabiyah
(mayoritas) yang dapat diaplikasikan pada sebagaian juz’i-nya, Karena ada Pengecualiannya.

c).Qawaid ushuliyyah merupakan dzari’ah (jalan) untuk mengeluarkan hukum syara’ Amali.
Qawaid fiqhiyyah merupakan kumpulan dari hukum-hukum serupa yang Mempunyai ‘illat Yang
sama, dimana tujuannya untuk menekatkan berbagai persoalan Dan mempermudah Mengetahuiny

d. )Eksistensi qawaid fiqhiyyah baik dalam teori maupun realitas lahir setelah furu’, karena
Berfungsi menghimpun furu’ yang berserakan dan mengalokasikan maknamaknanya. Adapun ushul
fiqih dalam teori ditunut eksistensinya sebelum eksistensinya furu’, karena Akan menjadi dasar
seorang fakih dalam menetapkan hukum.

e. )Qawaid fiqhiyyah sama dengan ushul fiqih dari satu sisi dan berbeda dari sisi yang lain.
Adapun persamaannya yaitu keduannya sama-sama mempunyai kaidah yang mencakuip Berbagai
juz’i, sedangkan perbedaannya yaitu kaidah ushul adalah masalah-masalah yang Dicakup oleh
bermacam-macam dalil tafshily yang dapat mengeluarkan hukum syara’. Kalau kaidah fiqih adalah
masalah-masalah yang mengandung hukumhukum fiqih saja.

RESUME MAKALAH 10

PENALARAN LUGHAWAIYAH (PEMBAGIAN LAFAZH ‘AM,KHAS DAN TAKHSISH)

A.'Am

Ām menurut ulama ushul periode klasik adalah lafadz yang maknanya mencakup dua hal dan
seterusnya. Sedangkan menurut jumhur ulama ushul „ām adalah lafadz yang diciptakan untuk
menunjukkan pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan
jumlah tertentu. Dari definisi tersebut bisa dipahami bahwa lafadz ‘ām merupakan lafadz yang sejak
pertama diciptakan untuk menunjukkan arti umum yang tidak terbatas yang tentunya masih dalam
ruang lingkup lafadz.Lafadz ‘ām mempunyai banyak bentuk. Berikut ini akan disebutkan bentuk-
bentuk lafadz ‘āmIsim mufrad (tunggal) yang di-ma’rifat-kan dengan alif-lam atau iḍāfah. Misalnya
kata al-insān dalam ayat berikut:

َ ‫اِنَّ ااۡل اِن‬


‫سانَ لَف اِى خُسا ر‬
Artinya: “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian”(Q.S. Al-Ashr:2)

Lafadz jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya. Seperti lafadz al-wālidāt yang terdapat
ayat berikut:

َ‫ث مِثْ ُل ٰذلِك‬ ِ ‫علَى الْ َو‬


ِ ‫ار‬ َ ‫َو َۡل َم ْولُ ْودٌ لَّ ٗه ِب َولَدِهٖ َو‬
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh...” (Q.S. al-
Baqarah: 233)

Lafadz ً )‫و‬setiap) dan )‫ج‬١ّ‫غ‬seluruhnya), seperti kata ً ‫و‬yang terdapat pada ayat berikut:

‫ب َر ِهيْ ٌن‬ َ ‫كُ ُّل ا ْم ِرئ ۢبِ َما َك‬


َ ‫س‬
Artinya: “tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya” (Q.S. ath-Thur: 21)
Isim syaraṭ (kata benda untuk mensyaratkan), seperti lafaz „ِٓ’, . ‫ ذّح‬, ‫أ‬٠ِ, ‫ا‬Misalnya kata „man’ yang
terdapat dalam ayat berikut:

ُ ‫ش ِه َد ِمنْكُ ُم الشَّ ْه َر فَلْ َي‬


ُ‫ص ْمه‬ َ ‫فَ َم ْن‬
Artinya : “Barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (Q.S. al-Baqarah: 185)

Lafaz „man’ pada ayat tersebut meliputi semua orang yang mengetahui datangnya bulan
Ramadhan maka dia wajib berpuasa.

Isim mauṣul (kata ganti penghubung), seperti , ‫ ٌزا‬٠, ‫ ٌخا‬, ‫ا‬ٝ ‫ ٌز‬ٜdan . ‫الحٌا‬ٜMisalnya
ٝ ayat berikut:

َ َ‫صلَ ْون‬
‫س ِعي ًْرا‬ ْ َ‫سي‬ ً ‫اِنَّ الَّ ِذيْنَ يَأْكُلُ ْونَ اَ ْم َوا َل الْيَ ٰتمٰ ى ظُلْ ًما اِنَّ َما يَأْكُلُ ْونَ فِ ْي بُطُ ْونِ ِه ْم ن‬
َ ‫َارا ۗ َو‬
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka).” (Q.S. an-Nisa‟: 10)

Isim nakirah yang jatuh setelah nafi, nahy atau syaraṭ. Misalnya ayat :
َّ‫علَيْكُ ْم اَ ْن تَنْ ِكح ُْوهُنَّ اِذَا ٰاتَيْتُ ُم ْوهُنَّ اُج ُْو َره ُۗن‬
َ ‫َو َۡل ُجنَا َح‬
Artinya: “dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya”
(Q.S. al-Mumtahanah: 10)

Lafadz „ām dilihat dari segi makna yang dimaksud dikelompokkan menjadi tiga, yaitu lafadz „ām
yang dimaksudkan untuk umum, lafadz ‘ām tetapi yang dimaksud adalah khusus, dan lafadz ‘ām
yang berisfat mutlak. . Lafadz ‘ām yang seperti ini hukumnya qaṭ’i ad-dalālah. Sebagai misal ayat
berikut:

َ ‫ّٰللاِ ِر ْزقُ َها َويَعْلَ ُم ُم ْستَق ََّرهَا َو ُم ْست َْو َد‬


‫ع َها‬ َ ‫ض ا َِّۡل‬
‫علَى ه‬ َ ْ ‫َو َما م ِْن د َۤابَّة فِى‬
ِ ْ‫اۡلر‬
Artinya :“Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah pasti memberi rizkinya”
(Q.S. Hud: 6)

Lafadz „ad-dābbah’ (binatang melata) mencakup semua binatang yang melata di muka bumi, dan
menjadi sunnah Allah bahwa semua binatang yang melata akan mendapat rizki. Lafadz ‘ām tetapi
yang dimaksud adalah khusus, yaitu ‘ām yang disertai petunjuk yang menghilangkan arti umumnya
dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘ām tersebut adalah makna khusus. Misalnya ayat
berikut:

‫طلَّ ٰقتُ يَت ََربَّصْنَ بِاَنْفُ ِس ِهنَّ ثَ ٰلثَةَ قُ ُر ۤ ْو ۗء‬


َ ‫َوالْ ُم‬

Artinya: “Perempuan-perempuan yang dithalaq itu menunggu tiga kali quru”. (Q.S. al-Baqarah: 228)

Arti lafadz an-nās pada ayat tersebut adalah semua manusia, namun yang dimaksud sebenarnya
adalah makna khusus yaitu orang mukallaf yang berakal. Lafadz ‘ām yang bersifat mutlak, yaitu ‘ām
yang tidak disertai dengan petunjuk yang menghilangkan kemungkinan dikhususkan dan tidak
disertai petunjuk yang menghilangkan keumumannya.

2.Khas

Khas adalah suatu lafaz yang di gunakan untuk meununjukkan materi tertentu, baik berupa benda
mati ataupun benda bergerak, misalnya zulkarnaen atau kata rajulun (seorang laki- laki). Menurut
istilah, Al-khas adalah lafadz yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu,
seperti Muhammad.

Lafadz khas itu bisa pula terdiri dari afrad atau satuan-satuan yang lain, seperti Rajulun yang dalam
kenyataan ada beberapa orang laki-laki yang lain atau hanyasatu satuan saja, sepert matahari dan
bulan. Adakalanya terdiri dari nama-nama bilangan, seperti dalam Al-Qur’an Surah an-Nur 2 :

‫ٱَّلل َوٱلْيَ ْو ِم ٱلْ َءاخِ ِر ۖ َولْيَ ْش َه ْد‬ ِ َّ ‫منْ ُه َما م ِ۟ائَةَ َجلْدَة ۖ َو َۡل تَأْ ُخ ْذكُم ِب ِه َما َرأْفَةٌ فِى دِي ِن‬١ِ ‫ُوا كُ َّل ٰ َوحِ د‬
ِ َّ ‫ٱَّلل ِإن كُنتُ ْم تُؤْ ِمنُونَ ِب‬ ۟ ‫ٱلزانِى فَٱ ْج ِلد‬
َّ ‫ٱلزانِيَةُ َو‬
َّ
ْ ٌ َ
َ‫مِنَ ٱل ُمؤْ ِمنِين‬١ ‫عذابَ ُه َما طائِفَة‬ َ َ
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman” (QS An’nur
: 2)

Lafad 100 laki adalah khas menunjukan 100 kali dera, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Jadi
dapat dikatakan lafadz khas adalah lafadz yang tidak meliputi suatu hal tertentutetapi juga dua, atau
beberapa hal tertentu tampa kepada batasan, artinya tidak mencakup semua namun hanya berlaku
untuk sebagian hal tertentu.

Ciri-ciri atau karakteristik lafadz khas adalah

1. Diungkapkan dengan menyebutkan jumlah atau bilangan dalam suatu kalimat

2. Menyebutkan jenis, golongan atau nama sesuatu atau nama seseorang

3. Suatu lafal yang diberi batasan dengan sifat atau idhofah.

Bentuk-bentuk lafadz khas

1.Berbentuk muthlak yaitu lafaz khas yang tidak ditentukan dengan sesuaty. Contohnya, hukum
zakat fitrah adalah satu sho’

2.Berbentuk khas (muqoyyad) lafaz khas yang ditentukan dengan sesuatu. Contohnya, masalah
bersuci.

Adapun contoh lafaz muqayyad yang dibatasi dengan syarat, ialah ayat yang berkaitan
dengan kafarat sumpah QS. AlMaidah [5], 89:

‫َصيَا ُم ثَ ٰلثَ ِة اَيَّام‬


ِ ‫فَ َم ْن لَّ ْم يَ ِج ْد ف‬

Kafarat puasa tiga hari tersebut disyaratkan bila orang yang melanggar sumpah tidak mampu
memerdekakan hamba sahaya atau memberi makanan atau pakaian.

3.Berbentuk amr yaitu kata yang mengandung arti amar atau berbentuk khabar, dan hukumnya
wajib. Contohnya, wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.

4.Berbentuk nahiy yaitu mengandung arti larang dan hukumnya haram.

3.Takhsis
Takhsis ialah menyebutkan sebagian benda dari yang umm atau mengeluarkan satu-satuan materi
dari yang umum, sedangkan satuan lainya belum atau tidak disebutkan.dengan demikian,
keumumanya masih berlaku bagi satuan yang tersisa.

Dalil-dalil yang menjadi dasar atau hujjah di keluarkanya satuan dari yang umum kaitanya dengan
khas,taksis, Hanafi menjelaskan melaui satu contoh sebagaimna tertuang dalam surah Al-A’raf ayat
32

‫ص ُل‬١ ِ َ‫صةً يَ ْو َم ٱلْ ِق ٰيَ َم ِة ۗ َك ٰذَلِكَ نُف‬ ۟ ُ‫ِى ِللَّذِينَ َءا َمن‬
َ ‫وا فِى ٱلْ َحيَ ٰوةِ ٱل ُّدنْيَا خَا ِل‬ َ ‫ق ۚ قُلْ ه‬
ِ ‫ٱلر ْز‬ ِ َ‫ِ ٰب‬١‫ٱَّلل ٱلَّتِى أَ ْخ َر َج ِل ِعبَا ِدهِۦ َوٱلطَّي‬
١ ِ َ‫ت ِمن‬ ِ َّ َ‫قُلْ َم ْن َح َّر َم ِزينَة‬
َ‫ت ِلق َْوم يَعْلَ ُمون‬ِ َ‫ٱلْ َءا ٰي‬
Artinya: “Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-
Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?”
Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia,
khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami”menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-
orang yang mengetahui. (Q.S Al-a’raf 32)

Maksudnya: Perhiasan-perhiasan dari Allah dan makanan yang baik itu dapat dinikmati di dunia ini
oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman, sedangkan di akhirat nanti
adalah semata-mata untuk orang-orang yang beriman saja.

Dalam penjelasan ayat diatas semua perhiasan bpoleh dipakai,perhiasan tersebut meliputi cncin
emas, pakaian, intan, kalung, dan lain-lain masing masing disebut satuan satuanya (afrad al-aam).
Cincin emas kemudian dikeluarkan dari ketentuan ayat 32 Al-a’raf tersebut, sebab tidak boleh di
pakai oleh kaum laki-laki. Ini dinamakan taksis. Pengeluaran ini berdasarkan pada hadits. Karena
membatasi keumuman ayat tersebut (sebab tidak meliputi cincin emas), haditsnya
dinamai mukhasis. Karana hanya mengenai satu hal saja, yaitu cincin emas, hadis itu di sebut khas.

RESUME MAKALAH 11

PENALARAN LUGHAWIYAH (PEMBAGIAN LAFAZ MUTHLAQ,MUQAYYAD DAN MUSYTARAK)

LAFAZ MUTHLAQ,MUQAYYAD

A. Pengertian

Mutlaq menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada makna/pengertian tertentu
tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata “meja”, “rumah”, “jalan”, kata-kata ini memiliki
makna mutlak karena secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna
tertentu yang telah kita pahami,Beberapa pendapat para ualam tentang mutlak dan muqayyad:

Menurut Khudhari Beik, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa
satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.

Menurut Abu Zahrah, mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya tanpa
memandang kepada satu, banyak, atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu
menurut apa adanya.

Menurut Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk
kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa.

Munurut bahasa yaitu tidak terikat sedangkan muqayyad kebalikan dari mutlak. Sedangkan menurut
istilah adalah suatau kata yang menunjukan suatu materi dengan tanpa ikatan.Mutlaq dan
Muqayad itu sama dengan ‘am dan Khasa.Mutlaq adalah Lafaz yang menunjukan suatu hakikat
tanpa suatu qayid (pembatas). Jadi ia hanya menunjukan kepada suatu individu tidak tertentu dari
hakikat tersebut. Lafad mutlaq ini pada umumnya berbentuk nakirah dalam konteks kalimat positif.

Muqayad adalah lapadz yang menunjukan suatu hakikat dengan qayid (batasan), seperti kata-kata
“raqabah” yang dibatasi dengan “iman” dalam ayat
َ ْ َ ََ
‫فت ْح ِرير َرق َبة مؤ ِٓمنة‬

(maka [henedaklah pembunuh itu] memerdekakan budak yang beriman). An-Nisa’ [4]: 92).

B. Kaidah Mutlaq dan Mukoyyad

Jika tempat pengambunganya hanya satu maka wajib di taqyidd.Jika tempat pengambungan lebih
dari satu maka tidak wajib ditaqyyid.

Apabila nash hukum datang dengan bentuk mutlaq dan pada sisi yang lain dengan bentuk
muqayyad, maka menurut ulama ushul ada empat kaidah di dalamnya, yaitu:

1.Jika sebab dan hukum yang ada dalam mutlaq sama dengan sebab dan hukum yang ada dalam
muqayyad. Maka dalam hal ini hukum yang ditimbulkan oleh ayat yang mutlaq tadi harus ditarik
atau dibawa kepada hukum ayat yang berbentuk muqayyad.

a.Ayat mutlaq

Surat al-Maidah ayat 3 tentang darah yang diharamkan, yaitu:


ْ ْ َ َّ َ ْ ُ َ ْ
‫“ ح ِّر َمت َعل ْيكم ال َم ْيتة َوالدم َول ْحم ال ِٓخ ز ز ِن ِير‬Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah daging babi…”(Al –Maidah ;3)

Ayat ini menerangkan bahwa darah yang diharamkan ialah meliputi semua darah tanpa terkecuali,
karena lafadz “dam” (darah) bentuknya mutlaq tidak diikat oleh sifat atau hal-hal lain yang
mengikatnya.

b.Ayat Muqayyad

Surat al-An’am ayat 145, dalam masalah yang sama yaitu “dam” (darah) yang diharamkan.
ْ َ‫طاعِم ي‬
‫طعَ ُمهُ إِ َّۡل أَ ْن يَكُونَ َميْتَةً أَ ْو َد ًما‬ َ ‫علَى‬ َ ِ‫قُلْ َۡل أَ ِجدُ فِي َما أُوح‬
َّ َ‫ي إِل‬
َ ‫ي ُم َح َّر ًما‬
“ ‫ا‬Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir”.(Al-An’am;145)

2.Jika sebab yang ada dalam mutlaq dan muqayyad sama tetapi hukum keduanya berbeda, maka
dalam hal ini yang mutlaq tidak bisa ditarik kepada muqayyad.

a.Ayat mutlaq

Surat al-Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:


ْ ُ َ ُ َ ْ َ ً ِّ َ ً َ َّ َ َ َ
.‫وهك ْم َوأ ْي ِٓديك ْم ِٓمنه‬
ِٓ ‫…فتيمموا ص ِٓعيدا طيبا فامسحوا ِٓبوج‬.
“Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan
tanah…”
Lafadz “yad” (tangan) dalam ayat di atas berbentuk mutlaq karena tidak ada lafadz lain yang
mengikat lafadz “yad” (tangan

b. Ayat Muqayyad

Surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu’, yaitu:

‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإذَا قُ ْمتُ ْم ِإلَى الص َََّلةِ فَا ْغ ِسلُوا ُوجُوهَكُ ْم َوأَيْ ِديَكُ ْم ِإلَى الْم‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu
dan tanganmu sampai dengan siku…”

3.Jika sebab yang ada pada mutlaq dan muqayyad berbeda, tetapi hukum keduanya sama, maka
yang mutlaq tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad. Contoh ;

a. Mutlaq

Surat al-Mujadalah ayat 3 tentang kafarah dzihar yang dilakukan seorang suami kepada istrinya.

… ‫ير َرقَ َبة م ِْن قَبْ ِل أَ ْن َيتَ َماسَّا‬


ُ ‫سا ِئ ِه ْم ثُ َّم َي ُعودُونَ ِل َما قَالُوا فَتَ ْح ِر‬ َ ُ‫َوالَّذِينَ ي‬
َ ‫ظاه ُِرونَ م ِْن ِن‬
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang
mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri
itu bercampur.”

b.Muqayyad

Surat an-Nisa’ ayat 92 tentang kafarah qatl (pembunuhan) yang tidak sengaja, yaitu :

ُ ‫طأ ً فَتَ ْح ِر‬


‫ير َرقَبَة ُمؤْ ِمنَة‬ َ ‫َو َم ْن قَتَ َل ُمؤْ ِمنًا َخ‬

“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan


seorang hamba sahaya yang beriman.”

4.Jika sebab dan hukum yang ada pada mutlaq berbeda dengan sebab dan hukum yang ada pada
muqayyad, maka yang mutlak tidak bisa dipahami dan diamalkan sebagaimana yang muqayyad.

a.Mutlaq

Masalah had pencurian yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 38 yang berbunyi :

ِ‫ّٰللا‬
َّ َ‫َاۡل مِن‬ َ ‫طعُوا أَيْ ِديَ ُه َما َجزَ ا ًء بِ َما َك‬
ً ‫سبَا نَك‬ َ ْ‫َّارقَةُ فَاق‬
ِ ‫َّار ُق َوالس‬
ِ ‫َوالس‬
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.”

Lafadz “yad” dalam ayat di atas berbentuk mutlaq, yakni keharusan memotong tangan tanpa diberi
batasan sampai daerah mana dari tangan yang harus dipotong.

b. Muqayyad

Masalah wudhu’ yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:

ِ ِ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا إِذَا قُ ْمتُ ْم إِلَى الص َََّلةِ فَا ْغ ِسلُوا ُوجُوهَكُ ْم َوأَيْ ِديَكُ ْم إِلَى الْ َم َراف‬...
‫ق‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu
dan tanganmu sampai dengan siku.”

C.Hukum Lafazh Mutlaq dan Lafazh Muqayyad

Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamalkan
kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafazh
muqayyad itu berlaku pada kemuqoyyadannya.

1.Bentuk mutlaq dan muqayyad yang disepakati

Berikut adalah bentuk mutlaq dan muqayyad yang disepakati oleh para ulama:

Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajbnya membawa lafazh mutlaq
kepada muqayyad.

Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-
masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada
kemuqayyadannya.

2.Hal-hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad

Berikut adalah hal-hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad:

Kemuthlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah (maudhu’) dan
hukumnya sama. Menurut Jumhur Ulama dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah, dalam
hal ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad.

MUSYTARAK

A.Pengertian dari Al-Musytarak

Musytarak adalah suatu lafadz yang mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-arti tersebut
berbeda-beda. Apabila arti yang sebenarnya hanya satu dan yang lain majaz, maka tidak tidak
dikatakan musytarak. Umumnya ulama ushul, menepatkan lafadz musytarak ini pada kelompok al-
khash, dan al-‘am yaitu dilihat dari segi penetapan lafadz bagi suatu makna.

Adapun yang dimaksud dengan lafadz musytarak sebagai mana dijelaskan oleh Abu Zahra adalah ;

Musytarak ialah suatu lafadz yang menunjukan kepada pengertian ganda atau lebih dengan
penggunaan berbeda.

Lafadz disebut musytarak disyaratkan dua hal yaitu : terdapat beberapa penerapan suatau lafadz
dab juga terdapat pengertian dari lafadz diterapkan dua kali atau lebih untuk dua pengertian atau
lebih.

B.Timbulnya lafadz musytarak

• Perbedaan beberap suku di dalam lafadz-lafadz untuk menunjukkan beberapa arti. Suku
bangsa arab terdiri dari dua golongan yaitu golongan Adnan dan golongan Qathan. Masing-
masing golongan ini terdiri dari suku yang bermacam-macam dan dusun yang terpencar-
pencar yang berbeda-beda tempat dan lingkungannya.
• Antara kedua pengertian terdapat arti dasar yang sama. Karenannya, satu lafal bisa
digunakan untuk kedua pengertian tersebut. Inilah yang disebut isytirak ma’ani (persekutuan
batin ). Kadang-kadang lantas orang melupakan arti yang dapat mengumpulkan kedua
pengertian tersebut, dan disangkanya hanya isytirak lafzi (persekutuan) lafal saja.
• Mula-mula sesuatu lafal digunakan untuk sesuatu arti, kemudian berpindah kepada arti yang
lain dengan jalan majaz, karena adannya ‘alaqah (hubungannya). Alaqah ini dilupakan dan
kemudian hilang maka disangka kata tersebut digunakan untuk kedua arti yang sebenarnya
(haqiqi) tanpa mengetahui adannya alaqah tersebut.

C.Hukum Lafadz Musytarak dan Dalalahnya

Maksud dari pada syari’at ialah agar kita beramal menurut ketentuan arti lafal-lafal yang datang
daripadanya. Lafal Musytarak tidak dapat menunjukkan salah satu artinya yang tertentu. (dari arti-
arti lafal musytarak) selama tidak ada hal-hal (qarinah) yang menjelaskannya. Apabila ada lafal
musytarak tanpa penjelasan, padahal yang dikehendaki oleh salah satu artinya maka dengan
sendirinya lafal musytarak tersebut ditinggalkan. Sebab tidak mungkin kita bisa beramal sesuai
dengan petunjuknya (lafal musytarak) selama kita tidak mengetahui maksud sebenarnya. Berhubung
dengan itu, tiap-tiap lafal musytarak yang datang dari syari’at tentu disertai qarinah, baik qawliah
(perkataan) atau haliyah (keadaan/suasana).Contoh:
َ ‫َوالْ ُم‬
‫طلَّقَاتُ يَت ََربَّصْنَ ِبأَنْفُ ِس ِهنَّ ثَ ََلثَةَ قُ ُروء‬
Artinya: Isteri-isteri yang diceraikan, hendaklah berdiam diri (beribadah) tiga kali suci. (Al-Baqarah
;228)

Lafal Qur’un mempunyai dua arti, yaitu datang bulan (haid) dan suci. Mana yang dikehendaki ayat
tersebut dari kedua arti ini. Yang dikehendaki ialah datang bulan menurut satu pendapat.

RESUME MAKALAH 12

Penalaran Lughawiyah (Pembagian Lafazh hakikat, Majaz,sharih dan Kinayah).

1.Lafadz

Lafadz menurut bahasa artinya merata, atau yang umum. Sedangkan menurut istilah ialah lafadz
yang meliputi pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu.
Dengan pengertian lain, lafadz adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu
yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.Lafadz terbagi menjadi dua, yaitu lafadz
umum dan lafadz khusus.

a.Lafadz umum

Lafadz umum sebagaimana di sebutkan dalam buku ushul fiqh yang di karang oleh Syaiful Hadi yaitu
lafadz yang mengikuti pengertian umum lebih dari satu tampa terbatas dan disebut dengan
sekaligus, seperti lafadz al insan yang berarti manusia. Dan perkataan ini menjadi contoh yang
sangat jelas yang meliputi pengertian umum, jadi semua jenis manusia masuk dalam lafadz ini[1].

Lafadz juga dapat didefinisikan sebagai pernyataan verbal tentang suatu gagasan. Lafadz adalah
bunyi yang diartikulasikan dan befungsi sebagai simbol atau tanda gagasan. Lafadz biasanya bersifat
konvensional dan dapat dipahami sebagai sebuah gagasan atau segugus gagasan yang dinyatakan
dalam wujud kata-kata.

b.Lafadz khusus

Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain,
khas itu kebalikan dari `âm ( umum ). Menurut istilah, definisi khas adalah:

Al-khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti
Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan
terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok,
dan lafadh-lafadh lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua
satuan-satuan itu.Lafazh yang terdapat pada nash syara menunjukkan suatu makna tertentu dengan
pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Menurut Hanafiyah, sesungguhnya lafaz
khas sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan
ketentuan lafazh-lafazh itu sendiri.

2. Hakikat

Hakikat ialah lafadz yang di gunakan pada asal peletakannya, Seperti : Singa (‫ )أسد‬untuk suatu hewan
yang buas. Maka keluar dari perkataan kami : (‫“ )المستعمل‬yang digunakan” : yang tidak digunakan,
maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. Dan keluar dari perkataan kami : (‫ “ )فيما وضع له‬pada asal
peletakannya” : Majaz.Dan hakikat terbagi menjadi tiga macam : Lughowiyyah, Syar’iyyah dan
‘Urfiyyah.Hakikat lughowiyyah adalah :

‫اللفظ المستعمل فيما وضع له في اللغة‬


“Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya secara bahasa.”

Maka keluar dari perkataan kami : (“ )‫في اللغة‬secara bahasa” : hakikat syar’iyyah dan hakikat ‘urfiyyah.

Contohnya : sholat, maka sesungguhnya hakikatnya secara bahasa adalah doa, maka dibawa pada
makna tersebut menurut perkataan ahli bahasa.

3. Majas

‫اللفظ المستعمل في غير ما وضع له‬


“Lafadz yang digunakan bukan pada asal peletakannya.”Seperti : singa untuk laki-laki yang
pemberani.

Maka keluar dari perkataan kami : (“ )‫المستعمل‬yang digunakan” : yang tidak digunakan, maka tidak
dinamakan hakikat dan majaz. Dan keluar dari perkataan kami : (“ )‫في غير ما وضع له‬bukan pada asal
peletakannya” : Hakikat.Dan tidak boleh membawa lafadz pada makna majaznya kecuali dengan dalil
yang shohih yang menghalangi lafadz tersebut dari maksud yang hakiki, dan ini yang dinamakan
dalam ilmu bayan sebagai qorinah (penguat).

Dan disyaratkan benarnya penggunaan lafadz pada majaznya : Adanya kesatuan antara makna
secara hakiki dengan makna secara majazi agar benarnya pengungkapannya, dan ini yang dinamakan
dalam ilmu bayan sebagai Alaqoh (hubungan/ penyesuaian), dan Alaqoh bisa berupa penyerupaan
atau yang selainnya.

4. Sharih
Sharih adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan. Menurut abdul azhim bin badawi al-khalafi,
bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang langsung dapat dipahami tatkala
diucapkan dan tidak mengandung makna lain.. Adapun Contoh lafaz yang Sharih diantaranya:

a. Aku ceraikan kau dengan talak satu.

b. Aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak untuk engkau.

c. Hari ini aku ceraikan kau

Jika suami melafazkan talak dengan mengunakan kalimah yang Sharih seumpama di atas ini, maka
talak dikira jatuh walaupun tanpa niat. Hal ini, senada dengan pendapat imam Syafii dan Abu
Hanifah, beliau berkata bahwa talak sharih tidak membutuhkan niat.

5. Kinayah

Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. Menurut Jumhur Ulama kinayah adalah suatu
ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata
tersebut dapat dikatakan lain, seperti ucapan suami pulanglah kamu. Sementara Kinayah pula
membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih
pengertiannya. Umpamanya jika suami melafazkan kepada isterinya perkataan, sebagai contah
kinayah sebagai berikut:

a. Kau boleh pulang ke rumah orang tua mu.

b. Pergilah engkau dari sini, ke mana engkau suka.

c. Kita berdua sudah tidak ada hubungan lagi.

Mengenai talak kinayah ini, para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat
hukumnya, diantaranya pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti halnya Mazhab
Hanbali mereka berpendapat bahwa talak dengan ucapan kinayah sekiranya suami melafazkan
kepada isterinya dengan niat menceraikannya maka jatuh talak. Selain itu Jumhur Ulama
berpendapat bahwa ucapan talak kinayah akan jatuh talaknya apabila dengan adanya niat.

RESUME MAKALAH 13

PENALARAN LUGHAWIYAH (PEMBAGIAN LAFAZH DARI SEGI KEJELASAN DAN KETIDAKJELASAN)

1.Pengertian lafaz yang jelas dan tidak jelas maknanya

Lafaz adalah susunan beberapa huruf yang mengandung arti. Lafaz dari segi kejelasan maknanya
terbagi kepada dua macam, yaitu lafaz yang jelas dan lafaz yang tidak jelas. Maksud dari lafaz yang
jelas adalah lafaz yang jelas penunjukannya Terhadap makna yang dimaksud tanpa memerlukan
penjelasan dari luar.

Sedangkan yang dimaksud dengan lafaz yang tidak jelas adalah lafaz yang belum jelas
penunjukannya Terhadap makna yang dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu. Lafaz
yang tidak jelas juga biasa disebut dengan khafiyud

2.Lafaz yang Jelas Maknanya

Dalam lafaz yang jelas maknanya sendiri terdapat 2 pendapat, yang pertama yaitu pendapat dari
jumhur ulama atau mutakallimun menjelaskan bahwa lafaz yang jelas maknanya terbagi dari 3
tingkatan, yaitu nash, zahir dan mujmal. Sedangkan pendapat lain, yaitu pendapat dari kalangan
hanafiyah. Lafaz yang jelas menurut kalangan ada 4 macam, yaitu zahir, nash, mufassar dan
muhkam. Urutan ini menurut kalangan hanafiyah menggambarkan tingkatan kejelasan makna yang
dimaksudkan sebuah lafaz dari tingkat kejelasan dengan kualitas terendah hingga yang tertinggi.

a.Metode Hanafiyah

Menurut metode hanafiyah, lafaz yang jelas dikategorikan menjadi empat macam, yaitu zhahr, nash,
mufassar dan muhkam. Urutan ini menggambarkan tingkatan kejelasan makna yang dimaksudkan
sebuah lafaz dari tingkat kejelasan dengan kualitas terendah hingga yang tertinggi.

Zhahir

Zhahir adalah lafaz yang menunjukkan suatu pengertian secara jelas tanpa memerlukan penjelasan
dari luar, namun bukan pengertian itu yang menjadi maksud utama dari pengucapannya, karena
terdapat pengertian lain yang menjadi maksud utama dari pihak yang mengucapkannya. [3] Makna
yang terbentuk dalalm persepsi pendengar bukan merupakan maksud dasar pelafazan. Secara lebih
jelas dapat dinyatakan, bahwa menurut aliran hanafiyah, lafaz zhahir adalah bentuk lafaz yang
menghadirkan makna jelas yang secara langsung dapat ditangkap, namun makna ini bukan tujuan
atau maksud pembicaraan. [4]

Nash

Lafaz nash adalah lafaz yang menunjukkan pengertiannya secara jelas dan memang pengertian itulah
yang dimaksudkan atau dikehendaki oleh konteksnya. Lafaz nash merupakan bentuk lafaz yang lebih
jelas dari lafaz zhahir yang dijelaskan oleh lafaz itu sendiri dengan adanya petunjuk yang terkait
dengan maksud pembicara. Dalam arti bahwa kejelasan makna lafaz nash dibandingkan lafaz zhahir
tidak terjadi semata-mata dari struktur kalimat namun dari makna yang menghadirkan maksud
pembicara itu sendiri. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa lafaz nash adalah sebuah lafaz yang
penunjukan maknanya sesuai dengan maksud pembicara. [6]

Mufassar

Mufassar adalah lafaz yang menunjuk kepada makna sebagaimana dikehendaki atau lafal yang
menunjukkan kepada maknanya secara jelas dan perinci tanpa ada kemungkinan untuk dipalingkan
kepada pengertian lain. [8] Penunjukkan lafaz mufassar Terhadap maknanya lebih jelas daripada
lafaz zhahir maupun lafaz nash.

Muhkam

Lafaz muhkan adalah lafaz yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas sehingga tertutup
kemungkinan untuk di ta’wil dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya tertutup pula
kemungkinan pernah dibatalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain lafaz ini tidak menerima
ta’wil maupun nasakh (pembatalan), sebab menurut sifat yang dikandungnya tertutup kemungkinan
untuk dibatalkan. [9]

b.Metode mutakallimun

Dalam metode bayani lafaz dari kejelasannya ini adalah lafaz yang telah mempunyai arti yang jelas
dan terang. Artinya lafaz tidak membutuhkan bayan (penjelasan). [12] Lafaz dilihat dari segi
kejelasan makna yang dihasilkan oleh lafaz tersebut di dalam metode mutakallimun hanya ada dua,
yaitu: zhahir dan nash.

Zhahir
Secara Bahasa berarti al-wudhuh (jelas). Lafaz zhahir menurut jumhur adalah bentuk lafaz yang
dapat mengandung ta’wil di dalam maknanya. Atau bentuk lafaz yang penunjukan Terhadap
maknanya dalam bentuk penunjukan Terhadap maknanya dalam bentuk penunjukan asumtif (zanni).
Sehingga tingkat penunjukan lafaz ini hanya sampai pada tingkat “dugaan keras” (zanni). Dengan
kata lain, makna yang dihasilkan dari makna zahir merupakan bentuk makna yang cepat ditangkap
dari mendengarkan lafaz itu, namun masih terdapat kemungkinan pengertian lain selain pengertian
yang telah ditangkap. Contohnya dalam Al-Qur’an adalah kata yad dalam surat al-fath ayat 10

ۚ ‫ّٰللا ف َْوقَ اَيْ ِديْ ِه ْم‬


ِ ‫يَدُ ه‬
Artinya: Tangan Allah di atas tangan meraka

Makna zhahir dari kaya “yad” dalam ayat diatas adalah tangan, karena untuk itulah kata itu dibentuk
dari mulanya, namun ada kemungkinan bahwa yang dimaksud bukan makna zhahirnya itu tetapi
makna lain, yaitu kekuasaan. nnya maka ijtihad tidak lagi diperlukan. [16]

Dalam pandangan ulama hanafiyah lafaz yang tidak terang artinya itu disebut: ghairu wudhuh al-
ma’na yang rincian dan urut peringkatnya adalah:

Khafi, tidak jelas.

Musykil, lebih tidak jelas.

Mujmal, sangat tidak jelas.

Mutasyabih, paling tidak jelas.

Dalam Al-Qur’an tidak boleh ada lafaz yang tidak terang artinya, oleh karena itu harus dijelaskan.
Peringkat urutan didasarkan kepada tingkat kesulitan dalam menjelaskannya. Semakin susah tingkat
usaha menjelaskannya semakin tinggi tingkat ketidakjelasannya, yaitu: a) cukup dengan pemikiran
sederhana; b) mesti dengan menggunakan petunjuk ada dalil; c) mesti menggunakan petunjuk
khusus dari yang mengemukakannya dalam hal ini adalah Nabi; dan d) tidak ada petunjuk sama
sekali dan hanya Allah yang tahu.

Khafi

Lafaz khafi adalah bentuk lafaz yang pada dasarnya memunculkan makna yang jelas. Namun
kejelasan makna tersebut menjadi sama Ketika makna tersebut diterapkan pada kasus tertentu yang
sejenis. Ketidakjelasan muncul karena bentuk kasus itu tidak persis sama dengan kasus yang
ditunjukkan oleh lafaz tersebut. Sehingga terlihat adanya kontradiksi antara kasus yang tertera
dalam lafaz dengan kasus turunan yang merupakan bagian dari kasus utama pada lafaz tersebut.
Oleh karena itu dibutuhkan penalaran yang mendalam untuk menghilangkan kesamaran makna
tersebut. [17]

Sumber kesamaran dalam lafaz itu disebabkan karena dalam salah satu satuan artinya (afrad-nya)
mengandung sifat tambahan dibandingkan dengan satuan arti yang lainnya. Bisa juga karena kurang
sifatnya atau karena mempunyai nama khusus (tersendiri). Karena ada kelebihan dan kekurangan
sifat itu atau ada nama khusus itu, menyebabkan artinya diragukan. Kesamaran arti lafaz itu
dihubungkan dalam konteks satuan dari arti tersebut. [18]

Contoh dari lafaz khafi adalah sebagai berikut:

‫طعُ ْوا اَيْ ِديَ ُه َما َجزَ ۤا ۢ ًء‬


َ ْ‫َّارقَةُ فَاق‬
ِ ‫َّار ُق َوالس‬
ِ ‫َوالس‬
Artinya: laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya. (QS. Al-
Ma’idah ayat 38)

Secara umum pengertian pencuri cukup jelas, yaitu orang yang mengambil harta orang lain secara
sembunyi dari tempat penyimpanan yang layak baginya. Hukuman dari pencurian itu pun sudah
sangat jelas, yaitu hukum potong tangan.

Musykil

Musykil adalah lafaz yang tidak jelas pengertiannya, dan ketidakjelasan itu disebabkan oleh lafal itu
diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda sehingga untuk mengetahui pengertian mana
yang dimaksud dalam suatu redaksi memerlukan indikasi atau dalil dari luar, seperti dalam lafal
musytarak (lafal yang diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda hakikatnya). [21]

Perbedaan antara lafaz khafi dan musykil adalah bahwa pada lafaz khafi kekaburan maknanya bukan
disebabkan dari lafaz itu sendiri, melainkan disebabkan adanya keraguan makna atas sebagian
satuannya karena sesuatu dari luar. Adapaun kekaburan dari makna pada lafaz musykil berasal dari
lafaz itu sendiri karena lafaz itu diciptakan untuk beberapa makna. [22]

. Makna tersebut terbentuk tergantung dari kontes yang mengintari atau mengikuti kalimat tersebut
atau diterangkan oleh faktor dari luar. Contoh nya adalah sebagai berikut:

‫ْص ُر ْونَ بِ َه ۖا‬


ِ ‫َولَ ُه ْم اَ ْعيُ ٌن َّۡل يُب‬
Artinya: Dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah). (QS. Al-A’raf:179)

Konteks kalimat dalam ayat itu menunjukkan kata a’yum sebagai bentuk jamak dari ‘ayn bermakna
mata sebagai salah satu panca indera.

Mujmal

Mujmal menurut Hanafiyah adalah lafal yang mengandung makna secara global di mana kejelasan
maksud dan perinciannya tidak dapat diketahui dari pengertian lafal itu sendiri, seperti istilah-istilah
khusus dalam pemakaian syara’. Misalnya lafal shalat, zakat, haji, dan lain-lain lagi lafal yang bukan
dimaksud semata-mata pengertiannya secara bahasa tetapi pengertian khusus syara’. Untuk
mencari kejelasan pengertiannya, seperti dijelaskan Adib Shalih, bukan dengan jalan ijtihad, tetapi
adalah dengan penjelasan dari Pembuat Syariat sendiri. Untuk contoh-contoh diatas, Sunnah
Rasulullah berfungsi untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah-istilah tersebut. [26]

Menurut ‘abd al-wahhab khallaf, lafaz mujmal dapat terjadi karena tiga sebab, yaitu: lafaz tersebut
termasuk lafaz mushtarak yang tidak mengandung qarinah (petunjuk konstektual) yang
mengarahkan pada penentuan salah satu maknanya pembuat syariat (al-shar’i) menghendaki lafaz
tersebut dengan makna yang khusus dalam terma shai’I bukan dalam makna kebahasaan keasingan
lafaz dan kesamaran pengertiannya.

Sehingga pada hakikatnya, ijtihad tidak dibutuhkan pada lafaz mujmal. Sebab ijtihad dilakukan Ketika
lafaz mujmal telah berubah menjadi lafazmusykil setelah adanya bayan dari pembuat syariat baik
melalui ayat atau hadis. [27]

Mutasyabih
Mutasyabih merupakan bentuk lafaz yang memiliki kesamaran makna yang berasal dari lafaz itu
sendiri dan terputus semua upaya untuk mengetahui. Lafaz mutasyabih, secara Bahasa (arti kata),
adalah lafaz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Dalam
istilah hukum, lafaz mutasyabih adalah lafaz yang samar artinya dan tidak ada cara yang dapat
digunakan untuk mencapai artinya. [28] Pihak yang mengetahui makna bentuk lafaz ini hanyalah
Allah swt. Pada kondisi ini, maka tidak ada peluang bagi akal manusia untuk menjelaskan makna
lafaz mutasyabih. Tuntutan bagi manusia lebih pada penerimaan bentuk lafaz itu apa adanya dan
menyerahkan segala maknanya semata kepada Allah.

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai