Hukum Waris

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 13

1.

Perihal Waris Secara Umum

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris
sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia
pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Untuk pengertian
hukum “waris” sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun di dalam
kepustakaan ilmu hukum Indonesia, belum terdapat keseragaman pengertian, sehingga
istilah untuk hukum waris masih beraneka ragam. Misalnya saja, Wirjono Prodjodokoro,
menggunakan istilah “hukum warisan”. Hazairin, menggunakan istilah “hukum
kewarisan”. Dan Soepomo menyebutnya dengan istilah “hukum waris”.Dari istilah-istilah
di atas, penulis lebih cenderung menggunakan istilah “hukum waris”, yaitu kumpulan
peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu
mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari
pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara
mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.
Dalam rangka memahami kaidah-kaidah serta seluk beluk hukum waris, hampir
tidak dapat dihandarkan untuk terlebih dahulu memahami beberapa istilah yang lazim
dijumpai dan dikenal, di antaranya:
a. Waris; Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang
yang  telah meninggal.
b. Warisan; berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.
c. Pewaris; adalah orang yang memberikan pusaka, yakni orang yang meninggal
dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat.
d. Ahli waris; yaitu orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang berhak
menerima harta peninggalan.
e. Mewarisi; yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah
mewarisi harta peninggalan pewarisnya.
f. Proses pewarisan; yaitu penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris
masih hidup; dan juga berarti pembagian harta warisan setelah pewaris
meninggal.

1
   Usaha ke arah unifikasi hukum waris di Indonesia merupakan suatu upaya yang
dapat dipastikan sulit untuk diwujudkan. Dengan demikian bidang hukum waris ini
menurut kriteria Mochtar Kusumaatmaja, termasuk “bidang hukum yang mengandung
terlalu banyak halangan, adanya komplikasi-komplikasi kultural, keagamaan, dan
sosiologi. Hal itu disebabkan beranekaragamnya corak budaya, agama, sosial, dan adat
istiadat serta sistem kekeluargaan yang hidup dab berkembang di dalam masyarakat
Indonesia. Sebagai akibat dari keadaan masyarakat yang telah dikemukakan di atas,
hukum waris yang berlaku di Indonesia dewasa ini masih tergantung pada hukumnya si
pewaris. Oleh karena itu, apabila yang meninggal dunia atau pewaris termasuk golongan
yang masih berpegang teguh kepada perihal adat, maka akan menyelesaikan hukum waris
sesuai dengat aturan adatnya. Sedangkan apabila pewaris termasuk golongan penduduk
Eropa atau Timur Asing Cina, atau penduduk yang berpengang teguh dengan hukum
barat, maka bagi mereka berlaku hukum waris barat. Di lain pihak, bagi penduduk
Indonesia yang berpegang teguh kepada kaidah-kaidah agama Islam sesuai dengan yang
tertera dalam Al-quran, maka bagi mereka berlaku sistem hukum waris yang tertera
dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam).

   Wujud warisan atau harta peninggalan menurut Hukum Islam sangat berbeda
dengan wujud warisan menurut hukum waris Barat sebagaimana diatur dalam BW
maupun menurut hukum adat. Warisan atau harta peninggalan menurut Hukum Islam
yaitu  “sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam
keadaan bersih”. Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris adalah
sejumlah harta benda serta segala hak, “setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-
hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si
peninggal waris. Dalam hukum waris BW, wujud harta peninggalan meliputi “seluruh
hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan
uang”. Jadi harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris tidak hanya
meliputi hal-hal yang bermanfaat berupa aktiva atau keuntungan, melainkan juga
termasuk hutang-hutang si pewaris yang merupakan pasiva dari harta kekayaan yang
ditinggalkan, sehingga “kewajiban membayar hutang pada hakikatnya beralih juga
kepada ahli waris”. Demikian pula pada hukum adat, pembagian harta warisan tidak
2
selalu ditangguhkan sampai semua hutang si peninggal warisan dibayar. Artinya, harta
warisan yang dapat beralih kepada para ahli waris tidak selalu dalam keadaan bersih
setelah dikurangi hutang-hutang pewaris, melainkan dapat saja ahli waris menerima harta
warisan yang di dalamnya tercakup kewajiban membayar hutang-hutang pewaris.

2. Hak Mewarisi Menurut BW dan Hukum Waris Islam


Menurut undang-undang, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:

a. Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang


b. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi “menurut undang-undang” atau “ab
intestate. Cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”.Undang-undang
telah menentukan dan menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris atau mereka
yang memiliki hak mewarisi, yaitu:
a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak
beserta keturunan merekan beserta suami atau isteri yang di tinggalkan/atau yang
hidup paling lama. Suami atau istri yang ditinggalkan/atau hidup paling lama ini
baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya
suami/istri tidak saling mewarisi.
b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan
saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang
tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa mereka tidak akan kurang dari
(seperempat) bagian dari harta peninggalan, walupun mereka mewarisi bersama-
sama saudara pewaris.
c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari
pewaris.
d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak
keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Demikian juga dalam Islam, telah ditentukan bahwa ahli waris atau mereka yang
memiliki hak mewarisi adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak mendapat

3
bagian dari harta peninggalan. Secara garis besar terdapat 3 golongan yang telah di
tentukan dalam Hukum Islam, yaitu:
a. Ahli waris menurut Al-Quran atau yang sudah ditentukan di dalam Al-Quran
disebut dzul faraaidh.
b. Ahli waris yang ditarik dari garis ayah, disebut ashabah.
c. Ahli waris yang ditarik dari garis ibu, disebut arhaam.

3. Menerima atau Menolak Warisan

Terbukanya warisan jika pewaris  telah meninggal, seorang ahli waris dapat
memilih apakah ia akan menerima atau menolak warisan itu, atau ada pula kemungkinan
untuk menerima tetapi dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-
hutang si meninggal, yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.
Ada 3 kemungkinan yang dapat timbul karena hubungan-hubungan antara
pewaris dan ahli waris.
a. Penerimaan sepenuhnya
b. Kalau ahli waris sudah menerima sepenuhnya, maka ahli waris tersebut
bertanggung jawab atas segala piutang warisan; milik pribadi ahli waris ikut
menjadi harta pertanggungjawab terhadap utang-utang warisan.
c. Tetapi kalau ahli waris ini mendapat bagian-bagian warisan menurut ketentuan-
ketentuan pembagian, maka pertanggungjawaban juga sesuai dengan bagian yang
diperolehnya.
d. Penolakan
e. Kalau mereka menolak, hal ini berarti bahwa mereka melepaskan
pertanggungjawaban sebagai ahli waris, dan juga menyatakan tidak menerima
pembagian harta peninggalan.
f. Tetapi kalau sama sekali menolak sehingga tidak ada seorang ahli warispun yang
di tunjuk oleh undang-undang, maka akibatnya kekayaan itu jatuh ke tangan
Negara (Pasal 1058 KUHPer).
g. Penerimaan dengan syarat

4
Kalau penerimaan disertai syarat pendaftaran dulu harta kekayaan, maka
akibatnya adalah:
a. Pembayaran utang-utang.
b. Harta sendiri tidak ikut menjadi harta pertanggungan.
c. Hanya diterima sisa dari harta warisan yang telah di peruntukkan pembayaran
hutang.
d. Legat hanya sebesar aktiva warisan tersebut.
Kemungkinan demikian berlaku bagi seorang wali atau curator, sebaliknya hal ini
tidak berlaku bagi mereka yang telah menolak dengan terang-terangan dan tidak berlaku
bagi ahliwaris yang telah menerima sepenuhnya (pasal 1032 KUHPer).
Seorang waris harus menentukan sikapnya. Bahwa suatu keadaan yang tidak tentu
terutama bagi penagih hutang, dapat merugikan. Oleh karena itu, tiap pihak yang
berkepentingan berhak untuk menggugat para ahli waris agar menyatakan sikapnya.
Seorang ahli waris mempunyai hak untuk meminta suatu waktu untuk berfikir hingga
selama empat bulan. Akibatnya, selama waktu itu si waris tidak dapat dipaksa untuk
melakukan kewajiban seorang ahli waris. Jika sudah ada keputusan dari hakim,
pelaksanaannya harus ditangguhkan dulu dahulu. Jika ia di gugat sebagai ahli waris, ia
dapat mengajukan perlawanan yang bertujuan untuk mempertangguhkan perkara sampai
habisnya waktu untuk berfikir. Selama itu, ahli waris diwajibkan mengurus harta
peninggalan itu sebaik-baiknya. Ia tidak boleh menjuan apa-apa, sebab perbuatan
semacam itu dapat di artikan sebagai penerimaan penuh secara diam-diam.
 Kemungkinan yang ketiga bagi seorang ahli waris, yang merupakan suatu jalan
tengah antara menerima dan menolak dinamakan menerima dengan “beneficiaire
aanvaarding”. Jika ia hendak memilih jalan ini si waris haru menyatakan kehendaknya
kepada Panitera di Pengadila Negri setempat dimana warisan itu telah terbuka. Akibat
yang terpenting dari “beneficiaire aanvaarding”, bahwa kewajiban si waris untuk
melunasi hutang dan beban lainnya di batasi sedemikian rupa, sehingga pelunasan itu
hanyalah dilakukan menurut kekuatan warisan, sehingga si waris tidak usah menanggung
pembayaran hutang dengan kekayaannya sendiri.

5
Dengan begitu, tidak terjadi percampuran antara  harta peninggalan dengan harta
kekayaan si pewaris. Apabila hutang-hutang  si meninggal telah dilunasi semuanya dan
masih ada sisa dari harta peninggalan, barulah sisa ini boleh di ambil oleh para waris.
Kewajiban-kewajiban seorang ahli waris beneficiair adalah:
a. Melakukan pencatatan adanya harta peninggalan dalam waktu empat bulan
setelahnya ia menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan Negeri,
bahwa ia menerima warisannya secara beneficiair.
b. Mengurus serta peninggalan sebaik-baiknya.
c. Selekas-lekasnya membereskan urusan warisan.
d. Apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus memberikan tanggungan
untuk harga benda-benda yang bergerak beserta benda-benda yang tak bergerak
yang tidak diserahkan kepada orang-orang berpiutang yang memegang
hypotheek.
e. Memberikanpertanggung jawaban kepada sekalian penagih hutang dan orang-
orang yang menerima pemberian secara legaat.
f. Memanggil orang-orang berpiutang yang tidak terkenal, dalam surat kabar resmi.
Peraturan-peraturan yang berlaku dalam hal penerimaan atau penolakan warisan
dapat kita ringkas sebagai berikut:
a. Orang yang meninggalkan warisan, tidak diperbolehkan membatasi hak seorang
ahliwaris untuk memilih abtara tiga kemungkinan tersebut diatas, yaitu apakah ia
akan menerima penuh, menolak atau menerima warisannya dengan bersyarat.
b. Pemilihan antara ketiga kemungkinan tersebut oleh seorang waris tak dapat
dilakukan selama warisan belum berbuka.
c. Pemilihan tidak boleh digantungkan pada suatu ketetapan waktu atau suatu syarat.
Kepentingan umum, terutama kepentingan orang-orang yang menghutangkan si
meninggal mengkehendaki dengan pemilihan itu sudah tercapai sesuatu keadaan
yang pasti yang tidak berubah lagi.
d. Pemilihan tidak dapat dilakukan hanya mengenai sebagian saja dari warisan yang
jatuh kepada seseorang artinya jika seorang ahliwaris menerima atau menolak,
perbuatan itu selaku mengenai seluruh bagiannya dalam warisan. Hanya, mungkin
bagi seorang yang selain ia menjadi ahliwaris, baik menurut undang0undang atau
6
menurut surat wasiat, juga ia mendapat legaat untuk menerima legaatnya, tetapi
menolak warisannya.
e. Menyatakan menerima atau menolak suatu warisan, adalah suatu perbuatan 
hokum yang  terletak dalam lapangan hokum kekayaan.
f. Jika seorang ahliwaris sebelum menentukan sikapnya, ia meninggal, maka haknya
untuk memilih beralih pada ahliwarisnya

4. Perihal Wasiat atau Testament

Suatu wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa
yang dikehendaki setelahnya ia meninggal. Pada asasnya suatu pernyataan yang
demikian, adalah keluar dari suatu pihak saja (eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik
kembali oleh yang membuatnya. Dengan sendirinya, dapat dimengerti bahwa tidak segala
yang dikehendaki oleh seseorang, sebagaimana diletakkan dalam wasiatnya itu, juga
diperbolehkan atau dapat dilaksanakan. Suatu testament, juga dapat berisikan suatu
“legaat” yaitu suatu pemberian kepada seorang. Adapun yang dapat diberikan dalam
suatu legaat dapat berupa :

a. Satu atau beberapa benda tertentu


b. Seluruh benda dari satu macam jenis, misalnya seluruk benda yang bergerak
c. Hak “vruchtgebruik” atas sebagian atau seluruh warisan
d. Sesuatu hak lain terhadap boedel, misalnya hak untuk mengambil satu atau
beberapa benda tertentu dari boedel.
Menurut bentuknya ada tiga macam testament, yaitu :

a. “Openbaar testament” yaitu testament yang dibuat oleh seorang notaris. Orang
yang akan meninggalkan warisan menghadap dan menyatakan kehendaknya.
Notaris itu membuat suatu akte dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
b. “Olograpis testament” yaitu testament yang harus ditulis dengan tangan orang
yang akan meninggalan warisan itu sendiri (eigenhandig). Harus diserahkan
sendiri kepada seorang notaris untuk disimpan (gedeponeerd). Penyerahan

7
tersebut harus pula dihadiri oleh dua orang saksi (akte van de pot). Penyerahan
pada notaris dapat dilakukan secara terbuka atau tertutup.
c. “Testament tertutup atau rahasia” yaitu testament yang dibuat oleh orang yang
akan meninggalkan warisan, tetapi tidak diharuskan ia menulis dengan tangan
sendiri. . Suatu testament rahasia harus selalu tertutup dan disegel. Penyerahan
kepada notaris harus dihadiri oleh empat orang saksi. Jadi lebih basa yang hanya
dibutuhkan dua orang saksi. Orang yang menjadi saksi pada pembuatan atau
penyerahan suatu testament kepada seorang notaris, harus orang yang sudah
dewasa, penduduk Indonesia dan mengerti benar bahasa yang digunakan dalam
testament atau akta penyerahan itu.

5. Fidei-Commis

Fidei-commis, ialah suatu pemberian warisan kepada seorang waris dengan


ketentuan, ia wajib menyimpan warisan itu dan setelah lewat suatu waktu atau apabila si
waris itu sendiri telah meninggal, warisan itu harus diserahkan kepada orang lain yang
sudah ditetapkan dalam tetament. Ada dua macam fidei-commis yang diperbolehkan oleh
undang-undang, yaitu :

a. Yang pertama, untuk memenuhi keinginan seseorang yang hendak mencegah


kekayaannya dihabiskan oleh anak-anaknya. dalam testament, orang
diperbolehkan membuat penetapan agar anaknya tidak boleh menjual benda-
benda warisan dan supaya benda-benda itu kemudian diwariskan lagi kepada
anak-anak si waris itu sendiri.
b. Yang kedua, yang lazim dinamakan fidei-commis de residuo, dimana hanya
ditetapkan, bahwa seorang waris harus mewariskan lagi dikemudian hari apa yang
masih ketinggalan dari warisan yang diperolehnya itu. jadi hanya sisanya saja
kepada seorang lain sudah ditetapkan.

8
6. Legitieme Portie

Para ahli waris dalam garis lancang baik kebawah maupun ke atas, berhak atas
suatu “legitimie portie” yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak
dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Hak atas legitieme portie,
barulah timbul bila seseorang dalam suatu kedaan sungguh-sungguh tampil kemuka
sebagai ahli waris menurut undang-undang. Misalnya saja jika si meninggal mempunyai
anak-anak atau cucu-cucu, maka orang tua tidak tampil dimuka sebagai ahli waris.
Karenanya juga tidak berhak atas suatu legitieme portie dinamakan “legitimaris”. Ia dapat
minta pembatalan tiap testament yang melanggar haknya tersebut. Ia berhak pula untuk
menuntut supaya diadakan pengurangan terhadap (inkorting) terhadap segala macam
pemberian warisan, baik yang berupa erfstelling maupun yang berupa legaat, atau segala
pemberian yang bersifat schenking yang mengurangi haknya. Besarnya ligitieme porie
bagi anak-anak yang sah ditetapkan oleh pasal 914 B.W sebagai berikut :

a. Jika hanya ada seorang anak yang sah, maka legitieme portie berjumlah separuh
dari bagian yang sebenarnya akan diperolehnya sebagai ahli waris menurut
undang-undang.
b. Jika ada dua orang anak yang sah, maka jumlah legitimie portie untuk masing-
masing ⅔ dari bagian yang sebenarnya akan diperolehnya sebagai ahli waris
menurut undang-undang.
c. Jika ada tiga orang anak yang sah atau lebih tiga orang, maka jumlah legitimie
portie itu menjadi ¾ dari bagian yang sebenarnyaakan diperoleh masing-masing
sebagai ahli waris menurut undang-undang.
d. Jika ada seorang anak yang meninggal lebih dahulu, haknya atas suatu legitieme
portie beralih pada sekalian anaknya bersama-sama, dengan pengertian bahwa
anak-anak ini berhak atas bagian yang harus dihitung atas dasar “penggantian”.
e. Bagi seorang ahli waris dalam garis lancang ke atas, misalnya, orang tua atau
nenek, menurut pasal 915 jumlah legitieme portie selalu separuh dari bagiannya
sebagai ahli waris menurut undang-undang. Begitu pula menurut pasal 916
jumlah legitieme portie bagi seorang anak yang lahir diluar perkawinan yang telah
diakui, adalah separuh dari bagiannya sebagai ahli waris menurut undang-undang.
9
7. Perihal Pembagian Warisan

a. Boedelscheiding
Hak untuk menuntut supaya diadakan pembagian suatu kekayaan bersama
adalah suatu hak yang tidak boleh dikurangi, apalagi dihapuskan. Sebaliknya
kepada orang meninggal yang mempunyai utang, oleh undang-undang diberikan
hak untuk untuk mengadakan perlawanan terhadap pembagian warisan selama
utang-utang tersebut belum dilunasi. Hak ini diberikan pada pemilik piutang,
karena mereka hanya dapat menyita harta peninggalan selama kekayaan si
meninggal belum terbagi antara para ahli waris, jika harta terswebut telah terbagi
maka mereka hanya dapat menagih piutang tersebut kepada ahli waris seorang
demi seorang, masing-masing ditagih dengan jumlah yang sepadan dengan
warisan yang mereka terima, dan tentu sangat sulit.
Boedelscheiding adalah suatu perbuatan hukum yang dimaksud untuk
mengakhiri suatu keadaan, di mana terdapat sautu kekayaan bersama yang belum
terbagi. Cara melakukan boedelscheiding telah ditetapkan dalam oleh undang-
undang, bahwa itu tergantung pada keadaan. Dalam hal semua ahli waris cakap
untuk bertindak sendiri dan semuanya berada di tempat, hadir sendiri, maka cara
melakukan pembagian itu diserahkan kepada mereka sendiri. Namun apa bila ada
ahli waris yang belum atau tidak cakap, maka pembagian tersebut harus dilakukan
dengan sautu akte notaris dan dihadapkan weeskamer, sebagai dasar pembagian
maka dipakai harga taksiran dari semua benda warisan.

b. Inbreng
Ada pun inbreng adalah pengembalian kembali benda-benda ke dalam boedel,
persoalan ini timbul apabila si meninggal pada waktu hidupnya telah memberikan
benda-benda secara donasi kepada sementara waris, hal tersebut dapat
diperhitungkan sebagai suatu “voorschot” atau pemajuan atas pembagian warisan
yang akan diperhitungkan kemudian. Perhitungan ini dapat dilakukan dengan
10
mengembalikan benda yang telah diterima itu atau dengan memperhitungkan
harganya berdasarkan taksiran. Ahli waris yang melakukan inbreng ini tidak
dibedakan berdasarkan apakah mereka mewarisi menurut undang-undang atau
ditunjuk dalam testament, tidak pula dibedakan atas jumlah warisan yang
diterimanya, tetapi pewaris berhak menetapkan ahliwaris-ahliwaris yang telah
menerima pemberian sewaktu pewaris masih hidup untuk dibebaskan dari
inbreng. Peraturan mengenai inbreng tidak bersifat mengikat dan jika penerima
bukan ahliwaris maka ia tidak perlu melakukan pengembalian atas benda yang ia
terima. Ada pula yang menambahkan bahwa jika salah seorang ahli waris
berhutang pada si meninggal maka hutang itu juga harus dikembalikan seolah-
olah suatu inbreng.

8. Executeur-Testamentair dan Bewindvoerder

Orang yang meninggalkan warisan berhak menunjuk satu atau beberapa orang
executeur testamentair atau pelaksana wasiat, yang tugasnya adalah untuk mengawasi
pelaksanaan surat wasiat berdasarkan kehendak si meninggal. Penunjukan tersebut dapat
dilakukan di dalam surat wasiat sendiri. Menurut undang-undang seorang perempuan
bersuami, anak di bawah umur, dan seorang yang berada di bawah curatele tidak boleh
dijadikan executeur testamentair.
Pelaksana wasiat memiliki kekuasaan untuk menarik semua atau sebagian benda-
benda yang termasuk warisan, tetapi ia tidak boleh menguasai benda-benda tersebut lebih
dari satu tahun lamanya. Jika di antara ahli waris ada anak-anak atau yang di bawah umur
yang tidak mempunyai wali, atau orang-orang di bawah curatele tanpa curatornya, atau
ahli waris yang berhalangan hadir, maka executeur testamentair diwajibkan menyegel
harta peninggalan, salah satu kewajibannya juga untuk membuat catatan mengenai harta
tersebut dengan dihadiri para ahli waris. Executeur testamentair tidak memiliki
kewenangan untuk menjual barang-barang warisan untuk memudahkan pembagian
warisan, karena pembagian tersebut harus diserahkan kepada ahli waris sendiri.

11
Jika tidak terdapat uang tunai untuk memenuhi pemberian legaat dan berupa uang,
maka executeur testamentair berhak untuk menjual barang-barang yang bergerak dan
dapat juga menjual barang-barang yang tidak bergerak apabila diperlukan, tetapi harus
mendapat persetujuan ahli waris atau dengan izin hakim. Penjualan harus dilakukan di
depan umum, kecuali jika ahli waris mengizinkan penjualan di bawah tangan. Para ahli
waris juga berhak melarang setiap penjualan jika mereka menyanggupi membayar dahulu
kepada orang-orang yang berhak menerima legaat dengan uang mereka sendiri.
Sebagaimana ia berhak menarik benda-benda warisan dalam kekuasaannya, maka
seorang executeur testamentair berhak pula menagih piutang-piutang, bahkan ia dapat
menggugat orang yang berhutang pada si meninggal di depan hakim.
Sedangkan Bewindvoerder adalah seorang yang ditentukan dalam wasiat untuk
mengurus kekayaan (harta peninggalan) sehingga para ahli waris/legataris hanya
menerima penghasilan dari harta tersebut. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai
kekayaan (harta peninggalan) tersebut dihabiskan dalam waktu singkat oleh para ahli
waris/legataris.

9. Harta Peninggalan yang Tidak Terurus

Harta peninggalan yang tidak terurus merupakan harta warisan yang tiada seorag
pun ahli warisnya atau ada ahli warisnya tetapi menolak warisan tersebut. Jika demikian,
maka Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) tidak usah menunggu perintah hakim dan
wajib mengurus warisan itu.

Pada waktu mengambil pengurusan warisan itu Weeskamer harus


memberitahukannya pada kejaksaan negeri setempat. Jika ada perselisihan tentang status
harta tersebut terurus atau tidak, hal itu akan diputuskan oleh hakim. Weeskamer wajib
membuat catatan tentang keadaan harta tersebut, jika perlu dilakukan pula terlebih
dahulu penyegelan barang-barang, penagihan piutang-piutang, dan membayar hutang-
hutang si meninggal.

Jika sudah lewat 3 tahun terhitung mulai terbukanya warisan dan belum ada
seorang waris yang melaporkan diri, maka Weeskamer akan melakukan pertanggung
12
jawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada Negara, hak untuk penguasaan
atas harta tersebut akan menjadi milik Negara.

13

Anda mungkin juga menyukai