Anda di halaman 1dari 16

PERDA KABUPATEN CIANJUR NO.

21 TAHUN 2000 TENTANG LARANGAN


PELACURAN

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Ilmu Taqninil Ahkam

Yang Diampu Oleh :

Dr.H. Nurrohman, M.A

Disusun Oleh :

Muhammad Baqti Nur Firdaus 1193030078

Muhammadd Imam Saefulloh 1193030063

Muhammad Risam Purnama 1193030067

Nada Nawalista 1193030072

Nudhea Arizka 1193030076

Syahrul Ramadan 1193030094

HTN 5 B

PRODI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2021

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan kita kesehatan serta melimpahkan rahmat, rezeki dan hidayahnya, sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini dengan judul “Perda
Kabupaten Cianjur No.21 Tahun 2000 tentang Larangan Pelacuran”. Kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyusun makalah ini. Penyusun juga berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang bersifat membangun akan
sangat kami harapkan dari para pembaca guna untuk meningkatkan dan memperbaiki
pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu yang akan datang.

Bandung, Desember 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Cover ............................................................................................................................. 1

Kata Pengantar...............................................................................................................2

DAFTAR ISI..................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................4

A.Latar Belakang...........................................................................................................4

B.Rumusan Masalah.....................................................................................................4

C.Tujuan.........................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................5

1.Pengertian dan Landasan Teori Pelacuran..................................................................6

2.Kajian terhadap Perda Cianjur No.21 Tahun 2000 tentang Larangan Pelacuran.......8

3.Upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten Cianjur dalam Mengsosialisasikan Perda


No.21 Tahun 2000 tentang Larangan Pelacuran...........................................................11

4.Sanksi Pidana dalam Peraturan Daerah terkait Pelacuran.........................................12

BAB III PENUTUP.....................................................................................................15

Kesimpulan..................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................16

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Prostitusi adalah praktik yang di dalamnya terdapat wanita yang dipekerjakan
oleh mucikari untuk memberikan jasa seks terhadap kaum laki-laki. Bahkan Edlund
dan Korn (2002) menyebutkan bahwa prostitusi adalah sebuah pekerjaan yang
dilakukan oleh wanita yang memiliki keterampilan rendah untuk mendapatkan gaji
yang tinggi.
Prostitusi sering disebut sebagai pelacur atau pelayan seks atau pekerja seks
komersial atau disebut juga penjual jasa seksual. Sedangkan menurut istilah prostitusi
itu sendiri disebut sebagai suatu pekerjaan dengan cara menyerahkan diri atau menjual
jasa seksual dengan harapan mendapatkan upah atau imbalan dari orang yang
memakai jasa saksualnya tersebut.1
Meskipun kecaman dari segala aspek terhadap prostitusi telah cukup untuk
memberikan peringatan keras terhadap para pelaku prostitusi, namun nampaknya hal
tersebut tidak ada respon sedikitpun dari para pelaku prostitusi yang ada prostitusi
semakin marak dalam kehidupan kita sekarang tidak mengenal kota ataupun desa
sepertinya hal tersebut bukanlah hal tabu lagi untuk di bicarakan. Dan bahkan
permasalahan ini menjadi hal yang sangat mendapat perhatian khusus dimana penyakit
HIV/ AIDS banyak menyerang masyarakat karena akibat dari prostitusi, dan para
pelaku prostitusi itu tidak jera dengan sanksi hukuman baik di dalam aturan yang ada
dalam KUHP ataupun dalam peraturan daerah yang bersifat lokal seperti Perda
Kabupaten Cianjur Nomor 21 Tahun 2000 tentang Larangan Pelacuran.2

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan Landasan Teori Pelacuran ?
2. Bagaimana kajian Perda Cianjur No.21 Tahun 2000 tentang Larangan Pelacuran ?
3. Bagaimana upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Cianjur dalam
Mengsosialisasikan Perda No.21 Tahun 2000 tentang Larangan Pelacuran ?
1
Hull, T., Sulistyaningsih, E., dan Jones, G.W., (1997), Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan perkembangannya,
Jakarta, Pustaka Sinar Harapan dan Ford Foundation, hlm. 39.
2
Truong, Tahnh-Dam, (1992), Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara, Terjemahan: Moh. Arif, Jakarta,
LP3ES, hlm. 20.

4
4. Apa Sanksi Pidana dalam Peraturan Daerah terkait Pelacuran ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian dan landasan teori pelacuran
2. Untuk mengetahui bagaimana kajian terhadap perda no.21 tahun 2000 tentang
larangan pelacuran
3. Untuk mengetahui bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah kabupaten cianjur
dalam mengsosialisasikan perda nomor 21 tahun 2000 tentang larangan pelacuran
4. Untuk mengetahui apa sanksi pidana dalam peraturan daerah terkait pelacuran

5
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian dan Landasan Teori Pelacuran


Prostitusi atau pelacuran dalam kamus Bahasa Indonesia dijelaskan berasal dari
kata lacur yang berarti malang, celaka, sial, gagal, atau buruk laku. Pelacur adalah
perempuan yang melacur, sundal, wanita tuna susila. Pelacuran adalah perihal
menjual diri sebagai pelacur, penyundalan.3 Sedangkan secara terminologis pelacuran
atau prostitusi adalah penyediaan layanan seksual yang dilakukan oleh laki-laki atau
perempuan untuk mendapatkan uang atau kepuasan.
Menurut Mulia, T.S.G et.al dalam Ensiklopedia Indonesia dijelaskan bahwa
pelacuran itu bisa dilakukan baik oleh kaum wanita maupun pria. Jadi ada persamaan
predikat pelacuran antara laki-laki dan wanita yang bersama-sama melakukan
perbuatan hubungan kelamin diluar perkawinan. Dalam hal ini, cabul tidak hanya
berupa hubungan kelamin diluar nikah saja, akan tetapi termasuk pula peristiwa
homoseksual dan permainan-permainan seksual lainnya.4
Orang yang melakukan perbuatan prostitusi disebut pelacur yang dikenal juga
dengan WTS atau Wanita TunaSusila. Selain disebut dengan pelacur dan WTS,
dikenal juga istilah pekerja seks/pekerja seks komersial (sex workers). Pekerja seks
menjadikan seks sebagai pekerjaan untuk menghasilkan pendapatan dari menjual
jasanya. Praktik prostitusi secara global dideskripsikan dari penelitian legalitas pada
100 negara. Jumlah negara yang ilegal prostitusi sebesar 39%. Negara yang legal
prostitusi sebesar 49%, dan legal terbatas (limited legality) sebesar 12%. jumlah
penduduk, prostitusi pada negara yang ilegal sebanyak 2,05 milyar penduduk atau
38%. Jumlah penduduk pada negara yang legal prostitusi sebanyak 1,41 milyar atau
26%. Sedangkan negara yang melegalkan dengan terbatas (limited legality) sebanyak
1,91 milyar orang atau 36%. Berdasarkan riset Procorn.org terhadap 100 negara
terkait legalitas prostitusi. Negara-negara ini dipilih adalah termasuk negara yang
pemeluk agamanya besar, wilayah geografis, dan kebijakan terhadap prostitusi.
Procon.org memasukkan dokumen pemerintah mengenai prostitusi seperti undang-
undang, keputusan pengadilan, informasi pekerjaan, dan lainnya dengan nama negara.
Sementara upaya-upaya telah dilakukan untuk menjamin keakuratan data yang

3
W.J.S Poerdarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984)
4
Kartini Kartono, Patologi Sosial (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997).

6
diberikan, tidak bergantung pada informasi ini tanpa terlebih dahulu memeriksa edisi
resmi dari hukum yang berlaku.
Teori yang relatif tepat untuk mengkaji permasalahan di atas adalah sebagai
berikut. Pertama, teori kritik hukum (critical legal studies). Teori kritik hukum adalah
teori hukum yang muncul atas ketidakpuasan terhadap teori dan praktik hukum pada
tahun tujuh puluhan di Amerika Serikat. Karakteristik dari teori kritik hukum adalah
sebagai berikut:
1. Mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik dan sama
sekali tidak netral.
2. Mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu.
3. Mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual sesuai batasan-
batasan tertentu.
4. Kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan
yang benar-benar objektif.
5. Menolak unsur kebenaran dari ilmu pengetahuan hukum, dan menolak pula
kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum yang
obyektif, sehingga mereka mengubah haluan hukum untuk kemudian digunakan
sebagai alat untuk menciptakan emansipasi dalam dunia politik, ekonomi dan
sosial budaya.
6. Menolak perbedaan antara teori dan praktik.Menolak juga perbedaan antara fakta
dan nilai yang merupakan karakteristik dari paham liberal. Dengan demikian teori
ini menolak kemungkinan teori murni (pure theory) tetapi lebih menekankan pada
teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi sosial yang praktis.
Tulisan ini, kritik atas peraturan daerah tentang larangan prostitusi dalam aspek
pemidanaan dengan cara berikut:
1) Kritik secara bahasa (gramatikal) yaitu suatu cara mengkaji peraturan perundang-
undangan menurut arti kata-kata (istilah) yang terdapat dalam peraturan daerah.
2) Kritik secara historis yaitu mengkaji peraturan daerah dengan cara melihat sejarah
terbentuknya suatu peraturan daerah.
3) Kritik secara sistematis yaitu mengkaji pasal yang satu dengan pasal yang lain
dalam suatu peraturan daerah yang bersangkutan, atau dengan peraturan daerah
lain, serta membaca penjelasan peraturan daerah tersebut sehingga dapat dipahami
maksudnya.

7
4) Kritik secara teleologis sosiologis yaitu mengkaji makna peraturan daerah itu
ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan, artinya peraturan daerah
disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru.
5) Kritik secara autentik yaitu mengkaji secara resmi yang diberikan oleh pembuat
peraturan daerah tentang arti kata-kata yang digunakan dalam undang-undang
tersebut.
Kedua, teori legislasi digunakan untuk menjawab permasalahan terkait dengan
kedudukan peraturan-peraturan daerah dalam tata urutan peraturan perundang-
undangan. Ketiga, teori pemidanaan hukum Islam dipergunakan untuk menjawab
permasalahan pemidanaan yang ditetapkan dalam peraturan daerah terkait larangan
prostitusi apakah sesuai dengan pidana Islam. Dalam penggunaan ini penerapan
pidana prostitusi lebih pada tujuan penjeraan (detterence). Keempat, teori prostitusi
(theory of prostitution) dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang terkait
dengan hal-hal terkait prostitusi seperti motivasi prostitusi, penyebab, dampak
ekonomis.5 Kelima, teori abolisi yang dipergunakan untuk memecahkan permasalahan
kebijakan negara dalam mengatur prostitusi.6 Maka dalam teori ini, penulis
menerapkan abolisi sebagai langkah yang tepat untuk mengatur prostitusi di
Indonesia.

2. Kajian Terhadap Perda Kabupaten Cianjur No.21 Tahun 2000 tentang


Larangan Pelacuran
Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 21 Tahun 2000 tentang Larangan
Pelacuran banyak sekali permasalahannya, oleh karena itu hanya membatasi pada hal-
hal Materi-materi apa yang disampaikan dalam kegiatan penyuluhan hukum dalam
sosialisasi Perda No 21 Tahun 2000 tentang Larangan pelacuran. Peraturan Daerah
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Larangan Pelacuran yang dimaksud dengan pelacuran
adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan yang
mempunyai dampak negatif terhadap sendi-sendi moral kehidupan masyarakat. Maka
dengan adanya Perda tersebut ada upaya untuk mempertahankan dan melestarikan
nilai-nilai luhur akhlakul karimah dalam kehidupan bermasyarakat, diperlukan adanya

5
a Carolina Nitimiharjo, “Peran Sistem Kepribadian dan Lingkungan dalam Perilaku Prostitusi.” Jurnal Psikologi
5, no. 1 (2000): h. 56-63.
6
Kondar Siregar, “Model Pengaturan Hukum tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat
Dalihan Na Tolu.” Medan: Perdana Mitra Handalan (2015).

8
pemberantasan penertiban, pengendalian dan pengawasan terhadap praktek pelacuran
di Kabupaten Cianjur.7
Perda kabupaten Cianjur Nomor 21 Tahun 2000 pada Bab I Ketentuan Umum
mengatakan bahwa pelacuran adalah setiap perbuatan amoral yang dilakukan oleh
laki-laki atau perempuan dengan laki-laki atau perempuan yang mengakibatkan
persetubuhan diluar nikah yang sah, baik dibayar dengan uang atau barang maupun
tidak.
Perda Nomor 21 Tahun 2000 Pasal 10 mengatakan:
1) Barangsiapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
3, 4, 5, 6 diancam dengan hukuman kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan
atau denda paling banyak Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah).
2) Barangsiapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
diancam dengan denda paling banyak Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah) atau
hukuman paling lama 2 (dua) bulan pengganti denda.
Ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 2, 3, 4, 5, 6 dan Pasal 7 Perda ini adalah
tindak pidana pelanggaran. Maka berdasarkan hal tersebut di atas dilakukan
pengawasan, penindakan dan pembinaan. Berdasarkan Perda Nomor 21 Tahun 2000
Pasal 8 bahwa :
1) Bupati berkewajiban mengeluarkan surat perintah kepada dinas/instansi/unit
kerja yang ditunjuk untuk menutup tempat dan atau bangunan serta sarana
lainnya yang nyatanyata berdasarkan bukti permulaan diduga keras telah
digunakan sebagai tempat melakukan pelacuran.
2) Penutupan tempat dan atau bangunan serta sarana lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku sepanjang tempat dan atau bangunan
tersebut disalahgunakan untuk pelacuran.
3) Apabila dianggap perlu berdasarkan pertimbangan dari dinas/instansi/unit
kerja Bupati dapat memerintahkan agar pelaku pelacuran dimasukan ke panti
rehabilitasi atau tempat lain yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) bulan.

Maka dalam Perda Nomor 21 Tahun 2000 Pasal 9 mengatakan :

7
Peraturan Daerah Kab Cianjur Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Larangan Pelacuran

9
1) Penyidikan terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Daerah ini dilakukan oleh penyidik umum dan atau penyidik pegawai negeri
sipil dilingkungan Pemerintah Daerah.
2) Dalam rangka melaksanakan tugas penyidikan, para penyidik sebagaimana
dimaksud ayat (1).
Pasal diatas memberikan pemahaman terhadap kerugian yang timbul akibat
keterlibatan dalam prostitusi. Memberi pengetahuan mengenai jaringan prostitusi dan
cara-cara yang dilakukan untuk menjerat korban. Memberi penyuluhan kesehatan
terkait masalah kesehatan yang mungkin timbul akibat prostitusi. Memberi pelatihan
kepada korban prostitusi agar dapat menjadi wiraswasta dan mendapat penghasilan
alternatif selain dari bidang prostitusi, dalam hal ini ada kegiatan Unit kesiswaan
dalam memupuk minat dan bakat siswa dengan kreasi dan inovasi sehingga
mendapatkan penghargaan berupa penghasilan. Upaya untuk menghapus sampai ke
akar-akarnya praktik prostusi dilakukan pengawasan, penindakan dan pembinaan
yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Cianjur sesuai dengan Perda Nomor 21
Tahun 2000 tentang Larangan Pelacuran.
Di dalam hukum Islam tidak ditemukan secara implisit menyebut prostitusi.
Prostitusi adalah penyediaan layanan seksual yang dilakukan oleh laki-laki atau
perempuan untuk mendapatkan uang atau kepuasan. Inilah yang menjadi permasahan
yang perlu diperjelas status hukumnya, mengingat dalam hukum pidana nasional,
istilah zina dengan prostitusi dibedakan deliknya. Hukuman pelaku zina terbagi dua,
yaitu muhsan (sudah menikah) dihukum dengan cara dirajam dan ghair muhsan
(belum menikah).8 Kebijakan yang dilakukan untuk mengatasi prostitusi secara garis
besar terdiri dari pertama, Legalisasi yakni penutupan praktik prostitusi; kedua,
kriminalisi yakni mengkriminalkan pelaku prostitusi; ketiga, dekriminalisasi yakni
upaya untuk mengkriminalkan pelaku prostitusi; dan keempat abolisi, yakni upaya
untuk menghapus sampai keakar-akarnya praktik prostusi, karena prostitusi dianggap
sebagai perbudakan. Indonesia termasuk negara yang menerapkan kebijakan
kriminalisasi. Namun pada praktiknya prostitusi tidak pernah habis dan malah tumbuh
subur. Perlukan merubah kebijakan dari kriminalisasi menuju abolisi.9

8
Dian Andriasari, Studi Komparatif Tentang Zina Dalam Hukum Indonesia Dan Hukum Turki, Jurnal Syiar
Hukum. Volume. XIII. Nomor. 3, 2011, hlm. 265-279.
9
Anwar Yesmil, (2009), Saat Menuai Kejahatan, Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi, Hukum dan
HAM, Bandung, PT Refika Aditama, hlm. 29.

10
3. Upaya yang Dilakukan Pemerintah Kabupaten Cianjur dalam
Mengsosialisasikan Perda No.21 Tahun 2000 tentang Larangan Pelacuran
Upaya pemerintah mengatasi permasalahan melakukan pengawasan ketat.
Contohnya juga untuk di lingkungan sekolah wajib ditingkatkan. Tidak hanya
menyangkut masalah perdagangan manusia, tetapi juga terhadap bahaya narkoba.
Bahaya narkoba juga harus menjadi perhatian serius di sekolah, serta pengawasan
juga harus dilakukan oleh masing masing orangtua. Salah satu uapay dalam mengatasi
permasalahn tersebut dilakukan penyuluhan hukum atau sosialisasi terhadap praktek
prostitusi.
Dari data yang dihimpun, di Kota Cianjur setidaknya terdapat kurang lebih ada
100 pelacur yang tersebar. Sepanjang hari terutama pada hari libur kawasan Cianjur
yang sejual dipadati pengunjung dengan udaranya sejuk, sehingga banyak pengunjung
yang membutuhkan teman kencan. Untuk mencegah angka penderita penyakit
mematikan ini, maka dari penuluhan ini pihak dinas sosial dan Satpol PP Kabupaten
Cianjur telah melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah. Bekerjasama dengan pihak
sekolah dan Guru BK. Penyuluhan ini dilakukan dengan mendatangi satu demi satu
sekolah.
Maraknya prostitusi di wilayah Cianjur, dikarenakan lemahnya pengawasan dan
minimnya upaya penertiban yang dilakukan. Harus ada upaya serius termasuk peran
aktif warga, sebab sudah meresahkan Jangan hanya para pelacurnya saja yang dikirim
ke panti sosial, seharusnya pengguna jasanya (dalam hal ini laki-laki hidung belang)
pun dikirim ke panti sosial agar menimbulkan efek jera.
Kebijakan yang dapat diterapkan untuk mencegah dan menanggulangi prostitusi
adalah kebijakan abolisi. Abolisi adalah kebijakan penghapusan prostitusi di muka
bumi dengan cara menerapkan peraturan perundang-undangan secara konsisten.
Upaya ini dilakukan dengan langkah komprehensif dengan penegakan hukum dan
pemberitaan di media massa atau online bagi pelaku prostitusi. Dengan pemberitaan
ini, maka dipastikan pelaku prostitusi akan jera.
Dalam upaya menanggulangi tindak pidana prostitusi dapat dilakukan melalui
sarana penal ataupun non penal. Penegakan hukum dengan sarana penal merupakan
salah satu aspek menerapkan hukum pidana (criminal law application), lebih menitik
beratkan upaya penanggulangan kejahatan lebih menitik beratkan pada sifat represif
(penindasan/pemberantasan/penum pasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan
melalui jalur non penal yaitu upaya penanggulangan yang lebih menitik beratkan pada

11
upaya penanggulangan bersifat preventif (pencegahan/penangkapan/pengg alian)
sebelum kejahatan terjadi.10
Upaya lain dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat melalui kebijakan
sosial dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.
Sumber lain yang mempunyai potensi efek preventif seperti media pers/media massa,
pemanfaatan kemajuan teknologi. Upaya nyata dalam mengatasi maraknya pratek
prostitusi dengan dilakukan kegiatan rajia/operasi yang dilakukan kepolisian di
beberapa tempat prostitusi tertentu dan kegiatan yang berorientasi pada pelayanan
masyarakat atau kegiatan komunikatif edukatif dengan masyarakat.

4. Sanksi Pidana dalam Peraturan Daerah terkait Pelacuran/Prostitusi


Sebagian umat Islam, khususnya mereka yang terlibat dalam politik, menuntut
pemberlakuan syariat Islam dengan memperlihatkan asumsi bahwa reformasi dalam
kehidupan umat Islam dapat dilakukan dengan pendekatan hukum, institusi, dan
instrumen negara. Syariat dalam hal ini dipersepsikan pada nuansa yang berbasis
negara dan perangkat-perangkatnya. Oleh karena itu, syariat Islam secara legal formal
dalam konstitusi diupayakan dapat tercantum. Kelompok-kelompok yang ingin
menerapkan syariat Islam seringkali menekankan hudûd sebagai unsur pokok dalam
penerapan syariat. Selama hudûd belum diterapkan, penerapan syariat Islam
dipandang tidak lebih dari basa-basi. Hudûd menjadi garis pemisah yang nyata dan
tegas antara kelompok yang menginginkan syariat Islam dan para penentang. Bagi
kelompok yang menentang penerapan syariat Islam, hudûd juga menjadi target utama.
Sebagai isu kontroversial antara kelompok yang pro dan yang kontra, hudûd lebih
membedakan dan menimbulkan polarisasi daripada hukum keluarga seperti nikah,
talak, cerai, dan rujuk, demikian juga yang berkaitan dengan formalisasi zakat, wakaf,
bank syariah, dan haji. Untuk itu, pembaruan hukum pidana secara aplikatif terhadap
syariat Islam perlu dilakukan untuk meminimalisir visted interest di kalangan yang
pro dan yang kontra penerapan syariat Islam. Sebagai langkah rekonstruksi terhadap
masalah hudûd, misalnya, adalah hukuman rajam bagi pelaku zina.
Akan tetapi tampaknya hukuman rajam bagi pelaku zina muhshan di dalam
Alquran tidak ada, yang ada hanya dalam hadis. Penerapan rajam dalam aspek
penjeraan tidak tercermin, karena peluang hidup bagi pelakunya sangat mungkin tidak
ada. Hukuman hadd sebagai hak Allah, inti penekanannya adalah kemaslahatan umat
10
Hans Kelsen, (2006), Teori Hukum Murni, Nusa Media dan Nuansa, Bandung, hlm 98.

12
dan penyadaran. Jika hukuman jilid memberi penyadaran, kemaslahatan umat tidak
terganggu. Sanksi hukum yang bersifat kondisional ini dapat dikembangkan berupa
hukuman penjara atau sanksi hukum lain yang mengarah pada mashlahah dan
penyadaran. Paradigma di atas sejalan dengan pemikiran hukum pidana Islam
kontemporer. Hukuman dalam konteks riil lebih ditekankan pada aspek zawâjir
daripada aspek jawâbir sebagai maqâshid atau ‘illah hukum. Artinya, hukuman yang
dilakukan ditekankan kepada yang bersalah agar jera dan tidak akan mengulangi
tindak pidana. Dengan demikian, hukuman tidak terikat dan terpaku pada apa yang
tertera dalam nash. Atas dasar ini, pelaku tindak pidana bisa saja dihukum dengan
hukuman selain yang tertera dalam nash, yang penting hukuman itu diharapkan dapat
membuat pelakunya jera, tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang serupa dan
membuat orang mempunya niat serupa mengurungkan niatnya. Elastisitas hukum
dengan tanpa melepaskan pendekatan normativisme hukum tersebut lebih sejalan
daripada dogmatisme hukum yang tidak boleh ditawar-tawar. Oleh karena itu, sangat
proporsional jika rajam yang berdasarkan hadis hanya bersifat kondisional. Rajam
yang terjadi pada masa Islam awal merupakan hukuman yang didasarkan pada
kebijakan tertentu.11
Oleh karena itu, sangat bijak dan lebih mengandung keadilan jika hukuman zina
tidak terlalu diberatkan. Kesempatan bagi pelakunya untuk memperbaiki diri sangat
diperlukan, sehingga dia menjadi orang yang berguna bagi masyarakatnya kelak.
Berdasarkan nilai mashlahah dan keadilan yang dijadikan ukuran dalam menentukan
hukum, maka hal yang sangat urgen adalah kesesuaian hukum dengan masyarakat.
Artinya, jika terdapat hukuman selain rajam atau jilid dan hukuman itu diterima oleh
masyarakat serta menjadi standard untuk ukuran mashlahah dan adil, maka
pemberlakuan hukum itu dapat diterima. Meskipun demikian, langkah itu harus
memperhatikan berbagai aspek tujuan. Dalam hal ini, tujuan hukum pidana itu untuk
memenuhi rasa keadilan, pembalasan, dan pencegahan agar tidak melakukan
pelanggaran lagi yang dapat ditiru oleh masyarakat yang lain. Di samping itu,
pemidanaan ini dipakai sebagai langkah untuk mendidik dan membantu terpidana
supaya hidup tenteram dan diterima oleh masyarakat seperti sebelum dia melakukan
pelanggaran.
Keterangan di atas tidak berarti menafikan konsepsi yang menetapkan hukum
rajam atau jilid sebagai satu-satunya hukuman bagi pelaku zina. Pemberlakuan
11
https://media.neliti.com/media/publications/272046-kritik-hukum-islam-atas-sanksi-pidana-pe-7cbf1c1c.pdf

13
hukuman ini dilakukan jika kondisi masyarakat menerima dan tindak pidana terjadi
dalam keadaan normal. Jika tidak, maka harus dicari alternatif hukum yang akseptabel
dan mengantarkan pada penjeraan. Dengan demikian, akal pikiran dapat menyusun
ketentuan-ketentuan baru, meskipun diktum-diktum hukum spesifik Alquran
terabaikan, asal sejalan atau tidak bertentangan dengan ajaran pokok dimana Alquran
diturunkan. Hukum pidana hudûd yang bermuara pada relativitas sanksi hukum
sebagian besar pada dasarnya telah diatur dalam hukum nasional. Dengan demikian,
ideal moral Alquran dan al-Sunnah telah diimplementasikan dalam hukum pidana
nasional.
Secara umum, penerapan hukum pidana dalam syariat diorientasikan pada prinsip
larangan, bukan sanksi. Untuk itu, langkah mamasukkan hukum pidana Islam tetap
merujuk pada ideal moral, bukan legal spesifik. Dalam konteks tersebut, Perda syariat
tentang perzinaan di beberapa daerah mendapat legitimasi. Meskipun demikian, Perda
itu tidak berlabelkan Islam, ukurannya adalah pandangan secara umum seperti Perda
anti prostitusi yang semua komponen umat beragama melarangnya. Dalam hal ini,
Perda tidak bertentangan dengan hak asasi manusia dan mengganggu kepentingan
orang lain. Perda syariat mengakomodasi berbagai kepentingan umat, tetap dalam
bingkai NKRI, dan berorientasi pada ideologi Pancasila. Untuk itu, sanksi Perda anti
pelacuran tidak secara normatif sesuai dengan teks sanksi yang tertuang dalam
Alquran, tetapi secara moral sanksi dapat diberikan sesuai kesepakatan daerah dengan
merujuk pada ideal moral dalam Alquran dan al-Sunnah.

BAB III
PENUTUP

14
Prostitusi atau pelacuran dalam kamus Bahasa Indonesia dijelaskan berasal dari kata
lacur yang berarti malang, celaka, sial, gagal, atau buruk laku. Pelacur adalah perempuan
yang melacur, sundal, wanita tuna susila. Orang yang melakukan perbuatan prostitusi disebut
pelacur yang dikenal juga dengan WTS atau Wanita TunaSusila. Teori untuk mengkaji
permasalahan ini yaitu teori kritik hukum, teori legislasi, teori pemidanaan hukum islam,
teori prostitusi, dan teori abolisi.
Pemerintah Kabupaten Cianjur harus lebih aktif dan genjar dalam mencegah dan
menanggulangi tindak pidana prostitusi pelajar di Kabupaten Cianjur. Adanya peran serta
partisipasi dari masyarakat, tokoh masyarakat dan ulama baik dari daerah setempat, pihak
sekolah maupun bantuan pihak-pihak lain yang terkait untuk menekan tidak bertambah
suburnya praktek pelacuran (menanamkan etika serta akidah moral akhlak). Usaha demikian
dapat dimulai dengan mencoba mengubah persepsi masyarakat akan pelacuran. Agar tidak
ada penguatan dan justifikasi terhadap prostitusi, aparat pemerintah dari tingkatan apapun dan
juga masyarakat harus bisa menolak pemberian dalam bentuk apapun yang sekiranya berasal
dari dunia prostitusi. Pemerintah juga harus merangkul, memberdayakan, dan memberi
pelatihanpelatihan yang memungkinkan mendapatkan uang yang sama banyaknya dengan
saat menjadi pekerja seks.

DAFTAR PUSTAKA

15
Peraturan Daerah Kab Cianjur Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Larangan Pelacuran
Hull, T., Sulistyaningsih, E., dan Jones, G.W., (1997), Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan
perkembangannya, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan dan Ford Foundation.
Truong, Tahnh-Dam, (1992), Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara, Terjemahan: Moh.
Arif, Jakarta, LP3ES.
Poerdarmita, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984.
Kartono, Kartini. Patologi Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Nitimiharjo, Carolina. “Peran Sistem Kepribadian dan Lingkungan dalam Perilaku
Prostitusi.” Jurnal Psikologi 5, no. 1 (2000): 56-63.
Siregar, Kondar. “Model Pengaturan Hukum tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis
Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu.” Medan: Perdana Mitra Handalan (2015).
Dian Andriasari, Studi Komparatif Tentang Zina Dalam Hukum Indonesia Dan Hukum
Turki, Jurnal Syiar Hukum. Volume. XIII. Nomor. 3, 2011, hlm. 265-279.
Anwar Yesmil, (2009), Saat Menuai Kejahatan, Sebuah Pendekatan Sosiokultural
Kriminologi, Hukum dan HAM, Bandung, PT Refika Aditama, hlm. 29.
Hans Kelsen, (2006), Teori Hukum Murni, Nusa Media dan Nuansa, Bandung, hlm 98.

https://media.neliti.com/media/publications/272046-kritik-hukum-islam-atas-sanksi-pidana-
pe-7cbf1c1c.pdf

https://www.researchgate.net/publication/332991413_PENYULUHAN_HUKUM_TERHADAP_PER
DA_NOMOR_21_TAHUN_2000_TENTANG_LARANGAN_PELACURAN_BAGI_PELAJ
AR_SISWI_SMKSMAMA_DALAM_PENANGGULANGAN_PRAKTIK_PROSTITUSI_DI
KABUPATEN_CIANJUR

16

Anda mungkin juga menyukai