Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN KEBUTUHAN

IMOBILISASI

NAMA KELOMPOK 2:

1.ADI KURNIAWAN 14.NUR SARI FANI

2.AGRETI YOSUA GUMOLUNG 15.PUTRI SABINA

3.DITA AFRINILCI 16.RIZKY NURWANDA

4.FILZHA PUTRI HARFITA 18.SITI ANISA 5.FITRIYANI

6.INTAN PERMATA SARI ALMAHDALI 19.TIARA (202101126)19.

7.LAURA GRACELLA FLORENCI 20.UTMA NINGSI

8.MARIFA 21.VIRA PRATIWI

9.ENDRA EKA PUTRI WAYO 22.ZIKRI RAUF

10.MOH FACHRIADI 23.ZULHIZAH ANGGARAEINI

11.NI PUTU FEBY FEBRIANTY 24.MELISA.A

12.NILAN SARI M.HARIS


13.NUR AFIFAH UMAR

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.IMOBILISASI

1.Definisi

Gangguan mobilitas fisik ( Imobilisasi ) adalah suatu keadaan ketika individu


mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerak fisik menurut, perubahan
dalam tingkat mobilisasi fisik dapat meningkatkan instruksi pembatasan gerak dalam
tirah baring, pembatasan gerak fisik, selama menggunakan alat bantu eksternal ( mis
gips, atau traksi rangka), pembatasan gerak volunter atau kehilangan fungsi motorik,
NANDA, Kim et al, 1995 dikutip oleh Potter & Perry, 2013.

Menurut Kozier, 2012 Imobilisasi adalah merupakan penurunan jumlah dari


pergerakan yang terkumpul pada individu. Secara normal seseorang akan bergerak
apabila mereka mengalami ketidak nyamanan akibat penekanan pada suatu area
tubuh.

Imobilitas / Imobilisasi adalah merupakan keadaan ketika seseorang tidak dapat


bergerak secara bebas karena kondisi yang menggangu pergerakan (aktivitas)
misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada
ekstremitas dan sebagainya ( A Aziz dkk, 2014)

Jadi definisi Imobilisasi adalah suatu keadaan dimana penderita harus istirahat
ditempat tidur tidak bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau gangguan
pada alat / organ tubuh yang bersifat fisik atau mental atau bedrest yang lebih dari 3
hari atau lebih.

2. Tujuan Imobilisasi

Tujuan dilakukannnya Imobilisasi menurut Kasiati, 2016 adalah :

a. Pengobatan atau terapi, seperti pada klien setelah menjalani pembedahan atau
mengalami cedera pada kaki atau tangan. Tirah baring merupakan suatu intervensi
dimana klien dibatasi untuk tetap berada ditempat tidur untuk tujuan terapi antara
lain untuk memenuhi kebutuhan oksigen,

mengurangi nyeri, mengembalikan kekuatan dan cukup istirahat.


b. Mengurangi nyeri pasca operasi

c. Ketidak mampuan premier seperti paralisis

d. Klien mengalami kemunduran pada rentang Imobilisasi parsial atau

mutlak

3. Tingkat imobilisasi

Tingkat Imobilisasi menurut Kasiati, 2016 adalah :

a. Imobilisasi komplit : Imobilisasi dilakukan pada individu yang

mengalami gangguan tingkat kesadaran

b. Imobilisasi parsial : Imobilisasi yang dilakuakn pada klien yang mengalami fraktur

c. Imobilisasi karena pengobatan : Imobilisasi pada penderita gangguan pernafasan


atau jantung, pada klien tirah baring ( bedrest) total, klien tidak boleh bergerak dari
tempat tidur, berjalan, dan duduk dikursi.

4. Jenis Imobilisasi menurut

Menurut A Aziz dkk, 2014 jenis imobilisasi adalah :

a. Imobilisasi Fisik

Merupakan pembatasan bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah terjadinnya


gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien hemiplegia yang tidak mampu
mempertahankan tekanan didaerah paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi
tubuhnya untuk mengurangi tekanan.

b. Imobilisasi Intelektual

Merupakan keadaanketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir, seperti


pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.

c. Imobilisasi Emosional

Keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional karena adannya


perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri sebagai contoh keadaan stress
berat dapat disebabkan karena bedah.

amputasi ketika seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh

atau kehilangan sesuatu yang dicintai.


d. Imobilisasi Sosial

Keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial


karena keadaan penyakitnya sehingga dapat mempengaruhi perannya dalam
kehidupan sosial.

5. Respon Fisiologis terhadap Imobilisasi

Respon Fisiologis terhadap Imobilisasi A Aziz dkk, 2014 yaitu :

a. Muskuloskeletal : menurunnya masa otot dan menyebabkan kekuatan otot

menurun dan akan mudah terjadi kontraktur sendi dan osteoporosit.

b. Kardiovaskuler : dapat mengakibatkan hipotensi, meningkatkan kerja

jantung dan terjadinnya pembentukan thrombus.

c. Respiratori : akibat haemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, aliran

darah keparu – paru terganggu sehingga pertukaran gas menurun, kerja

diasidosis respiratori.

d. Vertigo : terjadi akibat seseorang terlalu lama berbaring, hingga aliran

darah keotak berkurang dan menyebabkan pusing.

6.Dampak Imobilisasi

Dampak yang terjadi terhadap imobilisasi menurut Potter & Perry, 2013 adalah
sebagai berikut :

a. Perubahan Metabolisme

Perubahan mobilisasi akan mempengaruhi metabolisme endokrin, resorpsi kalsium


dan fungsi gastrointestinal. Sistem endokrin menghasilkan hormon,
mempertahankan dan meregulasi fungsi vital seperti: 1) berespon pada stress dan
cedera, 2) pertumbuhan dan perkembangan, 3) reproduksi, 4) mempertahankan
lingkungan internal, serta 5) produksi pembentukan dan penyimpanan energi.
Imobilisasi mengganggu fungsi metabolisme normal seperti: menurunkan laju
metabolisme, mengganggu metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, dan
menyebabkan gangguan gastrointestinal seperti nafsu makan dan peristaltik
berkurang. Namun demikian pada proses infeksi klien yang imobilisasi mengalami
peningkatan BMR karena demam dan penyembuhan luka membutuhkan oksigen.

b. Perubahan Pernafasan

Kurangnya pergerakan dan latihan akan menyebabkan klien memiliki komplikasi


pernafasan. Komplikasi pernafasan yang paling umum adalah atelektasis (kolapsnya
alveoli) dan pneumonia hipostatik (inflamasi pada paru akibat statis atau
bertumpuknya sekret). Menurunnya oksigenasi dan penyembuhan yang alam dapat
meningkatkan ketidaknyamanan klien. Pada atelektasis, sekresi yang terhambat pada
bronkiolus atau bronkus dan jaringan paru distal (alveoli) kolaps karena udara yang
masuk.

diabsorpsi dapat menyebabkan hipoventilasi. Sisi yang tersumbat mengurangi


keparahan atelektasis. Pada beberapa keadaan berkembangnya komplikasi ini.
kemampuan batuk klien secara produktif menurun. Selanjutnya distribusi mukus
pada bronkus meningkat, terutama saat klien dalam posisi supine, telungkup atau
lateral. Mukus berkumpul pada bagian jalan nafas yang bergantung. Pneumonia
hipostatik sering menyebabkan mukus sebagai tempat yang baik untuk
bertumbuhnya bakteri.

c. Perubahan Kardiovaskuler

Imobilisasi juga mempengaruhi sistem kardiovaskuler. Tiga perubahan utama adalah


hipotensi ortostatik, meningkatnya beban kerja jantung dan pembentukan trombus.
Hipotensi ortostatik adalah peningkatan denyut jantung lebih dari 15% atau tekanan
darah sistolik menurun 15 mmHg atau lebih saaat klien berubah posisi dari posisi
terlentang ke posisi berdiri.43 Pada kilen yang imobilisasi, menurunnya volume
cairan yang bersirkulasi, berkumpulnya darah pada ekstremitas bawah, menurunnya
respon otonomik akan terjadi. Faktor ini akan menurunkan aliran balik vena, disertai
meningkatnya curah jantung, yang direfleksikan dengan menurunnya tekanan darah.
Hal ini terutama terjadi pada klien lansia. Karena beban kerja jantung meningkat,
konsumsi oksigen juga meningkat. Oleh karena itu, jantung akan bekerja lebih keras
dan kurang efisiensi jantung selanjutnya akan menurun sehingga beban kerja jantung
meningkat.
d. Perubahan Muskuloskeletal

Dampak imobilisasi pada sistem musluloskeletal adalah gangguan permanen atau


temporer atau ketidakmampuan yang permanen. Pembatasan mobilisasi terkadang
menyebabkan kehilangan daya tahan, kekuatan dan massa otot, serta menurunnya
stabilitas dan keseimbangan. Dampak pembatasan mobilisasi adalah gangguan
metabolisme kalsium dan gangguan sendi. Karena pemecahan protein, klien
kehilangan massa tubuh yang tidak berlemak. Massa otot berkurang tidak stabil
untuk mempertahankan aktivitas tanpa meningkatnya kelemahan. Jika mobilisasi
terus terjadi dan klien tidak melakukan latihan, kehilangan massa otot akan terus
terjadi. Kelemahan otot juga terjadi karena imobilisasi, dan imobilisasi lama sering
menyebabkan atrofi angguran, dimana atrofi angguran (disuse atrophy) adalah
respon yang dapat diobservasi terhadap penyakit dan menurunnya aktifitas
kehidupan sehari-hari. Dan imobilisasi kehilangan daya tahan, menurunnya massa
dan kekuatan otot, dan instabilitas sendi menyebabkan klien beresiko mengalami
cedera. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa hari bedrest, menunjukkan bahwa
pasien kritis terpasang ventilator dapat kehilangan hingga kelemahan otot perifer 25
% dalam waktu 4 hari dan kehilangan 18 % berat badannya. Hilangnya

massa otot-otot rangka sangat tinggi dalam 2-3 minggu pertama imobilisasi selama
perawatan intensif.

e. Perubahan Eliminasi Urine

Imobillisasi dapat mengubah eliminasi urine. Pada posisi tegak, klien dapat
mengeluarkan urine dari pelvis renal dan menuju ureter dan kandung kemih karena
gaya gravitasi. Saat klien dalam posisi berbaring terlentang dan datar, ginjal dan
ureter bergerak maju ke sisi yang lebih datar. Urine yang dibentuk oleh ginjal harus
memasuki kandung kemih yang tidak dibantu oleh gaya gravitasi. Karena kontraksi
peristaltik ureter tidak mampu menimbulkan gaya garvitasi, pelvis ginjal terisis
sebelum urine memasuki ureter. Kejadian ini disebut stastis urine dan meningkatkan
resiko infeksi saluran kemih dan batu ginjal. Batu ginjal adalah batu kalsium yang
terjebak dalam pelvis ginjal atau melewati ureter. Klien imobilisasai beresiko tinggi
terkena batu ginjal, karena mereka sering mengalami hiperklasemia. Apabila periode
imobilisasi berlanjut, asupan cairan sering berkurang. Ketika digabungkan dengan
masalah lain seperti demam, resiko dehidrasi meningkat. Akibatnya, keseluruhan
urine berkurang pada atau antara hari ke 5 atau ke 6 setelah imobilisasi, dan urine
menjadi pekat. Urine yang pekat ini meningkatkan resiko kontaminasi traktus
urinarius oleh bakteria escherchia coli. Penyebab infeksi saluran kemih lainnya pada
klien yang imobilsasi adalah penggunaan kateter urine indwelling.

Retensi urine, orang yang tidak dapat bergerak dapat menderita retensi urine
( akumulasi urinedidalam kandung kemih), distensi kandung kemih, dan kadang kala
inkontinensia urine ( berkemih secara involunter). Penurunan tonus otot kandung
kemih menghambat kemampuannya untuk mengosongkan urine secara komlit dan
individu mengalami imobilitas tidak mampu merelaksasi otot perineum secara cukup
untuk dapat berkemih.ketidak nyamanan menggunakan pispotuntuk defekasi /
pispot untuk berkemih, rasa malu dan tidak adanya privasi terkait fungsi ini, dan
posisi yang tidak alami untuk berkemih, semuannya itu menyulitkan klien untuk
merelaksasi otot perineum dengan baik dengan baik untuk berkemih saat berbaring
ditempat tidur.

Apabila urinasi tidak memungkinkan kandung kemih secara bertahap menjadi penuh
dengan urine. Kandung kemih dapat meregang secara berlebihan, yang pada
akhirnya menghambat desakan untuk berkemih. Saat distensi kandung kemih cukup
bermakna, beberapa tetesan kemih secara involunter dapat terjadi (retensi dengan
aliran berlebihan) ini tidak meredakan distensi urine, karena sebagaian besar urine
yang staknan tetap berada dikandung kemih.

f. Perubahan Integumen

Perubahan metabolisme yang menyertai imobilisasi dapat meningkatkan efek


tekanan yang berbahaya pada kulit klien yang imobilisasi. Hal ini membuat imobilisasi
menjadi masalah resiko yang besar terhadap luka tekan. Metabolisme jaringan
bergantung pada suplai oksigen dan nutrisi serta eliminasi sampah metabolisme dari
darah. Tekanan mempengaruhi metabolisme seluler dengan menurunkan atau
mengeliminasi sirkulasi jaringan secara keseluruhan.

g. Perubahan Perkembangan

Perubahan perkembangan merupakan dampak fisiologis yang muncul akibat dari


imobilisasi. Perubahan perkembangan cenderung dihubungkan dengan imobilisasi
pada anak yang sangat muda dan pada lansia. Anak yang sangat muda atau lansia
yang sehat namun diimobilisasi memiliki sedikit perubahan perkembangan. Namun,
terdapatnya beberapa pengecualian. Misalnya ibu yang mengalami komplikasi saat
kelahiran harus tirah baring dan mengakibatkan tidak mampu berinteraksi dengan
bayi baru lahir seperti yang dia harapkan.

7.Komplikasi dari Imobilisasi

Komplikasi sekunder dari Imobilisasi menurut Black, 2014 adalah, tromboplebitis,


konstipasi, ateleksasis. masalah buang air kecil, kehilangan kekuatan otot, gangguan
integritas kulit, serta depresi.

Anda mungkin juga menyukai