Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kekuatan
dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah tentang Korupsi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung
dalam penyusunan makalah ini.

Penulis sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.

Jakarta, 9 April 2018


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………………………………….i

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………………………..ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………………….. 1

1.1. LATAR BELAKANG…………………………………………………………………………………………………….. 1

1.2. TUJUAN……………………………………………………………………………………………………………………. 2

BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………………………………………….. 5

2.1. PENGERTIAN KORUPSI SECARA TEORITIS …………………………………………………………………. 5

2.2. TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF

NORMATIF………………………………………………………………………………………………………………… 6

2.3. FAKTOR PENDORONG TERJADINYA KORUPSI……………………………………………………………. 10

2.4. SOLUSI PEMECAHAN MASALAHNYA…………………………………………………………………………. 11

BAB III ANALISIS………………………………………………………………………………………………………….. 13

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………………………………………..17

  3.1.KESIMPULAN…………………………………………………………………………………………………..17

  3.2.SARAN……………………………………………………………………………………………………………. 17

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………………18
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam
melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagaisuatu proses perubahan yang
direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan
pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-
orang yang terlibatsejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan.
Diantaradua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya.Indonesia
merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber
daya alamnya. Tetapi ironisnya, negaratercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan
Asia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang
miskin.Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya
manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi
juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat
kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi.Korupsi di
Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit social) yang sangat berbahaya
yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi
telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih
memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasankeuangan negara yang
dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggotalegislatif dengan dalih studi banding, THR, uang
pesangon dan lainsebagainya di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan
keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itumerupakan
cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan
dan aji mumpung. Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain
kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas
korupsi,atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadir yang paling rendahmaka jangan
harap Negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk
menjadi sebuah negara yang maju. Karenakorupsi membawa dampak negatif yang cukup luas
dan dapat membawa negara ke jurang kehancuran.
1.2.     Tujuan

1.            Untuk mengetahui pengertian korupsi.

2.            Untuk mengetahui penyebab atau latar belakang terjadinya korupsi.

3.            Untuk mengetahui macam-macam dari korupsi.

4.            Untuk mengetahui dampak adanya korupsi.

5.            Untuk mengetahui langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Korupsi secara Teoritis

Kata Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah
tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan, 
dan merugikan kepentingan umum. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku
pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan
perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Maka dapat
disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas
dengan berbagai macam modus.

Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan
cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum
dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi
keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan
menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan
kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.

Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh
pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau
keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang
pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang
bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan
si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga
termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak
ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya
atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya,
juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian, jelas bahwa ciri yang
paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan
antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi
dengan masyarakat.
2.2. Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Normatif

Memperhatikan Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Undang-undang Nomor 20 tahun


2001,maka tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari dua segi yaitu korupsi Aktif dan Korupsi
Pasif, Adapun yang dimaksud dengan Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :

-        Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999)

-        Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang
menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau dapat merugikan keuangan Negara,atau
perekonomian Negara (Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)

-        Memberi hadiah Kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang
yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999)

-         Percobaan pembantuan,atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak pidana Korupsi
(Pasal 15 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)

-        Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara Negara
dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun
2001)

-        Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara negara karena atau
berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20 Tagun 2001)

-        Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001)

-         Pemborong,ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan
bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,melakukan perbuatan curang yang
dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan
perang (Pasal (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
-        Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan,sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal
7 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)

-        Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara nasional Indonesia
atau Kepolisian negara Reublik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-
undang Nomor 20 tahun 2001)

-        Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara nasional
indpnesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja mebiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor
20 Tahun 2001)

-         Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yyang di tugaskan menjalankan suatu jabatan
umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu,dengan sengaja menggelapkan uang
atau mebiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau
membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 tahun
2001)

-        Pegawai negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau sementara waktu,dengan sengaja memalsu buku-buku atau
daftar-daftar khusus pemeriksaan administrasi (Pasal 9 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001)

-        Pegawai negeri atau orang selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja
menggelapkan menghancurkan,merusakkan,atau mebuat tidak dapat dipakai barang,akta,surat
atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang
berwenang yang dikuasai karena jabatannya atau membiarkan orang lain
menghilangkan,menghancurkan,merusakkan,attau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat atau daftar tersebut (Pasal 10 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)

-          Pegawai negeri atau Penyelenggara Negara yang :

Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau
menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (pasal
12 e undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
Pada waktu menjalankan tugas meminta,menerima atau memotong pembayaran kepada
pegawai Negeri atau Penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai
hutang kepadanya.padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan mrupakan hutang (huruf f)
Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang
seplah-olah merupakan hutang pada dirinya,padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan hutang (huruf g)
Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak
pakai,seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,telah merugikan orang yang
berhak,apadahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan atau baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta
dalam pemborongan,pengadaan,atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan,untuk
seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya (huruf i)

-        Memberi hadiah kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang
yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukan itu (Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).

Sedangkan Korupsi Pasif adalah sebagai berikut :

-          Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji karena
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya
(pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)

-          Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mepengaruhi nasihat atau
pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk
diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 20 Tahun 2001)

-          Orang yang menerima penyerahan bahan atau keparluan tentara nasional indonesia,
atau kepolisisan negara republik indonesia yang mebiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c Undang-undang nomor 20 tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang nomor 20 tahun 2001.

-          Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
utnuk mengerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya,atau sebaga akibat atau disebabkan karena telah
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya (pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
-          Hakim yang enerima hadiah atau janji,padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili (pasal 12 huruf c Undang-undang nomor 20 tahun 2001)

-          Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga,bahwa
hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat uang diberikan
berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (pasal 12 huruf
d Undang-undang nomor 20 tahun 2001)

-          Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang
diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
(pasal 12 Undang-undang nomor 20  tahun 2001).
2.3. Faktor Pendorong Terjadinya Korupsi

Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada
rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.

·         Gaji yang masih rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan,


administrasi yang lamban dan sebagainya.

·         Sikap mental para pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang haram, tidak ada
kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah.

·         Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah.

·         Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan
politik yang normal.

·         Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.

·         Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”.

·         Lemahnya ketertiban hukum.

·         Lemahnya profesi hukum.

·         Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

·         Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian
yang cukup ke pemilihan umum.

·         Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan
kampanye”.
2.4. Solusi Pemecahan Masalahnya

Kalau korupsi dibiarkan secara terus menerus tanpa upaya menanggulanginya, maka akan
terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari
jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Meskipun
berbagai upaya belum tentu dapat menghilangkan korupsi, tapi paling tidak dapat
menguranginya. Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab
dan masif dengan pendekatan simultan. Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang
ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan.
Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi
sebagai berikut :

1.      Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah


pembayaran tertentu.

2.      Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.

3.      Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan
pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih
organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah
saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.

Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman.
Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi
memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun
korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali
mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya
perubahan organisasi. Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized)
tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan
adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi
harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah
pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan
melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan korupsi yaitu agar
pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang
perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan
yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi
sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya
diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum
pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang
yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula. Persoalan korupsi beraneka ragam cara
melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak
cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai
melihat masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan
timbulnya korupsi. Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :

1.      Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi
politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.

2.      Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.

3.      para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.

4.      Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak
korupsi.

5.      Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah
departemen, beserta jawatan dibawahnya.

6.      Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan
berdasarkan sistem “ascription”.

7.      Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi
pemerintah.

8.      Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur

9.      Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi,
dibarengi sistem kontrol yang efisien.

10.  Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan
pengenaan pajak yang tinggi.
BAB III

ANALISIS

Peraturan-peraturan tentang pemberantasan korupsi silih berganti, selalu orang yang


belakangan yang memperbaiki dan menambahkan, namun korupsi dalam segala bentknya
dirasakan masih tetap mengganas. Istilah korupsi sebagai istilah hokum dan member batsan
pengertian korupsi adalah perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian
Negara atau daerah atau badan hokum lain yang mempergunakan modal dan/atau kelonggaran
yang lain dari masyarakat, sebagai bentuk khusus daripada perbuatan korupsi. Oleh karena itu,
Negara memandang bahwa perbuatan atau tindak pidana korupsi telah masuk dan menjadi
suatu perbuatan pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan
keuangan Negara dan daerah, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
social dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan
sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

            Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga)
pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :

-          Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,

-          Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi,

-          Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.

Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan memberantas
korupsi yang tepat yaitu:

1.            Strategi Preventif.

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi
penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya
preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat
upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan
banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.

2.            Strategi Deduktif.

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu
perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti
dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-
sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan sinyal
apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin
ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.

3.            Strategi Represif.

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk memberikan
sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan
di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat dilakukan secara cepat dan
tepat. Namun implementasinyaharus dilakukan secara terintregasi. Bagi pemerintah banyak
pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang hendak dilaksanakan.

Adapula strategi pemberantasan korupsi secara preventif maupun secara represif antara lain :

1. Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini
perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan rakyat
anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu
bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya
koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama ini pemberantasan korupsi
hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari dukungan saja tanpa ada
realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan rakyat ini diperlukan untuk
menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan moral agar pemerintah
bangkit memberantas korupsi.

2. Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan,


Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta memiliki komitmen
yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang status
sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan
membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur structure follows
strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi yang sudah ada terlebih dahulu
kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya masing-masing dalam struktur
organisasi tersebut.

3. Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah
kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia.
Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat yang
sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima,
mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat
dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan
masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun
peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.

4. Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam


pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan orang
yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai yang
melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka yang telah
terbukti bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah kejahatan
terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan korupsi berarti melanggar
harkat dan martabat kehidupan

Negara mengeluarkan 3 produk hukum tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu: UU
No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan UU No 28 Tahun 1999 tentang enyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme.

Kesimpulan dari ketiga UU yang menyangkut pemberantasan tindak pidana korupsi ini
merupakan lex specialis generalis. Materi substansi yang terkandung didalamnya antara lain :

1.      Memperkaya diri/orang lain secara melawan hokum (Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun
1999). Jadi, pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah setiap orang baik yang berstatus PNS
atau No-PNS serta korporasi yang dapat berbentuk badan hokum atau perkumpulan.

2.      Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.

3.      Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

4.      Adanya oenyakahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana (Pasal 3 UU N0.31 Tahun
1999).

5.      Menyuap PNS atau Penyelenggara Negara (Pasal 5 UU No.20 Tahun 2001).

6.      Perbuatan curang (Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001).

7.      Penggelapan dalam jabatan (Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001).


Oleh karena itu, keberadaan produk regulasi yang diberikan Negara untuk

menyelamatkan keuangan Negara dari perilaku korupsi, sangatlah dituntu kepada para aparat
penegak hokum lainnya untuk semkasimal mungkin dapat memahami rumusan delik yang
terkait dan menyebar di setiap pasal yang ada agar tepat dalam menerapkan kepadapara
pelaku.selain itu juga diperlukan strategi pemberantasan korupsi yang sangat jitu dan tepat.

Penerapan sangsi normatif mengenai korupsi kepada para pelakunya tidakakan bermanfaat dan
bernilai penyesalan bilamana tidak diikutkan juga beberapa strategi. Ada 3 hal yang harus
dilakukan guna mengurangi sifat dan perilaku masyarakat untuk korupsi, anatara lain;

(1) menaikkan gaji pegawai rendah dan menengah,

(2) menaikkan moral pegawai tinggi, serta

(3) legislasi pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal.


BAB III

PENUTUP
 

3.1.Kesimpulan

Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan
negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek.
Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang
Negara untuk kepentingannya.Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan dan kelemahan
pemimpin,kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme, penjajahan rendahnya pendidikan,
kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk
perilaku korupsi, rendahnya sumber daya manusia, serta struktur ekonomi.Korupsi dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu bentuk, sifat,dan tujuan.Dampak korupsi dapat terjadi
di berbagai bidang diantaranya, bidang demokrasi, ekonomi, dan kesejahteraan negara.  

  3.2. Saran

Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak dini.Dan pencegahan korupsi
dapat dimulai dari hal yang kecil
DAFTAR PUSTAKA

Muzadi, H. 2004. MENUJU INDONESIA BARU, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Malang : Bayumedia Publishing.

Lamintang, PAF dan Samosir, Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia .Bandung : Penerbit Sinar
Baru.

Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia . Jakarta : GhaliaIndonesia

SUMBER: http://kumpulanmakalah-cncnets.blogspot.com/2012/02/makalah-korupsi.html

Anda mungkin juga menyukai