Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

“ LEMABAGA PEMERINTAH PEMBUAT UNDANG-UNDANG ”

DOSEN PENGAMPU : M. BAZLY GHAFFARI, S.H ,M.H

DI SUSUN OLEH KELOMPOK :

Nur Atika Amanda 101190035

Ahmad Habi Bullah 101190039

Muhammad Arwin 101190106

M Gilang Ramadhan P. 101190050

M Firdaus 101190046

HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN

JAMBI
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘alaikum warahmaatullah wabarakatuh

Segala puji bagi Allah swt yang telah melimpahkan rahmat nya dan memberikan kami
kemudahan untuk menyelesaikn makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa rahmat-Nya tidak
sanggup kami menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat beserta salam semoga
tercurahkan kepada baginda Naabi Muhammad Saw yang kita berharap syafaatnya di hari akhir
kelak.

Penulis mengucapkan hatur triliun nuhun kepada Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya
penulis mampu menyelesaikan makalah ini sebagai tugas kelompok dari mata kuliah ILMU
PERUNDANG-UNDANGAN dengan judul “ LEMBAGA PEMERINTAH PEMBUAT
UNDANG-UNDANG ”. Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis
memohon dengan sangat kritik serta saran dari ibu dosen untuk makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi yang mau mengambil manfaatnya.

Terima kasih

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii

BAB I...............................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...........................................................................................................................1

1.1 LATAR BELAKANG......................................................................................................1

BAB II.............................................................................................................................................4

PEMBAHASAN..............................................................................................................................4

2.1 Tahapan Pembuatan Undang-Undang..............................................................................4

BAB III..........................................................................................................................................10

PENUTUP.....................................................................................................................................10

3.1 KESIMPULAN...............................................................................................................10

3.2 SARAN...........................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................1

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Awal mula mengenai kelembagaan negara adalah teori kekuasaan dalam negara.
Terdapat tiga kekuasaan utama yang ada dalam suatu negara agar pemerintahan dapat berjalan
dengan baik. Teori mengenai tiga kekuasaan negara ini, diawali dengan adanya pendapat dari
John Locke yang memisahkan tiga kekuasaan negara menjadi Kekuasaan Legislatif (merupakan
kekuasaan yang untuk membentuk atau membuat aturan), Kekuasaan Eksekutif (yaitu kekuasaan
untuk menjalankan aturan) dan Kekuasaan Federatif (kekuasaan yang berkaitan dengan
pelaksanaan hubungan luar negeri atau kerja sama dengan negara lain).

Kemudian Montesqueue mengemukakan pendapatnya mengenai Trias Politica yang


membagi tiga kekuasaan negara menjadi Kekuasaan Legislatif (kekuasaan untuk membentuk
aturan), Kekuasaan Eksekutif (kekuasaan untuk menjalankan atau melaksanakan aturan yang
telah dibuat) dan terakhir adalah Kekuasaan Yudisial (yaitu kekuasaan untuk mengawasi dan
mengadili apabila terjadi penyimpangan dari pelaksanaaan aturan tersebut).

Dalam Bahasa Belanda, lembaga negara disebut dengan staatorgaan yang dalam Kamus
Hukum Belanda Indonesia, staatorgaan diterjemahkan sebagai alat kelengkapan negara. Hans
Kelsen mengemukakan mengenai konsep organ negara dalam arti yang luas yaitu barang siapa
yang menjalankan suatu fungsi yang ditetapkan oleh tata hukum adalah suatu organ. Fungsi yang
dimaksud, baik berupa fungsi pembuatan norma atau fungsi dari penerapan norma, yang pada
akhirnya ditujukan kepada pelaksanaan sanksi hukum. Jadi berdasarkan pengertian tersebut,
organ adalah individu yang menjalankan suatu fungsi tertentu yang mana kualitas seseorang
dibentuk oleh fungsinya. Seperti lembaga legislatif, sebagai lembaga yang menetapkan aturan
(fungsi legislasi), yang mana lembaga ini dipilih oleh rakyat, presiden yang menjalankan fungsi
pemerintahan atau hakim yang menghukum pelaku kejahatan (fungsi yudisial).

Kemudian Hans Kelsen juga mengemukakan mengenai konsep organ yang lebih sempit
(secara material) yang lebih menekankan pada pegawai negeri yang menempati kedudukan
tertentu dan menjalankan fungsi organ negara. Hakim merupakan kategori organ negara dalam
pengertian material ini, karena hakim diangkat merupakan pegawai negeri yang menjalankan

1
fungsi yudisial sedangkan untuk presiden dan lembaga legislatif bukan pegawai negeri (Hans
Kelsen, 2007).

Dilihat dari segi konsep, tujuan dibentuknya lembaga negara adalah untuk menjalankan
fungsi pemerintahan atau menyelenggaraan fungsi negara. Lembaga-lembaga negara tersebut
harus bekerja sama sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis
fungsi negara dan secara ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang yang oleh Prof. Sri
Soemantri diistilahkan dengan actual governmental process (Firmansyah Arifin et. Al, 2005).

Perkembangan lembaga negara di Indonesia, terdapat perubahan yang sangat signifikan


antara masa sebelum amandamen dengan setelah diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945.
Sebelum diamandemen, tidak ada ketentuan mengenai istilah lembaga negara sehingga
menyulitkan dalam mengidentifikasi dan memaknai lembaga penyelenggara negara. Konstitusi
RIS 1949 menggunakan istilah alat-alat kelengkapan federal.

Istilah badan secara konsisten dipergunakan dalam batang tubuh dan penjelasan Undang-
Undang Dasar 1945. Peristilahan lembaga negara banyak muncul dalam ketetapanketetapan
MPR, sehingga mulai ditemukannya konsep lembaga negara di Indonesia yang membagi
kedudukan lembaga negara ke dalam dua kategori yaitu lembaga tertinggi negara (MPR) dan
lembaga tinggi negara (Presiden, DPA, DPR, BPK dan MA) (Firmansyah Arifin et. Al, 2005).

Pada Pasal 20 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang mengatur: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undangundang.”
Dikaitkan dengan Teori Pembagian Kekuasaan tersebut, maka DPR merupakan lembaga
legislative yang memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang, sedangkan Presiden
sebagai lembaga eksekutif, dalam teori pembagian kekuasaan memiliki kekuasaan eksekutif
yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang. Kemudian pada Pasal 20 ayat (2) dan ayat
(4),mengenai keterlibatan Presiden di dalam pembentukan undang-undang, yaitu pada Pasal 20
ayat (2) mengatur bahwa rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
mendapatkan persetujuan bersama. Selanjutnya Pasal 20 ayat (4) mengatur bahwa rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disahkan oleh Presiden,
Juga Pasal 5 ayat (1) mengatur bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

2
Jadi di sini terlihat, Presiden mempunyai peranan yang sangat penting dalam
pembentukan suatu undang-undang. Bila ditinjau dari sudut formulasi norma Pasal 20 ayat (1) ,
secara jelas mengatur Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-
undang dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan Presiden. Namun pada Pasal 20 ayat (2) dan
ayat (4) muncul kata Presiden. Jadi antara Pasal 20 ayat (1) dengan Pasal 20 ayat (2) dan ayat
(4), terjadi kekaburan dan ketidaksinkronnan norma mengenai kekuasaan dari lembaga
legislative dengan kewenangan yang dimiliki oleh Presiden dalam ikut membentuk undang-
undang sehingga Presiden juga seolah-olah memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-
undang.

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian Hokum dalam lingkup hokum kelembagaan negara Indonesia untuk berusaha
menemukan apakah yang dimaksud dengan “Lembaga Negara Pembentuk Undang-Undang”.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Tahapan-Tahapan untuk membuat Undang-Undang?


2. Apa Saja Lembaga-Lembaga Pemerintah Untuk Membuat Undang-Undang ?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Tujuan umum nya adalah agar kita semua dapat memahami tentang Lembaga-lembaga
pemerintah pembuat Undang-Undang sekaligus penulisan ini bertujuan unuk memenuhi tugas
perkuliahan Mata Kuliah ILMU PERUNDANG-UNDANGAN.

3
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Tahapan Pembuatan Undang-Undang
Sebelum membahas lebih jauh mengenai apa yang dimaksud dengan lembaga pembentuk
undang-undang, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai konsep dari pembentukan undang-
undang itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari pengaturan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 1 angka 1 ini
mengatur bahwa yang dimaksud dengan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah
pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan.

Apabila dikaitkan dengan pembentukan sebuah aturan yang baik, proses pembentukan
peraturan perundang-undangan tersebut sudah mencakup ketujuh kriteria atau kategori yang
dikemukakan oleh Ann Seidmann, Robert R. Seidmann dan Nalin Abeyserkere dalam teorinya
yang disebut dengan Teori ROCCIPI. Teori ini merupakan identifikasi tujuh faktor yang
seringkali menimbulkan masalah yang berkaitan dengan berlakunya suatu peraturan perundang-
undangan. Ketujuh kategori ini dapat digunakan untuk mendapatkan masukan tentang proposisi
penjelasan yang dapat diuji dan saling berkaitan, yang terdiri dari Rule (Peraturan), Opportunity
(Kesempatan), Capacity (Kemampuan), Communication (Komunikasi), Interest (Kepentingan),
Process (Proses),dan Ideology (Ideologi) (Ann Seidman, Robert B. Seidmann dan Nali
Abeyserkere, 2002).

Berdasarkan pengaturan Pasal 1 Angka 1 tersebut, terdapat lima tahapan di dalam


pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu :

1) Tahapan Perencanaan
Laporan hasil penelitian dari pembuat undang-undang harus dimulai dengan memberikan
fakta-fakta untuk membuktikan hipotesa deskriptif tentang gambaran manifestasi dari kesulitan
tersebut dengan maksud membuat RUU yang efektif. Laporan juga harus menyebutkan perilaku
siapa dan yang bagaimana yang menggambarkan kesulitan tersebut. Tahapan perencanaan ini,
merupakan tahapan yang dilakukan oleh lembaga pembentuk undangundang untuk menentukan
rancangan undang-undang apa saja yang akan diprioritaskan akan dibentuk.

4
Rancangan undang-undang yang akan diprioritaskan tersebut dituangkan ke dalam
Prolegnas untuk setahun ke depan. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, mengatur
bahwa perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam Prolegnas. Prolegnas ini
disusun oleh DPR dan Pemerintah. Hasil dari penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dan
Pemerintah dibahas bersama yang kemudian pelaksanaannya dikoordinasikan oleh DPR melalui
Badan Legislasi. Pasal 19 nya mengatur pada ayat (1) Prolegnas sebagaimana dimaksud pada
Pasal 16 memuat program pembentukan UndangUndang dengan judul Rancangan Undang-
Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-Undangan lainnya
dan ayat (2) nya mengatur mengenai materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan
Perundang-Undangan merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang
yang meliputi latar belakang dan tujuan penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan; dan
jangkauan dan arah pengaturan.

Pada tahapan ini juga merupakan tahapan penyiapan dari naskah akademik, karena
berdasarkan pengaturanPasal 19 ayat (3) yaitu materi yang diatur mengenai konsepsi Rancangan
Undang-Undang yang meliputi latar belakang dan tujuan penyusunan; sasaran yang ingin
diwujudkan; dan jangkauan dan arah pengaturan.yang telah melalui pengkajian dan penyelerasan
dituangkan ke dalam Naskah Akademik. Juga Pasal 43 ayat (3) mengatur Rancangan Undang-
Undang

2) Tahapan Penyusunan

Tahapan ini merupakan tahapan penyusunan dari hasil penelitian dan pengkajian yang
telah dilakukan terhadap rancangan undnag-undang yang akan diajukan. Penyusunan terhadap
perumusan norma dalam pasal rancangan undang-undang berdasarkan hasil pengkajian dalam
naskah akademik. Untuk mentransformasikan naskah akademik ke dalam bentuk pasal-pasal
perumusan suatu pasal dalam RUU menurut Made Subawa perumusan satu pasal dalam suatu
aturan haruslah mengandung satu norma, berdasarkan pendapat dari Philipus M. Hadjon yang
dikutip dari acara dengar pendapat dengan para pakar pada tanggal 6 Desember 1999 dengan
panitian Ad Hoc I Badan Pekerja MPR di Jakarta, yaitu (Made Subawa, 2003).

5
3) Tahapan Pembahasan

Laporan hasil penelitian pembuat rancangan harus secara sistematis mengusulkan


menguji pilihan-pilihan hipotesa penjelasan tentang sebabsebab perilaku bermasalah dari pelaku
peran. Juga untuk membenarkan hipotesis tersebut, laporan harus mengatur bukti-bukti untuk
menunjukkan faktor-faktor khusus yang menyebabkan perilaku tersebut (Ann Seidman, Robert
B. Seidmann dan Nalin Abeyserkere; 112).

4) Tahapan Pengesahan atau Penetapan

Setelah sebuah RUU mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, tahap
selanjutnya adalah pengesahan. Presiden mengesahkan RUU tersebut menjadi undang-undang
dengan membubukan tanda tangan.

5) Tahapan Pengundangan

Tahapan terakhir yaitu pengundangan. Undang-undang yang telah disahkan diundangkan


dengan menempatkannya ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Setelah diundangkan
dan dilaksanakannya suatu undang-undang, maka para pembuat undang-undang memerlukan
masukan untuk menentukan apakah pelaku sosial (termasuk lembaga pelaksana yang ditunjuk)
berperilaku sebagaimana ditentukan dan akan menghasilkan akibat yang diharapkan (Ann
Seidman, Robert B. Seidmann dan Nalin Abeyserkere; 113).

2.2 Lembaga Pembentuk Undang-Undang


Berpijak dari Pasal 20 ayat (1)yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat yang
memegang kekuasaan membentuk undang-undang, jadi terlihat jelas bahwa DPR merupakan
lembaga negara yang memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Akan tetapi,
apabila dilihat dari pengajuan rancangan undang-undang dan keikutsertaan, sesuai dengan Pasal
5 ayat (1) dan Pasal 22D ayat (1), Presiden dan DPD dapat dikatakan sebagai lembaga
pembentuk undang-undang. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan ketiga lembaga tersebut di
dalam proses pembentukan undang-undang.

a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Sebelum adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar,1945 kekuasaan untuk


membentuk UndangUndang berada di tangan Presiden. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5

6
ayat (1) Undang-Undang Dasar sebelum amandemen yang berbunyi “Presiden memegang
kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” dan pada
Pasal 20 ayat (1) berbunyi “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat”. Jadi dapat dikatakan berdasarkan bunyi pasal tersebut, Presidenlah yang
sebagai lembaga legislatif dan DPR hanya memiliki kekuasaan untuk memberikan persetujuan
semata di dalam pembentukan undang-undang.

Kemudian pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara 1945 setelah
amandemen berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan untuk membentuk
Undangundang”. Lalu pada Pasal 20 ayat (2) berbunyi “Setiap Rancangan UndangUndang
dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”.
Pengalihan kekusaan membentuk undang-undang dari tangan Presiden ke tangan DPR dalam
Undang-Undang Dasar 1945 ke Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem pembagian kekuasaan. Terlihat dengan adanya
pembagian kekuasaan yang jelas terhadap lembaga legislatif yang berada di tangan DPR dan
lembaga eksekutif yang dipegang oleh Presiden.

Dalam Undang-Undang Dasar sebelum amandemen, dinyatakan DPR hanya memiliki


tugas untuk menyetujui undang-undang saja dan kekuasaan membentuk undang-undang ada di
tangan Presiden sedangkan setelah amandemen, kekuasaan membentuk undang-undang telah
dialihkan dari tangan Presiden kepada DPR.

b. Presiden

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar”. Dalam pasal tersebut, yang dimaksudkan dengan Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan, yaitu menunjuk kepada pengertian Presiden menurut sistem pemerintahan
presidensiil.

Pada pemerintahan presidensiil, tidak terdapat perbedaan antara Presiden yang


berkedudukan sebagai kepala negara dan Presiden berkedudukan sebagai kepala pemerintahan.
Presiden adalah Presiden, yaitu merupakan jabatan yang memegang kekuasaan pemerintahan
negara menurut undang-undang dasar. Akibat adanya pengakuan atas kedua kedudukan Presiden

7
yaitu baik sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan, menyebabkan
timbulnya kebutuhan yuridis untuk membedakan keduanya dalam pengaturan terhadap hal-hal
yang lebih teknis dan operasional.

Kapasitas Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak dapat
dipisahkan (Jimly Asshiiddiqie, 2006). Pasal 20 ayat (2) Undang-UndangDasar 1945 yang telah
di amandemen mengatur RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan
bersama. Makna dari kata mendapat persetujuan bersama ini, dapat dikatakan mirip dengan pola
yang dianut oleh Belanda, karena istilah bersama-sama ini di Belanda terdapat dalam art. 81
Grondwet yang disebut dengan cowetgeving atau medewetgeving, sehingga UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menganut sistem pembentukan undang-undang
secara medewetgeving (Philipus M. hadjon, 1999).

Presiden hanya memiliki keuasaan untuk menjalankan pemerintahan sebagai lembaga


eksekutif. DPR lah yang merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan legislatif. Kekuasaan
yang dimiliki oleh Presiden di dalam proses pembentukan undang-undang hanya berupa; dapat
menyampaikan rancangan undangundang, membahas rancangan undangundang bersama DPR
untuk mendapatkan persetujuan bersama dan mengesahkan rancangan undangundang yang telah
disetujui menjadi undang-undang, yang memang itu merupakan bagian dari kekuasaan yang
dimiliki oleh Presiden sebagai lembaga yang memegang kekuasaan menjalankan pemerintahan.

c. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

DPD awalnya dibentuk dalam rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi
sistem dua kamar atau bicameral yang terdiri atas DPR dan DPD. Dengan adanya DPD
diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double check yang
memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan
basis sosial yang lebih luas.

DPR adalah cerminan representasi politik, sedangkan DPD cerminan prinsip representasi
teritorial atau regional (Jimly Asshiiddiqie, 141). Kedudukan DPD sama dengan DPR sebagai
lembaga perwakilan rakyat. Perbedaannya, hanya terletak pada penekanan posisi anggota DPD
sebagai wakil dan representatif dari daerah. Pembentukan DPD sendiri bertujuan untuk
memberikan kesempatan kepada orang-orang daerah untuk ikut serta dalam pengambilan

8
kebijakan di tingkat nasional, khususnya yang terkait dengan kepentingan daerah. Meskipun
dalam struktur kenegaraan kedudukan DPD sejajar dengan DPR, tapi kewenangan yang dimiliki
oleh DPD sangat terbatas (Firmansyah Arifin; 75).

Mengenai kekuasaan yang dimiliki oleh DPD disebutkan dalam Pasal 22D Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada ayat (1) dinyatakan DPD dapat
mengajukan rancangan undangundang kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan derah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Jadi DPD hanya dapat mengajukan rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan daerah saja. Kemudian pada Pasal 22D ayat (2) disebutkan bahwa
DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan derah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusatdan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas
rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Sehingga dapat dilihat kekuasaan
yang dimiliki oleh DPD hanya sebatas membahas rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan hal-hal yang berkaitan dengan daerah saja.

9
BAB III

PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dari permasalahan, sehingga dapat disimpulkan dari pembahasan
permasalahan, yaitu:

Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, DPR adalah lembaga negara yang memiliki kekuasaan membentuk
undang-undang. Akan tetapi jika dilihat dari proses atau mekanisme pembentukan
undangundang itu sendiri dapat dilihat ada beberapa lembaga negara yang terlibat selain DPR,
yaitu Presiden dan DPD. Presiden dan DPD di sini perannya sebagai lembaga negara pembentuk
undang-undang yang membantu tugas dari DPR di dalam proses pembentukan
undangundang.Kekuasaan untuk membentuk undang-undang, tetap berada ditangan DPR.

3.2 SARAN
Saran yang dapat diberikan berdasarkan uraian dari kesimpulan tersebut di atas, yaitu :
Sebaiknya dalam perumusan suatu pasal sebuah peraturan perundang-undangan hendaknya
dibuat satu pasal itu menganut satu norma. Jangan sampai dalm satu pasal terdapat pemuatan
lebih dari satu norma yang akhirnya dapat menyebabkan salah tafsir akibat dari ketidakjelasan
pengaturannya.

10
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Chairul, 1999, Konstitusi Dan Kelembagaan Negara, Jakarta : Novindo Pustaka Mandiri.

Arifin, Firmansyah et. Al., 2005, Lembaga Negara Dan Sengketa Wewenang Antar Lembaga
Negara, cet. I, Jakarta.:Konsorsium Reformasi Hukum Nasional.

Asshiddiqie, Jimly, 2004, Konstitusi Dan Konstitusi nasiolisme Indonesia, Jakarta: Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.

Kusnardi, Moh., dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta
Selatan.: Sinar Bakti.

Kelsen,Hans, 2007,Teori Umum Hukum Dan Negara : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif
Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, Jakarta.: Bee Media Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai