Anda di halaman 1dari 13

MACAM – MACAM TRANSAKSI RIBA & LARANGANNYA

DALAM AL – QUR’AN

Di susun oleh : Yogi Fernando


NIM : 1220180039
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia untuk
dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau moralitas dalam syariat
Islam. Allah telah menurunkan rezeki ke dunia ini untuk dimanfaatkan oleh manusia
dengan cara yang telah dihalalkan oleh Allah dan bersih dari segala perbuatan yang
mengandung riba.

mengenai riba dapat dikatakan telah "klasik" baik dalam perkembangan pemikiran
Islam maupun dalam peradaban Islam karena riba merupakan permasalahan yang
pelik dan sering terjadi pada masyarakat, hal ini disebabkan perbuatan riba sangat erat
kaitannya dengan transaksi-transaksi di bidang perekonomian (dalam Islam disebut
kegiatan muamalah) yang sering dilakukan oleh manusia dalam aktivitasnya sehari-
hari. Pada dasarnya, transaksi riba dapat terjadi dari transaksi hutang piutang, namun
bentuk dari sumber tersebut bisa berupa qardh, buyu dan lain sebagainya. Para ulama
menetapkan dengan tegas dan jelas tentang pelarangan riba, disebabkan riba
mengandung unsur eksploitasi yang dampaknya merugikan orang lain, hal ini
mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma' para ulama. Bahkan dapat
dikatakan tentang pelarangannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam.
Beberapa pemikir Islam berpendapat bahwa riba tidak hanya dianggap sebagai
sesuatu yang tidak bermoral melainkan sesuatu yang menghambat aktivitas
perekonomian masyarakat. Sehingga orang kaya akan semakin kaya sedangkan orang
miskin akan semakin miskin dan tertindas.

Manusia merupakan makhluk yang "rakus", mempunyai hawa nafsu yang bergejolak
dan selalu merasa kekurangan sesuai dengan watak dan karakteristiknya, tidak pernah
merasa puas, sehingga transaksi-transaksi yang halal susah didapatkan karena
disebabkan keuntungannya yang sangat minim, maka haram pun jadi (riba). Ironis
memang, justru yang banyak melakukan transaksi yang berbau riba adalah kalangan
umat Muslim yang notabene mengetahui aturan-aturan (the rules of syariah) syari'at
Islam.

B. Identifikasi masalah

1. Apa yang di maksud dengan riba ?


2. Apa saja macam – macam riba ?
3. Bagaimana hukum riba di dalam Al-Quran ?

BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian riba

Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (azziyadah),
berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat (al-irtifa'). Sehubungan
dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan
sebagai berikut; arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba
terhadap orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu ma
a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu
berikan dengan cara berlebih dari apa yang diberikan).

Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus yang dimiliki salah
satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu.

Riba sering juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "Usury" dengan arti
tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara', baik
dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan banyak.
Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita dengar di tengah-
tengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba. Pendapat itu disebabkan rente
dan riba merupakan "bunga" uang, karena mempunyai arti yang sama yaitu sama-
sama bunga, maka hukumnya sama yaitu haram.

Dalam praktiknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank atas
jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih untuk usaha
produktif, sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju dan
lancar, dan keuntungan yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua belah
pihak baik kreditur (bank) maupun debitur (nasabah) sama-sama sepakat atas
keuntungan yang akan diperoleh pihak bank.

Timbullah pertanyaan, di mana letak perbedaan antara riba dengan bunga? Untuk
menjawab pertanyaan ini, diperlukan definisi dari bunga. Secara leksikal, bunga
sebagai terjemahan dari kata interest yang berarti tanggungan pinjaman uang, yang
biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Jadi, uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa riba "usury" dan bunga "interest" pada hakikatnya
sama, keduanya sama-sama memiliki arti tambahan uang.

Abu Zahrah dalam kitab Buhūsu fi al-Ribā menjelaskan mengenai haramnya riba
bahwa riba adalah tiap tambahan sebagai imbalan dari masa tertentu, baik pinjaman
itu untuk konsumsi atau eksploitasi, artinya baik pinjaman itu untuk mendapatkan
sejumlah uang guna keperluan pribadinya, tanpa tujuan untuk mempertimbangkannya
dengan mengeksploitasinya atau pinjaman itu untuk dikembangkan dengan
mengeksploitasikan, karena nash itu bersifat umum.

Abd al-Rahman al-Jaziri mengatakan para ulama' sependapat bahwa tambahan atas
sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu 'iwadh
(imbalan) adalah riba. Yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan kuantitas
dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas
(tafadhul), yaitu penjualan barang-barang riba fadhal: emas, perak, gandum, serta
segala macam komoditi yang disetarakan dengan komoditi tersebut.
Riba (usury) erat kaitannya dengan dunia perbankan konvensional, di mana dalam
perbankan konvensional banyak ditemui transaksi-transaksi yang memakai konsep
bunga, berbeda dengan perbankan yang berbasis syariah yang memakai prinsip bagi
hasil (mudharabah) yang belakangan ini lagi marak dengan diterbitkannya undang-
undang perbankan syariah di Indonesia nomor 7 tahun 1992.

Mengenai hal ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan dalam


firman-Nya:

‫اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل تَ ْقتُلُ ْٓوا‬ ِ َ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَأْ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
ٍ ‫اط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُكوْ نَ ِت َجا َرةً ع َْن تَ َر‬
‫اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ ِب ُك ْم َر ِح ْي ًما‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling


memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (Q.S. An-Nisa
[4]: 29

Ibnu Al- Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam Al Qur’an menjelaskan:

“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud


riba dalam ayat ini quran ini yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa
adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan
syariah”.

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis
atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti
transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.

Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa
yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena
penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya
pasti menurun jika dibandingkan sebelumnya.

Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang
diterimanya. Demikian pula dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian berhak
mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta
menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.

Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional, si pemberi pinjaman


mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang
diterima si peminjam, kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama
proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan
untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap
penggunaan kesempatan tersebut.

Demikian pula dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan
faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya.
Bahkan, ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung dan juga rugi.

Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari
berbagai madzhab fiqhiyyah. Di antaranya sebagai berikut:

1. Badr ad-Din al Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al Bukhari :

“Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut Syariah, riba


berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil”

2. Imam Syarakhsi dari Madzhab Hanafi:

“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa


adanya ‘iwadh (atau padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan
tersebut”.
3. Raghib al-Ashfahani:

“Riba adalah penambahan atas harta pokok”.

4. Qatadah:

“Riba Jahiliyah adalah seseorangh yang menjual barangnya secara


tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan
si pembeli tidak mampu membayar, ia memberikan bayaran tambahan
atas penangguhan”.

5. Zaid Bin Aslam :

“Yang dimaksud dengan riba Jahiliyah yang berimplikasi pelipatgandaan


sejalan dengan waktu adalah seorang yang memiliki piutang atas
mitranya, pada saat jatuh tempo, ia berkata, “Bayar sekarang atau
tambah”.

B. Macam – macam riba

Pada dasarnya riba adalah sejumlah uang atau nilai yang dituntut atas uang pokok
yang dipinjamkan. Uang tersebut sebagai perhitungan waktu selama uang tersebut
dipergunakan. Perhitungan tersebut terdiri dari tiga unsur, yaitu:

a. Tambahan atas uang pokok.


b. Tarif tambahan yang sesuai dengan waktu.
c. Pembayaran sejumlah tambahan yang menjadi syarat dalam tawar-menawar.

Riba tidak hanya terdiri satu macam, melainkan bermacam-macam yang disesuaikan
dengan sifat dan tujuan transaksi. Umumnya terjadi karena adanya tambahan dalam
pertukaran, baik karena penundaan atau barang serupa. Secara garis besarnya riba
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba yang berkaitan dengan utang piutang
dan riba yang berhubungan dengan jual beli.
Pada kelompok utang piutang, riba terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Riba Qard

Riba qard adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan
terhadap yang berutang (muqtarid})

Riba qard} atau riba dalam utang piutang sebenarnya dapat digolongkan dalam
riba nasi’ah. Riba semacam ini dapat dicontohkan dengan meminjamkan uang Rp
100.000,- lalu disyaratkan untuk memberikan keuntungan ketika pengembalian.

Dalam kitab al-Mughni, Ibnu Qudamah mengatakan, “para ulama sepakat bahwa
jika orang yang memberikan utang mensyaratkan kepada orang yang berutang
agar memberikan tambahan atau hadiah, lalu dia pun memenuhi persyaratan tadi,
maka pengembalian tambahan tersebut adalah riba.”

b. Riba Jahiliyah

Riba jahiliyah adalah utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak
mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.

Adapun pembagian riba pada kelompok kedua atau riba jual beli juga terdiri atas dua
macam, yaitu:

a. Riba Fadl

Riba fad}l adalah pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran
berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang
atau komoditi ribawi

Komoditi ribawi terdiri atas enam macam, yaitu emas, perak, gandum, sya’ir
(salah satu jenis gandum), kurma dan garam, sebagaimana disebutkan dalam hadis
di bawah ini:
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual
dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma
dijual dengan kurma dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran
atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa
menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang
mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama
berada dalam dosa” (HR. Muslim)

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual
dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma
dijual dengan kurma dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran
atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang
tadi berbeda, maka silahkan engkau membarterkannya sesukamu, namun
harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim)

Para ulama bersepakat bahwa enam komoditi tersebut dapat diperjualbelikan


dengan cara barter asalkan memenuhi dua persyaratan yaitu transaksi harus
dilakukan secara kontan (tunai) pada saat terjadinya akad dan barang yang
menjadi objek barter harus sama jumlah dan takarannya walaupun terjadi
perbedaan mutu antara kedua barang.

b. Riba Nasi ‘ah

Riba nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang


ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.

Jika sebelumnya disebutkan bahwa riba qardh dapat digolongkan dalam riba
nasi’ah. Riba nasi’ah terkenal dan banyak berlaku di kalangan Arab Jahiliyah,
sehingga terkadang ada pula yang menyebutnya dengan riba jahiliyah.

Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, Ibnu Hajar al-Haitami berkata :


“Riba itu terdiri atas tiga jenis: riba fadl, riba al-yad, dan riba Annasi’ah . Al
Mutawally menambahkan jenis keempat, yaitu riba al-qardh. Beliau juga
menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma berdasarkan nash
al-Qur’an dan hadis Nabi.”

Sebelumnya telah disebutkan bahwa riba adalah uang atau nilai tambah yang diambil
dari nilai pokok dan nilai tambah tersebut adalah sesuatu yang memberatkan salah
satu pihak yang bertransaksi. Walaupun terbagi menjadi beberapa macam, riba
tetaplah riba yang diharamkan dalam setiap transaksi ekonomi, seperti jual beli dan
utang piutang.
C. Hukum riba

Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan
diturunkan dalam empat tahap. Empat tahap tersebut adalah:

a. Menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahir-nya seolah-olah


menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan taqarrub kepada
Allah, sebagaimana tersebut dalam surat Ar-Ruum ayat 39 :

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).”

Sebagian orang beranggapan bahwa dengan meminjamkan sejumlah uang kepada


sesama adalah suatu bentuk ibadah atau interaksi terhadap sesama manusia
sebagaimana yang telah diperintahkan Allah. Akan tetapi, dalam kesempatan
ibadah tersebut muncul praktik riba yang diniatkan untuk menambahkan nilai
kekayaan yang dimiliki. Kekayaan yang dimiliki oleh pemberi pinjaman memang
akan bertambah, namun, tidak ada keberkahan dalam kekayaannya tersebut.
b. Riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam akan memberi
balasan yang kepada orang Yahudi yang memakan riba. Hal ini tercantum dalam
surat an-Nisaa’ ayat 160-161:

“Maka, disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka


(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka,
dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami
telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.”

Dapat dipahami dari ayat tersebut bahwa seseorang yang mengetahui jika praktik
yang mengandung riba adalah hal yang tidak disukai atau dilarang oleh Allah akan
tetapi justru melakukan kesalahan tersebut maka Allah akan memberikan siksaan
yang amat pedih.

c. Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda.
Pengembalian bunga dengan tingkat tinggi merupakan fenomena yang banyak
dipraktikkan pada masa tersebut. Hal ini dijelaskan dalam surat Ali Imran ayat
130:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”

Praktik riba dipahami sebagai praktik menggandakan nilai dari nilai pokok di saat
transaksi. Allah menjanjikan sebuah keberuntungan kepada umat-Nya yang benar
- benar bertakwa, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

d. Tahapan terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang
membicarakan riba sesuai dengan periode larangan, sampai akhirnya datang
larangan yang tegas pada akhir periode penetapan hukum riba. Hal ini tercantum
dalam surat al-Baqarah ayat 278:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah


sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”

Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada al-Qur’an, melainkan juga
pada hadist. Hal ini sebagaimana posisi umum hadist yang berfungsi untuk
menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui al-Qur’an,
pelarangan riba dalam hadist lebih terinci.

BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian makalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa riba merupakan
kegiatan eksploitasi dan tidak memakai konsep etika atau moralitas. Allah
mengharamkan transaksi yang mengandung unsur ribawi, hal ini disebabkan
menzalimi orang lain dan adanya unsur ketidakadilan. Para ulama sepakat dan
menyatakan dengantegas tentang pelarangan riba, dalam hal ini mengacu pada
Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma' para ulama'

Bahwa dengan jelas tindak transaksi yang berbau riba sangat di larang keras
oleh Allah yang tertuang di dalam Al-Quran dan di ingatkan kembali oleh
Nabi Muhammad Saw di dalam Hadist nya.

Daftar Pustaka

Lubis, Suhrawardi K. Hukum ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.


Maududi, Syaekh Abul A'la, Al, Berbicara tentang Bunga dan riba, alih
bahasa Isnando. Jakarta: Pustaka Qalami, 2003.
al-Jaziri, Abdurrahman. kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba'ah, Beirut: dar
al-Fikr, 1972
https://m.merdeka.com/jabar/macam-macam-riba-dan-pengertiannya-wajib-
diketahui-setiap-muslim-kln.html
Antonio, Muhammad Syafi'i. Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi
Keuangan, cet. I, Jakarta: Tazkia Institute, 1999.

Anda mungkin juga menyukai