Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH TUTORIAL KASUS 1

Blok Forensik
Kasus Korban Hidup

Tutorial A-1
Siti Harna 1610211018
Syarifah Nazira 1610211050
Annisa Warda Irvani 1610211053
Baina Safira Naldi 1610211071
Almerveldy Azaria Dohong 1610211091
Fadhilah Azzahra Pinardi 1610211098
Gracia Kaesatara Marsha 1610211109
Zafirah Ariibah Saniyyah I 1610211121
Fajar Daniswara Montana 1610211151
Dias Puspitaning Mawarni 1510211055

Tutor: dr. Pritha Maya Savitri, SpKp

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
TAHUN AJARAN 2019/2020
CASE 1 FORENSIK

PERAN DOKTER DALAM PELAYANAN

PERAN DOKTER

1. SEBAGAI PELAYAN KESEHATAN


Berperan mencegah dan menyembuhkan penyakit.
2. SEBAGAI TENAGA AHLI MEDIS
Sumber informasi obyektif mengenai masalah kedokteran & kesehatan.

PERAN DOKTER DI INDONESIA


Diatur dalam Kitab Hukum Acara Pidana
1. Pasal 120 KUHAP : Penyidik bila dianggap perlu dpt meminta pendapat seorang
ahli
Pasal 133 KUHAP : Penyidik u/ kepentingan peradilan dlm menangani korban baik luka,
keracunan, kematian dpt meminta ket. ahli dari dokter ahli kedokteran kehakiman, dokter
atau ahli

SAKSI AHLI DILAKUKAN PADA


1. PENYIDIKAN.
2. PENUNTUTAN.
3. PENGADILAN.

Pembuktian
Pembuktian adalah upaya membuktikan bahwa benar telah terjadi suatu tindakan pidana, dan
bahwa benar si terdakwa adalah pelaku pidana tersebut. Tidak semua kasus mudah
dibuktikan, dan memerlukan Pembuktian Ilmiah.

KEPUTUSAN HAKIM BERDASARKAN


 PS 183 KUHAP :
MINIMAL 2 ALAT BUKTI SAH dan KEYAKINAN HAKIM
 PS 184 KUHAP
• KETERANGAN SAKSI
• KETERANGAN AHLI
• SURAT
• PETUNJUK
• KETERANGAN TERDAKWA

KETENTUAN PIDANA
Psl 224 KUHP : Tdk Melakukan kewajiban Psl 179 ,
Perkara Pidana : 9 bulan
Perdata : 6 bulan.
Psl 75 ( c ) UU Prakt . Dokter : MEMBOCORKAN RHS JABATAN
Denda 50 juta ATAU kurungan 1 thn.
Psl 322 KUHP : Buka rahasia jabatan - 9 bulan / denda Rp 600.-

TRAUMA

A. Definisi
Traumatologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang trauma atau
perlukaan, cedera serta hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), yang
kelainannya terjadi pada tubuh karena adanya diskontinuitas
jaringan akibat kekerasan yang menimbulkan jejas.

Pada keadaan trauma ada tiga hal yang ciri khas atauhasil dari trauma yaitu : adanya luka,
perdarahan dan atau skar, dan hambatan dalam fungsi organ.

B. Klasifikasi Trauma
Trauma Mekanik
Kekerasan oleh benda tumpul atau trauma tumpul
Kekerasan oleh benda tajam atau trauma tajam
tembakan senjata atau trauma tembak
Trauma Fisik
Suhu atau thermis.
Listrik dan petir.
Akustik.
Radiasi.
Tekanan udara.
Trauma Kimia
Asam kuat
Basa kuat

C. Patofisiologi Trauma
Transmisi energi pada trauma dapat menyebabkan kerusakan tulang,pembuluh darah dan
organ termasuk fraktur, laserasi,kontusi, dan gangguan padasemua sistem organ
Sehingga tubuh melakukan kompensasi akibat ada trauma bila kompensasi tubuh tersebut
berlanjut tanpa dilakukan penanganan akan mengakibatkan kematian seseorang

Mekanisme kompensasi
Aktivasi sistem saraf simpatik menyebabkan peningkatan tekanan arteri danvena,
bronkhodilatasi,takikardia, takipneu, capillary shunting, dan diaforesis.
Peningkatan heart rate. Cardiac output sebanding dengan stroke volume dikalikan
heart rate. Jika stroke volume menurun, heart rate meningkat
Peningkatan frekuensi napas. Saat inspirasi, tekanan intrathoracik negatif.Aksi pompa
thorak ini membawa darah ke dada dan pre-loads ventrikel kanan untuk menjaga
cardiacoutput.
Menurunnya urin output. Hormon anti-diuretik dan aldosteron dieksresikan untuk
menjaga cairan vascular. Penurunan angka filtrasi glomerulus menyebabkan respon
ini.
Berkurangnya tekanan nadi menunjukkan turunnya cardiac output (sistolik)dan
peningkatan vasokonstriksi (diastolik). Tekanan nadi normal adalah 35-40 mmHg.
Capillary shunting dan pengisian trans kapiler dapat menyebabkan dingin,kulit pucat
dan mulut kering. Capillary refill mungkin melambat.
Perubahan status mental dan kesadaran disebabkan oleh perfusi ke otakyang menurun
atau mungkin secara langsung disebabkan oleh trauma kepala

D. Cara Deskripsi Luka


 Lokalisasi (Letak luka terhadap garis ordinat atau aksis padatubuh. Garis yang
melalui tulang dada dan tulang belakangdipakai sebagai ordinat.)
 Ukuran menentukan panjang luka
 Arah luka
 Sifat luka
 Jumlah luka
 Ada atau tidaknya benda asing pada luka,
 Luka terjadi saat masih hidup atau korban sudah mati
 Menyebabkan kematian atau tidak
 Cara terjadinya luka (bunuh diri, kecelakaan dan pembunuhan)

TRAUMA TUMPUL

Trauma tumpul diakibatkan oleh benda tumpul, benda tumpul adalah benda yang
permukaannya tidak mampu untuk mengiris. Pada trauma tumpul terdapat dua variasi
utama yaitu
 benda tumpul yang bergerak pada korban yang diam
 korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam

Organ atau jaringan pada tubuh mempunyai beberapa cara menahan kerusakan yang
disebabkan objek atau alat, daya tahan tersebut menimbulkan berbagai tipe luka.
Antara lain :
Abrasi
Laserasi
Kontusio
 Kontusio superficial
 Kontusio pada organ dalam dan jaringan dalam
Fraktur

a. Abrasi (luka lecet)


Menurut definisi abrasi adalah pengelupasan kulit. Dapat terjadi superfisial jika hanya
epidermis saja yang terkena, lebih dalam ke lapisan bawah kulit (dermis)atau lebih dalam lagi
sampai ke jaringan lunak bawah kulit.Jika abrasi terjadi lebih dalam dari lapisan epidermis
pembuluh darah dapat terkena sehingga terjadi perdarahan.
Arah dari pengelupasan dapatditentukan dengan pemeriksaan luka.

Tanda-tanda dari luka lecet adalah:


 Kerusakan hanya sebatas epidermis
 Warna coklat kemerahan
 Permukaan tidak rata
 Sebagian atau seluruh epidermis hilang

Dua tanda yang dapat digunakan


arah dimana epidermis bergulung
hubungan kedalaman pada luka yang menandakan ketidakteraturan benda yang
mengenainya

b. Laserasi (luka robek)


Suatu pukulan yang mengenai bagian kecil area kulit dapat menyebabkan kontusio dari
jaringan subkutan, seperti pinggiran balok kayu,ujung dari pipa, permukaan benda tersebut
cukup lancip untuk menyebabkan sobekan pada kulit yang menyebabkan laserasi

Laserasi disebabkan oleh benda yang permukaannya runcing tetapi tidak begitu tajam
sehingga merobek kulit dan jaringan bawah kulit dan menyebabkan kerusakan jaringan kulit
dan bawah kulit.Tepi dari laserasi ireguler dan kasar, disekitarnya terdapat luka lecet yang
diakibatkan oleh bagian yang lebih rata dari benda tersebut yang mengalami indentasi.

(Jembatan jaringan, tepi luka yang ireguler, kasar dan luka lecet) membedakan laserasi
dengan luka oleh benda tajam seperti pisau.
 Tepi dari laserasi dapat menunjukkan arah terjadinya kekerasan.
 Tepi yang paling rusak dan tepi laserasi yang landai menunjukkan arah awal
kekerasan.
 Sisi laserasi yang terdapat memar juga menunjukkan arah awal kekerasan

c.Kontusio (luka memar)


 Kontusio superficial
sering disebut memar, terjadi karena tekanan yang besar dalam waktu yang singkat.
Penekanan ini menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil dan dapat
menimbulkan perdarahan pada jaringan bawah kulit atau organ dibawahnya.

Perbedaan

Perubahan warna pada memar berhubungan dengan waktu lamanya luka, namun waktu
tersebut bervariasi tergantung jenis luka dan individu yang terkena. Pada mayat waktu antara
terjadinya luka memar, kematian dan pemeriksaan menentukan juga karekteristik memar
yang timbul. Semakin lama waktu antara kematian dan pemeriksaan luka akan semakin
membuat luka memar menjadi gelap.

Efek samping yang terjadi pada luka memar antara lain terjadinya
 penurunan darah dalam sirkulasi yang disebabkan memar yang luas dan
masif sehingga dapat menyebabkan syok, penurunan kesadaran, bahkan
kematian.
 terjadinya agregasi darah di bawah kulit yang akan mengganggu aliran balik
vena pada organ yang terkena sehingga dapat menyebabkan ganggren dan
kematian jaringan.
 memar dapat menjadi tempat media berkembang biak kuman. Kematian
jaringan dengan kekurangan atau ketiadaaan aliran darah sirkulasi
menyebabkan saturasi oksigen menjadi rendah sehingga kuman anaerob
dapat hidup, kumantersering adalah golongan clostridium yang dapat
memproduksigasgangren

 Kontusio pada organ dalam dan jaringan dalam


Kontusio pada otak, dengan perdarahan pada otak, dapat menyebabkan terjadi peradangan
dengan akumulasi bertahap produk asam yang dapat menyebabkan reaksi peradangan
bertambah hebat.
Peradangan ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran, koma dan kematian. Kontusio dan
perangan yang kecil pada otak dapat menyebabkan gangguan fungsi organ lain yang luas dan
kematian jika terkena pada bagian vital yang mengontrol pernapasan dan peredaran darah

d. Fraktur
Fraktur adalah suatu diskontinuitas tulang. Fraktur selain disebabkan suatu trauma juga
dipengaruhibeberapa faktor seperti komposisi tulang tersebut.
Fraktur mempunyai makna pada pemeriksaan forensik.
Bentuk dari fraktur dapat menggambarkan benda penyebabnya (khususnya fraktur tulang
tengkorak),arah kekerasan.

Akibat yang ditimbulkan oleh patah tulang:


1. Menimbulkan rasa nyeri dan gangguan fungsi
2. Emboli pulmonal atau emboli otak oleh karena sel-sel lemak memasuki
sirkulsidarah, biasanya terjadi pada fraktur tulang-tulang panjang
3. Perdarahan ekstradural terjadi karena robeknya arteri meningea media yang
beradapada bagian dalam tempurung kepala

TRAUMA TAJAM
 Trauma tajam adalah trauma yang dikarenakan kekerasan dengan benda tajam.
 Benda tajam sendiri mempunyai pengertian benda yang bermata tajam dan atau benda
yang berujung tajam. Contohnya seperti pisau, pemecah es,kapak, pemotong, bayonet
dan lain lain.
 Ciri-ciri umum
 tepi luka rata
 ujung luka tajam
 dalam luka tidak ada jembatan jaringan
 akar rambut terpotong
 sekitar luka bersih tidak ada luka babras atau memar
 pada umumnya timbul perdarahan lebih banyak dibandingkan dengan luka
robek akibat kekerasan benda tumpul.

Tipe luka trauma tajam


 Luka insisi /iris (incissed wound)
 Luka tusuk
 Luka Bacok

a. Luka insisi/iris (incissed wound)


Luka insisi atau luka iris disebabkan gerakan menyayat dengan benda tajam seperti
pisau atau silet. Karena gerakan dari benda tajam tersebut, luka biasanya panjang,
bukan dalam. Panjang dan kedalaman luka dipengaruhi oleh gerakan benda tajam,
kekuatannya, ketajaman, dan keadaan jaringan yang terkena. Karakteristik luka ini
yang membedakan dengan laserasia dalah tepinya yang rata

Ciri-ciri luka iris yaitu:


 Panjang luka lebih besar daripada dalamnya luka
 Tepi luka tajam dan rata, pada lipatan kulit tepi luka tajam dan berliku-liku
 Ujing luka runcing
 Rambut ikut teriris
 Tidak ada jembatan jaringan

b. Luka Tusuk (stab wound)


Luka tusuk disebabkan oleh benda tajam dengan posisi menusuk atau korban yang
terjatuh di atas benda tajam.
Bila pisau yang digunakan
 bermata satu, maka salah satu sudut akan tajam, sedangkan sisi lainnya tumpul atau
hancur.
 pisau bermata dua, maka kedua sudutnya tajam.

Luka tusuk ada 2 jenis :


Penetrasi
Pada luak ini benda menyebabkan penetrasi yang merobek kulit dan jaringan
yang lebih dalam, lalu masuk ke rongga tubuh, seperti pada rongga thorax,
abdomen,dl.Dengan denikian bahwa luka hanya merupakan tempat masuk
Perforasi
Jika luka merobek jaringan tubuh manusia sampai menembus dari satu sisi ke sisiyang
lainnya.

Ciri-ciri luka tusuk


 Kedalaman luka lebih besar dibandingkan panjang antara lebarnya
 Tepi luka tajam atau rata
 Rambut terpotong pada sisi tajam
 Sekitar luka terkadang ada luka memar (contussion), ekimosis karena tusukansampai
mengenai tangkai pisau
 Sudut luka tajam namun kurang jtajam pada sisi tumpul

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi bentuk luka tusuk, salah satunya adalah
reaksi korban saat ditusuk atau saat pisau keluar, hal tersebut dapat menyebabkan
lukanya menjadi tidak begitu khas. Atau manipulasi yang dilakukan pada saat
penusukan juga akan mempengaruhi.Beberapa pola luka yang dapat ditemukan :
 Tusukan masuk, yang kemudian dikeluarkan sebagian, dan kemudian ditusukkan
kembali melalui saluran yang berbeda. Pada keadaan tersebut luka tidak sesuai
dengan gambaran biasanya dan lebih dari satu saluran dapat ditemui pada jaringan
yang lebih dalam maupun pada organ.
 Tusukan masuk kemudian dikeluarkan dengan mengarahkan ke salah satu sudut,
sehingga luka yang terbentuk lebih lebar dan memberikan luka pada permukaan
kulit seperti ekor.
 Tusukan masuk kemuadian saat masih di dalam ditusukkan ke arah lain,sehingga
saluran luka menjadi lebih luas. Luka luar yang terlihat juga lebih luas dibandingkan
dengan lebar senjata yang digunakan
 Tusukan masuk yang kemudian dikeluarkan dengan mengggunakan titik terdalam
sebagai landasan, sehingga saluran luka sempit pada titik terdalam dan terlebar pada
bagian superfisial. Sehingga luka luar lebih besar dibandingkan lebar senjata yang
digunakan.
 Tusukan diputar saat masuk, keluar, maupun keduanya. Sudut luka berbentuk
ireguler dan besar

c. Luka bacok (chop wound)


Luka bacok dihasilkan dari gerakkan merobek atau membacok dengan
menggunakan instrument yang sedikit tajam dan relatif berat seperti kapak,
kapak kecil, atau parang. Makin tajam instrument makin tajam pula tepi luka.
Sebagaimana luka lecet yang dibuat oleh instrument tajam yang lebih kecil, penipisan
terjadi pada tempat dimana bacokan dibuat. Abrasi lanjutan dapat ditemukan pada jenis
luka tersebut pada sisi diseberang tempat penipisan, yang disebabkan oleh hapusan
bilah yang pipih.

Ciri-ciri luka bacok :


 Ukuran luka bacok biasanya besar
 Sudut luka bacok tergantung pada mata senjata
 Hampir selalu mengakibatkan kerusakan pada tulang
 Kadang-kadang memutuskan tubuh yang terkena bacokan
 Disekitar luka dapat ditemukan luka memar (contusio) atau luka lecet (abrasio)

Pada instrumen pembacok yang diarahkan pada  kepala, sudut besatan bilah terkadang dapat
dinilai dari bentuk patahan tulang tengkorak.Sisi pipih bilah bisa meninggalkan cekungan
pada salah satu sisi patahan, sementara sisi yang lain dapat tajam atau menipis.Berat senjata
penting untuk menilai kemampuannya memotong hingga tulang di bawah luka yang
dibuatnya.

Perbandingan Luka tumpul dan luka tajam


KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Lingkup Rumah Tangga
1. Suami, isteri, anak
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud huruf a
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut

 Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat.
 Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang.
 Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang
yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut serta pemaksaan hubungan seksual
terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersil dan/atau tujuan tertentu.
 Penelantaran adalah tidak menjalankan kewajiban untuk memberikan penghidupan,
perawatan, atau pemeliharaan, termasuk membatasi dan/atau melarang untuk bekerja
yang layak di dalam maupun di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali
orang tersebut (tergantung secara ekonomi).

Pada pemeriksaan terhadap korban secara fisik, dalam rangka pembuatan kesimpulan visum,
perlu memperhatikan klasifikasi luka yang mengacu pada pasal 44 UU PKDRT yaitu:
• Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari
• Mengakibatkan jatuh sakit atau luka berat
• Mengakibatkan mati
Pada pemeriksaan terhadap korban kekerasan seksual, dalam rangka pembuatan kesimpulan
visum, selain mencari bukti-bukti adanya hubungan seksual dan tanda-tanda kekerasan, harus
pula dinilai apakah korban:
1. Mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali
2. Mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya 4 minggu terus
menerus atau satu tahun tidak berturut-turut
3. Gugur atau matinya janin dalam kandungan
4. Akibat tindakan tersebut mengalami tidak berfungsinya alat reproduksi

VISUM ET REPERTUM

Pendahuluan

VISUM et Repertum atau VER adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan
pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan permintaan tertulis dari
pihak yang berwenang, dan dibuat dengan mengingat sumpah jabatan dan KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana).

Esensinya adalah laporan tertulis mengenai apa yang dilihat dan ditemukan pada orang yang
sudah meninggal atau orang hidup (untuk mengetahui sebab kematian dan/atau sebab luka)
yang dilakukan atas permintaan polisi demi kepentingan peradilan dan membuat pendapat
dari sudut pandang kedokteran forensik. Surat permintaan VER ditujukan kepada Kepala
Bagian Kedokteran Forensik. Dokter yang sedang mendapat giliran melakukan pemeriksaan
jenazah pada hari itu adalah yang melakukan pemeriksaan jenazah tersebut.

Jenazah yang bersangkutan disita sementara waktu untuk pemeriksaan. Selesai pemeriksaan,
jenazah dikembalikan dan sepenuhnya menjadi milik keluarga kembali.

Surat permintaan pemeriksaan jenazah ditandatangani oleh polisi berpangkat serendah-


rendahnya Inspektur Dua. Namun, bila polisi berpangkat sedemikian tidak ada di tempat,
maka surat permintaan itu ditandatangani oleh polisi berpangkat lebih rendah namun dengan
catatan "atas nama".

Polisi tidak mempunyai wewenang menunjuk dokter tertentu untuk memeriksa jenazah
tertentu. Dan untuk pemeriksaan jenazah tersebut, dokter yang memeriksa tidak boleh
menerima balas jasa dalam bentuk materi atau dalam bentuk apa pun (uang dan lain
sebagainya).

Dokter forensik menyerahkan VER kepada polisi yang meminta. Yang berwenang
mengemukakan isi VER itu adalah polisi yang bersangkutan dan bukan dokter yang
melakukan pemeriksaan. Adalah hak polisi untuk memberikan keterangan atau menolak
memberikan keterangan yang diminta kepada khalayak ramai/wartawan, sedangkan dokter
forensik tidak berwenang sehingga tidak diperkenankan untuk mengungkapkan isi VER
kepada siapa pun juga (misalnya pers)- apalagi sampai pada detail-detailnya-yang dapat
menyinggung pihak-pihak tertentu (misalnya pihak keluarga korban yang diotopsi).

Dokter forensik hanya diperkenankan untuk mengemukakan isi VER kepada majelis hakim
dalam sidang pengadilan apabila ia dipanggil oleh pengadilan sebagai saksi ahli (kedokteran
forensik). Hal ini sedikit banyak berkaitan juga dengan sumpah dokter yang diucapkannya
sewaktu dilantik sebagai dokter untuk menjaga kerahasiaan dalam profesinya maupun korban
yang sudah meninggal sebagai benda bukti seperti yang akan diuraikan di bawah.

Dokter forensik tidak pernah berkewajiban ataupun perlu merasa berkewajiban membuka
rahasia mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban melaporkan dengan sejujur-jujurnya
atas sumpah jabatan bahwa ia akan melaporkan dalam VER semua hal yang dilihat dan
ditemukan pada jenazah yang diperiksanya.

Seorang dokter ahli forensik pada dasarnya adalah seorang dokter. Ia telah diangkat dan telah
diambil sumpahnya sebagai dokter, sedangkan sebagai ahli Ilmu Kedokteran Forensik ia
tidak mengucapkan sumpah lain. Pendapat yang menyatakan bahwa dasar Ilmu Kedokteran
Forensik ialah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sangat keliru.
KUHAP adalah peraturan hukum, bukan sumpah.

Dokter forensik tidak diperkenankan memberikan informasi apa pun kepada pihak lain
(misalnya media massa kecuali dalam sidang pengadilan) karena tetap saja dokter forensik
adalah seorang dokter yang pernah mengucapkan sumpah dokter dan sesuai sumpah dokter,
ia harus menyimpan rahasia kedokteran (dalam hal ini termasuk apa yang dilihat dan
ditemukannya dalam pemeriksaan forensik). Yang berwenang adalah polisi yang meminta
VER.

Dan tidak jelas pula pendapat ahli kedokteran forensik yang menyatakan bahwa demi
kepentingan umum, dokter forensik diperkenankan memberikan keterangan apabila
diperlukan kepada media massa (kepentingan pribadi demi popularitas atau sensasi?).

Jenazah tidak dapat disamakan dengan benda bukti lainnya, misalnya sepotong kayu yang
telah dipakai untuk membunuh, karena sebelumnya ia adalah seorang manusia hidup yang
bernyawa, yang mempunyai riwayat kehidupan tertentu, dan dengan demikian juga terdapat
ikatan-ikatan tertentu, seperti hubungan dengan anggota keluarganya yang masih hidup
maupun dengan kaum kerabat lainnya. Oleh karena itu, hal-hal tertentu yang ditemukan
dalam pemeriksaan yang dapat mencemarkan nama baik orang yang sudah meninggal-juga
keluarga serta kawan-kawannya yang masih hidup-itu tidak dapat dibeberkan kepada pihak
lain, apalagi untuk dikemukakan kepada publik. Sesuatu yang memburukkan nama baik
orang yang sudah meninggal (jenazah) itu pasti akan berakibat aib bagi pihak keluarga yang
ditinggalkan.

Definisi
Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung tentang visum et
repertum, yaitu pada staatsblad (lembaga Negara) Tahun 1937 No. 350. Ketentuan dalam
Staatsblad ini sebetulnya merupakan terobosan untuk mengatasi masalah yang dihadapi
dokter dalam membuat visum, yaitu mereka tidak perlu disumpah tiap kali sebelum membuat
visum. Seperti diketahui setiap keterangan yang akan disampaikan untuk pengadilan haruslah
keterangan dibawah sumpah. Dengan adanya ketentuan ini, maka sumpah yang telah
diikrarkan dokter waktu menamatkan pendidikannya, dianggap sebagai sumpah yang syah
untuk kepentingan membuat VeR, biarpun lafal dan maksudnya berbeda.

Visum et repertum (VeR) adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik
yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup ataupun mati,
ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah
sumpah, untuk kepentingan peradilan.

Peranan dan Fungsi

Visum et repertum berperan sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam proses pembuktian
perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Dalam VeR terdapat uraian hasil
pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap
sebagai pengganti barang bukti. VeR juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai
hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian kesimpulan.

Bila VeR belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan, hakim dapat meminta
keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memberi kemungkinan dilakukannya
pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan
dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan.

Perbedaan VeR dengan Catatan Medis dan Surat Keterangan Medis Lain

Catatan medis adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medis beserta tindakan
pengobatan/perawatannya yang merupakan milik pasien, meskipun dipegang oleh
dokter/institusi kesehatan. Catatan medis ini terikat pada rahasia pekerjaan dokter yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1966 tentang rahasia kedokteran dengan sanksi
hukum seperti pasal 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Dokter boleh membuka isi catatan medis kepada pihak ketiga, misalnya dalam bentuk
keterangan medik, hanya setelah memperoleh izin dari pasien, baik langsung maupun berupa
perjanjuan yang dibuat sebelumnya antara pasien dengan pihak ketiga tertentu, misalnya pada
klaim asuransi.

Karena Visum et repertum dibuat berdasarkan undang-undang yaitu pasal 120, 179, dan 133
ayat 1 KUHAP, maka dokter tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan
sebagaimana diatur dalam pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizin
pasien. Pasal 50 KUHP mengatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana, sepanjang visum et repertum
tersebut hanya diberikan kepada instansi penyidik yang memintnya, untuk selanjutnya
dipergunakan dalam proses pengadilan.

Jenis dan Bentuk Visum et Repertum

Ada beberapa jenis visum et repertum, yaitu visum et repertum perlukaan (termasuk
keracunan), visum et repertum kejahatan susila, visum et repertum jenazah, dan visum et
repertum psikiatrik. Tiga jenis visum yang pertama adalah visum et repertum mengenai
tubuh/raga manusia yang dalam hal ini berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan
jenis terakhir adalah mengenai jiwa/mental tersangka atau terdakwa atau saksi lain dari suatu
tindak pidana.

Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di atas sebuah kertas
putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan pemeriksaan, dalam bahasa
Indonesia, tanpa memuat singkatan dan sedapat mungkin tanpa istilah asing, bila terpaksa
digunakan agar diberi penjelasan bahasa Indonesia.

1. Visum et Repertum pada Kasus Perlukaan.


Terhadap setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum ada surat
permintaan visum et repertum dari polisi, dokter harus membuat catatan medis atas semua
hasil pemeriksaan medisnya secara lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk
pembuatan visum et repertum. Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter
setelah melapor ke penyidik, sehingga membawa surat permintaan visum et repertum.
Sedangkan korban dengan luka sedang/berat akan datang ke dokter sebelum melapor ke
penyidik, sehingga surat permintaan datang terlambat. Keterlambatan dapat diperkecil
dengan komunikasi dan kerjasama antara institusi kesehatan dengan penyidik.

Di dalam bagian pemberitaa biasanya disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang,
luka-luka atau cedera atau penyakit yang diketemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian
tentang letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan
medis yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat
perawatan selesai. Gejala yang dapat dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan,
sedangkan yang subyektif dan tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan ke dalam visum et
repertum.

2. Visum et Repertum Korban Kejahatan Susila

Umumnya korban kejahatan susila yang dimintakan visum et repertumnya pada dokter adalah
kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP (meliputi perzinahan,
perkosaan, persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya, persetubuhan dengan wanita
yang belum cukup umur, serta perbuatan cabul).

Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya persetubuhan


atau perbuatan cabul, adanya kekerasan (termasuk keracunan), serta usia korban. Selain itu
juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan
psikiatrik sebagai akibat dari tindakan pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian
adanya pemerkosaan, karena istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus dibuktikan
di depan sidang pengadilan.

Dalam kesimpulan diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya
tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya, dan ada atau
tidaknya tanda kekerasan.

Bila ditemukan adanya tanda-tanda ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan berupa
darah pada kuku korban, dokter berkewajiban mencari identitas tersangka melalui
pemeriksaan golongan darah serta DNA dari benda-benda bukti tersebut.

3. Visum et Repertum Jenazah

Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat
identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian
tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum harus jelas tertulis jenis pemeriksaan
yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan jenazah) atau pemeriksaan
dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah).

Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi :

1. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak keutuhan jaringan
jenazah secara teliti dan sistematik.

2. Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh dengan membuka rongga


tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Kadangkala dilakukan pemeriksaan penunjang
yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologi, toksikologi, serologi, dan sebagainya.

Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan
penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat kematian seperti tersebut di atas.

4. Visum et Repertum Psikiatrik

Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1) KUHP yang
berbunyi ”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit,
tidak dipidana”. Jadi selain orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi mental
juga terkena pasal ini.

Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi
korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan tentang segi
kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena menyangkut masalah dapat
dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih
baik bila pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa
atau rumah sakit umum.

Dalam Keadaan tertentu di mana kesaksian seseorang amat diperlukan sedangkan ia


diragukan kondisi kejiwaannya jika ia bersaksi di depan pengadilan maka kadangkala hakim
juga meminta evaluasi kejiwaan saksi tersebut dalam bentuk visum et repertum psikiatrik.
Aspek Pengadaan Visum Et Repertum

Pejabat yang dapat meminta visum et repertum atas seseorang korban tindak pidana kejahatan
terhadap kesehatan dan nyawa manusia adalah penyidik dan penyidik pembantu polisi, baik
POLRI maupun Polisi Militer, sesuai dengan jurisdiksinya masing-masing. Selain itu jaksa
penyidik berwenang pula meminta visum et repertum pada perkara pelanggaran Hak Asasi
Manusia. Hakim juga dapat meminta visum et repertum (psikiatrik) sesuai dengan pasal 180
jo pasal 187 KUHAP, biasanya melalui jaksa penuntut umum.

Penasehat hukum tersangka tidak diberi kewenangan untuk meminta visum et repertum
kepada dokter, demikian pula tidak boleh meminta salinan visum et repertum langsung dari
dokter. Penasehat hukum tersangka dapat meminta salinan visum et repertum dari penyidik
atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan.

Korban atau keluarga korban juga tidak memiliki kewenangan untuk meminta visum et
repertum langsung dari dokter. Akan tetapi mereka berhak memperoleh informasi tentang
korban pada saat yang tepat dari penyidik, dan mereka juga dapat memperoleh salinan visum
et repertum dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan. Dalam hal
visum et repertum tersebut merupakan hasil pemeriksaan atas seseorang korban hidup, maka
dokter pemeriksa berhak untuk memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada korban. Sikap
ini masih dapat dibenarkan dari segi etika kedokteran, dan berkaitan dengan hak pasien atas
informasi medis dirinya.

Berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban mati yang telah mempunyai ketentuan yang
mengaturnya dan bahkan mempunyai ancaman hukuman bagi pelanggarnya, prosedur
permintaan visum et repertum korban hidup (luka, keracunan dan kejahatan seksual / abortus)
tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP.

Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh
dilakukan oleh dokter (dalam pasal 133 hanya tertulis pemeriksaan luka). Hal ini berarti
bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter
dengan mengandalkan tanggung-jawab profesi kedokteran.

KUHAP juga tidak memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahan seseorang
korban sebagai "barang bukti". Ketentuan tentang perlakuan terhadap korban hidup tidak
menunjukkan bahwa ia adalah barang bukti; ia tidak diberi label dan tidak disegel, apalagi
disita oleh negara. Situasi tersebut membawa kita kepada keadaan, dimana dokter turut
bertanggung-jawab atas pemastian kesesuaian antara identitas yang tertera di dalam surat
permintaan visum et repertum dengan identitas korban yang diperiksa.

Dalam praktek sehari-hari, orang dengan luka-luka akan dibawa langsung ke dokter, baru
kemudian dilaporkan ke penyidik. Hanya korban dengan luka ringan atau tampak ringan saja
yang akan lebih dahulu melapor ke penyidik sebelum pergi ke dokter. Hal ini membawa
kemungkinan bahwa surat permintaan visum et repertum korban luka akan datang
"terlambat" dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan ini
masih cukup beralasan dan dapat diterima, maka keterlambatan ini tidak boleh dianggap
sebagai hambatan pembuatan visum et repertum. Sebagai contoh keterlambatan seperti ini
adalah keterlambatan pelaporan kepada penyidik seperti yang dimaksud di atas, kesulitan
komunikasi dan sarana perhubungan, overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (keadaan
darurat). Syarat pembuatan visum et repertum sebagai alat bukti surat sebagaimana tercantum
dalam pasal 187 butir c sudah terpenuhi dengan adanya surat permintaan resmi dari penyidik.
Tidak ada alasan bagi dokter untuk menolak permintaan resmi tersebut.

Perlu diingat bahwa selain sebagai korban (pidana), ia juga berperan sebagai pasien, yaitu
seorang manusia yang merupakan subyek hukum, dengan segala hak dan kewajibannya. Hal
ini berarti bahwa seseorang korban hidup tidak secara "en block" (seutuhnya) merupakan
barang bukti. Yang merupakan "barang bukti" pada tubuh korban hidup tersebut adalah
perlukaannya beserta akibatnya, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara
pidananya. Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subyek hukum dengan
segala hak dan kewajibannya. Dengan demikian, oleh karena barang bukti tersebut tidak
dapat dipisahkan dari orangnya, maka tidak dapat disegel maupun disita. Yang dapat
dilakukan adalah "menyalin" barang bukti tersebut ke dalam bentuk visum et repertum.

Adanya keharusan membuat visum et repertum atas seseorang korban tidak berarti bahwa
korban tersebut, dalam hal ini sebagai pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu
pemeriksaan. Keadaan ini berbeda dengan korban mati yang tidak merangkap perannya
sebagai pasien dengan segala haknya. Korban hidup adalah juga pasien sehingga mempunyai
hak untuk memperoleh informasi medik tentang dirinya, hak menentukan nasibnya sendiri
(rights to self determination), hak untuk menerima atau menolak suatu pemeriksaan dan hak
memperoleh pendapat kedua (second opinion), serta tentu saja hak untuk dirahasiakan
ihwalnya.

Umumnya korban tidak akan menolak pemeriksaan dokter bila telah dijelaskan manfaatnya
bagi korban sendiri sehubungan dengan perkara pidananya. Terlebih bila diingat bahwa
biasanya pemeriksaan tersebut dikaitkan dengan upaya pengobatan dirinya. Apabila suatu
pemeriksaan dianggap perlu oleh dokter pemeriksa tetapi pasien menolaknya, maka
hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat penolakan tersebut dari pasien disertai
alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan
medis.

Ketentuan hukum mengenai siapa yang paling berwenang dalam pembuatan visum et
repertum korban kejahatan seksual tidaklah jelas. Selama ini para dokter spesialis kebidanan
dan penyakit kandungan, yang memang terbiasa memeriksa pasien wanita, dianggap paling
berwenang dalam pembuatan visum et repertum korban kejahatan seksual.

Namun apabila diingat bahwa korban kejahatan seksual pada dasarnya adalah korban
"perlukaan", dan bahwa pemeriksaan yang harus dilakukan bukan hanya sekedar pemeriksaan
fisik dan tujuannya adalah untuk pembuktian, maka dokter spesialis forensik tampaknya akan
mempunyai peranan yang lebih besar. Hal ini juga didukung oleh segi keilmuan yang
digunakan dalam memeriksa korban kejahatan seksual, yaitu ilmu-ilmu forensik dan bukan
ilmu obstetri maupun ginekologi. Hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa
pemeriksa adalah dokter yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, baik di
bidang ginekologi maupun di bidang kedokteran forensik.

Tindakan yang akan dilakukan harus didahului dengan penjelasan dan permintaan
persetujuan korban, atau bila korban tidak cakap memberi persetujuan dimintakan dari orang
tuanya atau keluarga terdekatnya. Apabila korban belum cukup umur, maka disarankan agar
persetujuan tersebut ditandatangani oleh bersama, baik oleh korban maupun oleh
orangtuanya. Selain adanya surat permintaan visum et repertum dan persetujuan korban,
pemeriksaan harus disaksikan oleh chaperone (saksi yang berjenis kelamin sama dengan
korban) guna menghindari keadaan yang tidak diinginkan.(2)

Struktur Dan Isi Visum Et Repertum

Konsep visum yang digunakan selama ini merupakan karya pakar bidang kedokteran
kehakiman yaitu Prof. Muller, Prof. Mas Sutejo Mertodidjojo dan Prof. Sutomo
Tjokronegoro sejak puluhan tahun yang lalu (Nyowito Hamdani, Ilmu Kedokteran
kehakiman, edisi kedua, 1992).

Konsep visum ini disusun dalam kerangka dasar yang terdiri dari :

1. Pro Yustitia.

Menyadari bahwa semua surat baru sah di pengadilan bila dibuat di atas kertas materai dan
hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum yang dibuat harus memakai kertas
materai. Berpedoman kepada Peraturan Pos, maka bila dokter menulis Pro Yustitia di bagian
atas visum maka ini sudah dianggap sama dengan kertas materai.

Penulisan kata Pro Yustitia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat maupun
pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan (Pro Yustitia).
Hal ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakan tentang arti sebenarnya kata Pro
yustitia ini. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut
adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan,
maka saat mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai
sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena
biarpun Pro Yustitia hanya kata-kata biasa, tetapi kalau dokter menyadari arti dan makna
yang terkandung di dalamnya maka kata-kata atau tulisan ini menjadi sangat penting artinya.

2. Pendahuluan

Bagian pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa, siapa yang diperiksa, saat
pemeriksa (tanggal, hari dan jam), di mana diperiksa, mengapa diperiksa dan atas permintaan
siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum dalam permintaan
visum.

3. Pemeriksaan.

Bagian terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang dilihat dan
ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada bagian ini.
Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara objektif. Biasanya pada
bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan pada tubuh korban seperti apa
adanya, misalnya didapati suatu luka, dokter menuliskan pada visum suatu luka berbentuk
panjang, dengan panjang 10 cm, lebar luka 2 cm dan dalam luka 4 cm, pinggir luka rata,
jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Sebagai tambahan pada bagian
pemeriksaan ini, bila dokter mendapatkan kelainan yang banyak atau luas dan akan sulit
menjelaskannya dengan kata-kata, maka sebaiknya penjelasan ini disertai dengan lampiran
foto atau sketsa.

4. Kesimpulan.

Untuk pemakai visum, ini adalah bagian yang penting, karena diharapkan dokter dapat
menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada korban luka
perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari kelainan, tentang
derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana harapan kesembuhan.

Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang tanda-tanda
persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu umur korban
(terutama pada anak belum cukup umur atau belum mampu untuk dikawini).

Pada kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat perhatian
agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.

5. Penutup.

Bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut dibuat sejujur-
jujurnya dan mengingat sumpah. Untuk menguatkan pernyataan itu dokter mencantumkan
Staatsblad 1937 No.350 atau dalam konsep visum yang baru ditulis sesuai KUHP.(IJO)

Tatacara permintaan Visum Et Repertum

Seperti tercantum dalam KUHAP pasal 133 ayat 1, dimana dalam hal penyidik atau
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati, yang
diduga karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli
kepada ahli Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, adapun tata cara
permintaannya sabagai berikut :

a. Surat permintaan Visum et Repertum kepada Dokter, Dokter ahli Kedokteran Kehakiman
atau Dokter dan atau Dokter lainnya, harus diajukan secara tertulis dengan menggunakan
formulir sesuai dengan kasusnya dan ditanda tangani oleh penyidik yang berwenang.

b. Syarat kepangkatan Penyidik seperti ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik


Indonesia Nomor 27 tahun 1983, tentang pelaksanaan KUHAP pasal 2 yang berbunyi :

Penyidik adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurang berpangkat Pelda Polisi


1. Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Serda
Polisi.
2. Kapolsek yang berpangkat Bintara dibawah Pelda Polisi karena
3. Jabatannya adalah Penyidik

Catatan : Kapolsek yang dijabat oleh Bintara berpangkat Serda Polisi, sesuai dengan
ketentuan Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (2), maka Kapolsek yang
berpangkat Serda tersebut karena Jabatannya adalah Penyidik

c. Barang bukti yang dimintakan Visum et Repertum dapat merupakan :

1) Korban Mati.

Dalam hal korban mati jenis Visum et Repertum yang diminta merupakan Visum et
Repertum Jenazah. Untuk keperluan ini penyidik harus memperlakukan mayat dengan penuh
penghormatan, menaruh label yang memuat identitas mayat, di lak dengan diberi cap
jabatan , diletakkan pada ibu jari atau bagian lain badan mayat.

Mayat selanjutnya dikirim ke Rumah Sakit (Kamar Jenazah) bersama surat permintaan
Visum et Repertum yang dibawa oleh petugas Penyidik yang melakukan pemeriksaan TKP.
Petugas penyidik selanjutnya memberi informasi yang diperlukan

Dokter dan mengikuti pemeriksaan badan mayat untuk memperoleh barang-barang bukti lain
yang ada pada korban serta keterangan segera tentang sebab dan cara kematiannya.

2) Korban Hidup.

Dalam hal korban luka, keracunan, luka akibat kejahatan kesusilaan menjadi sakit,
memerlukan perawatan/berobat jalan, penyidik perlu memintakan Visum et Repertum
sementara tentang keadaan korban.
Penilaian keadaan korban ini dapat digunakan untuk mempertimbangkan perlu atau tidaknya
tersangka ditahan. Bila korban memerlukan / meminta pindah perawatan ke Rumah Sakit
lain, permintaan Visum et Repertum lanjutan perlu dimintakan lagi. Dalam perawatan ini
dapat terjadi dua kemungkinan, korban menjadi sembuh atau meninggal dunia.

Bila korban sembuh Visum et Repertum definitif perlu diminta lagi karena Visum et
Repertum ini akan memberikan kesimpulan tentang hasil akhir keadaan korban. Khusus bagi
korban kecelakaan lalu lintas, Visum et Repertum ini akan berguna bagi santunan kecelakaan.

Kemungkinan yang lain adalah korban meninggal dunia, untuk itu permintaan Visum et
Repertum Jenazah diperlukan guna mengetahui secara pasti apakah luka paksa yang terjadi
pada korban merupakan penyebab kematian langsung atau adakah penyebab kematian
lainnya.

d. Dalam surat permintaan Visum et Repertum, kelangkapan data-data jalannya peristiwa dan
data lain yang tercantum dalam formulir, agar diisi selengkapnya, karena data-data itu dapat
membantu Dokter mengarahkan pemeriksaan mayat yang sedang diperiksa.

Contoh :

1) Pada kecelakaan lalu lintas perlu dicantumkan apakah korban pejalan


kaki/pengemudi/penumpang dan jenis kendaraan yang menabrak.

Gambaran luka-luka dan tempat luka pada tubuh dapat menggambarkan bagaimana posisi
korban pada waktu terjadi kecelakaan.

2) Dalam kasus pembunuhan jangan hanya diisi, korban diduga meninggal karena
pembunuhan atau penganiayaan saja. sebutkan keterangan tentang jenis senjata yang diduga
dipergunakan pelaku, senjata tajam, senjata api, racun.

Sebaiknya jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku diikut sertakan sebagai barang
bukti, sehingga dapat diperiksa apakah senjata / alat yang ditemukan sesuai dengan luka-luka
yang terdapat pada tubuh korban.
3) Pada kasus keracunan atau yang diduga mati karena keracunan, cantumkan keterangan
tentang tanda-tanda atau gejala-gejala keracunan (dari saksi serta perkiraan racun yang
dipergunakan.) Bersama dengan korban perlu dikirim sisa-sisa makanan/racun yang dicurigai
sebagai penyebab

4) Pada kasus diduga bunuh diri data-data tentang alat ataupun racun yang dipergunakan
korban agar diisi slengkapnya. Apabila korban dirawat, sertakan salinan rekaman medis pada
waktu perawatan

e. Permintaan Visum et Repertum ini diajukan kepada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman
atau Dokter dan atau ahli lainnya.

Catatan :

Dokter ahli Kedokteran Kehakiman biasanya hanya ada di Ibu Kota Propinsi yang terdapat
Fakultas Kedokteran nya

Ditempat-tempat dimana tidak ada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman maka biasanya surat
permintaan Visum et Repertum ini ditujukan kepada Dokter.

Dalam pelaksanaannya maka sebaiknya :

1) Prioritas Dokter Pemerintah, ditempat dinasnya (bukan tempat praktek partikelir)

2) Ditempat yang ada fasilitas rumah sakit umum / Fakultas Kedokteran, permintaan
ditujukan kepada bagian yang sesuai yaitu :

Untuk korban hidup :

a) Terluka dan kecelakaan lalu lintas : kebagian bedah

b) Kejahatan susila / perkosaan : ke bagian kebidanan

Untuk korban mati : bagian Kedokteran Kehakiman


3) Korban, baik hidup ataupun mati harus diantar sendiri oleh petugas Polri, disertai surat
permintaannya

4) Ditempat yang tidak memiliki fasilitas tersebut, permintaan ditujukan kepada Dokter
pemerintah di Puskesmas atau Dokter ABRI/ khususnya Dokter Polri. Bila hal ini tidak
memungkinkan, baru dimintakan ke Dokter swasta

f. Sebaiknya petugas yang meminta Visum / petugas penyidik hadir ditempat otopsi
dilakukan untuk dapat memberikan informasi kepada Dokter yang membedah mayat tentang
situasi TKP, barang-barang bukti relevan yang ditemukan, keadaan korban di TKP hal-hal
lain yang diperlukan, agar memudahkan Dokter mencari sebab dan cara kematian korban.

g. Sebaiknya petugas penyidik dapat segera memperoleh informasi yang perlu tentang korban
seperti :

1) Berapa lama korban hidup setelah terjadi serangan yang fatal.

2) Sejauh mana korban masih dapat berlari / jalan.

3)Apakah korban dipindah

4) Senjata/alat jenis apa yang melukai korban

5) Apakah jenis alat/ senjata yang ditemukan di TKP sesuai dengan bentuk luka yang ada
pada tubuh korban

6) Bagaimana caranya alat /senjata tersebut mengenai tubuh korban

7) Apakah ada tanda-tanda perlawanan

8) Apakah luka-luka yang ada pada tubuh korban terjadi sebelum atau sesudah kematian

9) Kapan kira-kira korban meninggal


10) Apakah korban minum obat-obatan atau minuman keras sebelum meninggal(3)

Tata Cara Pencabutan Visum Et Repertum

a. Pencabutan permintaan Visum et Repertum pada prinsipnya tidak dibenarkan, namun


kadang kala dijumpai hambatan dari keluarga korban yang keberatan untuk dilaksanakan
bedah mayat dengan alasan larangan Agama, adat dan lain-lain.

b. Bila timbul keberatan dari pihak keluarga, sesuai dengan ketentuan KUHAP Pasal 134 ayat
2, maka penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan bedah
jenazah tersebut.

Disamping itu perlu pula dijelaskan bahwa bedah mayat Forensik :

1) Menurut Agama Islam hukumnya Mubah Fatwa Majelis Kesehatan dan Syurat Nomor 4 /
1955.

2) Bila keluarga tetap menghalangi bedah mayat penyidik dapat memberi penjelasan tentang
ketentuan KUHP Pasal 2 yang tertulis : Barang siapa dengan sengaja mencegah menghalangi
atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

3) Bilamana permintaan Visum et Repertum terpaksa harus dibatalkan, maka pelaksanaan


pencabutan harus diajukan tertulis secara resmi dengan menggunakan formulir pencabutan
dan ditanda tangani oleh Pejabat, petugas yang berwenang dimana pangkatnya satu tingkat
diatas peminta, serta terlebih dahulu membahasnya secara mendalam.

4) Dengan pencabutan permintaan Visum et Repertum maka penyidik harus menyadari


sepenuhnya bahwa tidak ada sesuatu yang jelas dapat diharapkan lagi sebagai keterangan dari
barang bukti berupa manusia sebagai corpus delicti yang berkaian erat dengan masalah
penyidikan yang sedang ditangani.
Pasal KUHP Yang Berkaitan Dengan Visum Et Repertum

Pasal 90 KUHP

Luka berat berarti :

1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau
yang menimbulkan bahaya mati.

2) Tidak mampu untuk terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian.

3) Kehilangan salah satu panca indera.

4) Mendapat cacat berat.

5) Menderita sakit lumpuh.

6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.

7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Pasal 351 KUHP

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(4) Dengan penganiayaan dimaksud sengaja merusak kesehatan.


(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 352 KUHP

Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam,
sebagai penganiayaan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan atau terhadap orang
yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.

Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 353 KUHP

(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang berarti dekenakan pidana penjara
pailing lama tujuh tahun.

(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 354 KUHP

(1) Barang siapa melakukan penganiayaan kepada orang dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama sepuluh tahun.

Pasal 341 KUHP


Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada anak yang dilahirkan
atau tidak lama kemudian, dengan sengaja mematikan anaknya, diancam karena membunuh
anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 342 KUHP

Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena akan ketahuan bahwa ia
akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa
anaknya, diancam karena akan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 89 KUHP

Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

Pasal 285 KUHP

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia di
luar perkawinan, diancam karena memperkosa, dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.

Pasal 286 KUHP

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan hal itu diketahui bahwa
wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun.

Pasal 287 KUHP

(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan padahal diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya bahwa belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak
jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika wanita belum sampai dua belas
tahun atau jika ada salah satu berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

Pasal 288 KUHP

(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin,
apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan penjara paling lama delapan
tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas ahun.

Pasal 289 KUHP

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, karena melakukan perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 44 KUHP

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena
pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan.

(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung pengadilan Tinggi, dan
Pengadilan Negeri.
Pasal 222 KHUP

Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan


pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Yang berhak meminta visum et repertum

Yang berhak meminta visum et repertum adalah penyidik,hakim pidana,hakim perdata dan
hakim agama.

Penyidik

Penyidik adalah pejabat polisi negara tertentu dengan pangkat serendah-rendahnya


pelda,sedangkan pangkat terendah untuk penyidik pembantu adalah serda.Di daerah terpencil
mungkin saja seorang dengan pangkat serda diberi wewenang sebagai penyidik karena ia
komandan.

Hakim pidana

Hakim pidana biasanya tidak langsung minta visum et repertum pada dokter,tetapi
memerintahkan kepada jaksa untuk melengkapi berita acara pemeriksaan dengan visum et
repertum.Kemudian jaksa melimpahkan permintaan hakim kepada penyidik.

Hakim perdata

Dasar hukumnya:HIR pasal 154

Karena di sidang pengadilan perdata tidak ada jaksa,maka hakim perdata minta langsung
visum et repertum kepada dokter.Sebagai contoh adalah sidang pengadilan mengenai
penggantian kelamin Iwan robyanto iskandar menjadi Vivian rubiyanti iskandar.
Hakim Agama

Dasar hukumnya:Undang-undang No.14.tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan


kehakiman pasal 10.

Hakim agama mengadili perkara yang bersangkutan dengan agama islam,sehingga


permintaan visum et repertum hanya berkenaan dengan hal syarat untuk berpoligami,syarat
untuk melakukan perceraian dan syarat waktu tunggu (idah) seorang janda.(2)

Anda mungkin juga menyukai