Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan


Dalam kehidupan sehari – hari masyarakat saling berhubungan satu sama
lainnya, sebab masing – masing saling mempunyai berbagi kepentingan yang tidak
dapat di penuhinya sendiri. Tetapi adakalanya kepentingan masyarakat itu
bersamaan dan setiap orang akan mengutamakan dan membela kepentingannya
terlebih dahulu dari pada kepentingan orang lain.
Kadang – kadang dalam pemenuhan kebutuhan itu timbul konflik sehingga terjadi
benturan yang menjurus kepada suatu tindak pelanggaran atau kejahatan oleh
individu yang bersangkutan. Itulah sebabnya agar tindakan – tindakan seseorang
tidak merugikan orang lain diperlukan suatu peraturan untuk mengatur kehidupan
orang banyak, peraturan – peraturan tersebut pada umumnya dikatakan sebagai
peraturan hukum. Dalam hal mereka yang melakukan pelanggaran dan masuk dalam
taat peradilan pidana kemudian oleh pengadilan ( Hakim ) dijatuhi pidana, maka
oleh pengadilan dikirim ke penjara untuk menjalani hukumannya agar yang
bersangkutan jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Ini merupakan tujuan
dari Sistem Kepenjaraan, di mana dalam Sistem Kepenjaraan narapidana selama
menjalani hukumannya, dijadikan objek perlakuan yang tidak manusiawi dan
martabatnya sebagai manusia tidak dihargai serta diasingkan dari masyarakat.

Seiring dengan dinamika perubahan yang terjadi di dalam masyarakat yang


semakin kritis terhadap proses penegakan hukum dan hak asasi manusia, serta
semakin derasnya tuntutan terjaminnya rasa keadilan di tengah – tengah masyarakat
dewasa ini, mengharuskan segenap jajaran penegak hukum untuk menyikapi secara
tegas dan prosedural dengan jiwa yang penuh kearifan. Perlakuan menurut Sistem
Kepenjaraan dianggap tidak sesuai lagi untuk diterapkan dan perlu diganti dengan
Sistem Pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila sejak 27 April 1964. Dalam
Sistem Kepenjaraan prinsip dasarnya adalah pembalasan dan penjeraan sedangkan
dalam Sistem Pemasyarakatan memiliki prinsip dasar pengayoman dan pembinaan

1
dalam rangka proses reintegrasi sosial. Tujuan yang akan dicapai dalam Sistem
Kepenjaraan adalah bahwa bekas narapidana tidak akan melanggar hukum lagi. Hal
ini menunjukkan bahwa narapidana semata-mata dianggap sebagai obyek. Sistem
kepenjaraan yang sebelumnya berlaku di Indonesia lebih menitik beratkan pada
unsur balas dendam (retribusi) dan penjeraan (deterent), sehingga institusi yang
dipergunakan sebagai tempat pembinaan adalah rumah-rumah penjara yang dibuat
agar para pelanggar hukum merasa jera sehingga tidak melanggar hukum lagi, tanpa
memperdulikan hak-haknya serta masa depan para pelanggar hukum setelah selesai
menjalani hukumannya. Seperti yang digambarkan dalam pendahuluan SMR
(Standard Minimum Rules) yaitu:

“Gedung-gedung lembaga dulu adalah bangunan dari besi dan batu, dengan
ruangan tidur yang diatur sedemikian rupa agar memudahkan pengawasan dan
pemeriksaan terus menerus. Tata kehidupannya kaku dan berpedoman pada
pemeliharaan keamanan intern dan wajib kerja, dengan sekedar fasilitas untuk
rekreasi atau untuk program-program rehabilitasi. Pegawainya yang
berkewajiban mengatur tata kerja dalam lembaga, kurang wajar dalam hubungan
pergaulannya dengan para narapidana dan dijiwai semangat penjagaan dalam
sikap dan tingkah lakunya. Hak narapidana sering dikorbankan, yang katanya
demi terpeliharanya keamanan lembaga atau demi tercapainya tujuan penjeraan
dari suatu pidana.”

Sedangkan Sistem Pemasyarakatan menganggap narapidana sebagai subyek,


sehingga memiliki tujuan agar bekas narapidana tidak melanggar hukum lagi,
menjadi tenaga yang aktif dan kreatif dalam pembangunan dan dapat hidup bahagia
di dunia dan akhirat.

Konsep pemasyarakatan sendiri berawal dari pidato menteri kehakiman


Dr.Saharjo,SH dihadapan presiden Ir. Soekarno ketika memperoleh gelar doctor
honoris causa dibidang ilmu hukum dari Universitas Indonesia yang berbunyi “
Dibawah pohon beringin pengayoman telah kami tetapkan untuk menjadi penyuluh
bagi petugas dalam membina narapidana, maka tujuan pidana penjara kami
rumuskan : “ disamping menimbulkan rasa derita pada narapidana agar bertobat,

2
mendidik supaya ia menjadi anggota masyarakat Indonesia yang berguna. Dengan
singkat tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan ”

Lebih lanjut beliau menyatakan pula, bahwa : “ Negara yang mengambil


kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu
kemasyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan
terhadap masyarakat. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau
lebih jahat daripada sebelum ia dipenjara ”.

Narapidana yang sedang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga


Pemasyarakatan adalah bagian dari masyarakat yang bagaimanapun juga adalah
seorang manusia yang mempunyai hak-hak dasar yang harus dihormati. Narapidana
juga sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, tetapi akan selalu
membutuhkan orang lain yang dapat membantu dan menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapinya serta dapat hidup layak seiring dengan hak-hak asasi
manusianya bersama-sama masyarakat yang berada disekitarnya. “ Salah satu kodrat
manusia adalah keinginannya untuk senantiasa berhubungan dengan manusia lain.
Pangkal tolak ini sangat penting, karena manusia hanya memiliki arti serta makna
yang mendalam apabila manusia hidup dengan manusia lainnya dan saling
berkontribusi dalam suatu tatanan kemasyarakatan”1. Secara historis, perubahan
yang terjadi merupakan dehumanisasi akibat pemenjaraan yang menggunakan
pendekatan keamanan (maximum security). Eksistensi implementasi Standar
Minimum Rules (SMR) dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana
mencerminkan adanya suatu reaksi penologis terhadap kondisi yang ada di Lapas
yang merugikan serta cara-cara pembinaan yang kurang berhasil.

Lembaga Pemasyarakatan sebagai Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan


yaitu wadah melaksanakan seluruh program pembinaan secara terencana dan
sistematis yaitu bukan hanya sekedar tempat untuk mempidana, tetapi juga sebagai
tempat untuk membina agar narapidana mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat diluar lembaga.

1
Chuldun, Ibnu.” Ilmu Pendidikan; Buku Materi Kuliah Akademi Ilmu Pemasyarakatan”, 2004 hal 5.

3
Sejak disahkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, visi dan misi pemasyarakatan menjadi semakin jelas. Visi
pemasyarakatan adalah mengembalikan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan
penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) didalamnya termasuk
narapidana sebagai individu, anggota masyarakat dan makhluk Tuhan Yang Maha
Esa. Sedangkan misi pemasyarakatan adalah melaksanakan perawatan tahanan,
pembinaan dan bimbingan WBP serta pengolahan benda sitaan negara dalam
kerangka penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta
perlindungan hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia bukanlah hanya suatu istilah
pemanis belaka yang ada dalam kamus Negara Hukum yang mengakui adanya hak-
hak kemanusiaan dengan segala keberadaannya. Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan YME dan merupakan anugrah- Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia ( UU No 39 Tahun 1999: 1 ).

Lembaga Pemasyarakatan sebagai Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan


yaitu wadah melaksanakan seluruh program pembinaan secara terencana dan
sistematis yaitu bukan hanya sekedar tempat untuk mempidana, tetapi juga sebagai
tempat untuk membina agar narapidana mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat diluar lembaga. Sistem
Pemasyarakatan mengandung prinsip pembinaan terhadap Warga Binaan
Pemasyarakatan dengan pendekatan yang lebih manusiawi, tercermin dalam usaha-
usaha pembinaan berdasarkan Sistem Pemasyarakatan sebagaimana di atur dalam
Undang-undang No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, dalam rangka
membentuk narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan menjadi manusia
seutuhnya. Hal ini mengandung arti bahwa pembinaan yang dimaksud merupakan
upaya mewujudkan reintegrasi social yaitu pulihnya kesatuan hubungan hidup,
kehidupan dan penghidupan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan baik ia
sebagai individu dan keluarganya, mahluk Tuhan serta masyarakat. Prinsip
pembinaan yang diatur dalam Sistem Pemasyarakatan dapat mengandung arti
secara filosofis yaitu, paradigma Pemasyarakatan mempunyai asumsi bahwa
manusia ( Termasuk Narapidana ) adalah mahluk sosial ia secara naluriah

4
mempunyai kebutuhan untuk selalu berhubungan dengan masyarakat. Oleh sebab
itu setiap Narapidana tidak boleh dikucilkan dari masyarakat lingkungannya

Perubahan dari Sistem Kepenjaraan menjadi Sistem Pemasyarakatan membawa


perubahan mendasar pada pola perlakuan terhadap para narapidana.Sistem
Pemasyarakatan menempatkan Warga Binaan Pemasyarakatan yang terdiri dari :
Narapidana, Anak Negara, Anak Sipil dan Klien Pemasyarakatan bukan lagi
sebagain objek pembinaan melainkan sebagai subjek pembinaan dan dipandang
sebagai pribadi dan warga Negara biasa serta dihadapi bukan dengan latar belakang
pembalasan tetapi dengan pembinaan dan bimbingan.

Oleh karena Narapidana selalu berada di dalam lingkungan Lembaga


Pemasyarakatan dan dalam kehidupan sehari-harinya selalu dikelilingi oleh tembok
yang memisahkan antara Narapidana dengan masyarakat dan yang paling utama lagi
yaitu terpisah dari keluarganya, maka ini akan menimbulkan jarak yang akan
berdampak negatif sehingga menimbulkan adanya derita-derita dan kesakitan-
kesakitan terhadap Narapidana.

Seperti yang disebutkan Gresham M.Keys tentang “The pains of Imprisonment”


seperti yang dikutip Sanusi Has, mengungkapkan bahwa: 2

“ Kepedihan dalam penjara tidak semata-mata berwujud hilangnya kemerdekaan


saja melainkan juga suatu bentuk kesakitan-kesakitan dan akibat hilangnya
kemerdekaan tersebut ialah kesakitan atau kepedihan berupa :

1. Lost of heterosexual relationship;


2. Lost of autonomi;
3. Lost of good and service, and
4. Lost of security.

Selain itu kesakitan lainnya yang sangat terasa adalah “ Rejection of inmate
by society “ yaitu seorang bekas Narapidana selalu dicurigai oleh masyarakat; dan

2
Has, Sanusi “Dasar-dasar Penologi”, CV.Rasanta, Jakarta, 1994 hal 58

5
perlu ditambah lagi yaitu kehilangan atau terputus hangatnya kasih sayang dengan
segenap keluarganya “.

Dengan adanya kesakitan atau kepedihan tersebut akan membawa dampak


negatif secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberhasilan pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan, misalnya :

1. Lost of heterosexual relationship


Yaitu kehilangan hak untuk dapat berhubungan dengan lawan jenis, karena
Narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan terdiri dari satu jenis kelamin
yang dapat mengakibatkan penyimpangan – penyimpangan seksual di dalam
Lembaga Pemasyarakatan sebagai penyalurah terhadap kebutuhan biologisnya.
Ini tentunya sangat dirasakan sekali bagi seseorang Narapidana yang sudah
berkeluarga atau sudah menikah.

2. Lost of autonomi
Yaitu kehilangan hak untuk mengatur diri sendiri, ini diakibatkan oleh
banyaknya peraturan yang harus diikuti dan ditaati oleh setiap Narapidana
selama menjalani pidana dan berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, ini
akan membawa pengaruh secara psikologis yaitu kemauan untuk melepaskan
diri dari peraturan yang ada karena setiap orang menginginkan adanya
kebebasan sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan mengganggu
keamanan dan ketertiban di dalam Lembaga Pemasyarakatan.

3. Lost of good and service


yaitu kehilangan hak untuk memiliki barang-barang dan pelayanan, dimana
setiap orang memiliki hak untuk memiliki sesuatu dan hak untuk dilayani.
Tetapi dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak semuanya didapatkan dengan
bebas, inipun berdampak pada menurunnya harga diri seseorang yang
mengakibatkan ketidak seimbangan di dalam diri seseorang Narapidana.

4. Lost of security
Yaitu kehilangan rasa aman terhadap dirinya sendiri karena akan selalu
dibayangi oleh kehidupan di dalam lembaga yang menakutkan dan mengerikan.

6
Disamping itu dalam diri Narapidana akan timbul kecemasan dan selalu ada
kecurigaan dengan teman-teman sekelilingnya

Disamping itu ada sebagian warga masyarakat masih memberikan pengecapan


atau stigma bahwa seorang Narapidana adalah seorang yang mempunyai perilaku
yang menyimpang dan tidak baik serta harus dijauhkan dari lingkungan pergaulan
dalam masyarakat. Sehingga seorang Narapidana selalu diasingkan dan disingkirkan
oleh masyarakat. Beban lebih berat yang dialami oleh seorang Narapidana adalah
terputusnya hubungan kasih sayang yang hangat dengan seluruh anggota
keluarganya. Disini salah satu anggota keluarga tidak menjalankan fungsinya
sebagai anggota keluarga karena berada dalam tembok Lembaga. Keluarga
merupakan orang yang terdekat dengan Narapidana, sehingga pengaruhnya besar
sekali terhadap kehidupan Narapidana.

Untuk dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kesakitan-kesakitan


tersebut dalam sistem pemasyarakatan diupayakan dengan salah satu bentuk
pembinaan yaitu dengan memberikan kesempatan kepada Narapidana untuk dapat
berkumpul dengan keluarganya dan orang-orang terdekat denganya serta dengan
masyarakat berupa kesempatan melaksanakan Program Cuti Mengunjungi Keluarga
(CMK).

Dengan adanya Program Cuti Mengunjungi Keluarga ( CMK) ini diharapkan


Narapidana dapat mengasimilasikan dirinya dengan keluarga dan masyarakat, dan
diharapkan pula kepada masyarakat turut serta memberikan dukungannya dan
memberikan motivasi terhadap pembinaan yang dilakukan terhadap Narapidana atau
Anak Didik Pemasyarakatan.

Cuti Mengunjungi Keluarga ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri Hukum dan HAM RI Nomor : 03 Tahun 2018 Tentang Syarat dan tata cara
Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat,
Cuti Menjelang Bebasdan Cuti Bersyarat. Dalam Permen tersebut telah ditentukan
mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan CMK, pengamanan dan pengawasan
terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang melaksanakan CMK

7
dan Hukuman disiplin bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang
melanggar ketentuan CMK.

Dalam proses CMK berdasarkan Keputusan Menteri tersebut tidak terlepas


dari adanya peran Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) yang berperan dalam
mempertimbangkan layak tidaknya Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan
untuk melaksanakan CMK serta Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Peran tersebut
yaitu dalam hal pengawasan.

Sebagai proses pembinaan, maka CMK secara bertahap dapat mewujudkan


proses asimilasi Narapidana dengan lingkungan sosialnya. asimilasi ini akan
terwujud apabila Narapidana mampu bersosialisasi dan meyesuaikan diri dengan
peraturan hidup kemasyarakatan. Peraturan hidup ini memberi petunjuk bagaimana
ia harus bertingkah laku dan bertindak dalam masyarakat . “ Melalui sosialisasi
seseorang menginternalisasikan (menghayati) norma-norma, nilai-nilai dan hal-hal
yang tabu dalam masyarakat”.3

Dengan demikian pelaksanaan CMK merupakan bentuk pembinaan


Narapidana dengan mengasimilasikan Narapidana dengan lingkungan keluarga dan
masyarakat sehingga diharapkan setelah bebas nantinya Narapidana tersebut dapat
berperan aktif dan produktif menjadi anggota masyarakat yang berguna dan tidak
melanggar hukum lagi serta berbahagia di dunia dan akhirat sesuai dengan cita-cita
besar dari sistem pemasyarakatan.

Berdasarkan uraian diatas dapat kita ketahui betapa pentingnya program


asimilasi dalam hal ini Cuti Mengunjungi Keluarga dalam rangka proses asimilasi
Narapidana kedalam masyarakat. karena itu dalam penulisan skripsi ini penulis
tertarik untuk mengambil judul :

3
Sudirman, Didin”, Sosiologi Penjara; Buku Materi Kuliah Akademi Ilmu Pemasyarakatan; 2003 hal
138.

8
“IMPLEMENTASI PASAL 67 PERATURAN MENTERI HUKUM DAN
HAM RI NOMOR 03 TAHUN 2018 TENTANG PELAKSANAAN CUTI
MENGUNJUNGI KELUARGA (CMK) SEBAGAI BENTUK PEMBINAAN
TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
NARKOTIKA KLAS III MUARA SABAK”.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, rumusan permasalahan dalam skripsi ini adalah :

1. Apakah pelaksanaan Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK) bermanfaat bagi


Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas III Muara Sabak.
2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan CMK.
3. Apa upaya-upaya yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan untuk
mengatasi kendala-kendala dalam pelaksanaan CMK?

1.3 Batasan Masalah


1. Bagaimanakah pelaksanaan Cuti Mengunjungi Keluarga bagi Narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas III Muara Sabak?
2. Kendala apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan CMK?
3. Bagaimana Upaya yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan untuk
mengatasi kendala-kendala dalam pelaksanaan CMK?

1.4 Tujuan dan Kegunaan Penelitian


1. Untuk mengetahui manfaat pelaksanaan CMK bagi Narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas III Muara Sabak.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam
pelaksanaan CMK.
3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Klas III Muara Sabak untuk mengatasi kendala-
kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan CMK.

9
1.5 Signifikasi Penelitian
Bagi dunia akademik
Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kegiatan asimilasi berupa Cuti
Mengunjungi Keluarga yang dilakukan terhadap Narapidana sehinggga dapat
memberikan gambaran tentang pelaksanaan Pembinaan yang tepat bagi para taruna,
petugas pemasyarakatan dan lain-lain.

Bagi dunia praktisi


Dapat dijadikan sebagai petunjuk dan pedoman serta sumbangan dan saran bagi
petugas pemasyarakatan dalam melaksanakan kegiatan Pembinaan secara tepat,
terarah, terencana dan sistematis di Lembaga Pemasyarakatan.

10

Anda mungkin juga menyukai