Makala Fikih Muamalah Kel 6
Makala Fikih Muamalah Kel 6
(IJARAH)
Dosen: Muhammad Rahmatullah, S.H.I., M.H
DISUSUN
KELOMPOK 6:
DEDI SETIAWAN
Segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat taufik
dan hidayah-Nya kepada seluruh umat manusia, sehingga kami tetap iman dan islam, serta
komitmen iman yang haus akan ilmu pengetahuan.
Shalawat serta salam tetap terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW yang
membawa kita dari zaman yang gelap menuju zaman yang terang benderang yakni dengan
agama islam. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen mata kuliah
Ushul Fikih yang telah membimbing kami dalam pembuatan makala ini yang berjudul
“Ijarah”.
Penyusun menyadari bahwa makala ini masih jauh dari kesempurnaan, karena
kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Untuk itu kritik dan saran sangat kami harapkan
dari pembaca demi perbaikan dan pengembangan makala ini.
Demikianlah makala ini dibuat, semoga dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya
dan pembaca pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... …….
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijarah merupakan salah satu bentuk transaksi muamalah yang banyak dilakukan
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Didalam pelaksanaan ijarah ini, yang menjadi
obyek transaksi adalah manfaat yang terdapat pada sebuah zat. Ijarah sering disebut dengan
‘upah’ atau ‘imbalan’. Ijarah yang sering kita kenal dengan persewaan, sangat sering
membantu kehidupan, karena dengan adanya ijarah ini, seseorang yang terkadang belum bisa
membeli benda untuk kebutuhan hidupnya, maka bisa diperbolehkan dengan cara menyewa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Ijarah ?
2. Bagaimana dasar hukum berlakunya Ijarah ?
3. Apa saja rukun dan syarat Ijarah ?
4. Apa saja macam-macam Ijarah ?
5. Bagaimana penentuan upah untuk jasa yang berkaitan dengan ibadah ?
6. Faktor apa saja yang menyebabkan Ijarah itu batal dan berakhir ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian Ijarah dari berbagai pandangan.
2. Mahasiswa dapat mengetahui sumber hukum yang mendasari Ijarah.
3. Mahasiswa dapat mengetahui syarat dan rukun dari Ijarah.
4. Mahasiswa mengetahui macam-macam Ijarah yang sering kita temukan di lingkungan
sekitar.
5. Mahasiswa memahami apa yang harus dilakukan ketika di hadapkan dengan upah
yang berkaitan dengan ibadah.
6. Mahasiswa mengetahui gambaran hal-hal yang menyebabkan suatu Ijarah batal atau
berakhir
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah
Menurut etimologi, Ijarah adalah (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut
terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi
ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih :
Ada yang menerjemahkan Ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni
mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkannya sewa-menyewa,
yakni mengambil manfaat dari barang. Menurut penulis keduanya benar. Kemudian Ijarah
akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu Ijarah atas jasa dan Ijarah atas benda.
Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa Ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh
disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang
menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk
diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya tetapi bendanya.
Hampir semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa Ijarah disyariatkan dalam Islam.
Walaupun ada beberapa golongan yang tidak menyepakatinya. Ibn Rusyd berpendapat bahwa
kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasaan
(adat). Jumhur ulama berpendapat bahwa Ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, As
sunnah dan ijma’.
a. Al-Qur’an
“Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka
upahnya.” Dalam QS. Thalaq : 6
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “ Ya ayahku, ambilah ia sebagai orang yang
bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Berkatalah dia (Syu’aib),
“Sesungguhnya bermaksud menikahkan kamu dengan salah satu dari kedua anakku ini, atas
dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun,. Dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun,
maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu.” Dalam QS. Al- Qashash : 26-27
b. As Sunnah
“ Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibn Majah dari Ibn
Umar)
“Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beri tahukanlah upahnya.”
(HR.Abd Razaq dari Abu Hurairah)
c. Ijma’
Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab
bermanfaat bagi manusia (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i dari Sa’id ibn
Abi Waqash)
Menurut ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan
menggunakan kalimat : al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’,dan al-ikra.
Syarat Ijarah terdiri dari 4 macam, sebagaimana syarat dalam jual-beli, yaitu syarat al-
inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah dan syarat
lazim.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang
yang melakukan akad disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak
disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak
mumayyiz, dipandang sah bila telah diizinkan walinya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual-beli,
sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah
sah, tetapi bergantung atas keridaan walinya. Ulama Hababilah dan Syafi’iyah mensyaratkan
orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum
dapat dikategorikan ahli akad.
Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia memiliki kekuasaan
penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian, Ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh
orang yang tidak memiliki kekuasaan atau diizinkan oleh pemiliknya)tidak dapat menjadikan
adanya ijarah.
Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud
‘alaih(barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-a’aqad), yaitu :
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakai harta sesamamu dengan
jalan yang batal, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka ” (QS. An-
Nisa’:29) Ijarah dapat dikategorikan jual-beli sebab mengandung unsur pertukaran harta.
Syarat ini berkaitan dengan ‘aqid.
Adanya kejelasan pada ma’qud alaih (barang) menghilangkan pertentangan di antara ‘aqid.
Di antara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih (barang) adalah dengan menjelaskan
manfaatnya, pembatasan waktu. Atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan
atau jasa seseorang.
Jika terdapat cacat pada ma’qud alaih (barang sewaan), penyewa boleh memilih
antara meneruskan dengan membayar penuh atau membatalkannya.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Ijarah batal karena adanya uzur sebab
kebutuhan atau manfaat akan hilang apabila ada uzur. Uzur yang dimaksudkan adalah sesuatu
yang baru yang menyebabkan kemadaratan bagi yang akad.
4) Ujrah (Upah)
D. Macam-Macam Ijarah
1. Ijarah ‘Ala Al-Manfi’
Yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat atau benda. Seperti contoh,
menyewakan mobil atau kendaraan, menyewakan rumah dan lain-lain, Yang perlu di
perintahkan adalah tidak boleh menjadikan obyek sebagai tempat yang manfaatnya dilarang
oleh syara’.
Yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah jasa atau pekerjaan. Contohnya adalah
penjahit atau jasa insiyur dalam pembangunan dan lain-lain. Dan tentunya manfaat yang
diberikan tidak keluar atau dilarang oleh syara’. Akad ijarah ini, terkait erat dengan masalah
upah mengupah. Ajir dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
- Ajir Khass (pekerjaan khusus) : pekerja atau buruh yang melakukan suatu pekerjaan
secara individual dalam waktu yang telah ditentukan. Contoh : pembantu rumah
tangga. Menyusui anak (seperti zaman Rasulullah).
- Ajir Musytarak : orang yang bekerja dengan profesinya dan tidak terkait oleh orang
tertentu. Dia mendapatkan upah karena profesinya, bukan penyerahan dirinya
terhadap pihak lain. Contoh insiyur atau pengacara.
Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, shaum, haji dan membaca Al-
Qur’an diperselisihkan kebolehannya oleh para ulana karena berbeda cara pandang terhadap
pekerjaan-pekerjaan ini.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa
orang lain untuk shalat, shaum, haji atau membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan
kepada orang tertenu seperti kepada ibu bapak dari yang menyewa, adzan, qamat dan menjadi
imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut. Rasulullah SAW bersabda,
“ Bacalah olehmu Al-Qur’an dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu”. Rasulullah
SAW bersabda “ Jika kamu mengangkat seseorang menjadi mu’adzin maka janganlah kamu
pungut dari adzan itu suatu upah.”
Perbuatan seperti adzan, qamat, shalat, haji, shaum, membaca Al-Qur’an dan dzikir
tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenanya tidak boleh mengambil upah
untuk pekerjaan itu selain dari Allah. Hal yang sering terjadi di beberapa daerah di nusantara,
apabila seseorang muslim wafat, maka keluarganya menyusurh para santri atau muslim
lainnya untuk membaca Al-Qur’an di rumhanya selama beberapa malam, dan ketika selesai
pada waktu yang telah ditentukan , mereka diberi upah.
Pekerjaan ini batal menurut Islam karena membaca Al-Qur’an bila bertujuan untuk
memperoleh harta maka tak ada pahalanya. Lantas apa yang dihadiahkan kepada mayit,
sekalipun pembaca Al-Qur’an berniat karena Allah, maka pahala pembacaan ayat Al-Qur’an
untuk dirinya sendiri dan tidak bisa diberikan kepada orang lain. Allah SWT berfirman, “ Ia
mendapat pahal (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan)
yang dikerjakannya.” (QS. Al-Baqarah 2 :286)
1. Imam Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat Al-Qur’an
dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau
ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan
pengajaran Al-Qur’an, azan dan badal Haji.
2. Madzhab Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai
imbalan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan
perbuatan yang diketahui dan dengan yang diketahui pula.
3. Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dan pekerjaan azan, qamat,
mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan shaum qadha adalah tidak boleh,
diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut. Namun, boleh
mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih
seperti mengajarkan Al-Qur’an, hadits dan fiqih. Dan haram mengambil upah yang
termasuk kepada taqarrub seperti membaca Al-Qur’an, shalat dan ibadah yang
lainnya.
4. Imam syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung, khat,
bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid, menggali kuburan, memandikan
mayat dan membangun madrasah adalah boleh.
5. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan dan
membawa jenazah boleh, namun pengambilan upah memandikan mayat tidak boleh.
Jika Ijarah itu suatu pekerjaan maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu
berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak
disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu
Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang
diterimanya. Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu
sendiri. Jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jir (penyewa), ia
berhak menerima bayarannya karena musta’jir sudah menerima kegunaannya. Hak menerima
upah musta’jir adalah sebagai berikut :
Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu mengering”.
(HR. Ibnu Majah).
2. Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa terjadi kecuali bila
dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama
penyewaan berlangsung.
Pada dasarnya semua yang dipekerjakan untuk pribadi dan kelompok (serikat) harus
mempertanggungjawabkan pekerjaan masing-masing. Sekiranya terjadi kerusakan atau
kehilangan, maka dilihat dahulu permasalahannya apakah ada unsur kelalaian/kesengajaan
atau tidak. Jika tidak maka tidak perlu diminta penggantinya dan jika ada unsur kelalaian atau
kesengajaan, maka dia harus mempertanggungjawabkannya, apakah dengan cara mengganti
atau sanksi lainnya yang disepakati kedua belah pihak. Sekiranya menjual jasa itu untuk
kepentingan orang banyak seperti tukang jahit dan tukang sepatu, maka ulama berbeda
pendapat.
Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa apabila kerusakan itu bukan
karena unsur kesengajaan dan kelalaian maka pekerja itu tidak dituntut ganti rugi. Abu Yusuf
dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid Abu Hanifah) berpendapat bahwa pekerja itu
ikut bertanggung jawab atas kerusakan tersebut, baik disengaja ataupun tidak. Berbeda tentu
kalau terjadi kerusakan di luar batas kemampuannya seperti banjir, kebakaran, gempa dll.
Menurut madzhab Maliki, apabila sifat pekerjaan itu membekas pada barang itu
seperti binatu, juru masak dan buruh angkut (kuli) maka baik sengaja maupun tidak, segala
kerusakan menjadi tanggung jawab pekerja itu dan wajib ganti rugi.
Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi bawang sewaan kepada orang lain dengan
syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad. Seperti
penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak
sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir kedua, maka kerbau itu
pun harus digunakan untuk membajak pula. Harga penyewaan yang kedua ini boleh lebih
besar, lebih kecil atau sama.
Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah
pemilik barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian musta’jir,
bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat kelalaian musta’jir maka yang
bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri. Misalnya menyewa mobil, kemudian mobil
itu hilang dicuri karena disimpan bukan pada tempat yang aman.
Di dalam ijarah, akad tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak,
karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang di wajibkan
fasakh (batal). Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
a) Terjadi cacat pada barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa;
b) Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya;
c) Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk
dijahitkan;
d) Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan
selesainya pekerjaan;
e) Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang
menyewakan toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia
dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut etimologi, Ijarah adalah (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut
terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi
ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih :
Ada yang menerjemahkan Ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni
mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkannya sewa-menyewa,
yakni mengambil manfaat dari barang. Menurut penulis keduanya benar. Kemudian Ijarah
akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu Ijarah atas jasa dan Ijarah atas benda. Jumhur ulama
berpendapat bahwa Ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, As sunnah dan ijma’.
Menurut ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan
menggunakan kalimat : al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’,dan al-ikra. Adapun menurut Jumhur
ulama , rukun Ijarah ada 4, yaitu :
Syarat Ijarah terdiri dari 4 macam, sebagaimana syarat dalam jual-beli, yaitu syarat al-
inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah dan syarat
lazim. Macam-macam Ijarah :
• Imam Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat Al-Qur’an
dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau
ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan
pengajaran Al-Qur’an, azan dan badal Haji.
• Madzhab Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai
imbalan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan
perbuatan yang diketahui dan dengan yang diketahui pula.
• Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dan pekerjaan azan, qamat,
mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan shaum qadha adalah tidak boleh,
diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut.
• Imam syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung, khat,
bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid, menggali kuburan, memandikan
mayat dan membangun madrasah adalah boleh.
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
a) Terjadi cacat pada barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa;
b) Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya;
c) Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk
dijahitkan;
d) Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan
selesainya pekerjaan;
e) Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang
menyewakan toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia
dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.
B. Saran
Makalah ini masih jauh dari sempurna, ada beberapa poin yang belum kami
sampaikan. Untuk mahasiswa selanjutnya dapat kiranya makalah ini dijadikan referensi untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia
Nor. Dumairi, dkk. Ekonomi Syariah Versi Salaf. Pasuruan : Pustaka Sidogiri