Dosen Pembimbing:Ns.Mujahidin,S.Kep,M.Kes
DISUSUN OLEH :
FITRIANI
NPM : 21149011233
Kelas : A3
BINA HUSADA
TA.2021/2022
DIABETES MELITUS
A. KONSEP PENYAKIT
1.DEFINISI
Diabetes Melitus merupakan sekelompok kelainan kategori yang ditandai oleh kenaikan
keadaan glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smeltzer, S.C& Bare, B. G, 2015).
Diabetes Melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang
jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan problema anatomik dan kimiawi yang
merupakan akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin (Perkeni, 2011).
Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (ADA,
2010).
2.ETIOLOGI
Mekanisme yang dapat menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin
pada Diabetes Melitus tipe II masih belum diketahui.Faktor geneti diperkirakan memegang
peranan dalam prosesterjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat pula faktor-faktor resiko
tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya Diabetes
Melitus tipe II.
Faktor-faktor lain adalah:
1.Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas65 tahun).
2.Obesitas.
3.Riwayat keluarga.
4.Ras
4.PATOFISIOLOGI
Proses penyakit Pada Diabetes Melitus tipe II terdapat dua masalah yang berhubungan
dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan
reseptor khusus pada permukan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor
tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel.
Resistensi insulin pada Diabetes
Melitus tipe II disertai dengan penurunan reaksi intra sel yang mengakibatkan tidak
efektifnya insulin untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah
harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresi. Namun pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini akibat sekresi insulin berlebihan, dan kadar
glukosa akan di pertahankan dalam tingkat normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian bila sel-sel beta tidak mampu megimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin,
maka kadar glukosa akan meningkat dan mengakibatkan Diabetes Melitus tipe II
(Smeltzer, S.C & Bare, B. G, 2015).
5. PATHWAY
6. PENATALAKSANAAN
Kerangka utama penatalaksanaan Diabetes Melitus yaitu edukasi,
perencanaan makan, latihan jasmani, dan obat hipoglikemik.
1. Edukasi
Edukasi mengenai pengertian DM, promosi perilaku hidup sehat,
pemantauan darah mandiri, serta tanda dan gejala hipoglikemia
serta cara mengatasinya perlu dipahami oleh pasien.
2. Perencanaan makan (meal planning)
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI),
telah ditetapkan bahwa standar yang dianjurkan adalah santapan
dengan komposisi seimbang berupa karbohidrat (45-65%),
protein (10-20%). Lemak (20-25%).Apabila diperlukan santapan
dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75% juga memberikan
hasil yang baik, terutama untuk golongan ekonomi rendah.
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur,
stress akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai berat badan
ideal. Jumlah kandungan kolesterol <300 mg/ hari.Jumlah
kandungan serat ± 25 g/ hari, diutamakan jenis serat
larut.Konsumsi garam dibatasai bila terdapat hipertensi.Pemanis
dapat digunakan secukupnya.
3. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap minggu selama
±0,5 jam yang sifatnya sesuai CRIEPE (continous, rhytmical,
interval, progressive, endurance training).Latihan yang dapat
dijadikan pilihan adalah jalan kaki, jogging, renang, bersepeda,
dan mendayung.
4. Obat berkhasiat hipoglikemik
a. Sulfonilurea
Obat ini bekerja dengan cara menstimulsai pelepasan insulin
yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin,
meningkatkan sekresi insulin sebagai aklibat rangsangan
glukosa. Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien
dengan berat badan normal dan masih bisa dipakai pada pasien
yang beratnya sedikit lebih.
b. Biguanid
Obat ini menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai
dibawah normal. Preparat yang ada dan aman adalah
metformin.Obat ini dianjurkan untuk pasien gemuk (indeks
masa tubuh/ IMT > 30) sebagai obat tunggal.
c. Inhibitor α glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α
glukosidase didalam saluran cerna, sehingga menurunkan
penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia pasca
prandial.
(Perkeni, 2011)
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
2. KELUHAN UTAMA
DM pada usila mungkin cukup sukar karena sering tidak khas dan
5. PEMERIKSAAN FISIK
A. reflex patologis
1. Babynski Test
Tes ini dilakukan dengan menggoreskan ujung palu reflex
pada telapak kaki pasien mulai dari tumit menuju ke atas
bagian lateral telapak kaki setelah sampai di kelingking
goresan dibelokkan ke medial dan berakhir dipangkal jempol
kaki. Tanda positif responnya berupa dorso fleksi ibu jari
kaki disertai pemekaran atau abduksi jari-jari lain. Tanda ini
spesifik untuk cedera traktus piramidalis atau upper motor
neuron lesi. Tanda ini tidak bias ditimbulkan pada orang
sehat kecuali pada bayi yang berusia di bawah satu tahun.
Tanda ini merupakan reflex patologis.
2. Oppenheim Test
Tanda atau reflex patologis ini dapat dibangkitkan dengan
mengurut tulang tibia dari atas ke bawah menggunakan ibu
jari dan jari telunjuk. Tanda ini positif responnya sama
babinski tes yang mengindikasikan upper motor neuron lesi.
3. Chaddock Test
Memberikan rangsangan dengan jalan menggores pada
bagian lateral malleolus lateralis.
4. Gordon Test
Cara : memencet atau mencubit otot betis.
5. Refleks Oppenheim
Cara : mengurut dengan kuat pada tibia dan otot tibialis
anterior dari atas ke distal.
6. Refleks Schaefer
Cara: memencet/mencubit tendon achilles.
2. Reflex Biceps
Tingkat segmental : C5-C6
Cara : Lengan penderita dalam keadaan fleksi, letakkan ibu jari
tangan di atas tendonm.biceps. Respon timbul gerakan fleksi
lengan bawah
3. Reflex Brachioradialis
4. Reflex Triceps
Tingkat segmental : C6,C7,C8
Cara : Pegang lengan bawah penderita yang disemifleksikan ,
kemudian ketuklah tendon insersio m.triceps pada atas olecranon
atau topang lengan yang berada dalam keadaan abduksi dengan
lengan bawah yang tergantung bebas kemudian lakukan ketukan.
Respon : terjadi gerakan ekstensi elbow.
5. Reflex Tendon Patella (Kne Pes Reflex)
Tingkat segmental : L3
Cara : tungkai difleksikan dan digantung di tepi tempat bed.
Lakukan ketukan pada tendon m. quadriceps femoris. Respon :
gerakan ekstensi knee joint.
Tingkat : Keterangan :
0 Tidak ada.
1+ Hypoaktif,dan normal atau tid
2+ Fisiologis/normal
3+ Meninggi/dapat normal atau tidak.
4+ Jelas hyperaktif disertai klonu
5+ Jelas hyperaktif disertakan tonus menetap
C. Reflex Superficialis
1. Reflex Kornea.
Cara : kornea mata disentuh dengan sepotong kapas yang ujungnya dibuat
runcing, hal ini akan menyebabkan dipejamkannya mata (m. orbicularis
oculi), saat melakukan pemeriksaan ini pasien tidak boleh mengetahuinya
sehingga pasien dengan menyuruh melirik ke arah berlawanan dengan arah
datangnya kapas . Respon : Gangguan nervus V sensorik memberi respon
berupa refleks menjadi berkurang.
2. Reflex Dinding Perut
Cara : melakukan goresan pada dinding perut dengan benda yang agak
runcing. Refleks ini dilakukan pada berbagai lapang dindin perut, yaitu :
a. Epygastrium (Th6-Th7)
b. Perut bagian atas (Th7-Th9)
c. Perut bagian tengah (Th9-Th11)
d. Perut bagian bawah (Th11,Th12 & Lumbal atas)
Respon : terlihat pusar bergerak kearah otot yang berkontraksi.
3. Reflex Kremaster
Cara : dilakukan dengan menggores atau menyentuh bagian medial
pangkal paha ke arah atas. Respon : scrotum akan berkontraksi. Pada lesi
tractus piramidalis refleks ini akan menjadi negatif.
6. RENCANA INTERVENSI