Anda di halaman 1dari 16

TUGAS INDIVIDU KDK 1

7 POINT PERAN KEPERAWATAN BESERTA CONTOHNYA

DI SUSUN OLEH:

Nama : NUR AZIZAH

Nim : P202101137

Kelas : Z³ KEPERAWATAN

Dosen Pengampu : NAWAWI S.Kep.,NS.,M.Kes

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU- ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MANDALA WALUYA

KENDARI

2021
Adapun 7 point peran keperawatan beserta contohnya yaitu:

1.Asuhan Keperawatan.

Asuhan Keperawatan (Askep) adalah proses interaksi perawat dengan klien dan
lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian klien
dalam merawat dirinya. Keberhasilan askep pada pasien sangat ditentukan oleh pemilihan
metode pemberian asuhan keperawatan profesional.

• Contoh 1

Pelayanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) merupakan salah satu


upaya puskesmas yang mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan
memadukan ilmu/ praktik keperawatan dengan kesehatan masyarakat lewat dukungan
peran serta aktif masyarakat mengutamakan pelayanan promotif dan preventif secara
berkesinambungan tanpa mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif secara
menyuluh dan terpadu, ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat
untuk ikut meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal sehingga mandiri
dalam upaya kesehatannya.

Walikota dan Wakil Walikota Palembang serta Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kota Palembang
menggalakakkan program Perawatan Kesehatan Masyarakat (PERKESMAS) dengan
melakukan kegiatan Pelayanan Kesehatan kepada masyarakat langsung ke tempat/rumah
penderita.

Walikota dan Wakil Walikota Palembang juga memberikan bantuan berupa Kursi Roda
kepada Penderita dengan kelumpuhan, pemberian makanan tambahan bagi balita bawah
garis merah dan ibu hamil.

Sumber Berita: www.dinkes.palembang.go.id ( 10/04/2017 13:13:50 WIB )

• Contoh 2

Gelar Webinar Manajemen Pelayanan dan Asuhan Keperawatan Pasien Covid-19

Mar 15, 2021 | Berita.

Surabaya – Ada banyak persoalan dalam merawat pasien terpapar virus corona. Dalam
upaya berbagai pengalaman inilah Himpunan Mahasiswa (Hima) Ners Unusa bersama
dengan mahasiswa Ners RS Mitra Keluarga menggelar webinar tentang Manajemen
Pelayanan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien Covid-19 di Rumah Sakit, Minggu (14/3).
Empat narasumber dihadirkan untuk berbagi pengalaman itu, masing-masing Supriyati
Nisfil L.A, S.Kep; Laili Sobachah, S.Kep; Dwi Yunitasari, S.Kep, dan Normawati, S.Kep.

Laili Sobachah, S.Kep menjelaskan, virus corona merupakan virus yang menyebabkan
gejala ringan hingga berat. Individu yang melakukan kontak erat dengan pasien yang
terpapar virus corona potensial untuk tertular. Perawat yang merawat pasien terpapar
corona potensial pula untuk terpapar, karena itu kata Laili, perawat atau tenaga kesehatan
bisa menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) sebagai upaya pencegahan agar tidak tertular.
“APD-nya pun harus sesuai dengan ketentuan dan mengenakannya pun dalam sekali
pakai,” kata Laili.

Narasumber lain, Supriyati Nisfil L.A, S.Kep menjelaskan, virus corona membuat
pemerintah harus memperhatikan aspek psikososial pasien dan perawat. Karena itu
bantuan sosial yang diberikan baik kepada pasein saat perawatan atau pada masa isolasi
mandiri serta tunjangan kepada perawat, sangat membantu.

Supriyati menjelaskan perlunya mapping ketenagaan dimana hal ini untuk mengetahui
kemampuan staf di rumah sakit untuk menangani Covid-19. “Perawat yang menangani
Covid-19 harus benar-benar sehat tidak boleh ada komorbit, karena itu mapping
diperlukan sebelum diterjunkan untuk menangani pasien yang terpapar Covid-19,”
ucapnya.

Setelah lolos mapping sebagai tahap pertama, yang diperlukan berikutnya adalah
menjalani pelatihan serta mempersiapkan sarana prasarana. “Materi pelatihan antara lain
bagaimana menggunakan dan melepas baju APD, tahap berikutnya mulai melakukan
penugasan,” kata Supriyati.

Sedang Dwi Yunitasari S.Kep menambahkan, bahwa untuk penanganan pasien yang
terpapar Covid-19 harus menggunakan keranda dan kursi roda yang didesain khusus. “Ini
dilakukan agar perawat maupun masyarakat lainnya tidak tertular,” ungkapnya.

Tidak hanya itu, tempat isolasi pun harus terpisah dari ruang isolasi umum, demikian juga
dengan ruang rawat inapnya. Ini bertujuan agar tidak menulari kepada pasien lain,
sehingga virus corona tidak menyebar melalui.

Sementara itu, Normawati S.Kep menjelaskan kondisi psikososial pasien menjadi salah satu
kendala perawat dalam penanganan pasien Covid-19. Tidak jarang keluarga maupun
pasien mengalami stress berlebihan, sehingga perlu perawatan intensif. Adanya stigma
negatif di masyarakat tentang orang yang terpapar corona harus difasilitasi perawat
paliatif yang bertugas mengedukasi dan memberikan informasi selengkap mungkin kepada
masyarakat tentang Covid-19,” kata Normawati
2. Peneliti / Pembaharu.

Peran perawat sebagai pembaharu sangat di perlukan, karena perawat sebagai


pembaharu merupakan jalan agar perawat membuat pembaharuan dalam pelayanan
kesehatan keperawatan karena Syarat yang harus di miliki perawat sebagai pembaharu
ialah harus memiliki kreatifitas, inisiatif, dan cepat tanggap terhadap rangsangan dari
lingkungannya. Kegiatan ini dapat di peroleh melalui kegiatan riset atau penelitian.
Penelitian pada hakekatnya adalah melakukan evaluasi, mengukur kemampuan menilai,
dan mempertimbangkan sejauh mana evektivitas tindakan yang telah di berikan.
Kebutuhan dasar manusia terdiri dari kenutuhan biologis, fisikologis sosial dan spritual
pada masa yang akan datang.Peran perawat sebagai peneliti bisa dilakukan dengan
mengadakan perencanaan, kerjasama, perubahan secara sistematis dan terarah. Tentu hal
tersebut harus sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan kepada
klien.Maka dari itu, diharapkan seluruh perawat memiliki pemahaman yang sama tentang
hakikat keperawatan makna keperwatan sebagai profesi praktik keperawatan profesional
serta peran dan fungsi perawat profesional dapat berjalan dengan baik.

 Contoh 1

Peran Keperawatan dalam Pencapaian Indikator MDGs di Indonesia

Sebagai bahan pertimbangan, strategi upaya pencapaian indikator MDGs di


Indonesia berdasarkan analisa terhadap situasi diatas pada komponen Kesehatan Anak,
Kematian Ibu dan Kasus HIV/AIDS, diperlukan peningkatan kegiatan untuk memasarkan,
menyebarluaskan dan memperkenalkan program kesehatan primer yang berbasis pada
upaya preventif dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Pelayanan
Kesehatan Preventif sebagai bagian dari bidang kegiatan promosi kesehatan menjadi
sangat penting untuk ditangani oleh profesional yang ahli dibidang tersebut. Kemampuan
yang diharapkan mampu  untuk  memenuhi  kebutuhan kesehatan  individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat dalam kondisi sehat, mampu mendeteksi adanya resiko sakit
yang mungkin terjadi, mampu mengelola potensi kesehatan yang dimiliki sehingga
gambaran status kesehatan yang diharapkan dapat jelas terpotret dan yang lebih penting
lagi tata layanan kesehatan di masyarakat menjadi lebih terstruktur.

Pemerintah  telah mengembangkan  upaya tersebut melalui pengoptimalan seluruh


sumber daya yang tersedia untuk mengentaskan masing-masing permasalahan. Sumber
daya kesehatan yang dibutuhkan tentunya adalah sumber daya kesehatan yang mampu
secara berkesinambungan dan komprehensive mengelola mulai dari tingkat individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat dalam format primer, sekunder maupun tersier.
Sumber daya keperawatan memiliki potensi sebagai sumber daya kesehatan yang
dimaksud. Perawat melalui peran-peran keperawatannya dapat menjadi bahan baku
sumber daya yang dapat ditingkatkan pemberdayaannya dalam mengejar pencapaian
indikator MDGs di tahun 2015.

Pada Konsorsium Ilmu Kesehatan tahun 1989 dinyatakan bahwa keperawatan


berperan  sebagai Peneliti dan  Pembaharu  dengan memberikan perubahan yang
sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan dalam
pelayanan kesehatan.

 Contoh 2

Peran Perawat Selama Pandemi Covid-19.

Tenaga perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan sangat memegang peranan
penting dalam mencapai tujuan mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya mulai dari rentang sehat sampai dengan sakit.Bahkan Badan Kesehatan Dunia
(WHO/World Health Organization) menyatakan perawat merupakan back bone (tulang
punggung) di fasilitas pelayanan karena proporsi jumlahnya yang lebih banyak
dibandingkan tenaga kesehatan lain.

Pelayanan terhadap pasien secara terus menerus (24 jam) dan berkesinambungan serta
termasuk salah satu yang berada di garda terdepan dalam pemberian pelayanan kesehatan
kepada masyarakat.Salah satu tantangan sebagai tenaga kesehatan yaitu perawat yang
selalu berada di garda terdepan ini adalah perannya dalam memberikan pelayanan
kesehatan selama masa Pandemi Covid-19. Kita semua tahu bahwa pandemic Covid-19 ini
yang berawal dari Wuhan- China telah menyebar di berbagai belahan dunia dan telah
memakan banyak korban jiwa baik dari masyarakat sampai dengan tenaga kesehatan.

Hal tersebut tentunya menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi perawat (khususnya)


yang selalu berada di garda terdepan pelayanan dalam menjalankan peran professional
keperawatan. Belum lagi ditambah dengan beban psikologis dari beberapa masyarakat
tentang stigma negatif perawat yang merawat pasien Covid-19.Bahkan beberapa ada yang
melakukan penolakan/diskriminasi saat mereka kembali ke masyarakat. Hal inilah yang
membutuhkan peran perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat dan pasien khususnya.

Berman et all tahun 2016 menyebutkan bahwa peran perawat yaitu sebagai pemberi
asuhan keperawatan, komunikator, pendidik, advokat pasien, konsultan, pembaharu,
pemimpin dan manager. Peran-peran tersebut sangat penting dan dibutuhkan terutama di
saat pandemic covid-19 saat ini.

3.Konsultan.
Konsultan, perawat sebagai nara sumber bagi keluarga dalam mengatasi
masalah keamanan keluarga. Agar keluarga mau meminta nasehat kepada perawat maka
hubungan perawat- keluarga harus dibina dengan baik, perawat harus bersikap terbuka
dan dapat dipercaya. Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau
tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien
tehadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.

 Contoh 1

Daftar Penyakit Ini Jadi Fokus Layanan Puskesmas di Nursing Center.

Kementerian Kesehatan selalu gencar mendorong Puskesmas untuk mendukung


pelaksanaan pelayanan kesehatan primer yang berkualitas. Masyarakat seringkali diimbau untuk
memeriksakan diri ke Puskesmas sebagai pelayanan primer sebelum datang ke rumah sakit.

“Untuk itu maka perlu disiapkan tenaga kesehatan yang akan melaksanakan Perkesmas. Penyiapan
tenaga kesehatan dilakukan dengan memberikan pelatihan Perkesmas pada tenaga kesehatan,
perawat tentunya,” ungkap Agus.

Praktik Perkesmas merupakan perpaduan antara praktik keperawatan dan praktik kesehatan
masyarakat.Pelayanan yang diberikan mengutamakan pelayanan promotif dan preventif tanpa
mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu.

Sasaran Perkesmas adalah individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang mempunyai masalah
kesehatan akibat faktor ketidaktahuan, ketidakmauan maupun ketidakmampuan dalam
menyelesaikan masalah kesehatan.

Pelaksana Perkesmas adalah perawat puskesmas yang berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain
di Puskesmas.Perawat merupakan tenaga kesehatan terbanyak yaitu 294.226 orang (33,15 persen)
dari seluruh tenaga kesehatan. Tenaga perawat tersebut 35,8 persen bekerja di Puskesmas, dan
merupakan tenaga kesehatan terdepan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat.

 Contoh 2

Pelayanan Kesehatan yang Masih Jauh Dari Layak

Patient safety (keselamatan pasien) belum menjadi budaya yang harus diperhatikan
oleh rumah sakit di Indonesia. Perubahan paradigma dalam lembaga pelayanan kesehatan
yang saat ini beralih pada patient centered care belum benar-benar dijalankan dengan
baik.
Ahmad Ahid Mudayana,SKM.,MPH, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat mengatakan,
masih ada rumah sakit yang berorientasi pada kepentingann manajemen yang pada
akhirnya melupakan keselamatan pasien di rumah sakit.

Menurutnya, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sudah dengan jelas


menyatakan bahwa rumah sakit saat ini harus mengutamakan keselamatan pasien di atas
kepentingan yang lain. Jadi, kata dia, sudah seharusnya rumah sakit berkewajiban
menerapkan budaya keselamatan pasien. Tidak ada lagi alasan bagi setiap rumah sakit
untuk tidak menerapkan budaya keselamatan pasien karena bukan hanya kerugian secara
materi yang didapat tetapi juga ancaman terhadap hilangnya nyawa pasien.

“Keluhan masyarakat soal dokter, yang paling banyak soal pemberian informasi yang tidak
lengkap, diagnosis penyakit yang kurang tepat, dan tidak sedikit juga yang mengadukan
sikap dokter yang tidak ramah. Bahkan ada juga dokter yang ngambek kepada pasien,”
katanya.

Apabila masih ada rumah sakit yang mengabaikan keselamatan pasien sudah seharusnya
diberi sanksi yang berat baik untuk rumah sakit maupun petugas pelayanan kesehatan.
Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, pihak rumah sakit bahkan petugas pelayanan
kesehatan tidak mendapat sanksi apapun sehingga menjadikan penegakan hukum
kesehatan di Indonesia masih sangat lemah.

Sudah seharusnya apabila terjadi kelalaian bahkan kesengajaan dari pihak rumah sakit
yang mengakibatkan terancamnya keselamatan pasien maka tidak hanya sanksi internal
tetapi juga sudah masuk ke ranah pidana. Inilah yang sampai saat ini belum berjalan
sehingga masyarakat yang dirugikan karena lemahnya penegakan hukum yang pada
akhirnya kasusnya menguap begitu saja.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kenapa budaya keselamatan pasien belum
benar-benar diterapkan di berbagai rumah sakit. Pertama, rendahnya tingkat kepedulian
petugas kesehatan terhadap pasien, hal ini bisa dilihat dengan masih ditemukannya
kejadian diskriminasi yang dialami oleh pasien terutama dari masyarakat yang tidak
mampu.

Kedua, beban kerja petugas kesehatan yang masih terlampaui berat terutama perawat.
Perawatlah yang bertanggung jawab terkait asuhan keperawatan kepada pasien,
sedangkan disisi lain masih ada rumah sakit yang memiliki keterbatasan jumlah perawat
yang menjadikan beban kerja mereka meningkat.

Selain perawat, saat ini di Indonesia juga masih kekurangan dokter terutama dokter
spesialis serta distribusi yang tidak merata. Ini berdampak pada mutu pelayanan yang tidak
sama di setiap rumah sakit. Ketiga, orientasi pragmatisme para petugas kesehatan yang
saat ini masih melekat disebagian petugas kesehatan. Masih ditemukan para petugas
kesehatan yang hanya berorientasi untuk mencari materi/keuntungan semata tanpa
mempedulikan keselamatan pasien.

Keempat, lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan terhadap para
petugas kesehatan. Lemahnya pengawasan sendiri dikarenakan beberapa faktor mulai dari
terbatasnya personel yang dimiliki dinas kesehatan sampai rendahnya bargaining position
dinas kesehatan.

Keempat hal tersebut di atas setidaknya menjadi penghalang terwujudnya budaya


keselamatan pasien di setiap rumah sakit. Jika hal ini tidak segera diselesaikan, kata Ahid,
kasus-kasus yang mengancam keselamatan pasien akan terus terjadi sehingga perlu upaya
yang maksimal untuk mewujudkan budaya keselamatan pasien.

“Karena itu, mulai diterapkannya aturan baru terkait akreditasi rumah sakit versi 2012
menjadi sebuah harapan baru agar budaya keselamatan pasien bisa diterapkan di seluruh
rumah sakit di Indonesia,” ujarnya. Selain itu, harus ada upaya untuk meningkatkan
kesadaran para pemberi pelayanan kesehatan tentang pentingnya menerapkan budaya
keselamatan pasien dalam setiap tindakan pelayanan kesehatan.

Menurut Ahid, diperlukan sosialisasi yang masif kepada masyarakat terutama yang akan
menggunakan jasa pelayanan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan serta
memperbaiki perilaku mereka dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Upaya-upaya ini harus segera dilakukan agar tidak ada lagi kasus dugaan malpraktik yang
dapat merugikan masyarakat sehingga mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit bisa
meningkat. Dengan meningkatkan kepedulian terhadap pasien, maka dengan mudah
budaya keselamatan pasien bisa dijalankan. “Jangan sampai hanya karena kesalahan
sedikit yang dilakukan oleh rumah sakit bisa berakibat pada rusaknya citra dunia perumah
sakitan di Indonesia dimata internasional,” katanya.

4. Kolaborator.

Sebagai seorang kolaborator, perawat melakukan kolaborasi dengan klien, pper


group serta tenaga kesehatan lain. Kolaborasi yang dilakukan dalam praktek di lapangan
sangat penting untuk memperbaiki. Agar perawat dapat berperan secara optimal dalam
hubungan kolaborasi tersebut, perawat perlu menyadari akuntabilitasnya dalam pemberian
asuhan keperawatan dan meningkatkan otonominya dalam praktik keperawatan. Faktor
pendidikan merupakan unsur utama yang mempengaruhi kemampuan seorang profesional
untuk mengerti hakikat kolaborasi yang berkaitan dengan perannya masing-masing,
kontribusi spesifik setisp profesi, dan pentingnya kerja sama. Setiap anggota tim harus
menyadari sistem pemberian asuhan kesehatan yang berpusat pada kebutuhan kesehatan
klien, bukan pada kelompok pemberi asuhan kesehatan. Kesadaran ini sangat dipengaruhi
oleh pemahaman setiap anggota terhadap nilai-nilai profesional.

Menurut Baggs dan Schmitt, 1988, ada atribut kritis dalam melakukan kolaborasi,
yaitu melakukan sharing perencanaan, pengambilan keputusan, pemecahan masalah,
membuat tujuan dan tanggung jawab, melakukan kerja sama dan koordinasi dengan
komunikasi terbuka.

 Contoh 1

Kolaborasi Dokter dan Perawat Penting untuk Optimalkan Kesembuhan Pasien.

Dokter dan perawat memang memiliki tugas masing-masing dalam memberikan


pelayanan kesehatan kepada pasien. Namun, patut diingat bahwa kolaborasi keduanya
amat dibutuhkan untuk mengoptimalkan kesembuhan pasien.

“Dokter dari segi pendidikan memang ke arah penogbatan, kalau perawat lebih ke
‘nursing’, perawatan lah ya. Karena kalau orang sakit kan nggak hanya biologisnya saja
tetapi juga menyangkut kondisi psikis dan lingkungannya,” kata dr Trevino A Pakasi, MS,
PhD dari Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Nah, dengan adanya kolaborasi antara dokter dan perawat, diharapkan peluang
kesembuhan pasien bisa meningkat sehingga waktu sakit si pasien pun lebih sebentar,
demikian dikatakan dr Trevino di Rumah Anyo, Jl Anggrek Murni Blok A/110, Slipi, Jakarta
Barat, Jumat (5/6/2015).

“70% orang sehat bisa dicegah supaya nggak sakit. Nah, upaya preventif ini nggak hanya
dilakukan dokter saja tapi juga perawat. Misalnya ada kasus pecandu rokok bisa berhenti
merokok, lalu diadakan semacam kelas sharing pengalaman berhenti merokok kan bisa di-
leading oleh perawat. Bisa juga dengan memberi ya semacam info pada pasien juga
sebagai tindakan preventif,” tutur dr Trevino.Ia mencontohkan di klinik dokter keluarga
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ada program bina keluarga. Di situ, pembinaan
keluarga didelegasikan oleh dokter ke perawat. Baru, ketika ada kondisi yang memang
harus ‘dibina’ langsung oleh dokter, maka dokter akan menanganinya. Ada pula peran
perawat sebagai Case Manager misalkan si perawat menentukan kapan pasien harus ke
dokter spesialis, tetapi tetap berdasarkan guideline yang ada.

“Jadi kolaborasi antara dokter dan perawat tuh penting banget. Memang, perlu health
promotion tentang fungsi perawat dan dokter secara terus menerus seperti halnya
pemikiran dulu kalau ke dokter harus disuntik sekarang kan nggak harus gitu,” pungkas dr
Trevino.

 Contoh 2

Model Praktek Kolaborasi Perawat-Dokter

Menurut Burchell, Thomas, dan Smith 1983 dalam Siegler dan Whitney 2000
terdapat dua model praktek kolaborasi yaitu: 1. Model Praktek Kolaborasi, Tipe I Gambar
pertama merupakan model praktik kolaborasi yang menekankan komunikasi dua arah, tapi
tetap menempatkan dokter pada posisi utama dan membatasi hubungan antara dokter
dan pasien. Dokter Registered Pemberi Nurse Pelayanan Lain Pasien Gambar 2.1. Model
Praktik Kolaboratif, Tipe I Burchell, Thomas, dan Smith, 1983 dalam Siegler dan Whitney,
2000 2. Model Praktek Kolaborasi, Tipe II Gambar kedua lebih berpusat pada pasien, dan
semua pemberi pelayanan harus saling bekerja sama, juga dengan pasien.

Model ini tetap melingkar, Universita Sumatera Utara menekankan kontinuitas,


kondisi timbal balik satu dengan yang lain dan tak ada satu pemberi pelayanan yang
mendominasi secara terus menerus. Dokter Registered Nurse PASIEN Pemberi Pelayanan
Lain Model Praktik Kolaborasi, Tipe II Burchell, Thomas, dan Smith, 1983 dalam Siegler dan
Whitney, 2000 Ruble dan Thomas 1976 dalam Siegler Whitney, 2000 mengembangkan
suatu ilustrasi yang dapat membantu interpretasi proses kolaborasi.

Ordinat menyatakan tingkat seseorang memuaskan kebutuhannya sendiri; absis


menyatakan tingkat orang tersebut memuaskan kebutuhan pihak lain. Kolaborasi
terbentuk disaat seseorang berusaha memuaskan kebutuhannya sendiri dan kebutuhan
pihak lain secara maksimal. Maka grafik ini dapat memperlihatkan apa yang sering tidak
dapat dijelaskan dalam defenisi, bahwa proses kolaborasi membutuhkan sikap yang tegas
dan kerjasama, bukan penyerahan seseorang untuk memuaskan pihak lain demi
mempertahankan harmoni. Model ini sangat terbatas, meskipun dapat digambarkan
interaksi potensial antara perawat dan dokter atau antara dua orang pribadi dalam suatu
kelompok yang besar dan antar- Universita Sumatera Utara disiplin, tetapi grafik ini tidak
dapat menggambarkan interaksi yang kompleks yang biasa berlangsung dalam kerja
kelompok.

Bersaing berkolaborasi Asertif Menyetujui Keasertifan Tidak asertif menghindari


menunjuang Tidak kooperatif kooperatif Kekooperatifan Ilustrasi Proses Kolaborasi Ruble
dan Thomas, 1976 dalam Siegler dan Whitney, 2000 Gardner 2005 menyebutkan
kerjasama yang efektif antara keperawatan dan profesi kesehatan lainnya untuk mencapai
kualitas pelayanan kesehatan yang tinggi, semakin penting dan tumbuh terus menerus.
Kolaborasi adalah kemitraan yang kompleks. Ini adalah proses yang terjadi dari waktu ke
waktu. Hal ini juga merupakan suatu hasil sintesis dari perspektif yang berbeda, sebuah
solusi yang Integratif. Hal ini penting untuk mengingat bahwa konflik adalah bagian alami
dari kolaborasi. Konflik ini memberikan kesempatan untuk memperdalam kesepakatan
komitmen. Penggunaan strategi ketrampilan resolusi konflik dan kemampuan dapat efektif
dalam meningkatkan keputusan kualitas dan tim komitmen.

5. Koordinator

Peran berikutnya yaitu sebagai koordinator atau dalam pelayanan


rumah sakit disebut katim (ketua tim). Jadi, sebagai pemegang progam
turut serta dalam mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi
pelayanan kesehatan sehingga bisa memberikan pelayanan sesuai
kebutuhan pasien.

 Contoh 1

PERAWAT SEBAGAI KOORDINATOR PELAKSANA UNIT GAWAT DARURAT


PUSKESMAS DI KABUPATEN TRENGGALEK

Perawat koordinator pelaksana pelayanan keperawatan UGD di


puskesmas Kabupaten Trenggalek tersebut peneliti mendapatkan
delapan tema penelitian meliputi : 1) koordinator pelaksana UGD
puskesmas mempunyai peran dan tugas banyak, 2) menerima atau
pasrah menjalankan banyak peran, 3) pelaksanaan peran perencanaan
sebatas membuat usulan, 4) pelaksanaan peran dalam
pengorganisasian belum optimal, 5) peran pengarahan kepada staf
belum optimal, 6) pelaksanaan peran monitoring dan evaluasi belum
optimal, 7) hambatan pelaksanaan pelayanan UGD puskesmas, 8)
harapan koordinator pelaksana UGD puskesmas dalam pengelolaan.

 Contoh 2

Peran Sebagai Koordinator Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan,


merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan
sehingga pemeberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan
kebutuhan klien. Tujuan Perawat sebagi coordinator adalah : a. Untuk memenuhi
asuhan kesehatan secara efektif, efisien dan menguntungkan klien. b. Pengaturan
waktu dan seluruh aktifitas atau penanganan pada klien. c. Menggunakan
keterampilan perawat untuk : - merencanakan - mengorganisasikan - mengarahkan
– mengontrol.
6. Edukator.

Peran Perawat sebagai Edukator. Peran ini dilakukan dengan membantu klien
dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan
yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan
pendidikan kesehatan. Selama bertahu-tahun, organisasi-organisasi yang mengatur dan
mempengaruhi perawat telah mendorong dan mendukung pendapat bahwa perawat
harus memainkan peran utama dalam pendidikan kesehatan. Pengajaran dianggap sebagai
suatu komponen pokok praktik keperawatan pada perawatan klien yang sehat atau yang
sakit. Agar perawat dapat bertindak sesuai dengan perannya sebagai pendidik, siapapun
khalayak mereka, pasien,anggota keluarga, siswa keperawatan atau staf keperawatan dan
lembaga lainnya, mereka harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang prinsip-
prinsip pengajaran dan pembelajaran. Biasanya bila dalam lingkungan rumah sakit
diberikan sewaktu pasien akan pulang sehingga diharapkan pasien dapat menjalankan pola
hidup sehat dan juga menjaga kesehatannya. Bagi keluarga klien memampukan mereka
dalam menangani sendiri diharuskan jika memungkinkan.Luke dan Caress (1989) dengan
jelas membedakan antara pengajaran pasien dan Pendidikan pasien.

 Contoh 1

Health Information for Our Lives

PERAN PERAWAT SEBAGAI PENDIDIK

Ketika di rumah sakit, pasien maupun anggota keluaraga pasien sering terlihat
belum begitu mengerti tentang pengetahuan yang berhubungan dengan kesehatan.
Malahan ada juga yang sama sekali tidak faham. Menurut saya, hal ini memang wajar
karena tidak semua orang belajar ilmu kesehatan. Ada orang tua yang sangat cemas dan
khawatir dengan anaknya yang sedang sakit, padahal sakitnya itu tidak parah. Memang ini
bisa terjadi karena minimnya pengetahuan mereka. Inilah saatnya perawat menjalankan
perannya.

Sesuai pengalaman saya di masyarakat, saya sering melihat tindakan-tindakan


masyarakat dalam mengangani dirinya sendiri (self caring) bila ada suatu masalah
(kecelakaan). Tujuan mereka itu memang benar, tetapi cara yang dilakukan mereka itu
salah. Sebenarnya mereka pun tidak mengetahui secara pasti tentang pengaruh dari
pemberian tindakan tersebut. Mereka hanya mengikuti kebiasaan turun temurun orang
tua. Misalnya, ada kejadian luka bakar. Tindakan masyarakat dalam mengatasi kejadian ini
adalah dengan mengoleskan pasta gigi atau odol pada bagian yang terkena luka bakar
tersebut. Padahal, apabila tindakan ini dipandang dari ilmu kesehatan, maka termasuk
tindakan yang kurang tepat.
Pernahkah Anda mendengar bahwa ibu yang sedang hamil ataupun suaminya itu tidak
boleh membunuh binatang, katanya nanti anaknya akan mirip dengan binatang yang
dibunuh? Di Indonesia memang banyak masyarakat yang masih percaya akan hal – hal
yang berbau mitos dan sering menghubungkan kelainan atau cacat pada bayi yang baru
lahir dengan mitos tersebut. Jika ada bayi yang lahir menyerupai kodok dan kebetulan
ayah si bayi adalah penjual kodok, orang akan berpikir “pasti karena ayahnya membunuh
kodok, jadi anaknya mirip kodok”. Kemudian ada juga ketika ibu yang sedang hamil melihat
orang yang cacat, akan menepuk perutnya sambil berkata “amit-amit jabang bayi” dan
tidak mengejek orang cacat tersebut. Katanya apabila si ibu mengejek orang cacat
tersebut, maka bayi yang dilahirkan akan mengalami kecacatan juga. Sebenarnya, hal ini
itu tidak ada hubungannya sama sekali.

Pada dasarnya perawat merupakan seorang guru dan agen informasi kesehatan tanpa
memandang lingkungan tempat ia berada. Pengajaran dianggap sebagai suatu komponen
pokok praktik keperawatan pada perawatan pasien yang sehat atau sakit, selain itu juga
dapat dilakukan pada keluarga dalam hal yang mendampingi pasien selama menjalani
perawatan di rumah sakit. Agar perawat dapat bertindak sesuai perannya sebagai
pendidik, maka perawat harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang prinsip-
prinsip pengajaran dan pembelajaran. Selain itu tingkat pengetahuan kognitif seorang
perawat sangatlah penting. Domain kognitif adalah hasil “tahu” dan ini terjadi seorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui
panca indera seseorang. Kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Tingkat pengetahuan mempunyai enam
tingkatan antara lain: tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application),
analisis (analysis), sintesis (synthesis), evaluasi (evaluation) (Bastable, 2002).

Tipe pasien itu berbeda-beda. Setiap pasien mempunyai keunikan tersendiri, sehingga
dalam memberikan pendidikan, perawat harus bisa memposisikan dirinya. Untuk
mengetahui tipe pasien itu sendiri, perawat terlebih dahulu harus membangun hubungan
yang baik dengan pasien hingga muncullah hubungan saling percaya. Apabila hubungan
saling percaya sudah terbentuk, maka perawat akan dengan mudah menyalurkan ilmunya
ke pasien tersebut. Perawat pun harus bisa mememberikan pendidikan agar pasien dapat
bersifat mandiri, tidak harus tergantung pada perawat.

Perawat juga harus bisa mendidik keluarga pasien, sehingga pasien maupun keluarga yang
belum tahu tentang suatu hal menjadi lebih tahu. Misal, perawat menjelaskan tentang
cara minum obat, efek minum obat, cara mengatasi penyakit yang diderita pasien dan
cara pencegahan penyakit. Harapannya setelah pasien dipulangkan dari rumah sakit,
keluarga dapat membina pasien dalam merawat dirinya secara mandiri tanpa bantuan
seorang perawat. Peran keluarga dianggap sebagai salah satu variabel penting yang
mempengaruhi hasil perawatan pasien (Reeber, 1992 [seperti] dikutip oleh Bastable,
2002). Kemudian, apabila ada keluarga yang bertanya tentang sakit yang diderita
keluarganya, maka perawat harus bisa menjelaskan sesuai faktanya, sehingga pihak
keluarga tidak merasa khawatir dan cemas lagi dan dapat memberikan memberikan
pengaruh positifnya kepada pasien. Galroth (1990) dalam Bastable (2002) menegaskan
bahwa pemberian pendidikan dalam keluarga dapat memberikan dukungan emosi, fisik,
dan sosial yang penting bagi pasien.

Peran perawat sebagai pendidik tidak hanya di lingkup rumah sakit saja, tetapi juga di
masyarakat. Menurut Gaffar (1999) perawat berperan dalam mendidik individu, keluarga,
kelompok, dan masyarakat serta tenaga keperawatan atau tenaga kesehatan yang berada
di bawah tanggung jawabnya. Melihat kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hal
yang berhubungan dengan kesehatan, maka perawat harus ikut andil dalam menyalurkan
ilmunya. Perawat harus bisa memberikan penyuluhan-penyuluhan di masyarakat
mengenai kesehatan agar pengetahuan masyarakat bertambah dan tidak terjadi
kesalahpahaman kembali. Seperti kasus luka bakar yang diberi pasta gigi, perawat
seharusnya bisa menjelaskan bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan yang kurang
tepat. Contoh penjelasan yang diberikan oleh perawat,“Saat terjadi luka bakar, maka
jaringan kulit akan rusak. Kemudian tubuh secara otomatis akan mengeluarkan cairan
untuk mengobatinya. Jika kulit yang terkena luka bakar ini diberi pasta gigi, maka akan
menghambat keluarnya cairan yang akan keluar dari dalam tubuh dan bisa menghambat
petugas medis untuk mengibatinya. Tetapi, kita juga harus melihat terlebih dahulu tingkat
keparahan luka bakar yang terjadi. Apabila luka bakarnya sedikit dan tidak parah, maka
cukup dialiri air saja agar rasa panasnya hilang. Sedangkan jika luka bakarnya parah, maka
harus dilanjutkan dengan dibawa ke dokter.”

 Contoh 2

Informasi Diabetes Melitus yang di berikan perawat kepada pasien.

Pengelolaan Diabetes Melitus

Bagaimana Mengendalikan Diabetes Melitus Tipe-2 (DMT2)?

Diabetes sampai saat ini memang belum bisa disembuhkan, tapi bukan berarti
penyakit ini tidak bisa dikendalikan. Upaya-upaya pencegahan sampai pengendalian bisa
dilakukan dengan menerapkan 4 (empat) pilar utama yang meliputi, edukasi, pola makan
(diet), olahraga (aktivitas fisik), dan terapi farmakologi (pengobatan).

Pembelajaran bagaimana pola hidup sehat dilakukan sebagai upaya pencegahan dan
pengelolaan terhadap diabetes secara menyeluruh. Pola makan, komplikasi, cara minum
obat dan tanda kegawatdaruratan adalah hal-hal yang perlu diketahui oleh penderita dan
anggota keluarga.Mitos dan fakta terkait Diabetes Melitus Tipe-2 (DMT2) juga perlu
diajarkan oleh petugas kesehatan kepada penderita diabetes dan keluarganya. Pendidikan
ini diperlukan agar penderita dan keluarganya bisa memahami penyakit ini dengan baik.

Tujuan jangka panjang dari edukasi adalah untuk memberikan hidup yang lebih lama
kepada para penderita diabetes. Diharapkan penderita bisa hidup lebih bahagia dengan
meningkatnya kualitas hidup. Penderita juga akan bisa merawat diri sendiri, selain untuk
mengurangi komplikasi yang timbul, juga untuk menekan jumlah hari sakit si penderita.
Mobilitas penyandang diabetes diharapkan juga akan meningkat, sehingga mereka tetap
bisa berperan dengan sebaik-baiknya di tengah masyarakat.

7. Advokat Klien.

Peran ini dilakukan perawat dalam membantu pasien dan keluarganya dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain
khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan
kepada pasien. Juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien
yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya
dan hak atas privasi.

Sebagai pelindung, perawat membantu mempertahankan lingkungan yang aman


bagi klien dan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan serta
melindungi klien dari kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari suatu tindakan
diagnostic atau pengobatan.

 Contoh 1

Contoh dari peran perawat sebagai pelindung adalah memastikan bahwa klien tidak
memiliki alergi terhadap obat dan memberikan imunisasi melawat penyakit di
komunitas. Sedangkan peran perawat sebagai advokat, perawat melindungi hak klien
sebagai manusia dan secara hukum, serta membantu klien dalam menyatakan hak-
haknya bila dibutuhkan. Contohnya, perawat memberikan informasi tambahan bagi
klien yang sedang berusaha untuk memutuskan tindakan yang terbaik baginya. Selain
itu, perawat juga melindungi hak-hak klien melalui cara-cara yang umum dengan
menolak aturan atau tindakan yang mungkin membahayakan kesehatan klien atau
menentang hak-hak klien. Peran ini juga dilakukan perawat dalam membantu klien dan
keluarga dalam menginterpetasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau
informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan
yang diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi
hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi
tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak
untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.

 Contoh 2

Peran Advokasi Perawat Dalam Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Gawat Darurat

Gawat Darurat Menurut ANA (1985).

ANA (1985) adalah “melindungi klien atau masyarakat terhadap pelayanan dan
keselamatan praktik tidak sah yang tidak kompeten dan melanggar etika yang dilakukan
oleh siapa pun”

Melindungi pasien dari pelayanan yang tidak bermutu, perawat disini harus menjaga
keselamatan pasien baik dari kompentensi petugas yang tidak profesional (petugas tidak
ahli dibidang gawat darurat sebaiknya tidak bertugas di Unit Gawat Darurat/Instalasi
Gawat Darurat).

Menjaga pasien dari alat dan dan sarana parasana yang tidak yang tidak standar , sebaik
alat harus standar dan mempunyai kelayakan standar dan dikalibrasi seuai ketentuan yang
berlaku.

Melindungi pasien dari sistem yang buruk dan bertele tele (sistem yang merugikan pasien).

Anda mungkin juga menyukai