Proposal Penelitian
Proposal Penelitian
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
A. Landasan Teori
A. Tipe Peneletian
B. Lokasi Penelitian
E. Analisis Data
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Adanya satu perkara yang ditangani oleh dua institusi pengadilan akan
membuat masalah semakin ruwet. Para pihak yang berpekara masing- masing
memegang dua putusan pengadilan yang tentunya akan memilih putusan mana
sedangkan pertimbangan dan amar putusan adalah satu kesatuan yang berlaku dan
pihak berbeda.
Berdasarkan hal-hal yang penulis kemukakan diatas, penulis tertarik untuk
meneliti sengketa kewenangan yang terjadi antar Pengadilan Negeri Makale dan
Pengadilan Agama Makale terhadap suatu kasus perdata tanah yang telah
Agama Makale memriksa kembali kasus tersebut setelah pihak yang kalah di
Makale.
B. RUMUSAN MASALAH
Pengadilan ?
C. TUJUAN PENELITIAN
berlaku
2. Untuk mnegtahui apa yang seharusnya dilakukan oleh para pihak
terhadap perkara yang diperiksa oleh dua pengadilan pada tingkat yang
sama
SENGKETA KEWENANGAN MENGADILI
Dasar Hukum
Pasal 56-65 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1996 tanggal 7
Mei 1996 tentang Petunjuk Permohonan Pemeriksaan Sengketa
Kewenangan Mengadili Dalam Perkara Perdata
Umum
Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir
semua sengketa tentang kewenangan mengadili :
antara Pengadilan di lingkungan Peradilan yang satu
dengan Pengadilan di Lingkungan Peradilan yang lain;
antara dua Pengadilan yang ada dalam daerah
hukum Pengadilan Tingkat Banding yang berlainan dari
Lingkungan Peradilan yang sama;
antara dua Pengadilan Tingkat Banding di
Lingkungan Peradilan yang sama atau antara lingkungan
Peradilan yang berlainan.
Sengketa tentang kewenangan mengadili terjadi :
jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan berwenang
mengadili perkara yang sama;
jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan tidak
berwenang mengadili perkara yang sama.
Pengajuan Penyelesaian Sengketa Kewenangan Mengadili dalam Perkara
Perdata
Permohonan untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan
mengadili dalam perkara perdata, diajukan secara tertulis kepada
Mahkamah Agung disertai pendapat dan alasannya oleh:
a. pihak yang berperkara melalui Ketua Pengadilan;
SUMBER : http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/prosedur-
berperkara/sengketa-kewenangan-mengadili
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka masalah pkok yang akan diteliti
adalah :
1. Bagaimanakah Penegakkan Hukum Pidana Terhadap Upacara Adat Penggal
Kepala Suku Naulu Tersebut Jika Dilihat Dari Kacamata Sosiologis ?
2. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap para
pelaku ( pemenggal kepala manusia )?
3. Bagaimana kebijakan hukum pidana agar upacara adat pemenggalan kepala
manusia tersebut tidak terjadi lagi di masa yang akan datang?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana proses penegakkan hukum
pidana terhadap Upacara Adat penggal kepala manusia Suku Naulu tersebut jika
dilihat dari kacamata sosiologis
2. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana mati terhadap para pelaku.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum pidana agar upacara adat
pemenggalan kepala manusia tersebut tidak terjadi di masa yang akan datang.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Ø Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau memberikan
solusi dalam bidang hukum pidana terkait dengan upacara adat penggal kepala
yang terjadi pada suku Naulu. Dengan demikian pembaca atau calon peneliti lain
akan semakin mengetahui tentang upacara adat penggal kepala pada masyarakat
Ø Dapat dijadikan pedoman bagi para pihak atau peneliti lain yang ingin mengkaji
secara mendalam tentang penegakkan hukum pidana berkaitan dengan masalah
yang penulis utarakan diatas.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian dalam
rangka meningkatkan kualitas penegakan hukum pidana khususnya hakim dalam
pengambilan keputusan bila nantinya menghadapi kasus yang serupa.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. KERANGKA TEORI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Penegakkan Hukum
Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi
oleh setiap masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan
karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya
tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat
mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian
sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.
Menurut Satjipto Rahardjo,
“penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan
konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut
sebagai keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiranpikiran pembuat undang-
undang yang dirumuskan dalam peraturan- peraturan hukum itu. Pembicaraan
mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai kepada
pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum) yang
dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan
hukum itu dijalankan.”[10]
“Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidahkaidah yang
mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai
tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup.Penegakan Hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya
merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat
diatur oleh kaidah hukum, akantetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan
pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral”[11]
Menurut Jimly Ashhidiq[12]
““Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam
lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan
oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum
oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses
penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan
hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang
berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti
sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai
upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan
bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.”
Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum
mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya
sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan
upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum
baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang
seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and
rule making’), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum
(socialization and promulgation of law, dan (iii) penegakan hukum (the
enforcement of law). [13]
Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the
administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan
(eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan
administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang
keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti
luas, ‘the administration of law’ itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum
(rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang
sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan
publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam
rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusankeputusan
administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis)hakim
di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas
terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada,
bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak
diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum
yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan
dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidaktahuan
masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan
pembudayaan hukum secara sistematis dan bersahaja.
Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal
pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat
membina penjahat dengan cara melakukan pembinaan di lembaga
pemasyarakatan, dengan demikian dapat memberpaiki terpidana di lembaga
pemasyarakatan tersebut. Seharusnya hal ini mampu memberikan wacana kepada
para hakim dalam merumuskan vonis penjatuhan pidana kepada para pelaku
kejahatan agar mampu menangkap aspirasi keadilan masyarakat. Sementara itu,
dalam kenyataan empiris di bidang pemidanaan secara umum masih menganut
konsep hanya menghukum terpidana di lembaga pemasyarakatan, dengan
demikian dapat memberikan gambaran bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti
sesaat dan akan muncul kembali dalam lingkungan kehidupan sosial masyarakat.
Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran agar orang taat kepada
hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal yakni: (1) takut
berbuat dosa; (2) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan
sifat hukum yang bersifat imperatif; (3) takut karena malu berbuat jahat.
Penegakan hukum dengan sarana non penal mempunyai sasaran dan tujuan untuk
kepentingan internalisasi.[14]
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar
kepentingan manusia terlindungi hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum
dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena
pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus
ditegakkan. Melalui penegakkan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan.
Dalam penegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan,yaitu kepastian
hukum ( Rechtssicherheit ), kemanfaatan ( Zwekmassigkeit ) dan keadian
( Gerechtigkeit ).[15] Ketiga konsep ini pertama kali dikemukan oleh Gustav
Radbruch[16]
Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa:
“Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat
ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkret. Bagaimana hukumnya
itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang; fiat
justitia et pereat mundus ( meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan ).
Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. kepastian hukum merupakan
perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa
seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan
adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas
menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat.
Sebaliknya masyarakat megharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau
penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum
harus member manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru
karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan didalam
masyarakat.” [17]
Unsur yang ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan
bahwa dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum keadilan harus diperhatikan.
Dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum harus adil. Hukum tidak identik
dengan keadilan. Keadilan itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan.
Seandainya kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum
atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai
keadilan dan kegunaan. Karena yang penting pada nilai kepastian itu adalah
peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa
keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian
hukum. Begitu juga jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan
saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai
keadilan, karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah
hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi masyarakat. Demikian juga halnya
jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan
menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak
terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena
sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan
kepastian hukum.[18]
Semua masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta
berada dalam masa pergelokan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan
penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus
terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum
dan rasa keadilan masyarakat. Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari
tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan
dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk
memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut
dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun
tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya( Penjelasan UU No.48/ 2009 )
Oliver Holmes dalam teorinya mengatakan bahwa:[19]
“aturan hukum bukanlah sebuah poros keputusan yang berbobot. Aturan tidak
bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan dunia yang begitu kompleks. Dan lagi
pula kebenaran yang riil, bukan terletak dalam undang-undang, tapi pada
kenyataan hidup. Lebih lanjut Holmes mengatakan seorang pelaksana hukum
( hakim ) sesungguhnya mengahadapi gejala-gejala hidup secara realistis. Sering
ia menghadapi dua bahkan lebih kebenaran yang seolah meminta kepastian mana
yang lebih unggul dalam konteks tertentu. Salah satu diantaranya adalah
kebenaran versi aturan hukum. Tidak jarang, bahkan amat sering, kebenaran-
kebenaran lain lebih unggul dari yang disodorkan aturan formal. Mereka lebih
relevan, lebih tepat, dan bahkan lebih bermanfaat untuk suatu konteks riil,
ketimbang kebenaran yang ditawarkan aturan legal. Dalam hal inilah seorang
hakim mempertaruhkan kepekaan dan kearifannya. Ia harus memenangkan
kebenaran yang menurutnya lebih unggul, meski dengan resiko mengalahkan
aturan resmi."
Menurut Simons: [23]
“Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van de norm
verbonden, dat aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.” (artinya:
suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan
pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah
dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.)
Jenis- jenis pidana dalam ketentuan KUHP antara lain : menurut pasal 10 :
1. Pidana pokok :
a) Pidana mati
b) Pidana penjara
c) Pidana kurungan
d) Pidana denda
e) Pidana tutupan
2. Pidana tambahan :
a) Pencabutan hak-hak tertentu
b) Perampasan barang-barang tertentu
c) Pengumuman putusan hakim
Seperti sudah disinggung pada latar belakang bahwa salah satu suku di
kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, yaitu suku Naulu. Salah satu suku
yang hidup di Petuanan Negeri Sepa, merupakan salah satu suku terasing di Pulau
Seram, tepatnya di Dusun Bonara, yang berjarak 35 km2 dari Pusat kota
Kecamatan. Suku Naulu ini memiliki banyak adat istiadat yang terbilang unik,
namun salah satu adat yang paling mengerikan adalah Tradisi adat memotong
kepala manusia buat persembahan.Oleh masyarakat Suku Naulu diyakini sebagai
kepercayaan yang mutlak dilakukan. Keyakinan itu mengalahkan akal sehat dan
logika manusia, karena diyakini jika tidak mendapat kepala manusia buat
persembahan bisa mendatangkan bala atau musibah. Meskipun demikian Kepala
manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat mereka.
Konsep penggal kepala dalam upacara adat suku naulu dalam pandangan
hakim pengadilan negeri Maluku Tengah merupakan konsep pembunuhan. Dan
Pembunuhan tersebut adalah merupakan pembunuhan yang terencana sehingga
melanggar ketentuan
Pasal 340 KUHP;
“ barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama
dua puluh tahun”
Pasal 55 ayat 1 ( 1) :
“ dipidana sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang melakukan, yang
menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan”
BAB III
METODE PENELITIAN
A. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian Non Doctrinal yaitu berupa studi-studi empiris untuk menemukan
teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum
didalam masyarakat/Socio Legal Research.[30]. Yaitu menganalisa tentang
penegakkan hukum pidana atas putusan hakim pengadilan negeri Masohi pada
penjatuhan pidana mati terhadap suku Naulu yang melakukan upacara adat
penggal kepala manusia dari sisi sosiologis.
2. Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu :
a) Data primer merupakan bahan penelitian yang berupa fakta-fakta empiris
sebagai perilaku maupun hasil perilaku manusia. Baik dalam bentuk perilaku
verbal perilaku nyata, maupun perilaku yang terdorong dalam barbagai hasil
perilaku atau catatan-catatan/ arsip.[31] Data primer diperoleh secara langsung
dari lokasi penelitian yaitu dengan cara wawancara langsung dan observasi atau
pengamatan secara langsung dilapangan
b) Data sekunder merupakan bahan hukum dalam penelitian yang di ambil dari
studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan non hukum. [32].Data sekunder diperoleh dengan studi dokumentasi
dan penelusuran literatur yang berkaitan dengan peneggakkan hukum pidana dan
teori yang mendukungnya.
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
memiliki suatu autoritas mutlak dan mengikat. Berupa ketentuan hukum yang
mengikat seperti, peraturan perundang-undangan, catatan resmi dan lain-lain yang
berkaitan dengan penegakkan hukum pidana.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap/ mengenai bahan hukum primer. Seperti doktrin, jurnal, karya ilmiah
dibidang hukum dan lain-lain.
c. Bahan hukum tersier ( non hukum) adalah bahan hukum yang relevan seperti
kamus hukum, ensiklopedia dan kamus hukum lain yang masih relevan.
3. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Sepa Kabupaten Maluku Tengah dan Pengadilan
Negeri Masohi, Kabupaten Maluku Tengah
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk data primer dilakukan dengan wawancara langsung kepada hakim
pengadilan negeri Maluku Tengah dan pengamatan secara langsung pada
masyarakat adat setempat. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan studi
kepustakaan yaitu pengumpulan data melalui literatur dan dokumen lain yang
berkaitan dengan permasalahan yang ada.
5. Analisa Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deskriptif
kualitatif.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Lain