Anda di halaman 1dari 21

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

B. Tugas dan Wewenang Peradilan Umum (Pengadilan Negeri)

C. Tugas dan Wewenang Peradilan Agama (Pengadilan Agama)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tipe Peneletian

B. Lokasi Penelitian

C. Jenis dan Sumber Data

D. Teknik Pengumpulan Data

E. Analisis Data

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Kompleksnya Persoalan Hukum Serta Luasnya wilayah Indonesia

menuntut adanya pembagian kewenangan mengadili, baik kewenangan mengadili

mengenai jenis perkara maupun kewenangan mengadili mengenai tempat kejadian

perkara serta kewenangan mengadili berdasarkan kewenangan khusus yang

berlaku untuk instansi tertentu.

Adanya satu perkara yang ditangani oleh dua institusi pengadilan akan

membuat tidakpastian serta memunculkan konflik yang berkepanjangan sehingga

membuat masalah semakin ruwet. Para pihak yang berpekara masing- masing

memegang dua putusan pengadilan yang tentunya akan memilih putusan mana

yang lebih menguntungkan.

Suatu perkara yang diperiksa dan diputus oleh 2 pengadilan dalam

hierarki yang sama , sekalipun amarnya putusannya sama, tetap akan

menimbulkan masalah karena pertimbangannya tidak akan persis sama,

sedangkan pertimbangan dan amar putusan adalah satu kesatuan yang berlaku dan

mengikat kepada para pihak yang berperkara.

Terlebih lagi jika amar putusannya berbeda,yang sudah pasti pertimbangannya

bertolak belakang sehingga putusan pengadilan masing-masing menguntungkan

pihak berbeda.
Berdasarkan hal-hal yang penulis kemukakan diatas, penulis tertarik untuk

meneliti sengketa kewenangan yang terjadi antar Pengadilan Negeri Makale dan

Pengadilan Agama Makale terhadap suatu kasus perdata tanah yang telah

ddiperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri Makale, Namun Pengadilan

Agama Makale memriksa kembali kasus tersebut setelah pihak yang kalah di

Pengadilan Negeri makale mendaftarkan lagi gugatan di Pengadilan Agama

Makale.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan pada latar belakang, maka

rumusan masalah yang akan dibahas adalah:

1. Bagaimanakah Mekanisme penyelesaian sengketa Kewenangan antar

Pengadilan ?

2. Apakah yang seharusnya dilakukan oleh pihak yang dirugikan

terhadap perkara yang diperiksa oleh dua pengadilan pada

tingkat/hierarki yang sama?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan permaslahan diatas, tujuan yang hendak dicapai dalam

penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan

antar Pengadilan beradasarkan peraturan prundang-undangan yang

berlaku
2. Untuk mnegtahui apa yang seharusnya dilakukan oleh para pihak

terhadap perkara yang diperiksa oleh dua pengadilan pada tingkat yang

sama
SENGKETA KEWENANGAN MENGADILI

Pemeriksaan Sengketa Tentang Kewenangan Mengadili

Dasar Hukum
 Pasal 56-65 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung
 Surat Edaran Mahkamah Agung  Nomor 1 Tahun 1996 tanggal 7
Mei 1996 tentang Petunjuk Permohonan Pemeriksaan Sengketa
Kewenangan Mengadili Dalam Perkara Perdata
Umum
 Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir
semua sengketa tentang kewenangan mengadili :
 antara Pengadilan di lingkungan Peradilan yang satu
dengan Pengadilan di Lingkungan Peradilan yang lain;
 antara  dua  Pengadilan  yang  ada  dalam  daerah
hukum  Pengadilan Tingkat Banding yang berlainan dari
Lingkungan Peradilan yang sama;
 antara dua Pengadilan Tingkat Banding di
Lingkungan Peradilan yang sama atau antara lingkungan
Peradilan yang berlainan.
 Sengketa tentang kewenangan mengadili terjadi :
 jika  2  (dua)  Pengadilan  atau  lebih  menyatakan  berwenang
mengadili perkara yang sama;
 jika   2   (dua)   Pengadilan   atau   lebih   menyatakan   tidak  
berwenang mengadili perkara yang sama.
Pengajuan Penyelesaian Sengketa Kewenangan Mengadili dalam Perkara
Perdata
 Permohonan untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan
mengadili dalam  perkara  perdata,  diajukan  secara tertulis  kepada
Mahkamah  Agung disertai pendapat dan alasannya oleh:
a.        pihak yang berperkara melalui Ketua Pengadilan;

b.        Ketua Pengadilan yang memeriksa perkara tersebut.


 Ketua Pengadilan karena jabatannya, mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Mahkamah   Agung   untuk   memeriksa dan  
memutus   sengketa   Kewenangan mengadili. Jika yang mengajukan
pihak  berperkara,  permohonan diajukan kepada Ketua Mahkamah
Agung melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama 
 Permohonan  sengketa  kewenangan  mengadili  yang  diajukan
oleh  pihak  berperkara, dikenakan biaya yang besarnya ditaksir oleh
Ketua Pengadilan, dan biaya pemeriksaan di Mahkamah Agung.
 Permohonan  sengketa  kewenangan  mengadili  yang  diajukan
oleh  Ketua  Pengadilan tidak dikenakan biaya perkara.
 Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan tersebut dalam
buku daftar sengketa  tentang  kewenangan mengadili  perkara  perdata
dan  atas  perintah Ketua Mahkamah Agung mengirimkan salinannya
kepada pihak lawan yang berperkara dengan pemberitahuan bahwa ia
dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah menerima salinan
permohonan tersebut berhak mengajukan jawaban tertulis kepada
Mahkamah Agung disertai pendapat dan alasan- alasannya.
 apabila  permohonan   untuk  memeriksa   dan  memutus   sengketa
kewenangan mengadili   telah  diajukan   oleh pihak  berperkara,   atau
diajukan   oleh  Ketua Pengadilan kerena jabatannya, maka Pengadilan
harus menunda pemeriksaan perkaranya tersebut yang dituangkan
dalam bentuk "PENETAPAN", sampai sengketa kewenangan
mengadili tersebut diputus oleh Mahkamah Agung.
 Pengadilan   yang   telah  menunda   pemeriksaan   karena   adanya
sengketa kewenangan mengadili, harus mengirimkan  salinan
"PENETAPAN"  penundaan tersebut kepada Pengadilan lain yang
mengadili perkara yang sama;
 Pengadilan lain yang menerima salinan "PENETAPAN"
penundaan tersebut, harus menunda pemeriksaan perkara di maksud
sampai sengketa kewenangan mengadili tersebut diputus oleh
Mahkamah Agung.
 Putusan Mahkamah Agung disampaikan kepada :
para pihak melalui Ketua Pengadilan;
Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

Pengajuan Penyelesaian Sengketa Kewenangan Mengadili dalam Perkara


Pidana
 Permohonan  untuk  memeriksa  dan  memutuskan  sengketa
kewenangan  megadili perkara pidana, diajukan secara tertulis oleh
Penuntut Umum atau terdakwa disertai pendapat dan alasan-alasannya.
  Apabila permohonan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 58
diajukan oleh Penuntut Umum maka surat permohonan dan berkas
perkaranya dikirimkan oleh Penuntut Umum kepada Mahkamah
Agung, sedangkan salinannya dikirimkan kepada Jaksa Agung, para
Ketua Pengadilan dan Penuntut Umum pada Kejaksaan lain serta
kepada terdakwa.
 Penuntut  Umum  pada  Kejaksaan  lain,  demikian  pula  terdakwa
selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima salinan
permohonan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) menyampaikan
pendapat masing-masing kepada Mahkamah Agung.
 Apabila  permohonan  diajukan  oleh  terdakwa,  maka  surat
permohonannya diajukan melalui Penuntut Umum yang bersangkutan,
yang selanjutnya meneruskan permohonan tersebut beserta pendapat
dan berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung.
 Penuntut Umum sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1)
mengirimkan salinan surat permohonan dan pendapatnya kepada
Penuntut Umum lainnya.
 Penuntut Umum lainnya sebagaimana dimaksudkan ayat (2)
mengirimkan pendapatnya kepada Mahkamah Agung selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima salinan permohonan
tersebut.
 Penuntut Umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 60 ayat (1)
secepat-cepatnya menyampaikan salinan permohonan tersebut  kepada
para  Ketua  Pengadilan yang memutus perkara tersebut.
 Setelah permohonan tersebut diterimanya, maka pemeriksaan
perkara oleh Pengadilan yang memeriksanya ditunda sampai sengketa
tersebut diputus oleh Mahkamah Agung.
 Mahkamah Agung dapat memerintahkan Pengadilan yang
memeriksa perkara meminta keterangan dari terdakwa tentang hal-hal
yang dianggap perlu.
 Pengadilan yang diperintahkan setelah melaksanakan perintah
tersebut ayat (1) segera memuat berita acara pemeriksaan dan
mengirimkannya kepada Mahkamah Agung.
 Dalam   hal   sengketa   kewenangan   sebagaimana   dimaksudkan
Pasal   58, Mahkamah Agung  memutus sengketa tersebut  setelah
mendengar pendapat Jaksa Agung.
 Jaksa Agung memberitahukan putusan dimaksudkan ayat (1)
kepada terdakwa dan Penuntut Umum dalam perkara tersebut.

SUMBER : http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/prosedur-
berperkara/sengketa-kewenangan-mengadili

B.            RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka masalah pkok yang akan diteliti
adalah : 
1.      Bagaimanakah Penegakkan Hukum Pidana Terhadap Upacara Adat Penggal
Kepala Suku Naulu Tersebut  Jika Dilihat Dari Kacamata Sosiologis ?
2.      Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap para
pelaku ( pemenggal kepala manusia )?
3.      Bagaimana kebijakan hukum pidana agar upacara adat pemenggalan kepala
manusia tersebut tidak terjadi lagi di masa yang akan datang?

C.      TUJUAN PENELITIAN
1.      Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana proses penegakkan hukum
pidana terhadap Upacara Adat penggal kepala manusia Suku Naulu tersebut jika
dilihat dari kacamata sosiologis
2.      Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana mati terhadap para pelaku.
3.      Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum pidana agar upacara adat
pemenggalan kepala manusia tersebut tidak terjadi di masa yang akan datang.

D.      MANFAAT  PENELITIAN

1.      Manfaat Teoritis
Ø Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau memberikan
solusi  dalam bidang hukum pidana terkait dengan upacara adat penggal kepala
yang terjadi pada suku Naulu. Dengan demikian pembaca atau calon peneliti lain
akan semakin mengetahui tentang upacara adat penggal kepala pada masyarakat
Ø  Dapat dijadikan pedoman bagi para pihak atau peneliti lain yang ingin mengkaji
secara mendalam tentang penegakkan hukum pidana berkaitan dengan masalah
yang penulis utarakan diatas.
2.      Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian dalam
rangka meningkatkan kualitas penegakan hukum pidana khususnya hakim  dalam
pengambilan keputusan bila nantinya menghadapi kasus yang serupa.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. KERANGKA TEORI

Karakteristik hukum adalah memaksa disertai dengan ancaman dan sanksi.


Tetapi hukum bukan dipaksa untuk membenarkan persoalan yang salah, atau
memaksa mereka yang tidak berkedudukan dan tidak beruang. Agar peraturan-
peraturan hidup kemasyarakatan benar-benar dipatuhi dan ditaati sehingga
menjadi kaidah hukum, maka peraturan kemasyarakatan tersebut harus dilengkapi
dengan unsur memaksa. Dengan demikian, hukum mempunyai sifat mengatur dan
memaksa setiap orang supaya menaati tata tertib dalam masyarakat serta
memberikan sanksi yang tegas ( berupa hukuman ) terhadap siapa saja yang tidak
mau mematuhinya.[1]
Pada prinsipnya sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai hukum public
tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan-
kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektiviteit dari perbuatan-perbuatan yang
mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang dari perseorangan
maupun kelompok orang (suatu organisasi). Berbagai kepentingan bersifat
kemasyarakatan tersebut antara lain ialah ketentraman, ketenangan dan ketertiban
dalam kehidupan masyarakat.
Berbicara tentang penegakkan hukum pidana ada beberapa teori yang
menyertainya antara lain : 
1.      Teori mutlak (pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl.
Teori ini teori tertua (klasik) berpendapat bahwa dasar keadilan hukum itu harus
dalam perbuatan jahat itu sendiri. Seseorang mendapat hukuman karena ia telah
berbuat jahat. Jadi hukuman itu melulu untuk menghukum saja (mutlak) dan
untuk membalas pebuatan itu (pemabalasan).
2.      Teori relative (teori tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum bukanlah
pembalasan tetapi lebih kepada maksud/ tujuan hukuman, artinya tujuan ini
mencari manfaat daripada hukuman. Beberapa doktrin mengajarkan yaitu
diantaranya tujuan hukuman untuk mencegah kejahatan baik pencegahan umum
(Algemene Crime) maupun pencegahan khusus (Special Crime). Selain itu,
terdapat paham lain yaitu tujuan hukuman adalah untuk membinasakan orang
yang melakukan kejahatan dari pergaulan masyarakat, tujuan pelaksanaaan
daripada hukuman terletak pada tujuan hukuman. Akan tetapi disamping teori
relative ini ini masih dikenal lagi Teori relative modern , penganutnya Frans Von
Lizt, Van Hommel, D. Simons. Teori ini berpendapat dasar hukuman adalah
untuk menjamin ketertiban hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara, dimana
negara melindungi masyarakat dengan cara membuat peraturan yang mengandung
larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/ norma.
3.      Teori gabungan (1 dan 2), menurut teori ini dasar hukuman adalah terletak pada
kejahatan sendiri yaitu pembalasan atau siksaan (teori mutlak) tetapi disamping
itu diakuinya dasar-dasar tujuan daripada hukuman. Penganut aliran ini
diantaranya adalah Binding.
Berdasarkan pada teori ini sebenarnya tujuan dari pada penegakkan hukum
pidana tidak lain adalah untuk memeberikan hukuman pidana kepada seseorang
tidak semata-mata karena pelakunya telah melakukan kejahatan, tetapi juga
mencegah terjadinya kejahatan itu sendiri.
Tujuan hukum pidana sebagaimana disebut diatas adalah merupakan
sumber hukum tertulis atau hukum yang sifatnya modern, namun selain hukum
tertulis itu ada sumber hukum tidak tertulis yang merupakan pedoman hidup
masyarakat adalah hukum adat. Dan didalam peraturan perundang-undangan
hukum adat diakui dan dijadikan sumber hukum tidak tertulis.
 Von Savigny  mengatakan bahwa terdapat hubungan organik antara
hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan
dari volkgeist. Oleh karena hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam
rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Hukum
sejati itu tidak dibuat. Ia harus ditemukan. Legislasi hanya penting selama ia
memiliki sifat deklaratif terhadap hukum sejati itu. [4]
Lebih lanjut Eugen Ehrlich dalam teorinya menyatakan bahwa :[5]
“hukum adalah hukum sosial. Ia lahir dalam dunia pengalaman manusia yang
bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Ia terbentuk lewat kebiasaan. Kebiasaan
itu lambat laun mengikat da menjadi tatanan yang efektif . lalu kehidupan berjalan
dalam tatanan itu. Kekuatan mengikat hukum yang hidup itu tidak ditentukan oleh
kewibawaan negara. Ia tergantung pada kompetensi penguasa dalam negara.
Memang semua hukum dalam segi ekstrennya dapat diatur oleh instansi-instansi
negara, akan tetapi menurut segi internnya hubungan-hubungan dalam kelompok
sosial tergantung dari anggota-anggota kelompok itu. Inilah living law.Hukum
sebagai norma-norma hukum” (Rechtsnormen).
Dalam proses penegakkan hukum banyak faktor yang mempengaruhi
bekerjanya hukum. Robert. B. Siedman mengemukakan teorinya tentang faktor-
faktor bekerjanya hukum yaitu : [6]

Bekerjanya hukum menurut Siedman ini menyatukan tiga kekuatan yaitu


kekuatan pembuat undang-undang dalam hal ini adalah legislatif, kekuatan
pelaksana undang-undang dalam hal ini adalah eksekutif dan keuatan sosial lain
yaitu pemegang peran atau masyarakat yang dalam hal ini adalah menyangkut
kesadaran hukum masyarakat. 
Hukum sebagai sistem tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules)
dan peraturan (regulations), namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur,
lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal
structure). Sebagaimana dijelaskan oleh Lawrence M. Friedman  bahwa efektifitas
hukum itu dipengaruhi oleh tiga faktor penting antara lain: [7]
1.      Substansi hukum
2.      Srtuktur hukum
3.      Cultur hukum
Ketiga faktor ini sangat tergantung satu sama lainnya, karena apabila
substansi hukumnya sudah baik harus didukung oleh struktur hukum yang baik
pula, demikian juga apabila culutur hukum sangat mempengaruhi dua faktor yang
lainnya. Karena faktor cultur juga melahirkan apa yang dinamakan dengan
kesadaran hukum.
Berl Kutchinky telah mengembangkan suatu teori mengenai kesadaran
hukum, yang sebenarnya merupakan penerapan dari teori-teori yang mula-mula
diketengahkan oleh Adam Podgorecki.:[8]. Dalam teorinya
Kutschinky, mengatakan bahwa kesadaran hukum yaitu variabel yang berisi 4
komponen yaitu:
1. Komponen Legal Awareness yaitu aspek mengenai pengetahuan terhadap
peraturan hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Jadi teori hukum menyatakan
bahwa ketika hukum ditegakkan maka mengikat. Menurut teori residu semua
orang dianggap tahu hukum tapi kenyataannya tidak begitu, maka perlu Legal
Awareness.
2. Legal Acquaintances : pemahaman hukum. Jadi orang memahami isi dari
pada peraturan hukum, mengetahui substansi dari UU.
3. Legal Attitude ( sikap hukum). Artinya kalau seseorang sudah
memberikan apressiasi & memberikan sikap : apakah UU baik/ tidak, manfaatnya
apa dan seterusnya )
4.      Legal Behavior ( perilaku hukum), orang tidak sekedar tahu, memahami tapi
juga sudah mengaplikasikan. Banyak orang tidak tahu hukum tapi perilakunya
sesuai hukum, begitu juga banyak orang tahu hukum tapi justru perilakunya
melanggar hukum. Bahwa orang yang memiliki kesadaran hukum yang rendah,
misal jika menggunakan skor 4-5, sedang yang tertinggi skor 7-10 dst. Bahwa
belum tentu ketentuan pertama menjadi prasarat ketentuan berikutnya.Hal yang
lebih ideal, jika ke-4 ketentuan memenuhi syarat. Asumsinya hal di atas dalam
keadaan normal ada proses sosialisasi hukum, penyuluhan, pendidikan hukum dan
seterusnya. [9]

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.      Tinjauan Umum Tentang Penegakkan Hukum
  Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi
oleh setiap masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan
karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya
tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat
mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian
sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.
Menurut Satjipto Rahardjo,
“penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan
konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut
sebagai keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiranpikiran pembuat undang-
undang yang dirumuskan dalam peraturan- peraturan hukum itu. Pembicaraan
mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai kepada
pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum) yang
dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan
hukum itu dijalankan.”[10]

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto:

“Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidahkaidah yang
mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai
tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup.Penegakan Hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya
merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat
diatur oleh kaidah hukum, akantetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan
pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral”[11]

Menurut Jimly Ashhidiq[12]
““Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam
lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan
oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum
oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses
penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan
hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang
berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti
sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai
upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan
bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.”

Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum
mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya
sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan
upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum
baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang
seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and
rule making’), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum
(socialization and promulgation of law, dan (iii) penegakan hukum (the
enforcement of law). [13]
Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the
administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan
(eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan
administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang
keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti
luas, ‘the administration of law’ itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum
(rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang
sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan
publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam
rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusankeputusan
administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis)hakim
di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas
terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada,
bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak
diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum
yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan
dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidaktahuan
masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan
pembudayaan hukum secara sistematis dan bersahaja.
Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal
pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat
membina penjahat dengan cara melakukan pembinaan di lembaga
pemasyarakatan, dengan demikian dapat memberpaiki terpidana di lembaga
pemasyarakatan tersebut. Seharusnya hal ini mampu memberikan wacana kepada
para hakim dalam merumuskan vonis penjatuhan pidana kepada para pelaku
kejahatan agar mampu menangkap aspirasi keadilan masyarakat. Sementara itu,
dalam kenyataan empiris di bidang pemidanaan secara umum masih menganut
konsep hanya menghukum terpidana di lembaga pemasyarakatan, dengan
demikian dapat memberikan gambaran bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti
sesaat dan akan muncul kembali dalam lingkungan kehidupan sosial masyarakat.
Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran agar orang taat kepada
hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal yakni: (1) takut
berbuat dosa; (2) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan
sifat hukum yang bersifat imperatif; (3) takut karena malu berbuat jahat.
Penegakan hukum dengan sarana non penal mempunyai sasaran dan tujuan untuk
kepentingan internalisasi.[14]
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar
kepentingan manusia terlindungi hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum
dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena
pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus
ditegakkan. Melalui penegakkan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan.
Dalam penegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan,yaitu kepastian
hukum ( Rechtssicherheit ), kemanfaatan ( Zwekmassigkeit ) dan keadian
( Gerechtigkeit ).[15] Ketiga konsep ini pertama kali dikemukan oleh Gustav
Radbruch[16]  
Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa:
“Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat
ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkret. Bagaimana hukumnya
itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang; fiat
justitia et pereat mundus  ( meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan ).
Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. kepastian hukum merupakan
perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa
seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan
adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas
menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat.
Sebaliknya masyarakat megharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau
penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum
harus member manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru
karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan didalam
masyarakat.” [17]
Unsur yang ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan
bahwa dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum keadilan harus diperhatikan.
Dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum harus adil. Hukum tidak identik
dengan keadilan. Keadilan itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan.
Seandainya kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum
atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai
keadilan dan kegunaan. Karena yang penting pada nilai kepastian itu adalah
peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa
keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian
hukum. Begitu juga jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan
saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai
keadilan, karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah
hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi masyarakat. Demikian juga halnya
jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan
menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak
terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena
sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan
kepastian hukum.[18]
Semua masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta
berada dalam masa pergelokan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan
penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus
terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum
dan rasa keadilan masyarakat. Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari
tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan
dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk
memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut
dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun
tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya( Penjelasan UU No.48/ 2009 )
Oliver Holmes dalam teorinya mengatakan bahwa:[19]
“aturan hukum bukanlah sebuah poros keputusan yang berbobot. Aturan tidak
bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan dunia yang begitu kompleks. Dan lagi
pula kebenaran yang riil, bukan terletak dalam undang-undang, tapi pada
kenyataan hidup.  Lebih lanjut Holmes mengatakan seorang pelaksana hukum
( hakim ) sesungguhnya mengahadapi gejala-gejala hidup secara realistis. Sering
ia menghadapi dua bahkan lebih kebenaran yang seolah meminta kepastian mana
yang lebih unggul dalam konteks tertentu. Salah satu diantaranya adalah
kebenaran versi aturan hukum.  Tidak jarang, bahkan amat sering, kebenaran-
kebenaran lain lebih unggul dari yang disodorkan aturan formal. Mereka lebih
relevan, lebih tepat, dan bahkan lebih bermanfaat untuk suatu konteks riil,
ketimbang kebenaran yang ditawarkan aturan legal. Dalam hal inilah seorang
hakim mempertaruhkan kepekaan dan kearifannya. Ia harus memenangkan
kebenaran yang menurutnya lebih unggul, meski dengan resiko mengalahkan
aturan resmi."

II. Tinjauan Umum Tentang Pidana

Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum


yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan
dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi
pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang
lainnya. [20] Menurut
Satochid Kartanegara,[21] bahwa :
“Hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-
undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma
yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau pende-
ritaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang
dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan
kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang
terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu
merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang justru akan
dilindungi oleh undang-undang hukum pidana. Kepentingan hukum yang akan
dilindungi itu adalah sebagai berikut:
1)      Jiwa manusia (leven);
2)      Keutuhan tubuh manusia (lyf);
3)      Kehormatan seseorang (eer);
4)      Kesusilaan (zede);
5)      Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid);
6)      Harta benda/kekayaan (vermogen). “
Berikut ini dikutip pengertian pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli:  
Menurut van Hamel: [22]
“een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehandhaafd
rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die overtreding, van wege den staat
als handhaver der openbare rechtsorde, door met de rechtsbedeeling belaste
gezag uit te spreken.” (suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah
dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama
negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang
pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu
peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.)

Menurut Simons: [23]
“Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van de norm
verbonden, dat aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.” (artinya:
suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan
pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah
dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.)

Sedangkan Menurut Sudarto:[24]Pidana adalah penderitaan yang sengaja


dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-
syarat tertentu. Dan oleh Roeslan Saleh : [25]Pidana adalah reaksi atas delik dan
ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat
delik itu.
Menurut Ted Honderich:[26] Punishment is an authority‟s infliction of
penalty (something involving deprivation or distress) on an offender for an
offence. (artinya: pidana adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang
sebagai hukuman [sesuatu yang meliputi pencabutan dan penderitaan] yang
dikenakan kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran).

Muladi dan Barda Nawawi Arief, pidana (straf) itu pada dasarnya


mengandung unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: [27]
1)      Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan;
2)      Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang);
3)      Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut undang-undang.
Menurut P.A.F. Lamintang, bahwa “
“pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka.
Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin
dapat mempunyai tujuan. Menurutnya hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di
Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari para
penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut tujuan dari
pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa penulis di
tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir para penulis Belanda itu,
secara harfiah telah menterjemahkan perkataan “doel der straf” dengan perkataan
tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan perkataan “doel der straf” itu
sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan”.[28]
Seorang hakim dalam menjatuhkan pidana yang perlu diperhatikan atau
dipertimbangkan adalah sebagai berikut[29]:
1.      Kesalahan pembuat
2.      Motif dan tujuan dilakukan tindak pidana;
3.      Cara melakukan tindak pidana;
4.      Sikap batin pembuat;
5.      Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;
6.      Sikap dan tindakan pembuat pidana sesudah melakukan tindak pidana;
7.      Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;
8.      Pandangan masyarakat terhadap tindak Pidana yang dilakukan;
9.      Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan
10.  Tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Jenis- jenis pidana dalam ketentuan KUHP antara lain : menurut pasal 10 :
1.      Pidana pokok :
a)      Pidana mati
b)      Pidana penjara
c)      Pidana kurungan
d)     Pidana denda
e)      Pidana tutupan
2.      Pidana tambahan :
a)      Pencabutan hak-hak tertentu
b)      Perampasan barang-barang tertentu
c)      Pengumuman putusan hakim

III.        Konsep Pembunuhan atau Pembunuhan Dalam Upacara Adat Penggal


Kepala Suku Naulu

Seperti sudah disinggung pada latar belakang bahwa salah satu suku di
kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, yaitu suku Naulu.  Salah satu suku
yang hidup di Petuanan Negeri Sepa, merupakan salah satu suku terasing di Pulau
Seram, tepatnya di Dusun Bonara, yang berjarak 35 km2 dari Pusat kota
Kecamatan. Suku Naulu ini memiliki banyak adat istiadat yang terbilang unik,
namun salah satu adat yang paling mengerikan adalah  Tradisi adat memotong
kepala manusia buat persembahan.Oleh masyarakat Suku Naulu diyakini sebagai
kepercayaan yang mutlak dilakukan.  Keyakinan itu mengalahkan akal sehat dan
logika manusia, karena diyakini jika tidak mendapat kepala manusia buat
persembahan bisa mendatangkan bala atau musibah. Meskipun demikian Kepala
manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat mereka.
Konsep penggal kepala dalam upacara adat suku naulu dalam pandangan
hakim pengadilan negeri Maluku Tengah merupakan konsep pembunuhan. Dan
Pembunuhan tersebut adalah merupakan pembunuhan yang terencana sehingga
melanggar ketentuan
Pasal 340 KUHP;
“ barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama
dua puluh tahun”
Pasal 55 ayat 1 ( 1) :
“ dipidana sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang melakukan, yang
menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan”

BAB III
METODE PENELITIAN

A.      METODE PENELITIAN
1.      Pendekatan Penelitian
Penelitian Non Doctrinal yaitu berupa studi-studi empiris untuk menemukan
teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum
didalam masyarakat/Socio Legal Research.[30]. Yaitu menganalisa tentang
penegakkan hukum pidana atas putusan hakim pengadilan negeri Masohi pada
penjatuhan pidana mati terhadap suku Naulu yang melakukan upacara adat
penggal kepala manusia dari sisi sosiologis.
2.      Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu :
a)      Data primer merupakan bahan penelitian yang berupa fakta-fakta empiris 
sebagai perilaku maupun hasil perilaku manusia. Baik dalam bentuk perilaku
verbal perilaku nyata, maupun perilaku yang terdorong dalam barbagai hasil
perilaku atau catatan-catatan/ arsip.[31] Data primer diperoleh secara langsung
dari lokasi penelitian yaitu dengan cara wawancara langsung dan observasi atau
pengamatan secara langsung dilapangan
b)      Data sekunder merupakan bahan hukum dalam penelitian yang di ambil dari
studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan non hukum. [32].Data sekunder diperoleh dengan studi dokumentasi
dan penelusuran literatur yang berkaitan dengan peneggakkan hukum pidana dan
teori yang mendukungnya.
a.       Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
memiliki suatu autoritas mutlak dan mengikat. Berupa ketentuan hukum yang
mengikat seperti, peraturan perundang-undangan, catatan resmi dan lain-lain yang
berkaitan dengan penegakkan hukum pidana.
b.      Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap/ mengenai  bahan hukum primer. Seperti doktrin, jurnal, karya ilmiah
dibidang hukum dan lain-lain.
c.       Bahan hukum tersier ( non hukum) adalah bahan hukum yang relevan seperti
kamus hukum, ensiklopedia dan kamus hukum lain yang masih  relevan.

3.      Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Sepa Kabupaten Maluku Tengah dan Pengadilan
Negeri Masohi, Kabupaten Maluku Tengah
4.      Teknik Pengumpulan Data
Untuk data primer dilakukan dengan wawancara langsung kepada hakim
pengadilan negeri Maluku Tengah dan pengamatan secara langsung pada
masyarakat adat setempat. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan studi
kepustakaan yaitu pengumpulan data melalui literatur dan dokumen lain yang
berkaitan dengan permasalahan yang ada.
5.      Analisa Data
Data yang diperoleh  kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deskriptif
kualitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjajaran, Bandung


Arief, Barda Nawawi, 2000, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara. BPUNDIP, Semarang
Kansil, CST, 1993, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9, Balai
Pustaka, Jakarta,
Kholiq, M.Abdul, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Lamintang,
P.A.F. 1984, Hukum Penitensier Indonesia,  Armico, Bandung
Mahmud Marzuki, Peter, 2005.Penelitian Hukum, Jakarta Kencana,  Jakarta
Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Universitas Atma
Jaya, Yogyakarta
Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum Dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta
Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia,  Genta Publishing, Yogyakarta
Rahardjo, Satjipto, 1993,Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta
Rahardjo, Satjipto, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung
Rifai, Ahmad, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Dalam Perspektif Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta
Salman, Otje, 1989, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Armico, Bandung
Sunggono, Bambang, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Soekanto, Soerjono , 1983, Faktor-faktor yang MempengaruhiPenegakan Hukum, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta
Suharto, dan Efendi Junaidi, 2010, Panduan Praktis Bila Menghadapi Perkara Pidana,
Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan, Prestasi Pustaka, Jakarta
Sunarso ,Siswantoro, 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis. Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Tanya, Bernard L, Simanjuntak, Yoan, & Hage, Markus, Y.  2010, Teori Hukum, Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta
Taufik Makarao, Muhammad, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang
Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk
Pemidanaan,   Kreasi Kencana, Yogyakarta
Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru
Utama, Semarang

Sumber Lain

Ashhidiq, Jimly, 2010, Penegakkan Hukum, http//:www.docudesk.com


Bemmelen, .M. van, 1987, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian
umum, Binacipta, Bandung
Kartanegara, Satochid, 1955, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh
Mahasiswa PTIK Angkatan V,www.google.com
Esmi Warassih, 2010,  Bahan Kuliah Sosiologi Hukum, Magister Hukum UNSOED,
Purwokerto,
Bahan Kuliah Sosiologi Hukum, Anonim, 2009
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[1] Suharto, dan Junaidi Efendi, 2010, Panduan Praktis Bila Menghadapi


Perkara Pidana, Mulai Proses Penyelidikan Sampai Persidangan, Prestasi
Pustaka, Jakarta.hal.25-26
[2] M.Abdul, Kholiq, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas
Hukum UII, Yogyakarta, hal.15
[3] C.S.T.Kansil, 1993, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia,
Ctk.9, Balai Pustaka, Jakarta, hal.97

[4] Bernard L. Tanya, Yoan  Simanjuntak, & Markus, Y. Hage,  2010, Teori


Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Genta
Publishing, Yogyakarta. Hal.103
[5] Ibid. hal.142
[6] Esmi Warassih, 2010, Bahan Kuliah Sosilogi Hukum, Magister Ilmu Hukum
UNSOED, Purwokerto, hal.4
[7]  H.  Syafruddin Kalo, 2010, Penegakan Hukum Yang Menjamin Kepastian
Hukum Dan Rasa Keadilan Masyarakat, Suatu Sumbangan Pemikiran, www.
google.com. hal.1
[8] Otje Salman : 1989, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Armico, Bandung,
42
[9] Anonim, 2009, Bahan Kuliah Sosiologi Hukum, hal.24
[10] Satjipta Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis,
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta; 1983, hal
24
[11] Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang MempengaruhiPenegakan Hukum,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1983, hal 5.
[12] Jimly Ashhidiq, 2010, Penegakkan Hukum, http//:www.docudesk.com
[13] Ibid,
[14] Siswantoro Sunarso. 2004. Penegakan Hukum Dalam Kajian
sosiologis. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Hal. 142.
[15] Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum, Suatu
Pengantar, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hal.207
[16] Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal.21
[17] Sudikno, Op.Cit, hal.208
[18] Ibid, hal.21
[19] Sudikno, Op.Cit. hal.166
[20] J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian
umum, (Bandung: Binacipta, 1987), hal. 17.
[21] Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun
oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, hal. 275-276.
[22] P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia,  (Bandung: Armico,
1984), hal. 34.
[23] Ibid., h. 35.
[24] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 2.
[25] Ibid.
[26] Muhammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,
Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai
Suatu Bentuk Pemidanaan, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal. 18
[27] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., h. 4.
[28] P.A.F. Lamintang, Op.Cit., h. 36
[29] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan
Kejahatan dengan Pidana Penjara. BPUNDIP.Semarang 2000 hal, 147-148
[30]Sunggono, Bambang, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.hal.42

Anda mungkin juga menyukai