Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH ISLAM & EKONOMI

”Kebijakan Fiskal dan Keuangan Publik


Umar bin Khattab”

Disusun Oleh :
MUKHAMMAD FARIZ
200231100254
Dosen Pengampu :
Ibu Dr. Widita Kurniasari, SE, ME

PROGRAM STUDI S1 EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
BANGKALAN TAHUN 2021
 Pendahuluan

 Latar Belakang

Tingkat kemakmuran tertinggi dalam sejarah Islam secara historis yaitu pada
masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Penyelesaian kemiskinan yang
terjadi pada wilayah kepemimpinan Umar bin Khattab telah terbukti secara
konkrit.selain itu beliau juga sangat terbuka untuk menerima pengetahuan-
pengetahuan baru. Khalifah Umar juga telah menerima masalah akuntansi dan fiskal
Baitul Mal.

Khalifah Umar bin Khattab diangkat menjadi Khilafah yaitu setelah


kepemimpinan Rasulullah memimpin negara Madinah selama sepuluh tahun dan
setelah kepemimpinan Khalifah Abu Bakar yang telah memimpin selama 2 tahun .
kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab terbilang cukup lama yaitu lebih dari
sepuluh tahun . Untuk itu, tulisan ini dibuat guna menjelaskan kondisi perekonomian
dalam masa pemerintahan Umar bin Khattab, terlebih lagi masalah keuangan public
dan kebijakan fiskal.

Berdasarkan fakta secara praktik masa Khalifah Umar bagian dari praktik
kebijakan fiskal dan ekonomi yang terbaik.maka dari itu perlu mendapat perhatian
besar dalam kajian ekonomi Islam terutama di bagian kebijakan fiskal dan keuangan
publik. Tingkat kemakmuran demikian tinggi dan pengentasan kemiskinan telah
menjadi fakta historis dalam sejarah Islam. Khalifah Umar bahkan pernah
menjadikan Yaman sebagai salah satu provinsii yang telah berhasil mengentaskan
kemiskinan. Sejarah para nabi dan Khulafaur Rasyidin merupakan bukti kebenaran
atau rujukan penerangan prinsip-prinsip Islam di kehidupan nyata. Pemerintahan
Umar dalam sejarah Islam telah terbukti dengan kondusifnya dalam negeri yang
cukup lama. Wilayah penaklukan Khalifah Umar juga meluas. Harta dan kekayaan
yang dimiliki oleh negara sangat banyak, dan juga banyak suku bangsa yang masuk
Islam.

Jika merujuk hadis-hadis Rasulullah, hadis mempunyai status sumber otoritatif


kebenaran ilmu dalam Islam, maka kebijakan fiskal dan ekonomi pada masa
Khalifah Umar merupakan aplikasi dari konsep ekonomi Islam untuk dirujuk dan
dijadikan panduan dalam pengembangan ilmu dan sistem ekonomi Islam
kedepannya

 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kebijakan fiskal dan keuangan publik pada jaman umar?

2. Apa saja kebijakan yang diterapkan pada jaman umar?

3. Apa saja alokasi belanja negara yang diterapkan pada jaman umar ?

2.0 Tugas Negara dan Teori Keuangan Publik Islam Klasik


Komitmen pemerintahan untuk kepentingan rakyat sangat ditekankan pada
masa kepemimpinan Khalifah Umar. Hal ini ini dicerminkan diantara dari uraian
tausiah Khalifah Umar kepada Abu Musa, “Sebaik-baiknya penguasa adalah yang
dapat memakmurkan masyarakatnya. Sebaliknya, sejelek-jelek penguasa adalah
yang menyengsarakan masyarakatnya”.
Beliau sangat menekankan tentang tangungjawab penguasa, seperti yang
tertuang dalam surat panjang beliau kepada Harun al Rasyid yang kemudian dikenal
dengan «Kitab al Kharaj» yang berabadabad dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai
canons of taxation. Beliau adalah orang yang tulus dan baik hati dan sungguh-
sungguh menginginkan terhapusnya penindasan, tegaknya keadilan dan
terwujudnya kesejahteraan rakyat. Pada sisi pengeluaran negara beliau mendesak
penguasa untuk memenuhi pelayanan publik .

Abu ‘Ubaid al-Qasim Ibnu Salam (w. 224H) merupakan pemikir muslim yang
konsen dengan keuangan publik. Abu ‘Ubaid telah menyusun suatu ikhtisar yang
berhubungan dengan keuangan publik dan bisa dibandingkan dengan kitab al-
Kharaj Abu Yusuf. Kitab al-Anwal yang ditulis oleh Abu Ubaidi banyak berisi tentang
sejarah
materi Ilmu hukum yang berkaitan dengan keuangan publik paling awal. Beliau
dalam kitab al-Anwal mengupas tentang keuangan negara yang terdiri dari:

a. Hak penguasa atas subyek, dan hak subyek atas pelayanan penguasa,
b. Jenis harta yang dikelola penguasa untuk kepentingan subyek,
c. Pengumpulan dan menyalurkan tiga jenis peneriman, yaitu : zakat
(termasuk uhsr), seperlima rampasan perang dan harta
peninggalan/terpendam, Fa’y termasuk kharaj, dan jizyah. Selain itu
juga membahas; penemuan atas barang yang hilang, kekayaan yang
ditinggalkan tanpa ahli waris, dll. Terkait dengan zakat isalnya, beliau
berpendapat tidak ada batas tertinggi atas pembayaran zakat dan
penyalurannya.

Iqbal dan Khan juga membahas peran ekonomi negara dan sumber
pendapatan dan belanja publik. Mereka memaparkan konsep tersebut dengan cara
membedah konsep dari Al-Qur’an dan Hadits tentang zakat dan
Ghanimah. Merujuk dari sumber-sumber tersebut, dalam paper tersebut
menyimpulkan dan mebuat klasifikasi pembelanjaan publik klasik sebagai berikut:

a. Pihak yang berhak atas zakat dan khums (seperlima dari ghanimah);
b. Bantuan (grants) untuk Individu, mencakup dana pensiun reguler, bantuan
rangsum makanan (terkadang pakaian) bulanan dan bonus pada waktu
tertentu. Tujuan dari bantuan ini adalah untuk menyediakan:
1. Pelayanan militer,
2. pelayanan sipil,
3. hadiah untuk perbuatan yang baik,
4. pengakuan dan penghargaan, dan
5. membagi kemakmuran publik untuk mereduksi
disparitas pendapatan.
c. Perlengkapan dan instalasi militer;
d. Administrasi sipil termasuk untuk inspeksi pasar (hisbah);
e. Pembayaran kepada pihak luar untuk tujuan perdamaian dan pembebasan
tawanan muslim;
f. Pembangunan fasilitas publik seperti rumah sakit, rumah singgah untuk
orang yang dalam perjalanan, dan pos-pos penjagaan;
g. Pembangunan infrastruktur publik seperti pembangunan jalan, kanal, dam,
reklamasi dan rehabilitasi tanah;
h. Aktivitas untuk peningkatan kesejahteraan.

2.2 Kondisi politik, sosial, dan Ekonomi

Pada saat Islam datang bangsa-bangsa Arab yang berada diantara dua
imperium terbesar ketika itu: imperium Persia di timur dan imperium Romawi di
barat. Bangsa Arab tidak memiliki pusat pemerintahan menyatukan dan mengatur
mereka. Sehingga setiap suku mencerminkan kesatuan politik yang independen.
Suku bangsa Arab saling bermusuhan, melakukan perampasan, dan berperang
karena hal yang sangat sepele. Di bagian timur laut jazirah Arab, kerajaan Persia
menopang kerajaan al-Hirah dari sebagian suku Arab yang bersebelahan dengan
imperium Persia. Sedangkan disisi lain, Romawi mendukung kerajaan al-
Ghasasanah di bagian barat laut jazirah Arab. Dua kerajaan ini menjadi pelayan
penting bagi kepentingan dua imperium tersebut, sekaligus mengamankan wilayah
dari serangan suku-suku baduwi, serta menjadi tameng dari serangan mendadak
dari pihak imperium yang lain. Berikutnya Mosul di utara Irak dicapai tahun 641, dan
pada waktu yang same dua pasukan besar bergerak di dataran tengah Persia. Di
Suriah orang-orang Bizantium memberikan perlawanan gigih, tetapi setelah
beberapa pertempuran kecil mereka dikalahkan di sungai Yarmuk pada tahun 636 M
sehingga pasukan Khalifah Umar bisa maju ke Taurus tanpa banyak kesukaran.
Setelah menyerahnya Jerusalem tahun 638 den Caesarea tahun 641 keseluruhan
Suriah den Palestina berada di bawah kekuasaan Khalifah Umar. Selain itu pasukan
lainnya telah memasuki Mesir dan mencapai Heliopolis, den sebelum akhir tahun
641 gubernur Bizantium telah menandatangani suatu perjanjian dan menyerahkan
propinsi tersebut, termasuk ibukota Alexandria kepada Khalifah Umar.

Sehingga menjelang Khalifah Umar wafat pada tahun 644 M, negara Islam
telah meliputi Persia barat, seluruh Irak, Suriah dan Mesir selatan dan sebagian
pantai Afrika Utara ke arah Cyrenacia. Hal ini merupakan pencapaian yang sangat
besar, karena terjadi hanya dalam masa duapuluh tahun setelah perang Badar di
mana waktu itu Rasulullah hanya berjuang dengan tiga ratusan orang.
Mereka juga mulai belajar berbagai ilmu pengetahuan baru yang sudah
dikembangkan oleh masing-masing peradaban sebelumnya.

Aktifitas ekonomi yang dilakukan bangsa Arab sebelum Islam, amat sangat
sederhan dan terbatas. Dimana aktifitas mayoritas penduduk jazirah Arab adalah
mengembala dan beternak binatang. Sedangkan aktifitas ekonomi selebihnya
sangat aktif di sebagian daerah dan bagi komunitas tertentu dengan ciri aktifitasnya
yang sederhana dan dalam tingkat permulaan. Mayoritas aktifitas perdagangan
bangsa Arab adalah di perkotaan, dan mereka memiliki pasar musiman, salah satu
diantaranya pasar dibuka pada musim haji. Salah satu kelompok yang aktif dalam
perdagangan adalah suku Quraisy, dan mereka menjadi kaya dari aktifitas
perdagangan tersebut. Aktifitas pertanian terdapat di sebagian daerah yang subur
seperti Yaman, Thaif, daerah utara dan sebagian lahan di Hijaz dan pertengahan
jazirah.

3.0 Kebijakan Fiskal Untuk Optimalisasi Pendapatan Negara

Pada masa pemerintahan Umar bin Khathab yang berlangsung selama


sepuluh tahun banyak melakukan perluasan wilayah sehingga wilayah Islam meliputi
Jazirah Arab, sebagian wilayah Romawi , serta seluruh wilayah Persia, termasuk
didalamnya Irak. Administrasi pemerintah dibagi menjadi delapan provinsi: Mekah,
Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir. Dialah yang telah
memberikan penjelasan kepada Umar tentang sistem Administrasi yang telah
dipraktikan dengan baik oleh raja Sasanian.

Kebijakan tersebut ditujukan untuk mengoptimalkan pendapatan negara


tetapi tetap mendorong agar tidak menyebabkan kelesuan ekonomi, bahkan
semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Beberapa kebijakan penting
khalifah Umar berkaitan dengan pendapatan negara tersebut dijelaskan pada
bagian berikut:

3.1 Penataan Sistem Administrasi Keuangan dan Baitul Mal

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar, pendapatan negara mengalami


peningkatan yang sangat besar. Oleh karenanya, hal ini kemudian mendapatkan
perhatian yang serius agar pengelolaan dan pemanfaatannya dapat dijalankan
secara benar, efektif dan efisien. Setelah melakukan syuro dengan para sahabat
terkemuka, Khalifah Umar mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan harta
Baitul Mal sekaligus, tetapi dikeluarkan sesuai prioritas kebutuhan belanja
negara, bahkan sebagian dana juga dicadangkan.

Bangunan Baitul Mal pusat didirikan pertama masa Umar pada tahun 16 H
berada di Ibu Kota Negara, Madinah dan Baitul Mal lokal kemudian juga didirkan di
masing-masing Ibu Kota Provinsi. Untuk mengelola lembaga tersebut Khalifah
Umar mengangkat Abdullah bin Irqam sebagai bendahara negara bersama dengan
Abdurrahman bin Ubaid al-Qari dan Muayqab sebagai wakilnya.
Dalam catatan sejarah, pembenahan sistem manajemen Baitul Mal tersebut
dilatarbelakangi oleh besarnya setoran pajak al-kharaj oleh Abu Hurairah, Gubernur
Bahrain yang mencapai 500.000 dirham tahun 16 H. Selain itu, setelah
penakhlukan Syiria, Irak dan Mesir pendapatan Baitul Mal meningkat
signifikan, dimana kharaj dari Irak mencapai 100 juta dinar dan dari Mesir 2 juta
dinar. Selain itu dalam perjanjian damai tersebut disepakati adanya pembayaran
jizyah bagi setiap laki-laki sebesar 2 dinar, dan setelah dihitung mereka yang
terkena kewajiban untuk membayar kharaj ini mencapai 600.000 orang.

Pada masa Khalifah Umar, Baitul Mal berfungsi sebagai pelaksana kebijakan


fiskal negara dan Khalifah dalam hal ini merupakan pihak yang bertangungjawab
secara penuh atas harta Baitul Mal. Namun demikian Khalifah tidak diperbolehkan
menggunakan harta Baitul Mal untuk kepentingan pribadi.

3.2 Reformasi Sistem Kepemilikan dan Perpajakan

Pada masa Khalifah Umar, sumber pemasukan pajak al-kharaj utama


berasal dari daerah-daerah bekas kekuasaan Romawi dan Persia. Untuk
melakukan hal ini Khalifah Umar menerapkan suatu sistem administrasi yang
terperinci mencakup: penaksiran, pengumpulan dan pendistribusian dari
pendapatan yang diperoleh dari kharaj tersebut. Untuk melaksanakan hal ini
Khalifah Umar mengutus Utsman bin Hunaif alAnshori untuk melakukan survei
batas-batas tanah di Irak. Berdasarkan hasil survei luas tanah tersebut 36 juta
jarib atau sekitar 133,85 juta hektar. Setelah itu, Utsman mengirim proposalnya
tersebut kepada Khalifah untuk dimintakan persetujuannya. Dalam hal ini, Khalifah
Umar menerapkan beberapa peraturan sebagai berikut:

a. Wilayah Irak, yang ditakhlukan dengan kekuatan menjadi milik kaum Muslimin
dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat sedangkan bagian wilayah
lainnya yang berada dibawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik
sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.
b. Kharaj dibebankan atas semua tanah yang berkategori pertama, meskipun
pemilik tanah tersebut memeluk agama Islam. Dengan demikian tanah
tersebut tidak dapat dikonversi menjadi tanah ushr (tidak dapat dikonversi
untuk bebas pajak dengan menjadi zakat pertanian).
c. Bekas pemilik tanah diberikan hak kepemilikan selama mereka membayar
kharaj dan jizyah.
d. Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang di
klaim kembali bila diolah kaum Muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr
(berkewajiban membayar zakat pertanian).

e. Di Irak, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (ukuran lokal)
dari gandum dan barley (sejenis gandum) dengan asumsi tanah tersebut
dilalui oleh air. Kharaj yang lebih tinggi dibebankan kepada ratbah (rempah
atau cengkeh) dan perkebunan.
f. Di Mesir, berdasarkan perjanjian Amar dan konsep ini telah disetujui Khalifah,
setiap pemilik tanah dibebankan pajak sebesar dua dinar, disamping tida
irdabb gandum, dua qist untuk setiap minya, cuka, dan madu.
g. Perjanjian Damaskus (Syiria) berisi tentang ketetapan pembayaran tunai,
pembagian tanah dengan kaum Muslimin, beban pajak untuk setiap orang
sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat) yang di produksi dari per-
jarib (ukuran) tanah.

3.3 Perluasan Obyek Zakat

Kebijakan fiskal penting yang juga mendorong peningkatan pendapatan


negara adalah perluasan obyek zakat. Khalifah Umar memberikan persetujuan
untuk menarik zakat dari peternak kuda. Karena zakat dibebankan terhadap
barang yang memiliki produktivitas maka kuda yang dimiliki kaum Muslimin ketika
itu tidak dikenakan zakat. Ijtihad Umar ini juga didasari oleh kondisi tingginya
harga jual beberapa kuda, pernah diriwayatkan bahwa seekor kuda Arab Taghlabi
diperkirakan bernilai 20.000 dirham dan penduduk Muslim juga banyak yang
terlibat dalam perdagangan ini. Kemudian mereka mengusulkan kepada Khalifah
agar ditetapkan kewajiban zakat atas kuda tetapi permintaan tersebut tidak
dikabulkan. Kemudian mereka mendatangi kembali Gubernur dan bersikeras ingin
membayar. Akhirnya, Abu Ubaidah meminta persetujuan kepada Khalifah Umar
dan ditanggapi dengan instruksi agar gubernur

menarik zakat dari mereka dan mendistribusikannya kepada fakir miskin serta
budakbudak. Sejak saat itu, zakat kuda ditetapkan sebesar satu dinar.
3.4 Penetapan Pajak Perdagangan

Kebijakan penting lainnya masa Khalifah Umar adalah pembebanan


sepersepuluh (1/10) hasil pertanian kepada pedagang. Berkaitan dengan pajak
perdagangan (ushr) terdapat beberapa perbedaan riwayat tentang latar
belakangnya. Menurut satu riwayat, ketetapan tersebut dilatarbelakangi oleh
penduduk Manbij yang merupakan orang-orang harbi yang meminta izin kepada
khalifah untuk memasuki negeri Muslim untuk melakukan perdagangan. Menurut
riwayat yang lain, ketika Abu Musa al-Asy’ari menulis surat kepada Khalifah Umar
yang menyatakan bahwa pedagang Muslim dikenakan pajak sepersepuluh di tanah
harbi, Khalifah umar menyarankan agar membalasnya dengan mengenakan pajak
pembelian dan penjualan yang normal kepada mereka. Tingkat ukuran yang paling
umum digunakan adalah 2,5% untuk pedagang Muslim, 5% untuk kafir dzimmi, dan
10% untuk kafir harbi dengan asumsi harga barang melebih dua ratus dirham.  Pos
pengumpulan ushr terletak diberbagai tempat yang berbeda-beda, termasuk di Ibu
Kota.

3.5 Kebijakan Menerima Sedekah dari Non Muslim

Pada masa awal Islam tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas
ternaknya kecuali orang Kristen Bani Taghlib yang keseluruhan kekayaannya terdiri
dari hewan ternak. Awalnya Khalifah Umar mengenakan jizyah kepada mereka
tetapi mereka tidak menerima dan menggantinya dengan membayar sedekah. Oleh
karena itu Nu’man bin Zuhra memberikan masukan berkaitan dengan mereka agar
tidak memperlakukan mereka seperti musuh dan perlu menjadikan keberanian
mereka sebagai aset negara.

3.6 Alokasi Belanja Negara

Secara umum, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab


pendapatan dan sumber belanja negara diklasifikasi menjadi empat bagian
penting, yaitu:

a. Pendapatan zakat dan zakat pertanian (ushr). Pendapatan ini


didistribusikan ditingkat pemerintahan lokal dan jika terdapat surplus,
sisa pendapatan tersebut disimpan di Baitul Mal pusat dan dibagikan
kepada delapan ashnaf. Dengan demikian alokasi belanja sumber
penerimaan negara ini sudah tetap dan pemerintah berperan sebagai
pelaksana ketetapan Allah SWT tersebut.
b. Pendapatan sedekah dan bagian seperlima untuk pemerintah dari
rampasan perang (khums). Pendapatan ini didistrbusikan kepada para
penduduk yang masuk kategori fakir miskin baik itu muslim maupun
bukan.
c. Pendapatan pajak tanah (kharaj), ghanimah tanpa perang (fai’), pajak
keamanan (jizyah), pajak perdagangan (‘ushr) dan sewa tanah.
Kelompok pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiun dan
dana tunjangan serta untuk membiayai operasional administrasi negara,
kebutuhan militer dan lain sebagainya.
d. Pendapatan lainlain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para
pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar dan dana sosial lainnya.
Dalam fikih ekonomi Khalifah Umar, tema disribusi mendapat porsi besar, dan
perhatiannya yang besar nampak dalam beberapa hal. Pertama, diantara wasiat
beliau untuk umat adalah berlaku adil dalam dsitribusi, sebagaimana beliau
berkata: “sesumgguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian dua hal, yang
kalian akan selalu dalam kebaikan selama kalian komitmen kepada keduanya,
yaitu adil dalam hukum dan adil dalam pendistribusian”. Bahkan beliau juga
mengukuhkan wasiat tersebut kepada khalifah berikutnya. Kedua, banyaknya sikap
dan ijtihad Umar dalam hal-hal yang berkaitan dengan distribusi, bahkan beliau
menangani sendiri beberapa proses distribusi. Untuk belanja negara pada masa
Khalifah Umar, pendapatan dari zakat peruntukannya sudah jelas merujuk pada
ketentuan al-Qur’an surah at-taubah ayat 60 yang sudah disebutkan diatas.
Demikian juga dengan pembagian ghanimah, Khalifah Umar mengikuti ketentuan dalam
surah al-Anfal ayat 41. Sebagai berikut :

 Dana pengsiun dan penggajian.


 Anggaran belanja militer.
 Anggaran belanja pembangunan.
 Anggaran belanja kehakiman.
 Anggaran Pendidikan, Keamanan dan Jaminan Sosial.
PENUTUP

4.0 Kesimpulan

Secara umum kebijakan Khalifah Umar dalam anggaran dan pendapatan


belanja negara menganut sistem ‘surplus budget’. Hal ini berbeda dengan masa
Rasulullah yang masih harus menerapkan ‘anggaran defisit’ dikarenakn kebutuhan
mendesak. Kebijakannya juga berbeda dengan masa Khalifah Abu bakar yang
menerapkan ‘anggaran berimbang’, dimana seluruh pendapatan negara langsung
didistribuskian habis semua. Kebijakan Khalifah Umar tersebut didasari oleh kondisi
penerimaan negara yang semakin besar, dimana kondisi seperti itu belum dicapai
pada masa pemerintahan sebelumnya. Dari pemaparan diatas juga dapat
disimpulkan bahwa masa Khalifah Umar, masyarakatnya telah mencapai tingkat
kemakmuran yang tinggi. Selain itu pemerintahannya juga telah mengaplikasikan
dan mengembangkan metode akuntansi dan fiskal Baitul Mal paling cangih pada
masanya untuk menyusun anggaran serta perhitungan pendapatan dan belanja
negara. Pemerintahannya dapat menjadi contoh bagaimana sebuah negara besar
ditata dengan sistem manajemen yang rapi, pengelolaan yang transparan,
akuntabel, bertangung jawab dan berdedikasi penuh kepada rakyatnya. Kebijakan
pemerintahannya dapat menjadi inspirasi, bagaimana kebijakan fiskal dan ekonomi
dikelola sehingga dapat mewujudkan kemakmuran bagi sebuah negara. Dengan
pencapaian demikian, sejarah ekonomi masa Khalifah Umar memang perlu
mendapat perhatian besar dalam kajian ekonomi Islam, karena masa tersebut dapat
disebut bagian dari praktik dan konsep kebijakan ekonomi Islam yang terbaik.
DAFTAR PUSTAKA

Journal of Islamic Economic And Business (JIEB) Vol. 02, No. 01 64


PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK ISLAM

Munawar Iqbal dan M. Fahim Khan. A Survey of Issues and a Programme for
Research in Monetery and Fiscal Economics of Islam. Jeddah: ICRIE
Islamabad. 1981.

Nurudin, Ali. Zakat sebagai Instumen dalam Kebijakan Fiskal. edisi ke-1,
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006.
Duri, Abdul 'Aziz.“Taxation in Early Islam” Journal of Islamic Banking and
Finance,dalam http://www.financeinislam.com/article/1_14/1/161
Dadabhoy, Abdullah, 1991.“Baitul Mal And Welfare State”, Journal of Islamic
Bankingand Finance: Vol: 8, Issue: 3; July - Sept.
Wibisono, Yusuf, 2007.“Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam”Bahan Kuliah
Program MagisterBisnis dan Keuangan Islam, Universitas Paramadina,
12 Februari.
https://jurnal.stiq-amuntai.ac.id/index.php/al-qalam/article/view/14

Anda mungkin juga menyukai