Anda di halaman 1dari 26

Journal of Governance, Desember 2016 Volume 1, No.

ISLAM, NEGARA, DAN PERLINDUNGAN HAK-HAK ISLAM


MINORITAS

Ahmad Solikhin
Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Darul ‘Ullum Lamongan
akhmad.sholikin@gmail.com

Abstract: This paper discusses the loss of the State's role in upholding the freedom
of minority political Islamic groups in Indonesia. Political freedom that
guaranteed by the Constitution for every citizen is dominated by Islamist groups
majority. They tend to create policies that discriminate minority of Islamic group.
As a result Islamic group minority do not get their political rights as citizens of
Indonesia that had the principle of "Unity in Diversity."

Keywords: Country, Religion, Islam Minority Rights

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang praktiknya, pemenuhan,
berpenduduk Muslim terbesar di penghormatan, dan perlindungan atas
dunia yang mengklaim sebagai hak dasar ini nyatanya tidak dapat
penyokong dan pengadopsi sistem dinikmati oleh seluruh Warga
pemerintahan demo-krasi. Indonesia Negara Indonesia. Hal ini dapat
meskipun berpenduduk Muslim ditafsirkan bahwa negara tidak
sebagai mayoritas, tetapi hak untuk memaksakan kehendaknya dan
bebas dalam berkeyakinan dan melindungi kelompok minoritas
beragama sesungguhnya telah keagamaan, pemeluk keyakinan
dijamin sepenuhnya dalam Undang- minoritas, masyarakat adat, dan
Undang Dasar 1945 Pasal 28 E, LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun Transgender). Tetapi, klaim dan per-
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan nyataan tersebut perlu dipertanyakan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun ketika saat ini banyak praktik
2005 tentang Pengesahan diskriminasi terhadap minoritas
International Covenan Civil and keagamaan, etnis, budaya, dan gaya
Politic Rights. Akan tetapi, dalam hidup lainnya selama 12 tahun
Solikhin, Islam, Negara dan Perlindungan Hak-Hak 43

terakhir ini. Praktik intoleransi dan Masyarakat (ELSAM) yang


kekerasan oleh sekelompok menuliskan berbagai Penyerangan
masyarakat tertentu terhadap dan Kekerasan terhadap Jamaah
beberapa kelompok minoritas juga Ahmadiyah di Berbagai Wilayah di
banyak menghiasi pemberi-taan di Indonesia. Jamaah Ahmadiyah
media nasional dan internasional. Indonesia (JAI) merupakan
Pasca Reformasi tahun 1998 organisasi yang terdaftar dengan SK
kondisi Indonesia semakin marak Menteri Kehakiman RI No. JA
dilanda berbagai tindak intoleransi 5/23/13 Tanggal 13 Maret 1953
dan kekerasan kepada kelompok- Tambahan Berita Negara RI No. 26
kelompok minoritas. Konflik-konflik Tanggal 31 Maret 1953. Kekerasan
yang disinyalir sudah lama ada yang terhadap JAI mulai mencuat tahun
bersifat laten, dengan munculnya 2001 saat terjadi perusakan terhadap
reformasi menjadi konflik-konflik rumah, masjid bahkan pembunuhan
manifest yang dampaknya sangat terhadap 1 orang di Sambi Elen, dan
luar biasa bagi kehidupan sosial. NTB. Sejak itu, kekerasan terhadap
Delapan belas tahun sudah era JAI seakan tidak ada putusnya. Jawa
reformasi digulirkan, serasa selama Barat tercatat sebagai wilayah
itu pula kian lama kebhinekaan dengan kekerasan terbanyak, antara
negara ini semakin terancam. lain di Tasikmalaya, Kuningan,
Dinamika konflik yang berujung Bogor, Garut, Bandung, dan Cimahi.
pada kekerasan seakan tidak berhenti meskipun di Kalimantan dan
menghiasi bumi Indonesia ini. Isu- Sulawesi Selatan kekerasan juga
isu konflik tersebut banyak terjadi. Di NTB, warga Ahmadiyah
menyangkut persoalan etnis dan diusir paksa beberapa kali. Pertama,
agama. Sehingga, banyak konflik- tahun 2001 pasca pembakaran masjid
konflik yang muncul dengan Ahmadiyah di Bayan. Pada kejadian
membawa nama agama. ini, 1 orang meninggal, 1 luka parah
Berbagai kasus kekerasan dengan bacokan, dan semua warga
sebagaimana dalam laporan Ahmadiyah diusir dari Bayan. Pada
Lembaga Studi dan Advokasi 2002, jemaat Ahmadiyah di Pancor,
44 Journal of Governance, Desember 2016 Volume 1, No. 2

Lombok Timur diserang. Terjadi tetapi di sisi lain menampakkan sisi


pembakaran dan penjarahan dari kekerasan. Sisi kekerasan akan
rumah ke rumah. Saat itu, muncul ketika kebenaran satu agama
pemerintah memberikan pilihan tertentu berbenturan dengan
bahwa warga Ahmadiyah boleh tetap kebenaran agama yang lain. Agama
di Pancor asalkan keluar dari pada suatu waktu memproklamirkan
Ahmadiyah atau tetap meneguhi perdamaian, jalan menuju
keyakinannya tapi meninggalkan keselamatan, persatuan dan
Pancor.1 Kekerasan terhadap anggota persaudaraan, sedangkan pada waktu
jamaah Ahmadiyah Indonesia di yang lain menampakkan dirinya
berbagai daerah seolah mendapatkan sebagai sesuatu yang tercatat dalam
justifikasi dengan Keputusan sejarah menimbulkan konflik, hingga
Bersama Menteri Agama, Jaksa kekerasan dan peperangan (Dadang,
Agung, dan Menteri Dalam Negeri 2010:217). Wajah ganda agama
Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun inilah yang menunjukkan adanya
2008, No. : KEP-033/A/JA/6/2008, meka-nisme peran agama yang
No. : 199 Tahun 2008 tentang rentan terhadap kekerasan.
Peringatan dan Perintah kepada Peran agama menjadi terkait erat
Penganut, Anggota, dan/atau dengan kekerasan ketika agama
Anggota Pengurus jamaah dijadikan sebagai kerangka
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan penafsiran religius hubungan sosial
warga masyarakat. (fungsi ideologis, agama sebagai
Agama yang ada di Indonesia faktor identitas, dan agama sebagai
senantiasa menampakkan dua sisinya legitimasi etis hubungan)
yang berbeda. Pada satu sisi, agama (Haryatmoko, 2003:263). Peran-
menawarkan perdamaian, peran yang dimainkan oleh agama
ketenangan, dan ketentraman, akan tersebut menunjukkan rentannya sisi
agama yang dikaitkan dengan
1
Untuk laporan lebih lengkapnya dapat timbulnya fenomena kekerasan yang
diakses pada http://referensi.elsam.or.id/wp-
semakin sering nampak di Indonesia
content /up-loads/2014/12/DISKRIMINASI-
DAN-KEKERASAN-TERHADA- akhir-akhir ini. Akan tetapi, sering
AGAMA-MINORITAS.pdf.
Solikhin, Islam, Negara dan Perlindungan Hak-Hak 45

muncul pembelaan yang menyatakan perbedaan tersebut muncul secara


bahwa agama mengajarkan mudah sebagai dasar moralitas yang
perdamaian dan menentang digunakan sebagai alasan bagi aksi-
kekerasan. Ironisnya, manusia aksi kekerasan dan intensitas ritual
menyalahgunakannya untuk yang digunakan sebagai alat untuk
kepentingan pribadi atau kelompok melakukan aksi itu. Perbedaan-
sehingga menyulut kekerasan. perbedaan lainnya merupakan
Hadirnya konflik dan tindak perbedaan yang lebih mendalam dan
kekerasan tidak dapat dilepaskan dari menjadi bagian dan inti agama itu.
adanya perbedaan dan faktor Citra agama tentang perjuangan yang
kepentingan. Berbicara kepentingan gampang dikenali dan konsep-
tidak dapat lepas dari upaya konsep tentang perang yang dahsyat
mengusai dan dikuasai oleh kaum telah dilakukan dalam perjuangan-
mayoritas terhadap minoritas. perjuangan sosialnya. Ketika
Indonesia merupakan negara yang peperangan itu diimpi-impikan
plural berasaskan Bhineka Tunggal sebagaimana yang muncul dalam
Ika, tetapi terkait dengan agama, rencana manusia, akhirnya hal itu
Islam merupakan agama yang mereka tuangkan menjadi kenyataan
mayoritas dianut oleh masyarakat melalui aksi-aksi kekerasan
Indonesia. Konflik kekerasan yang (Juergensmeyer, 2000:8).
mengatasnamakan agama tersebut Pemerintah Indonesia gagal me-
dapat diamati dari pemberitaan di lindungi kaum minoritas dari
media-media terlebih Pasca kekerasan dan intoleransi atas nama
Reformasi 1998. agama. Menurut laporan Human
Pemberitaan di media-media baik Rights sepanjang 120 halaman,
media massa maupun media berjudul “Atas Nama Agama:
elektronik tidak dapat lepas dari Pelanggaran terhadap Minoritas
persoalan konflik dan kekerasan Agama di Indonesia,” merekam
yang berkedok agama. Dalam kegagalan peme-rintah Indonesia
beberapa kasus, agama menghasilkan dalam mengatasi gerombolan-
perbedaan pemahaman. Beberapa gerombolan militan, yang melakukan
46 Journal of Governance, Desember 2016 Volume 1, No. 2

intimidasi dan penyerangan rumah- pelaku menerima hukuman ringan


rumah ibadah serta anggota-anggota atau sama sekali tidak dihukum
minoritas agama (Human Right (Human Right Watch, 2003). Dalam
Watch, 2003). Kegagalan pemerintah dua kasus, pejabat daerah menolak
Indonesia dalam mengambil sikap menjalankan keputusan Mahkamah
dan melindungi kaum minoritas dari Agung yang memberikan hak kepada
intimidasi dan kekerasan, merupakan dua jemaat minoritas untuk
olok-olok terhadap klaim bahwa membangun rumah ibadah mereka.
Indonesia adalah negara demokratis Pejabat pusat sering membela
yang melindungi hak asasi manusia. kebebasan beragama, namun ada
Kepemimpinan nasional sangat juga yang justru mengeluarkan
esensial dalam bertanggung jawab pernyataan-pernyataan diskriminatif.
atas terjadinya berbagai tindak Diskusi mengenai persoalan
kekerasan ini. Penegakan hukum di mino-ritas di Indonesia harus
Indonesia harus ditegaskan dan harus dikaitkan dengan pembiacaraan
mampu mengadili setiap pelaku tentang Islam di Indonesia. Islam
kekerasan, serta mampu menjelaskan merupakan agama mayoritas dari sisi
strategi untuk memerangi kekerasan penganut, aspek sosial dan juga
atas nama agama. aspek politik. Kondisi ini memainkan
Human Rights Watch melakukan peran yang sangat signifikan dalam
riset di 10 provinsi di Jawa, Madura, proses pembuatan kebijakan negara
Sumatra, dan Timor, serta mengenai hak kaum minoritas di
mewawancarai lebih dari 115 orang Indonesia. Bagaimana masyarakat
dari berbagai kepercayaan. Mereka Indonesia memandang kelompok
termasuk 71 korban kekerasan dan minoritas, siapa saja yang termasuk
pelanggaran, maupun ulama, polisi, di dalamnya, serta bagaimana negara
jaksa, milisi, pengacara, dan aktivis mengatur hak dan kewajiban mereka
masyarakat sipil. Hasilnya, pejabat di ruang publik sangat ditentukan
daerah sering menyikapi pembakaran oleh aspirasi dan sudut pandang umat
atau kekerasan dengan justru Islam. Sehingga pertanyaan yang
menyalahkan korban minoritas, para layak diangkat ke permukaan ketika
Solikhin, Islam, Negara dan Perlindungan Hak-Hak 47

mem-bicarakan nasib dan peran Istilah minoritas di Indonesia


kaum minoritas serta peran yang tidak didasarkan pada satu
harus dilakukan negara dalam pemahaman yang seragam dan tidak
kaitannya dengan konflik sosial, ada satu batasan yang pasti siapa saja
yakni: Apakah memang secara legal yang dikategorikan sebagai
regulasi negara telah memberikan kelompok minoritas. Kamus Umum
pengakuan dan perlindungan yang Bahasa Indonesia, misalnya
semes-tinya terhadap kelompok mendefinisikan minoritas sebagai
minoritas?; Apakah yang harus kelompok kecil (Poewadarminta,
dilakukan oleh negara jika sebuah 2006: 769). Kamus Bahasa Indonesia
konflik politik aliran dalam bentuk Online mendefinisikan minoritas
penyerangan fisik atau prilaku sebagai golongan antar sesamanya
diskriminatif terjadi? Sebab, seperti dan membagi bersama keinginan
yang diketahui dari berbagai kasus, untuk melestarikan hubungan sosial
kelompok minoritas tentu menjadi yang jumlah warganya jauh lebih
korban pertama jika hal-hal tersebut kecil jika dibandingkan dengan
terjadi dalam masyarakat. golongan lain dalam suatu
Pertanyaan-pertanyaan ini tentu masyarakat dan karena itu
harus dilihat secara saksama didiskriminasikan oleh golongan lain
mengingat variabel yang menjadi itu. Menurut Theodorson &
pemicu konflik sangat beragam, Theodorson (1979: 258-259),
seperti disparitas ekonomi, kelompok minoritas (minority
kesenjangan sosial, perbedaan groups) adalah kelompok-kelompok
pendidikan, dan kesempatan yang diakui berdasarkan perbedaan
memiliki kadar dan skala intensitas ras, agama, atau suku bangsa, yang
yang juga berbeda. mengalami kerugian sebagai akibat
prasangka (prejudice) atau
“Defining Minority” dalam diskriminasi. Istilah ini pada
Konteks Islam Mayoritas dan umumnya dipergunakan bukanlah
Negara Bhinneka Tunggal Ika sebuah istilah teknis, tetapi istilah ini
sering dipergunakan untuk
48 Journal of Governance, Desember 2016 Volume 1, No. 2

menunjukkan pada kategori hukum dengan populasi di luarnya


perorangan, daripada kelompok- (Tim Penulis ILRC, 2010:63).
kelompok. Bahkan, istilah ini sering- Secara teoritis, agama Islam di
kali dikaitkan pula kepada kelompak Indonesia tidak pernah
mayoritas dari pada kelompok mendefinisikan siapa saja kelompok
minoritas. Jika mengacu pada minoritas di Indonesia. Namun
definisi minoritas menurut Pelapor dalam pola hubungan dengan entitas
Khusus PBB untuk perlindungan hak lain seperti negara maupun agama
minoritas, Francesco Capotorti lain, Ummat Muslim di Indonesia
(Subhi, 2013): kerap kali menempatkan dirinya
“A group numerically inferior sebagai kelompok mayoritas yang
to the rest of the population of
harus diperlakukan berbeda dari
a state, in a non dominant
position, whose members being yang lain. Dalam perdebatan
nationals of the state-posses
mengenai sejumlah peraturan
ethnic, religion or linguistic
characteristic differing from perundang-undangan keagamaan
those of the rest of the
misalnya, kelompok Islamis2 di
population and show, if only
implicitly a sense of solidarity, Indonesia kerapkali berusaha
direct toward preserving their
memasukkan norma dan doktrin
culture, traditions, religion or
language.” Islam menjadi bagian dalam

Dari definisi di atas, yang


2
Kelompok Islamis adalah kelompok Islam
dimaksud sebagai minoritas adalah: yang memiliki beberapa ciri mendasar
diantaranya; 1. meyakini kesatuan agama
pertama, secara numerik jumlahnya dan negara, 2. cenderung menafsirkan teks-
lebih kecil dari sisa populasi lainnya teks keagamaan secara rigid, 3. cenderung
memonopoli kebenaran atas tafsir agama, 4.
dalam suatu negara. Kedua, memiliki pandangan yang stigmatis tehadap
barat, 5. mendeklarasikan perang terhadap
posisinya tidak dominan dalam paham dan tindakan sekuler, 6. cenderung
radikal dalam memperjuangkan nilai-nilai
konteks negara. Ketiga, adanya yang diyakininya. Penjelasan terkait
bagaimana perjuangan kelompok Islamis
perbedaan etnik, agama, dan budaya Indonesia dalam memasukkan norma dan
dengan populasi lainnya. Keempat, doktrin Islam dalam perundang-undangan
atau ruang publik dapat dibaca pada buku
memiliki solidaritas agama, bahasa, karya, Tim Peneliti CSRC UIN Jakarta dan
KAS Jakarta, Islam di Ruang Publik (Politik
tradisi, budaya dan kepentingan Identitas dan Masa Depan Demokrasi di
Indonesia), (Jakarta : CSRC UIN Jakarta,
untuk meraih persamaan di muka 2011)
Solikhin, Islam, Negara dan Perlindungan Hak-Hak 49

peraturan perundang-undangan cacat, dan orientasi seksual. Kategori


tersebut. Jimly Asshiddiqie ini tidak memasukkan kategori
mengakui bahwa salah satu materi kepercayaan lokal dan bahasa yang
penting yang menjadi muatan dalam pandangan hak asasi manusia
konstitusi adalah dasar negara. Pem- adalah juga kategori minoritas.
bahasan mengenai dasar negara Perserikatan Bangsa-Bangsa,
dalam proses pembuatan konstitusi misalnya membagi kelompok
selalu melahirkan perdebatan yang minoritas ke dalam 4 kategori: suku
tajam dan mendalam. Hal ini karena bangsa, kebudaya-an, agama, dan
dasar negara menjadi pijakan utama bahasa.3
yang menentukan arah dan cara Islam Mayoritas4 (arus Islam
penyelenggaraan negara. Di sisi lain, utama) yang ada di Indonesia
tiap-tiap faksi atau kelompok dalam mengarah kepada kelompok-
masyarakat apalagi yang sangat kelompok Islam yang dianut oleh
plural seperti Indonesia, memiliki sebagian besar penduduk Islam yang
cita-cita dan ideologi tersendiri yang ada di Indonesia. Selain itu, Islam
dianggap paling tepat sebagai dasar Mayoritas juga dijadikan sebagai
dalam kehidupan berbangsa dan referensi dalam berbagai urusan yang
bernegara (Asshiddiqie, 2008: vii). berhubungan dengan hukum-hukum
Katagori yang agak lebih tegas dalam penentuan kasus-kasus yang
mengenai siapa yang dimaksud dialami oleh umat Islam saat ini.
sebagai kelompok minoritas ini
dijelaskan dalam Peraturan Kapolri 3
Baca United Nations Minorities
Declaration yang diadopsi Majelis Umum
No. 8 tahun 2009 tentang PBB tahun 1992, Pasal 1
Implementasi Prinsip dan Standar
4
“Islam Mayoritas” yang berada di bawah
dua payung besar Nahdlatul Ulama (NU),
Hak Asasi Manusia dalam yang biasa disebut “tradisionalis”, yang
mengklaim memiliki 40 juta umat, dan
Penyeleng-garaan Tugas Kepolisian Muhammadiyah, yang biasa disebut
“modernis” yang mengklaim memiliki 30
Negara Republik Indonesia. juta umat. Sehingga jika digabung, NU dan
Muhammadiyah mewakili 70 juta umat
Peraturan ini memberi contoh bahwa Islam di Indonesia. Dapat dilihat dalam
kelompok minoritas itu adalah Angela Rabasa, et.all, Building Moderate
Muslim Networks (Santa Monica, CA: The
kelompok etnis, agama, penyandang RAND Corporation), h. 105-112, bab “The
Southeast Asian Pillar of the Network”.
50 Journal of Governance, Desember 2016 Volume 1, No. 2

Islam Mainstream atau ortodoksi “Kubu”, Agama Kaharingan bagi


(dalam bahasa Martin van Suku Dayak, dan Agama Patuntung
Bruinessen) diwakili oleh Majelis bagi komunitas Orang Kajang dll
Ulama Indonesia (MUI), dan di (Tim Penulis ILRC, 2013:65).
dalam kelompok ini juga termasuk
organisasi-organisasi kemasya- Hubungan Islam Mayoritas dan
rakatan yang ada di dalam naungan “Inside Minority”
MUI. Ahlus Sunnah wal Jama’ah Salah satu problem minoritas di
merupakan “mainstream” Islam yang Indonesia adalah jaminan terhadap
ortodoks dan yang menyimpang dari hak-hak kelompok minoritas dalam
paham tersebut adalah sempalan atau suatu agama (inside minorities),
sesat (Bruinessen, Vol. III No. 1, termasuk Islam. Pengkategorian
Hal. 17). Dalam konteks UU No. 1 inside minority dalam Islam Indo-
PNPS Tahun 1965 tentang nesia adalah kelompok, aliran, dan
Pencegahan Penodaan Agama, pemikiran yang dianggap
pengertian minoritas dapat diartikan: menyimpang dari mainstream.
(1) agama-agama yang penganutnya Keberadaan mereka dipermasalahkan
lebih kecil dari penganut agama selain karena berbeda juga karena
mayoritas dalam hal ini Islam. (2) dianggap menodai atau melecehkan
Agama-agama di luar enam agama Islam. Menarik untuk diperhatikan
yang disebutkan secara eksplisit bagaimana berbagai pihak melihat
dalam UU ini. (3) Aliran-aliran permasalahan kebebasan beragama
keagamaan yang berbeda dengan yang dihadapi dengan kacamata yang
pandangan utama. (4) keyakinan / berbeda. Bahkan, sidang Dewan
kepercayaan kepada Tuhan Yang HAM PBB (United Nations Human
Maha Esa. (5) Dalam konteks Rights Council) melalui mekanisme
indigenous people, adalah agama- universal periodic review menyoroti
agama yang dianut oleh masyarakat dengan serius isu intoleransi
adat seperti Agama Adan bagi beragama di Indonesia
Komunitas Sedulur Sikep, Agama (http://www.thejakartapost.com/new
Salih bagi Komunitas Orang Rimba
Solikhin, Islam, Negara dan Perlindungan Hak-Hak 51

s/2012/09/18/ri-refuses-comply- DKI Jakarta, dan Bali) ditemukan


with-un-human-rights.html). kecenderungan pan-dangan toleransi
Permasalahan kebebasan beragama yang terbatas. Penelitian
beragama di Indonesia pun tidak dilakukan dalam bentuk jajak
hanya disoroti dari beberapa kasus pendapat publik masyarakat di ibu
kekerasan yang mencuat (anecdotal) kota provinsi dan satu kabupaten
ataupun jumlah kasus into-leransi di dalam provinsi tersebut (Vermonte
berbagai daerah. Dinilai secara dan Basuki, 2012: 36). Survei ini
akademis dengan standar penilaian juga dilanjutkan dengan wawancara
yang sistematis dan terukur, mendalam tokoh masyarakat daerah
Indonesia juga diindikasikan tersebut.
mempunyai permasalahan dalam Kebebasan memeluk agama dan
kebebasan beragama. berkeyakinan yang merupakan hak
Dalam studi kebebasan beragama konstitusional Warga Indonesia
di seluruh negara di dunia oleh secara umum disetujui oleh semua.
Hudson Institute, Indonesia Tetapi, pengertian dan pandangan
mendapat klasifikasi 5 yang merujuk terhadap kebebasan memeluk dan
pada penilaian sebagai partly free berkeyakinan tersebut masih terbatas
(dengan pengangkaan 1 (free) – 7 kepada apa yang dianggap “agama
(unfree), seperti penilaian dalam resmi”. Hal ini menjadi masalah dari
Freedom Index) (Marshall, 2008). dua sisi.
Index kebebasan beragama Indonesia Pertama, secara konseptual dan
sebagai negara demokratis di angka 5 filosofis menentukan agama resmi
di peringkat yang sama dengan dan tidak resmi dalam dirinya sendiri
negara-negara otoriter, seperti Mesir, dapat dianggap sebagai sebuah
Libya, dan Syria. Dalam survei yang intoleransi dan diskriminasi.
dilakukan CSIS di delapan provinsi Pengaturan terhadap keya-kinan oleh
(Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa negara ataupun masyarakat
Timur, Nusa Tenggara Timur, merupakan invasi terhadap elemen
Sulawesi Utara, Sumatera Barat, utama dalam kebebasan beragama,
52 Journal of Governance, Desember 2016 Volume 1, No. 2

yaitu kebebasan hati nurani (freedom dalam UU tersebut yang menyatakan


conscience). “... Dilarang ... Menganjurkan atau
Kedua, secara legal definisi Mengusahakan Dukungan Umum,
agama resmi dan tidak resmipun untuk Melakukan Penafsiran tentang
dapat dikatakan tidak mempunyai Sesuatu Agama yang Dianut di
landasan hukum yang jelas. Penulis Indonesia.” Di samping
menemukan dasar hukum yang permasalahan konseptual dan
menetapkan bahwa keenam agama filosofis, landasan hukum adanya
“resmi” Indonesia adalah: Islam, “agama resmi”-pun sangat lemah.
Kristen, Katolik, Buddha, dan Hindu, Akan tetapi, pandangan adanya
yang ditambah menjadi enam dengan “agama resmi” yang diakui negara
Kong Hu Cu setelah era reformasi. merupakan hal yang sangat umum di
Satu-satunya dasar konsep “agama masyarakat dan juga pemimpin serta
resmi” adalah penjelasan dalam UU tokoh masyarakat.
No. 1 PNPS 1965 terhadap Pasal 1
Gambar. 1. Hak Kepercayaan Warga Indonesia

Hak Kepercayaan
Setuju Tidak Setuju

98,40%
81,00%
55,80%
40,50%
13,80%
1,60%

Warga Indonesia bebas Hanya Boleh ada 6 Kebebasan memilih


Memilih dan Memeluk Agama resmi di termasuk agama yang
agama masing-masing Indonesia bukan agama "resmi"

Sumber: Hasil Survei CSIS berlangsung 16-25 September 2012, melibatkan 1200 responden yang
dipilih dengan metode multistage random sampling
Dalam survei CSIS, ditemukan bersamaan, mayoritas responden (81
bahwa hampir semua responden persen) berpandangan bahwa hanya
(98,4 persen) mengakui hak ada enam “agama resmi” di
memeluk agama. Namun, pada saat Indonesia. Toleransi terhadap
Solikhin, Islam, Negara dan Perlindungan Hak-Hak 53

kebebasan beragama tersebut Toleransi beragama juga amat


berkurang drastis ketika responden dipengaruhi oleh persepsi
ditanya apakah kebebasan beragama masyarakat agama terhadap
tersebut termasuk memilih agama pandangan dan interpretasi yang
yang tidak “resmi”. Yang menyetujui berbeda. Penyebab konflik (points of
kebebasan tersebut turun drastis, conflict and points of contention)
menjadi 40.5 persen dan yang tidak yang sensitif adalah sentimen
setuju berjumlah 55.8 persen. masyarakat terhadap pandangan yang
berbeda.
.Gambar. 2. Interpretasi Masyarakat tentang Pandangan yang Berbeda

Interpretasi
Setuju Tidak Setuju Tidak Tahu
75,20%
56,40% 52,90% 51,30%
33,60% 37,00%
31,50%
20,80% 17,20%
10,00% 10,10%
4,10%

Ajaran Kitab Suci Hanya Ada Satu Cara Ajaran Pemimpin Pemahaman Agama
Semua Harus diikuti Pandang dalam Agama Tidak Boleh yang berbeda dari
secara Harfiah ? Menafsirkan Kitab Suci ditentang dan pasti penafsiran umum
paling benar. merupakan
penghinaan Agama

Sumber: Hasil Survei CSIS berlangsung 16-25 September 2012, melibatkan 1200 responden yang
dipilih dengan metode multistage random sampling
Dari data di atas setidaknya, 31.5 berbeda, apalagi jika berkelindan
persen responden menganggap dengan kepen-tingan politis maupun
pandangan berbeda adalah ekonomi.
penghinaan, dengan 17.5 persen Indonesia dicita-citakan oleh para
menyatakan tidak tahu. Tidak founding father memiliki tradisi
berlebihan untuk berasumsi bahwa negara yang toleran, hal ini
kurang lebih separuh dari responden menjadikan sebagian besar
secara potensial dapat terprovokasi komunitas agama yang beragam di
dalam kemarahan terhadap kelompok Indonesia berjalan secara terbuka
54 Journal of Governance, Desember 2016 Volume 1, No. 2

dan dengan beberapa pembatasan, merupakan badan ulama tertinggi


terutama enam agama yang diakui Umat Islam di Indonesia yang terdiri
(Islam, Buddha, Hindu, Katolik, atas dewan penasihat dan badan
Protestan, dan Konghucu). Namun eksekutif dengan 12 komisi. MUI
demikian, transisi Indonesia menuju merupakan lembaga semi-
demokrasi dan stabilitas ekonomi pemerintah yang mengeluarkan
telah ternodai oleh kekerasan antar- fatwa dan membentuk kebijakan
kelompok, serangan teroris, pemerintah seputar urusan Islam.
pertumbuhan kelompok ekstremis, MUI sebagian didanai lewat
dan intoleransi yang meningkat kementerian agama atau melalui
terhadap kelompok agama minoritas anggaran pemerintah provinsi dan
dan kelompok “heterodoks”. daerah, tapi tanpa audit badan
Pemerintah telah melakukan langkah pengawas keuangan negara. Ada
dalam menangani jaringan teroris, ratusan kantor MUI di Indonesia.
tetapi kelompok-kelompok seperti 141 Manajemen MUI Pusat di
FPI tetap memiliki pengaruh politik Jakarta terdiri atas 273 individu,
yang sangat besar melalui mobilisasi termasuk beberapa wakil dari
sejumlah besar pengikutnya. organisasi Muslim, empat anggota
Kegiatan mereka yang terka-dang kabinet, beberapa politisi, pensiunan
didukung oleh Pejabat Pemerintah jenderal, akademisi, pengusaha,
dan Pemimpin Agama Muslim novelis, bintang film, model, dan
mengirim pesan yang mengerikan ke anggota dari kelompok-kelompok
kelompok agama minoritas di Islam.
Indonesia, yang jum-lahnya antara Organisasi ini tersusun dari
38 dan 42 juta. berbagai kelompok Muslim, mulai
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari organisasi seperti
merupakan representasi dari Islam Muhammadiyah, NU, dan Persatuan
Mayoritas yang mendapatkan Islam hingga yang terbaru seperti
legitimasi untuk mengeluarkan fatwa Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut
dan kebijakan terkait persoalan Tahrir Indonesia, dan Front Pembela
Ummat Islam di Indonesia. MUI Islam. Dalam sejarahnya, MUI
Solikhin, Islam, Negara dan Perlindungan Hak-Hak 55

menolak anggota Syiah dan isu-isu lingkungan. Pada Juli 2005,


Ahmadiyah, dan kemudian MUI menerbitkan sejumlah fatwa
menganggap keduanya “sesat dan menentang pluralisme, sekularisme,
menyesatkan. ”Tidak ada prosedur liberalisme, doa lintas-iman,
pasti bagaimana seseorang dapat pernikahan beda agama, dan semua
bergabung ke MUI. Tiadak ada pula penafsiran alternatif atas ayat-ayat
pengawasan kelembagaan meski suci Al-Qur’an (Menchik, 2007).
beberapa organisasi Muslim sesekali Fatwa-fatwa MUI kadang dipakai
mengkritik MUI pada saat mereka sebagai dasar bagi pembuatan hukum
percaya lembaga tersebut tidak dan kebijakan di Indonesia. Pada Juli
memenuhi harapan mereka. Sebagai 2005, MUI mengeluarkan fatwa dan
lembaga nasional, MUI berdiri pada menetapkan Ahmadiyah sebagai
1975 semasa Presiden Suharto untuk “aliran yang berada di luar Islam,
menjadi jembatan antara para sesat, dan menyesatkan”. Fatwa Juli
pemuka Muslim dan pejabat negara. 2005 tersebut menetapkan
Kegiatan utamanya mengeluarkan Pemerintah Indonesia berkewajiban
fatwa, memper-kuat silaturahmi melarang penye-baran paham
(persaudaraan) di antara umat Islam, Ahmadiyah, membekukan
mewakili kalangan Muslim dalam organisasi, dan menutup semua
pertemuan dengan organisasi tempat kegiatannya.5 Amidhan,
keagamaan lain, dan bertindak wakil ketua MUI dan mantan pejabat
sebagai penghubung antara kalangan Kementerian Agama, mengatakan
ulama dan pejabat pemerintah (Noer, MUI “menolak kekerasan” dan
2010: 81-90). “mendukung pluralisme”:
MUI mulai gencar memainkan “Kalau pluralisme
dianggap seakan-akan
pengaruh pada tahun-tahun terakhir
semua agama itu sama,
rezim Suharto. Ia mengeluarkan maka itu tidak baik. MUI
fatwa atas berbagai isu, termasuk
5
Fatwa MUI No. 11/Munas
sertifikat halal, pemantauan dan VII/MUI/15/2005 ditandatangani pada 29
pengawasan bank ber-basis Syariah, Juli 2005 anggota komisi fatwa MUI Ma’ruf
Amin (ketua) dan Hasanudin (sekretaris)
memediasi keuangan Sya-riah, dan serta anggota rapat pleno Umar Shihab
(ketua) dan Din Syamsuddin (sekretaris).
56 Journal of Governance, Desember 2016 Volume 1, No. 2

menghormati kebebasan didakwa pasal penodaan agama.6


ber-agama. Makna
Para ulama MUI mula-mula
pluralisme menurut MUI
adalah tidak semua agama mengajukan fatwa dan kemudian
sebaik agama yang lain ….
bekerja dengan polisi dan jaksa,
Kami tidak mau kompromi
soal agama kami. Kalau melalui sarana Bakor Pakem.
seseorang menghina
Berbagai fatwa mendahului
agama kami maka
kekerasan muncul.” penuntutan penodaan agama dan
dikutip sebagai bukti persidangan
Fatwa MUI di level pusat diikuti
penistaan agama.
oleh berbagai fatwa di daerah-daerah
Secara khusus, MUI telah
tingkat provinsi atau kabupaten.
memain-kan peran yang fundamental
Misalnya, pada September 2007,
dalam penyikapan terhadap
MUI di Sumatra Barat menerbitkan
kelompok inside minority Islam
fatwa terhadap tarekat Al-Qiyadah
Indonesia. Melalui komisi Fatwa,
Al-Islamiyah. Fatwa lokal ini
MUI telah menerbitkan berbagai
gilirannya menggamit pengaruh pada
fatwa mengenai berbagai aliran di
MUI pusat, yang akhirnya melarang
dalam Islam, seperti Islam Jamaah,
Al-Qiyadah pada 2007 (Sihombing,
Jamaah Inkarus Sunnah, Al Qiyadah
2008: 37-38). Pada 2 Januari 2012,
Al Islamiyah, Millah Ibrahim, Aliran
MUI Sampang mengeluar-kan fatwa
AKI hingga Ahmadiyah. Fatwa-
anti-Syiah. MUI provinsi Jawa
fatwa ini disebar-luaskan secara
Timur mengikutinya pada 21 Januari
publik bahkan dijadikan sebagai
2012, mendesak MUI pusat
bukti di pengadilan.
mengumumkan ajaran Syiah “sesat”
dan mengusulkan Pemerintah
Peran Negara dalam Persoalan
Indonesia bertindak terhadap
“Minority”
penyebaran ajaran Syiah. MUI juga
Pemerintah Indonesia sudah seha-
mengeluarkan fatwa terhadap
rusnya melindungi kebebasan
sebagian besar mereka yang berakhir

6
Fatwa MUI Jawa Timur No.Kep-01/SKF-
MUI/JTM/I/2012, ditandatangani pada 21
Januari 2012 oleh ketua KH.Abdusshomad
Buchori dan sekretaris Imam Tabroni.
Solikhin, Islam, Negara dan Perlindungan Hak-Hak 57

baragama dan berkeyakinan, karena kebijakan untuk mengelola berbagai


kedua hal itu secara jelas dan tegas persoalan minoritas di Indonesia.
sudah diatur dalam Konstitusi kita. Kebijakan tersebut dapat dibedakan
Namun, pemerintah seringkali tidak menjadi tiga model, yakni asimilasi,
tegas dan terkesan mengabaikan hak separasi/pemisahan, dan
beragama dan berke-yakinan para integrasi. Meskipun sering dianggap
warganya ini. Menurut Melissa identik dengan komunitarianisme,
Crouch, salah satu tantangan terbesar tapi politik multikulturalisme tentu
pada hampir semua pemerintah di saja tidak harus selalu dihadapi
banyak negara adalah bagaimana sebagai kontra posisi liberalisme.
mengatur perbedaan agama para Berpijak kepada dua bentuk
penduduknya, juga bagaimana liberalisme yang dijelaskan dalam
melindungi kaum minoritas yang esai panjang Charles Taylor, “The
ada. Meskipun di Indonesia hanya Politics of Recognitio” (1994: 25-
ada 6 agama yang secara resmi 98), Michael Walzer (1994: 99-103),
diakui oleh pemerintah: Islam, misalnya, meng-golongkan
Protestan, Katholik, Budha, Hindu, liberalisme menjadi dua: Liberalisme
dan Konghucu, banyak sekali agama- 1 dan Liberalisme 2. Yang pertama
agama yang berada dan berkembang memberi penekanan sangat kuat pada
di luar agama resmi itu. Dan hak-hak individu. Dalam konteks
ironisnya, meskipun reformasi dan peran negara, Liberalisme 1
demokratisasi di Indonesia Pasca menyokong posisi netral dalam arti
1998 membawa angin kebebasan bahwa negara sama sekali tidak
pada masyarakat, berbagai kasus dan boleh memiliki kepentingan atau
kejadian yang berkaitan dengan isu proyek kultural dan religius atau
atau tuduhan “penodaan agama” oleh bentuk-bentuk tujuan kolektif apa
kelompok minoritas juga meningkat pun di luar kebebasan personal,
(Asia Pasific Bullettin, 2012: 146). keamanan fisik, kesejahteraan, dan
Pemerintahan Indonesia sebagai rasa aman individu warga negara.
penguasa tertinggi secara sederhana Bentuk liberalisme kedua
dapat melakukan tiga model (Liberalisme 2), yang disukai Taylor,
58 Journal of Governance, Desember 2016 Volume 1, No. 2

menyokong negara memiliki pergantian kalender komariah yang


komitmen pada keberlangsungan digunakan warga Cina-Indonesia,
hidup dan perkembangan sebuah Imlek sudah secara resmi ditetapkan
budaya, etnis, dan agama partikular sebagai hari libur nasional. Atraksi
sejauh hak-hak dasar warga negara Barongsay juga sudah bebas
yang memiliki komitmen berbeda dipertunjukan di tempat-tempat
atau sama sekali tidak memiliki umum dan ditonton warga non-Cina.
komitmen seperti itu tetap Dengan pertimbangan ekonomi,
dilindungi. Kebijakan salah satu TV swasta bahkan
multikulturalisme di Inggris dan berinisiatif menyiarkan sebuah
Jerman boleh jadi merupakan contoh program yang secara eksklusif
implementasi dari gagasan menggunakan bahasa Cina-
Liberalisme 2, dan kita sudah Mandarin. Di zaman Orde Baru,
mengetahui bagaimana Perdana TVRI memiliki acara hiburan Taman
Menteri di kedua negara tersebut Bhinneka Tunggal Ika dan Pelangi
berbalik mengecam dan mengakhiri Antar Nusa. Untuk kelompok
politik multikulturalisme (Habermas, disabel, TVRI menyediakan layanan
1994:107). bahasa isyarat dalam acara-acara
Rekognisi kultural terhadap warta berita. Tentu saja dengan
kelompok-kelompok minoritas tidak mudah kita dapat melihat semua itu
harus dipahami hanya dalam bentuk sebagai parade diveristas kultural
proyek-proyek politik besar seperti yang hanya melayani kepentingan
pemberian otonomi politik atau hak- agenda pemerintah sendiri, tapi
hak istimewa kepada satu teritori walau bagaimana itu adalah praktik
politik tertentu, melainkan dapat pula nyata dari rekognisi terhadap
dalam bentuk-bentuk yang lebih kelompok-kelompok di luar yang
sederhana seperti perayaan hari besar dominan. Bahwa praktik-praktik
keagamaan, pergantian tahun, rekognisi semacam itu dianggap
pencantuman agama dalam KTP, dan tidak cukup, boleh jadi justru karena
sebagainya. Sejak era Abdurrahman pada dasarnya problem politik di
Wahid, misalnya, perayaan Indonesia memang tidak dapat hanya
Solikhin, Islam, Negara dan Perlindungan Hak-Hak 59

didefinisikan melalui terminologi- yang dituding sesat, dan itu artinya


terminologi kultural. asimilasi Ahmadiyah ke dalam
Pada sisi yang lain, sambil secara Islam mainstream.
formal tetap mempromosikan sem- Jika kita mengikuti logika politik
boyan Bhinneka Tunggal Ika, negara multikulturalisme seperti yang
pada dasarnya masih saja berusaha direkomen-dasikan Taylor di atas, itu
meneruskan program-program artinya negara harus aktif bukan
asimilasi kelompok-kelompok hanya melindungi tapi juga
minoritas ke dalam kelompok mempromosikan dan melestarikan
mayoritas. Orang-orang Cina di kota- kelompok-kelompok minoritas
kota besar mungkin sudah tidak lagi sebagai bentuk komitmen negara
dipaksa berasimilasi dengan etnis kepada keadilan bagi seluruh
non-Cina, tapi kasus-kasus seperti warganya. Tapi salah satu problem
yang terjadi pada etnis Ta' (To mendasar dalam pendekatan
Wana), Wetutelu, Buda Lombok, dan semacam itu adalah berlangsungnya
Orang Sakai memper-lihatkan bahwa reifikasi kelompok, dan seolah-olah
asimilasi dianggap sebagai cara bangsa dapat digantikan dengan
terbaik untuk "memajukan" penjumlahan kelompok-kelompok
kelompok-kelompok tersebut.7 Salah ter-sebut. Dengan cara tersebut,
satu opsi yang ditawarkan oleh bukan saja negara mengabaikan
negara dalam penyelesaian kasus kritik bahwa pem-berian group-
jamaah Ahmadiyah, misalnya, adalah specific rights cenderung
masuknya Ahmadiyah ke dalam melegitimasi penindasan di dalam
agama Islam versi MUI dan kelompok, melainkan juga
meninggalkan ajaran Ahmadiyah membatasi hak baik pada level

7
individu maupun kumpulan beberapa
Periksa serial publikasi tentang Hak
Minoritas yang diterbitkan oleh Yayasan individu di dalam masing-masing
Interseksi dari tahun 2005-2009, yang terdiri
dari tiga volume buku masing-masing kelompok untuk berubah, selamanya.
berjudul Hak Minoritas. Dilema
Multikulturalisme di Indonesia (2005 & Sebab dalam Praktiknya, sulit
2007); Hak Minoritas. Multikulturalisme ditentukan kapan komitmen kepada
dan Dilema Negara Bangsa (2007),
dan; Hak Minortas. Ethnos, Demos, dan kelompok berakhir dan komitmen
Batas-batas Multikulturalisme (2009).
60 Journal of Governance, Desember 2016 Volume 1, No. 2

pada hak-hak dasar individu ledakan politik identitas di banyak


bermula. Dalam kasus Ahmadiyah, tempat, proposal yang paling masuk
misalnya, negara bukan hanya wajib akal adalah menempatkan diskursus
melindungi para pengikutnya dari tentang hak minoritas ke dalam
ancaman kekerasan dari luar, tapi kerangka integrasi. Separasi Pakistan
juga sering diasumsikan harus dapat dari India adalah salah satu pelajaran
memberi jaminan bahwa Jamaah yang baik bahwa persoalan dan
Ahmadiyah akan lestari kekerasan antar kelompok tidak
eksistensinya di Indonesia. Padahal lantas selesai setelah batas pemisah
bertahan hidup atau tidaknya didirikan tinggi-tinggi antara
Ahmadiyah, seperti juga agama- kelompok Muslim dan Hindu. Hans
agama lain, seharusnya bukan Vermeulan (1997) membedakan dua
domain negara melainkan para bentuk integrasi. Pertama
pemeluknya sendiri. Hal yang sama adalah structural integration, yang
juga berlaku untuk kelompok- mencakup dimensi politik dan
kelompok etnis. ekonomi dan dapat dijelaskan
Saya ingin mengulangi posisi sebagai partisipasi penuh dan
perspektif yang pernah saya tulis imparsial dalam institusi-institusi
sebelumnya, yakni bahwa yang perlu sebuah masyarakat. Contohnya
dipikirkan ke depan bukan semakin adalah pengakuan tentang
banyak menuntut negara untuk nasionalitas atau hak memilih dalam
mengurusi kelestarian kelompok pemilu. Kedua, sociocultural
mana pun, melainkan lebih kepada integration, lebih berhubungan
upaya-upaya mengembangkan dengan pembentukan relasi-relasi
sebuah, katakanlah, kultur politik sosial dengan masyarakat di
bersama yang memung-kinkan sekitarnya dan sampai taraf tertentu,
jembatan antar ragam dan beda itu adaptasi dengan budaya masyarakat
dibangun melalui keikutsertaan setempat. Dalam kalimat lain, ini
seluruh warga dalam membentuk adalah sebuah pencarian atas
tatanan politik demokratis (Budiman, keseimbangan yang paling mungkin
2009:262). Setelah mengalami antara diversitas dan konsensus
Solikhin, Islam, Negara dan Perlindungan Hak-Hak 61

tentang beberapa nilai utama (core kelompok mayoritas, misalnya dalam


values). Contoh-nya adalah akses kerangka kultur politik bersama di
pada institusi-institusi publik, atas kita dapat mendorong perayaan-
pemukiman dan pendidikan. Saya perayaan yang berbasis pada tradisi
selalu tergoda untuk kembali kultural lokal, sehingga pesta rakyat
menempatkan bahasa Indonesia Dayak, Batak, dan Papua, misalnya,
sebagai contoh terbaik ketika menjadi bagian dari celebration
jembatan penghubung antar seluruh warga Indonesia seperti kita
perbedaan ditemukan dari bahasa merayakan hari kemerdekaan 17
kelompok kecil dan relatif tidak Agustus atau seperti perayaan Imlek.
mengalami penentangan dari Indonesia adalah negeri dengan
kelompok-kelompok lain. Sementara jutaan petani di seluruh pelosok
banyak negara multikultur kesulitan negeri, tapi kita tidak punya
memutuskan bahasa standar yang perayaan nasional yang menandai
dapat digunakan dalam sistem kapan biji disemai dan kemakmuran
pendidikan nasional, misalnya, dipanen. Hal-hal sederhana semacam
bahasa Indonesia sudah cukup lama ini bukan hanya penting dalam
menjadi bahasa standar dalam sistem konteks politik rekognisi kultural
pendidikan kita. Bahasa Indonesia tapi juga dalam konteks menciptakan
telah memelihara bangsa Indonesia keseimbangan pada tendensi-
bahkan ketika sebagian kalangan tendensi imposisi agama sebagai
mengalami fetishme kelompok dan identitas bersama. Daripada dana-
perbedaan. dana publik yang diperoleh melalui
Saya membayangkan bahwa pajak warga negara digunakan untuk
apa yang dapat dicapai melalui lembaga-lembaga seperti MUI,
bahasa Indonesia sampai taraf misalnya, negara dapat
tertentu dapat dicoba pada bidang- mengalihkannya untuk mendorong
bidang kehidupan lain. Daripada dan memfasilitasi lahirnya inisiatif-
hanya mengakui hari-hari besar inisiatif warga membangun dialog
keagamaan yang menampilkan terbuka tentang isu-isu publik.
pemihakan kepada kelompok-
62 Journal of Governance, Desember 2016 Volume 1, No. 2

Dalam konteks semacam itu, kesatuan dengan commonality yang


kewajiban negara adalah mengakui secara sepihak ditentukan oleh
keberadaan dan hak hidup setiap kekuasaan negara.
kelompok yang berbeda dan Setelah Suharto mundur kita
melindungi kelompok-kelompok persis sedang mengalami kondisi
tersebut dari ancaman kekerasan ketika partikularitas dan perbedaan
pihak-pihak di luarnya, tapi negara menggeser dan menegasikan upaya-
tidak wajib melindungi keberadaan upaya pencarian
mereka dari dinamik internalnya commonality, sehingga beberapa
yang mendorong perubahan atau dari kalangan yang cenderung pesimistik
interaksi dengan pihak lain yang melihat Indonesia tengah berada di
berlangsung secara damai yang tubir disintegrasi.
dalam jangka panjang dapat saja Bagi kalangan ini, bahwa
menimbulkan perubahan mendasar Indonesia masih dapat relatif utuh
bagi kelompok-kelompok tersebut. sebagai bangsa dan negara teritorial
Dengan kalimat lain, negara wajib adalah perkara nasib baik belaka.
melindungi keselamatan para Saya termasuk orang yang masih
pengikut Ahmadiyah, etnis Dayak, percaya bahwa kita masih punya
Jawa, Batak, dst., tapi negara tidak kekuatan untuk menghindari bahaya
memiliki hak untuk membubabarkan tersebut. Satu dekade lebih kita
dan tidak perlu pula memiliki sudah dapat menghindari Balkanisasi
komitmen untuk melindungi pasti bukan semata perkara nasib
kelompok tersebut dari kepunahan. (sosiologis) belaka, melainkan
Seperti di banyak tempat lain di karena banyak kekuatan yang
dunia, problematik multikulturalisme bekerja mempertahankan bayangan
di Indonesia adalah tari tolak antara tentang keindonesiaan yang lebih
commonality dan difference. Di era baik.
Suharto kita pernah mengalami Era reformasi seperti saat ini
kondisi ketika partikularitas dan memang mampu memperbaharui
perbedaan harus selalu ditundukkan kulit sistem kenegaraan bangsa
di bawah keharusan mengutamakan Indonesia. Reformasi berhasil
Solikhin, Islam, Negara dan Perlindungan Hak-Hak 63

menciptakan sebuah pemerintahan cermat mendefinisi-kan makna


yang demokratis, tetapi disisi lain mayoritas dan minoritas dalam
gerakan ini berhasil menghadirkan konteks ini: apakah ia merujuk pada
apa yang menjadi bagian terpenting perbandingan numerik populasi; atau
dalam kuasa, yakni “majority rules” ia merujuk pada dominasi suatu
(kelompok mayoritas menjadi kelompok atas yang lain; atau konsep
penguasa). ini merujuk pada perbedaan etnik,
Ketika mayoritas berkuasa ia agama dan linguistik sebagai missal
melupakan elemen dan prasyarat (Budiman, 2007:13-15).
penting lain yang juga melekat dalam
sistem demokrasi itu sendiri yakni Kesimpulan
“to protect minority and differences” Indonesia dipuji atas keragaman
(memproteksi kelompok minoritas dan toleransi beragamanya, semenjak
dan menghargai perbedaan). era reformasi terbukalah era
Majority rules dan protecting kebebasan yang kian luas di
minority merupakan dua sisi dari Indonesia. Di sisi lain, militansi
koin demokrasi yang tidak dapat agama menguat. Sebagaimana
dipisahkan. Jika salah satunya tidak tulisan ini mengulas, pemerintah
diakui maka yang terjadi adalah tidak menanggapi dengan tegas saat
praktik-praktik otoritarian-isme. intoleransi diungkapkan melalui
Harus diakui bahwa sebagaimana pelanggaran hukum, intimidasi, dan
diungkap oleh Beyer, eksistensi kekerasan, membentuk situasi yang
kelompok mayoritas yang dominan melonggarkan serangan lebih keras.
memberikan warna yang sangat Penganiayaan dan kekerasan secara
kental dalam perumusan hukum langsung terhadap kelompok agama
negara. Dan pada gilirannya, minoritas ditopang infrastruktur
rumusan nilai atau hukum yang hukum di Indonesia atas nama
ekspresi dan bentuknya diambil dari “kerukunan umat beragama,” yang
kelompok ini merupakan fenomena praktiknya justru menggerogoti
umum yang ditemukan di berbagai kebebasan beragama.
belahan dunia. Tentu saja, kita harus
64 Journal of Governance, Desember 2016 Volume 1, No. 2

UUD 1945 dengan tegas menjamin umat penganut agama/keyakinan


kebebasan agama, sebagaimana yang berbeda tetap dalam harmoni,
Kovenan Inter-nasional Hak-hak tidak terjerumus dalam konflik
Sipil dan Politik yang diratifikasi horizontal antar umat yang dapat
Indonesia. Satu analisis menyatakan meruntuhkan persatuan bangsa dan
bahwa pada tingkat aplikasi, perda- keutuhan negara. Selain itu negara
perda syariah telah menimbulkan harus berperan promotif untuk
perasaan tertekan pemeluk agama mengiplemen-tasikan dan
lain (minoritas), dan di sisi lain memajukan nilai-nilai luhur
menimbulkan kesewenang-wenangan universal yang diunggulkan oleh
terhadap masya-rakat. Ibarat rumah, masing-masing agama.
Indonesia telah di-kavling kelompok- Diskusi tentang hak minoritas dan
kelompok dominan di wilayah ter- peran negara sebagai otoritas
tentu. Anggota keluarga yang lain pemegang kekuasaan tertinggi,
memang tidak diusir, namun mereka dengan demikian perlu
diletakan di pojok dan tidak berkutik memperhitungkan bahwa baik
dengan tingkah polah anggota kelompok maupun perbedaan
keluarga (mayoritas) lainnya bukanlah sebuah entitas yang solid
(Suaedy, 2007:35). tanpa rongga untuk berubah.
Negara sebagai lembaga publik Salah satu jebakan politik identitas
yang bersifat inklusif berkewajiban dalam praktiknya di Indonesia
melindungi hak dan kepentingan memberikan dua sisi effect yang
segenap warganya, termasuk hak berbeda. Di satu sisi, secara diskursif
meyakini dan mengamalkan ajaran ia cukup meyakinkan kita tentang
agamanya, tanpa membeda-bedakan keutamaan perjuangan untuk
antara penganut agama yang satu dan melawan ketimpangan representasi,
penganut agama lainnya atau tetapi di satu sisi ia tidak cukup
penganut satu aliran agama dengan meyakinkan dapat memberi solusi
penganut aliran agama lainnya. ketika yang terjadi adalah
Negara harus berperan preventif eksperimen-eksperimen politik untuk
dalam hal menjaga agar relasi antar menghidupkan sovenir sejarah
Solikhin, Islam, Negara dan Perlindungan Hak-Hak 65

menjadi komoditas politik dalam Haryatmoko. (2003). Etika Politik


pasar suara politik demokrasi lokal. dan Kekuasaan. Kompas:
Hal ini yang justru membekukan Jakarta.
kembali identitas menjadi konkret Juergensmeyer, Mark. (2000). Terror
seperti beton, hal yang dari awal in the Mind of God: The
justru hendak dilawan melalui Global Rise of Religious
gerakan-gerakan politik identitas. Violence. Berkeley – Los
Angeles – London:
DAFTAR PUSTAKA University of California
Buku Press.
Asshiddiqie, Jimly. (2008). Kahmad, Dadang. (2006). Sosiologi
Pengantar untuk Pancasila Agama. Rosda Karya:
dan Islam, oleh Erwin Bandung.
Kusuma dan Khairul, ed. Laporan Kerja Human Right Watch.
Jakarta: BAUR Publishing. (2013).“Atas Nama Agama:
Budiman, Hikmat (ed.). (2007). Hak Pelanggaran terhadap
Minoritas: Dilema Minoritas Agama di
Multikultural-isme di Indonesia. The United States
Indonesia. Jakarta: Yayasan of America.
Interseksi. Laporan Kerja Interseksi Foundation.
Barth, William Kurt. 2008. On (2009). Hak Minoritas.
Cultural Rights: The Equality Ethnos, Demos, dan Batas-
of Nations and the Minority batas Multikulturalisme.
Legal Tradition. Leiden- Jakarta: The Interseksi
Boston: Martinus Nijhoff Foundation.
Publishers. Marshall, Paul A. (2008). Religious
Gutmann, Amy. (1994). Freedom in the World,
Multiculturalism. Examining Rowman & Littlefield
the Politics of Publishers.
Recognition. New Jersey:
Princeton University Press.
66 Journal of Governance, Desember 2016 Volume 1, No. 2

Noer, Deliar. (2010). Administration Modern Dictionary of


of Islam in Indonesia. Jakarta: Sociology. New York,
Equinox. Hagerstown, San Francisco,
Poerwadarminta, W.J.S. (2006). London: Barnes & Noble
Kamus Umum Bahas Books.
indonesia Edisi Ketiga. Tim Penulis CSRC UIN Jakarta.
Jakarta: Balai Pustaka. (2011). Islam di Ruang
Sihombing, Uli Parulian. (2008). Publik Politik Identitas dan
Menggugat Bakor Pakem: Masa Depan Demokrasi di
kajian hukum terhadap Indonesia. Jakarta : CSRC
pengawasan agama dan UIN Jakarta.
kepercayaan di Indonesia. Tim Penulis ILRC. (2010). Bukan
Jakarta: Indonesian Legal Jalan Tengah. Jakarta :
Resource Center. ILRC.
Suaedy, Ahmad, dkk. (2007). Vermeulen, Hans. Immigrant Policy
Politisasi Agama dan Konflik for A Multicultural Society. A
Komunal. Jakarta: The Wahid Comparative Study
Institute. of Integration, Language and
Subhi, Muhammad. (2013). Islam Religious Policy in Five
dan Politik Minoritas di European
Indonesia. Makalah countries. Brussels: Migratio
dipresentasikan pada Public n Policy Group, 1997.
Lectur ISIF Cirebon pada 7
Maret 2013.
Theodorson, George A, and Achilles
G. Theodorson, (1979). A
Jurnal Ulamas,” Inside Indonesia,
Jeremy Menchik, “Illiberal but not 26 November 2007
intolerant: Understanding the Martin Van Bruinessen, Gerakan
Indonesian Council of Sempalan di Kalangan Umat
Islam Indonesia: Latar
Solikhin, Islam, Negara dan Perlindungan Hak-Hak 67

Belakang Sosial Budaya.


(Ulumul Qur’an vol. III, No.
1)
Philips J. Vermonte dan Tobias
Basuki, Masalah Intoleransi,
Toleransi dan Kebebasan
Beragama Di Indonesia
(Jurnal Maarif Vol. 7, No. 1 –
Tahun 2012),
Internet
http://www.thejakartapost.com/news/
2012/09/18/ri-refuses-
comply-with-un-human-
rights.html Diakses pada
http://referensi.elsam.or.id/wp-content
/up-
loads/2014/12/DISKRIMINASI-
DAN-KEKERASAN-
TERHADA-AGAMA-
MINORITAS.pdf. Diakses
pada 14:04, 22/09/2016

Anda mungkin juga menyukai