ANALISIS
PENGEMBANGAN
KURIKULUM DAN
PEMBELAJARAN
ANALISIS PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN
Penulis
Muhammad Kristiawan
Editor
Wa chidi
Riyanto
Badeni
Syukri Hamzah
Rudi Chandra
Penerbit
Unit Penerbitan dan Publikasi FKIP Univ. Bengkulu
Gedung Laboratorium Pembelajaran FKIP
Jalan W.R. Supratman, Kandang Limun, Kota Bengkulu 38371A
Telp. (0736) 21186, 0811737956 Fax. (0736) 21186
Laman: fkip.unib.a c.id / unit-penerbitan/ email: uppfkip@unib.a c.id
ISBN: 978-623-7074-29-8
Penulis
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................189
TENTANG PENULIS.................................................................................195
Kurikulum 3
pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap peserta didik serta
bagaimana mengorganisasi pengalaman itu sendiri. Sebagai salah
satu komponen dalam sistem pendidikan, paling tidak kurikulum
memiliki tiga peran, yaitu peran konservatif, kreatif, kritis dan
evaluatif (Gronlund, 1981). Sedangkan pendapat Ornstein &
Hunkins (1988) tentang kurikulum adalah sebuah rencana atau
dokumen tertulis yang memuat strategi untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Konsep ini dipopulerkan oleh Tyler dan Taba
yang merupakan contoh bagaimana tumpang tindihnya antara
definisi dan pendekatan. Kebanyakan penganut aliran behavior
menyetujui definisi kurikulum yang seperti ini. Contohnya Saylor
dan Alexander (1966) mendefinisikan kurikulum sebagai sebuah
rencana yang menyajikan beberapa peluang belajar bagi
seseorang untuk dididik. Ronald (1988) menyatakan bahwa
kurikulum adalah sekumpulan pendidikan formal atau pelatihan
yang terorganisir. Sedangkan Johnson (1968) memandang
kurikulum sebagai rencana pengajaran yang menentukan
pengajaran apa yang penting.
Kurikulum secara luas dapat didefinisikan sebagai
pengalaman peserta didik. Definisi seperti ini banyak dianut oleh
hampir kebanyakan sekolah formal bahkan di luar sekolah.
Definisi ini berawal dari definisi John Dewey mengenai
pengalaman dan pendidikan seperti yang dinyatakan oleh
Caswell dan Campbell dari tahun 1930 (Hyman, 1973) bahwa
kurikulum adalah semua pengalaman yang diperoleh peserta
didik selama berada dalam pengawasan pendidik. Para pakar
aliran Estetika-Humanistik dan pakar kurikulum tingkat Sekolah
Dasar menggunakan definisi bahwa kurikulum adalah
pengalaman yang diperoleh peserta didik selama dalam
pengawasan pendidik dan selama bertahun- tahun definisi ini
diterjemahkan secara luas ke dalam buku-buku
pelajaran sekolah. Brady dan Kenedy (2007) menyatakan bahwa
kurikulum mencakup pengalaman berkelanjutkan peserta didik
yang diperolehnya selama di sekolah.
Kurikulum sebagai bagian dari materi ajar (Matematika,
Ilmu pengetahuan, Bahasa Inggris, Sejarah dan lain-lain).
Penekanan pada sudut pandang ini adalah pada fakta, konsep
dan penyeragaman beberapa subjek tertentu. Sementara itu
George Beauchamp (Ornstein & Hunkins, 1988) menegaskan
bahwa hanya definisi yang mencakup rencana, sistem dan bidang
studi yang dapat mewakili penggunaan kata kurikulum, dan
faktanya para praktisi menggunakan kurikulum yang seperti ini
dalam keseharian, sementara para teoritis jarang
menggunakannya.
Secara garis besar makna kurikulum merupakan
seperangkat pengalaman peserta didik yang berisi tujuan
pembelajaran, materi ajar, strategi pembelajaran dan evaluasi
pembelajaran. Kurikulum juga sebagai refleksi apa yang orang
rasakan, pikirkan, dipercayai dan apa yang dilaksanakan
manusia, kurikulum juga apa yang dipilihkan oleh generasi tua
untuk generasi muda yang isinya bisa sejarah, politik, suku,
kebudayaan, gender, fenomena, estika, etika, ketuhanan dan
internasional. Kurikulum menjadikan generasi berusaha untuk
mencari siapa itu dirinya.
2. Prinsip Fleksibilitas
Kurikulum harus bersifat lentur atau fleksibel. Artinya,
kurikulum itu harus bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi
yang ada. Kurikulum yang kaku atau tidak fleksibel akan sulit
diterapkan. Prinsip fleksibilitas memiliki dua sisi yaitu 1)
fleksibel bagi pendidik, yang artinya kurikulum harus
memberikan ruang gerak bagi pendidik untuk mengembangkan
program pengajarannya sesuai dengan kondisi yang ada; 2)
fleksibel bagi peserta didik, artinya kurikulum harus
menyediakan berbagai kemungkinan program pilihan sesuai
dengan bakat dan minat peserta didik.
3. Prinsip Kontinyuitas
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa perlu dijaga
saling keterkaitan dan kesinambungan antara materi pelajaran
pada berbagai jenjang dan jenis program pendidikan. Prinsip ini
sangat penting bukan hanya untuk menjaga agar tidak terjadi
pengulangan-pengulangan materi pelajaran yang memungkinkan
program pengajaran tidak efektif dan efisien, akan tetapi juga
untuk keberhasilan peserta didik dalam menguasai materi
pelajaran pada jenjang pendidikan tertentu.
4. Prinsip Efektivitas
Prinsip efektivitas berkenaan dengan rencana dalam suatu
kurikulum dapat dilaksanakan dan dapat dicapai dalam kegiatan
belajar mengajar. Terdapat dua sisi efektivitas dalam suatu
pengembangan kurikulum yaitu 1) efektivitas berhubungan
dengan kegiatan pendidik dalam melaksanakan tugas
mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas. Kedua,
efektifitas kegiatan peserta didik dalam melaksanakan kegiatan
belajar. Efektivitas kegiatan pendidik berhubungan dengan
keberhasilan mengimplementasikan program sesuai dengan
perencanaan yang telah disusun. Sedangkan efektivitas kegiatan
peserta didik berhubungan dengan sejauh mana peserta didik
dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan sesuai dengan
jangka waktu tertentu.
5. Prinsip Efisiensi
Prinsip efisiensi berhubungan dengan perbandingan antara
tenaga, waktu, suara, dan biaya yang dikeluarkan dengan hasil
yang diperoleh. Betapapun bagus dan idealnya suatu kurikulum,
manakala menuntut peralatan, sarana dan prasarana yang sangat
khusus serta mahal pula harganya, maka kurikulum itu tidak
praktis dan sukar untuk dilaksanakan.
3. Pendidik
Pendidik dalam kurikulum berada pada sayap yang
berbeda, mereka adalah profesional. Pelatihan-pelatihan mereka
membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang
kemungkinan besar mengembangkan mereka menjadi akademisi
daripada vokasional, mengembangkan mereka menjadi teoritisi
bukan praktisi dan menjadi orang yang berbeda bukan relevan.
Di satu sisi, pendidik hanya menerapkan pedoman kurikulum
yang mengatur sekolah. Namun yang lebih penting mereka
menginterpretasi dan menambah dimensi pedagogis yang
menciptakan pengalaman kurikulum harian peserta didik (RPP).
Pendidik juga berperan sebagai mediator dari kurikulum.
4. Kelompok Individu
Kelompok individu juga memiliki kepentingan khusus
pada kurikulum sekolah. Di Australia misalnya, sekarang diakui
kurikulum khusus untuk kebutuhan anak perempuan, kebutuhan
orang Aborigin dan Selat Tores, kebutuhan penyandang cacat,
kebutuhan orang dari latar belakang berbahasa non-Inggris, dan
kebutuhan bagi peserta didik yang hidup dalam kemiskinan dan
terisolasi secara geografis, atau 3T kalau di Indonesia. Masing-
masing kelompok mempunyai kepentingan khusus yang tidak
dapat dipenuhi dengan asumsi bahwa setiap orang adalah sama.
Kurikulum harus memenuhi perbedaan dan menunjukkan
bagaimana perbedaan tersebut dapat dihargai.
5. Pemerintah
Pemerintah memiliki kepentingan yang besar meskipun
tidak secara ekonomi eksklusif. Pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan merupakan fokus perhatian pemerintah.
Kurikulum sekolah akan menentukan pengetahuan dan
keterampilan warga Negara di masa depan yang memilki
kapasitas untuk dapat berkontribusi pada perekonomian Negara
secara produktif. Pada umumnya Negara demokratis ingin
melihat suatu komunitas yang kohesif, melek politik, budaya
canggih atau melek digital dan teknologi, toleran dan adil.
Kurikulum sekolah hendaknya dapat berkontribusi untuk
mewujudkannya.
6. Komunitas Bisnis
Komunitas bisnis banyak ikut andil dalam kepentingan
ekonomi pemerintah. Pebisnis harus produktif dan sejahtera,
mereka membutuhkan pekerja yang handal, berhitung dan
terampil dalam berbagai cara. Sementara pelaku bisnis mampu
memberikan banyak pelatihan sendiri, mereka juga harus
bergantung pada orang muda lulusan dari sekolah untuk
memasok berbagai bakat dan keterampilan yang mereka
butuhkan.
Landasan Kurikulum 19
Asumsi-asumsi filosofis tentang hakikat hidup yang baik
memiliki peran yang berarti dalam menentukan bagaimana kita
hidup. Filsafat bukanlah kegiatan yang baru lahir tetapi telah
ada sejak manusia pertama kali mengenal kebutuhan untuk
mengkonstruksi pengetahuan yang akan membuat mereka
mampu membuat keputusan yang bijak. Kebutuhan akan
pengetahuan sebagai panduan untuk membuat keputusan yang
bijak itu telah menuntun para pendahulu kita untuk mencarinya
dari para nabi, orang bijaksana, dan peramal. Seiring perjalanan
waktu, cara kita untuk mencari pengetahuan dan bentuk
pengetahuan telah berubah. Namun, pengetahuan belum mampu
memecahkan dilema tentang keputusan yang bijak dalam banyak
bidang kehidupan. Filsafatlah yang memberi pengetahuan yang
membantu kita membuat keputusan yang bijak. Keputusan yang
bijak menyiratkan hasil yang diharapkan, yaitu hasil yang
seharusnya.
Banyak filosof mendefinisikan filsafat hanya sebagai
“pencarian pengetahuan untuk kebaikan”, di mana yang baik itu
mencakup setiap atau semua prinsip, tindakan, aturan, konsep,
dan tujuan yang mempertinggi kualitas pengalaman kita (Zais,
1976). Pengetahuan yang mewakili ‘master plan’ untuk membuat
keputusan yang bijaksana dalam hidup dapat dianggap sebagai
filsafat dan individu yang mengadopsi ‘master plan’ itu disebut
sudah memperoleh ‘filsafat hidup’. Jadi, yang dimaksud dengan
“kebijaksanaan” sebagaimana digunakan di awal tulisan ini
adalah “pengetahuan tentang kebaikan”. Filsafat ada yang
dibentuk oleh budaya dan ada pula yang dikembangkan oleh
filosof.
1) Koneksionisme
Seorang Amerika (Edward Thondike) melakukan
percobaan tentang ide Stimulus-Respon (pengkondisian
klasik). Di Harvard, Thorndike melakukan percobaanya
dengan binatang dan menghasilkan hubungan
yang komplek dari perilaku binatang tersebut. Ia
mendefinisikan belajar sebagai pembentukan kebiasaan
dan mengajar sebagai pengatur kelas untuk
meningkatkan hubungan yang diharapkan sebagai
ikatan. Thorndike mengembangkan tiga hukum belajar
yang utama yaitu hukum kesiapan, ketika satuan kondisi
siap bertindak, maka bertindak akan menyenangkan dan
tidak bertindak menjadi menyebalkan. Maksudnya,
sebelum belajar harus
siap mengingat antara materi sebelumnya dengan
materi sekarang; hukum Latihan, diperkuat sebanding
dengan banyak kalinya perulangan, sebanding dengan
intensitas dan durasinya. Maksudnya, peserta didik
belajar melalui latihan dan mendapat hasil belajar
melalui latihan; hukum pengaruh dan respon, yang
disertai kepuasan untuk memperkuat hubungan
sebaliknya respon yang disertai ketidaksenangan akan
melemahkan koneksi. Maksudnya, hsil belajar akan
mendapatkan reward (penghargaan) atau punishment
(hukuman).
Hukum Kesiapan menyatakan bahwa bila susunan
syaraf sudah siap untuk bertindak, maka ia akan
mengarah pada keadaan menyenangkan, ini disalah
artikan oleh sebagian pendidik sebagai kesiapan
mengikuti pendidikan. Hukum Latihan memberikan
pembenaran pada latihan, pengulangan, tinjauan dan
sekarang diterapkan pada pendekatan pembelajaran
keterampilan dasar dan modifikasi prilaku. Hukum
effect dari Thorndike, membenarkan teori penghargaan
dan hukuman yang telah diterapkan di sekolah berabad-
abad sebelumnya. Model prilaku operant (instrumen)
menurut B.F. Skinner adalah pembelajaran terprogram,
dan ide-ide baru yang didasarkan pada pengalaman
yang menyenangkan serta penguatan dalam bentuk
umpan balik. Thorndike meyakini bahwa prilaku lebih
dipengaruhi oleh kondisi belajar; sikap dan kemampuan
pelajar bisa berubah (meningkat) seiring waktu melalui
stimulus (ransangan) yang tepat; pengalaman belajar
dapat dirancang dan dikontrol; dan perlu memilih
stimulus yang tepat atau pengalaman belajar yang
terintegrasi dan konsisten serta
saling menguatkan. Menurut Thorndike kemampuan
meningkatkan pikiran sama bagi semua orang, dan
belajar adalah perkara menghubungkan yang baru
dengan yang lama. Jadi, psikologi disiplin mental
mendapat tantangan dari teori ini dan tidak ada lagi
hirarki mata pelajaran.
Walaupun teori koneksi tidak lagi sepopuler dulu,
praktik- praktik yang terkait dengannya tetap berlanjut
dengan label baru. Model belajar Thorndike memiliki
pengaruh langsung sampai saat ini, dan banyak
asumsinya yang terkait dengan belajar masih terbukti
benar.
b) Program Pembelajaran
Belajar terprogram memberikan pendekatan
langkah demi langkah terhadap belajar dengan
penguatan langsung, sering, dan teratur, yang
mendorong stimulus-respon berkelanjutan secara
efektif.
b. Behaviorisme dan Kurikulum
Behaviorisme memiliki dampak besar pada pendidikan.
Pendidik yang menganut paham behaviorisme dan terkait
dengan kurikulum menggunakan prinsip-prinsip prilaku
untuk membimbing penciptaan program baru, seperti
membangun pengalaman positif yang dimiliki peserta didik
ketika memperkenalkan topik atau kegiatan baru. Para
behavioris percaya bahwa kurikulum harus disusun
sehingga peserta didik mengalami kesuksesan dalam
menguasai mata pelajaran dan ini sangat preskriptif
(menentukan) dan diagnostik (mempunyai dasar) dalam
pendekatan serta percaya pada metode belajar terstruktur
tahap demi tahap. Untuk peserta didik yang mengalami
kesulitan belajar, kurikulum dan pembelajaran dipecah-
pecah menjadi satuan- satuan kecil dengan tugas yang sesuai
dengan perilaku yang diharapkan. Teori perilaku ini terus
hidup dan berhubungan dengan banyak bagian dari praktik
bidang pendidikan dan berdampak pada kelas dan sekolah.
Sebagian besar aplikasi teori psikologi sekarang ini yang
berlangsung di sekolah menggunakan pendekatan behavior.
Konsep dari sasaran tingkah laku dan perubahan berada
pada semua tingkat pendidikan.
Behaviorisme terus hidup dan berkembang sehingga sekarang
terbukti dalam teori, prinsip, atau kecendrungan yang terkait
dengan 1) tujuan prilaku dalam menulis, menilai, belajar, dan
evaluasi; 2) program latihan ketrampilan dasar dalam bahasa
dan membaca; 3) pendidikan individual; 4) rancangan
pembelajaran atau model rancangan sistem; 5) program
pelatihan pendidik; 6) teknologi pendidikan, dan 7) program
perencanaan dan evaluasi. Pendekatan prilaku dan program-
program behaviorisme adalah
1) mengatasi permasalahan pembelajaran dan meningkatkan
kemajuan pembelajaran; 2) sasaran pengajaran untuk jangka
panjang maupun jangka menengah dirumuskan dengan baik; 3)
menyesuaikan materi pengajaran dan media pengajaran yang
singkron dengan peserta didik; 4) penentuan tugas, aktivitas
langkah demi langkah dan pemberian penguatan positif; dan 5)
mendiagnosa kembali kebutuhan pelajar, sasaran, aktifitas, tugas
dan perintah. Empat prinsip prilaku antara laian 1) waktu untuk
mengerjakan tugas tergantung pada kemampuan pembelajar
untuk menguasai belajar; 2) pengulangan adalah praktik dan
latihan dihubungkan dengan pemancingan respon yang benar;
3) penguatan adalah belajar diperkuat bila didasarkan pada
pelajaran sebelumnya; dan 4) pembentukan yaitu prilaku
tentang belajar lebih mudah diperoleh melalui aproksimasi
suksesif (serangkaian respon yang makin mendekati prilaku
yang diharapkan).
c. Perkembangan Pengetahuan (Kognitif)
Sekarang kebanyakan ahli psikologi mengelompokkan
pertumbuhan dan perkembangan manusia menjadi
pengetahuan, sosial, psikologis, dan fisik dan mereka
percaya bahwa belajar di sekolah merupakan bentuk dari
pengetahuan. Pertumbuhan dan perkembangannya mengacu
pada perubahan dalam struktur dan fungsi karakteristik
manusia. Perubahan adalah hasil interaksi antara potensi
bawaan dengan lingkungan.
1) Teori Gestalt
Ide-ide ahli fenomenologi berakar dari teori-teori
lapangan yang memandang organisme total dalam
hubungan dengan lingkungan, atau apa yang disebut
“lapangan”, dan persepsi peserta didik tentang
lingkungan. Teori lapangan diturunkan dari psikologi
Gestalt tahun 1930-an dan 1940-an. Kata Gestalt
(bahasa Jerman) berkonotasi dengan rupa, bentuk, dan
konfigurasi. Dalam konteks ini stimulus dipahami
hubungan dengan yang lain dalam satu lapangan. Apa
yang dipahami seseorang akan menentukan makna yang
dia berikan pada lapangan, begitu juga solusi seseorang
terhadap satu masalah tergantung pada pengenalannya
terhadap hubungan antara stimulus dan
keseluruhannya. Inilah yang dianggap sebagai hubungan
berdasarkan lapangan (field-ground relationship). Jadi,
faktor yang penting dalam belajar adalah
menstrukturisasi dan merestrukturisasi hubungan-
hubungan lapangan untuk membentuk pola-pola yang
selalu berubah. Atas dasar ini, belajar menjadi
kompleks dan abstrak. Ahli kurikulum harus memahami
bahwa pembelajar memahami sesuatu dalam
hubungannya dengan yang lain-lain dalam suatu
keseluruhan, dan apa yang mereka pahami terkait
dengan pengalaman mereka sebelumnya (Ornstein &
Hunkins, 1988).
4) Klarifikasi Nilai
Klarifikasi nilai kadang-kadang disebut juga membangun
nilai, adalah bagian dari proses belajar pendidik. Ahli
klarifikasi nilai sangat menghargai kreativitas,
kebebasan, dan realisasi diri. Mereka lebih menyukai
peserta didik yang mengekplorasi sendiri keinginan-
keinginan mereka dan membuat pilihan-pilihan mereka.
Nilai yang dianut seseorang tergantung pada banyak
faktor, termasuk
lingkungan, pendidikan, dan kepribadian. Klarifikasi
nilai dirancang untuk membantu orang mengatasi
kebingungan nilai (dengan gejala apatis, tidak yakin,
tidak konsisten) sehingga menjadi lebih positif,
bertujuan, dan produktif, serta memiliki hubungan
antarpribadi yang makin baik.
Louis Raths dan kawan-kawannya menguraikan
proses memberi nilai, memilih dengan bebas, memilih
dari berbagai alternatif, memilih dengan bijaksana,
menghargai, meyakini, bertindak atas pilihan, dan
mengulang sebagai pola hidup. Ada banyak cara
mengajarkan nilai, yang pertama adalah menanamkan
(inculcation), yaitu mengajarkan nilai-nilai yang
diterima dengan dukungan hukum adat; kedua adalah
membangun moral, yaitu memperjelas prinsip-prinsip
moral dan etika serta aplikasinya; ketiga ialah analisis
isu dan situasi yang melibatkan nilai; keempat adalah
klarifikasi, metode yang ditekankan Raths; dan yang
kelima adalah belajar bertindak, yaitu mencobakan dan
menguji nilai-nilai dalam situasi kehidupan nyata.
Pendekatan yang digunakan oleh Abraham Maslow dan
Carl Rogers ini bisa diuraikan sebagai evokasi, yaitu
membangkitkan nilai-nilai pribadi pembelajar dan
kemampuan membuat pilihan dan menjadi aktualisasi
diri. Walaupun penekanannya pada sikap dan perasaan
serta proses manusiawi, komponen kognitif tetap ada
dalam klarifkasi nilai.
a) Keterbatasan Fisiologis
Secara genetika dan fisiologis, manusia dibatasi
kemampuan untuk melihat dunia sekelilingnya.
Umpama, manusia hanya mampu mendengar suara
antara 20 – 20.000 saikel per detik, di luar skala ini
dia tidak mendengar apa-apa. Kemampuan melihat
hanya 1/70 dari keseluruhan panjang gelombang
cahaya. Kemampuan mencium dan mencicipi
manusia sangat jelek. Oleh karena itu manusia
memandang dunia ini seperti seperangkat indera
fisiologisnya yang diyakininya sangat akurat,
padahal sebenarnya hanya benar menurut
pandangan manusia itu saja.
b) Keterbatasan Psikologis
Banyak sekali fakta-fakta psikologis yang membuat
manusia terkurung dalam kapsulnya, dalam kajian
kurikulum, kita hanya mengambil beberapa hal yang
sangat penting saja dari Zais (1976) (1) kemampuan
manusia untuk belajar dan berpikir sangat terbatas.
Umpamanya, daya ingat manusia sangat terbatas
sehingga lupa sangat cepat dari pada mengingat.
Sebagian besar orang tidak dapat mengulang 10
angka yang telah didiktekan kepada mereka; (2)
kemampuan manusia mengkonsepsikan ide-ide
yang abstrak dan mengaitkan ide-ide tersebut
sangat terbatas, seperti banyaknya orang yang
lemah memahami konsep-konsep abstrak seperti
terdapat dalam mata pelajaran Matematika, dan
kesulitan banyak orang untuk memahami metafor
yang terdapat dalam karya-karya susastera; dan (3)
banyak orang yang berpikir irasional, walau
berpikir rasional merupakan “merek”nya manusia
saja, dan tidak dimiliki oleh makluk lain.
Di samping itu peneliti, terutama Abraham Maslow
menemukan adanya motivasi yang mendorong manusia
bertingkah laku tertentu (Zais, 1976). Menurut Maslow,
fisiologis manusia membutuhkan gizi dasar seperti
protein, vitamin C, kalsium dan seterusnya. Demikian
juga memerlukan kepuasan psikologis utama untuk
dapat hidup normal. Kalau kepuasan itu tidak terpenuhi
akan menimbulkan kejiwaan atau neorosis. Kebutuhan
psikologis utama tersebut, menurut urutan potensinya,
adalah (1) rasa aman; (2) cinta & rasa memiliki; dan (3)
rasa hormat dan harga diri. Ketiga kebutuhan ini pada
dasarnya tidak disadari dan kalau tidak dipenuhi
tingkah laku manusia didominasi oleh usaha untuk
memenuhinya. Maslow menamakan tingkah laku ini
tingkah laku kurang motivasi, deficiency-motivated.
Orang yang normal merasa puas sebab terpenuhinya
kebutuhan akan rasa aman, rasa dicintai dan rasa dihargai.
Keadaan ini membuatnya optimis dan bermotivasi untuk
berkembang (growth motivated). Orang ini yang
cenderung melihat lingkungan secara lebih objektif
daripada orang yang kebutuhan psikologisnya tidak
terpenuhi.
Antara rentangan kedua kutub yang berlainan ini
(neurosis dan puas diri), terbentang spektrum tingkat-
tingkat kesehatan psikologis. Jumlah penderita
gangguan jiwa tidak begitu banyak di masyarakat.
Jumlah orang yang benar-benar sehat, yaitu yang puas
diri, jauh lebih sedikit. Artinya, sebagian besar manusia,
menurut teori Maslow, dengan variasi yang berbeda-
beda adalah penderita dorongan tidak disadari itu.
Persepsi mereka kurang akurat, dan kalau mereka
mengambil keputusan cenderung berdasarkan kata-kata
yang kurang lengkap atau yang tidak benar. Dengan
perkataan lain, sebagian besar manusia berada dalam
enkapsulasi, disebabkan terutama oleh kebutuhan
pokok yang tidak dipenuhi, walau kita mengakui bahwa
kita baik-baik saja.
Untuk lebih memahami dinamika tingkah laku orang
menderita kekurangan motivasi dengan orang yang
tingkah laku bermotivasi, Maslow membandingkan ciri-
ciri tingkah laku manusia itu dalam 13 butir. Dalam
kaitannya dengan enkapsulasi yang di bicarakan diatas,
kita mengutip 4 butir saja dari lima butir yang dikutip
Zais (1976), sebagai berikut.
5. Struktur Budaya
Linton mengklasilikasikan elemen budaya menjadi 3
katagori utama yaitu yang bersifat universal, khusus, dan
alternatif. Struktur kebudayaan universal adalah semua nilai-
nilai kepercayaan dan adat istiadat yang dianut oleh semua
anggota masyarakat dewasa. Misalnya beberapa macam
kebiasaan pada daerah tertentu, tentang penggunaan bahasa,
jenis makanan, kepercayaan dan system ekonomi yang dipakai.
Tentu saja beberapa variasi akan timbul dan pada hal-hal
tertentu mungkin dapat menimbulkan sanksi bagi hal-hal yang
dianggap tabu. Kadang-kadang sanksi ini bisa menjadi brutal
atas penyimpangan yang dilakukan pada elemen universal.
Struktur kebudayaan khusus mencakup aspek-aspek
kebudayaan yang ditemukan hanya pada subkelompok dari
sebuah masyarakat. Subkelompok masyarakat ini berkaitan
dengan lingkungan kerja anggota masyarakat, nilai-nilai yang
dianutnya, adat istiadat, agama atau kepercayaan tertentu yang
berbeda dengan tingkah laku, nilai, makanan, agama dari orang-
orang dari kelompok etnik yang berbeda. Klasifikasi aspek
kebudayaan khusus ini dapat juga berkaitan dengan tingkat kelas
sosial (tinggi, menengah, rendah) atau jenis kelamin (pria dan
wanita) atau umur (anak, pemuda dewasa dan lainnya). Tentu
saja bisa terjadi cara berpikir, tingkah laku, nilai-nilai tertentu
overlap dengan cara berpikir, tingkah laku atau nilai dari
subgroup lainnya.
Struktur kebudayaan alternatif adalah aspek kepercayaan
dan tingkah laku masyarakat tertentu yang berlainan atau
bahkan bertentangan dengan norma-norma umum yang berlaku
di masyarakat yaitu yang universal dan khusus. Hal ini timbul
dalam usaha mencoba mengisi kebutuhan, memecahkan masalah
atau penyesuaian dari kenyataan yang ada. Jadi, elemen
alternatif ini adalah bahwa ia berbeda dari universal dan khusus,
karena elemen alternatif ini menawarkan pada anggotanya suatu
pilihan baru (New Morality). Elemen kebudayaan ini mempunyai
persamaan dengan elemen khusus karena elemen-elemen itu
berbeda dengan universal. Misalnya ditemukan bahasa-bahasa
khusus diantara anak muda.
Pada dasarnya kurikulum disusun dan dikembangkan untuk
mengintervensi kehidupan anak sedemikian rupa agar mereka
menjadi "seseorang" yang tanpa kurikulum tidak menjadi orang
yang diinginkan. Demi maksud tersebut terasa penting bagi
perancang kurikulum untuk memahami benar kebudayaan
universal dan khusus dan membandingkannya dengan segala
bentuk kebudayaan alternatif.
Sering ditemui saat ini adalah kurikulum disusun serta
diimplementasikan untuk mentrasfer nilai-nilai kebudayaan
yang ada seefisien mungkin kepada anak didik tanpa
mengevaluasi apakah nilai tersebut relevan dengan masa kini
dan masa depan yang berubah cepat. Praktik seperti ini pada
hakikatnya tidak berbeda dengan indoktrinasi. Sedangkan untuk
mendidik diperlukan kurikulum yang membuka lebar-lebar
kesempatan untuk mengkaji, serta mengevaluasi aspek-aspek
kebudayaan yang universal dan yang khusus dalam kaitannya
dengan aspek- aspek kebudayaan alternatif yang diinginkan bagi
pertumbuhan anak didik itu sendiri.
6. Kebudayaan dan Nilai
Seperti kita ketahui bahwa kebudayaan menentukan
pandangan, tata cara hidup dan tingkah laku masyarakat, yang
merupakan tata cara hidup yang lebih dapat diterima dan lebih
baik dari tata cara hidup lain. Oleh karena itu, kita dapat melihat
kebudayaan sebagai sesuatu yang penuh muatan nilai. la
membuat masyarakat dapat menentukan perbuatan yang baik
dan yang buruk, yang indah dan yang jelek, yang boleh dilakukan
dan yang tidak boleh dilakukan.
Seperti juga konsep kebudayaan maka nilai adalah konsep
yang juga rumit. Kesulitan terbesar terletak pada area penafsiran
yang akurat terhadap nilai yang dianut oleh individu maupun
masyarakat sebagaimana yang dipertanyakan oleh Van Cleve
Morris, bagaimana menentukan nilai-nilai yang dianut oleh
seseorang dengan kenyataan nilai-nilai yang dilaksanakannya.
Salah satu jawaban yang ditawarkan oleh Charles Morris dengan
membedakan antara conceived values (nilai yang dipikir orang,
yang mereka percayai) dengan operative values (nilai-nilai yang
tersirat dari perilaku mereka). Umumnya pada masyarakat akan
ditemui discrepancy antara apa yang dinilaikan dengan apa yang
dilaksanakan (action speaks louder than words).
Beberapa keputusan perihal kurikulum harus
mempertimbangkan setting sosial, khususnya hubungan antar
sekolah dan masyarakat serta pengaruhnya terhadap keputusan-
keputusan kurikulum tersebut. Kecerdasan sosial perlu bagi
perancang dan pengembang kurikulum dewasa ini.
Sesungguhnya para pembuat kurikulum perlu
mempertimbangkan dan menggunakan pondasi sosial guna
merencanakan dan mengembangkan kurikulum. Dalam banyak
teks kurikulum, pertimbangan terhadap dasar sosial sering
mengarah pada
diskusi antara sekolah dan masyarakat, dan diskusi antar
individu, implikasi-implikasi sosial dari ilmu dan perubahan,
serta tujuan pendidikan, sebagai contoh hal-hal seperti isu yang
berkaitan dengan pendidikan kompensasi, pendidikan bilingual
dan multilingual, pendidikan sex, pendidikan orang cacat,
pendidikan global dan pemahamannya terhadap masa depan.
Komponen Kurikulum 87
berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi; dan 3) survival
yaitu memberikan pemahaman akan saling ketergantungan
antara manusia.
Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan
bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan
menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum
pendidikan yaitu 1) tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan
dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut; 2) tujuan pendidikan menengah adalah
meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak
mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut; dan 3) tujuan pendidikan menengah
kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan
kejuruannya.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh tujuan kurikuler
yang berkaitan dengan pembelajaran ekonomi, sebagaimana
diisyaratkan dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2007 tentang
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar 1) tujuan Mata
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP/MTS yaitu mengenal
konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dan lingkungannya, memiliki kemampuan dasar untuk berpikir
logis dan kritis, rasa ingin tahu, inquiry, memecahkan masalah,
dan keterampilan dalam kehidupan social, memiliki komitmen dan
kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, dan memiliki
kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam
masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global; 2)
tujuan Mata Pelajaran Ekonomi di SMA yaitu memahami sejumlah
konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa dan masalah
ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi
dilingkungan individu, rumah tangga, masyarakat, dan Negara,
menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep ekonomi
yang diperlukan untuk mendalami ilmu ekonomi, membentuk sikap
bijak, rasional dan bertanggungjawab dengan memiliki pengetahuan
dan keterampilan ilmu ekonomi, manajemen, dan akuntansi yang
bermanfaat bagi diri sendiri, rumah tangga, masyarakat, dan
Negara, dan membuat keputusan yang bertanggungjawab mengenai
nilai- nilai sosial ekonomi dalam masyarakat yang majemuk, baik
dalam skala nasional maupun internasional; 3) tujuan Mata
Pelajaran Kewirausahaan pada SMK/MAK yaitu memahami dunia
usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di
lingkungan masyarakat, berwirausaha dalam bidangnya,
menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya, dan
mengaktualisasikan sikap dan perilaku wirausaha; dan 4) tujuan
Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMK/MAK yaitu
memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dan lingkungannya, berpikir logis dan kritis, rasa ingin
tahu, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan
sosial, berkomitmen terhadap nilai- nilai sosial dan kemanusiaan,
dan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam
masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional, dan global.
Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional
sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak
dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan
dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran.
Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang
lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran dari setiap mata pelajaran. Pada tingkat
operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat
spesifik dan
lebih menggambarkan tentang “what will the student be able
to do as result of the teaching that he was unable to do before”
(Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan
tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan
perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui
proses pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka
perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam aspek
kognitif, afektif dan psikomotor. Lebih jauh lagi, Sukmadinata
(1997) memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin
dicapai pada tujuan pembelajaran, yaitu 1) menggambarkan apa
yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan a)
menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang
dapat diamati;
b) menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta
didik; dan c) memberikan pengkhususan tentang sumber-
sumber yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang
yang dapat diajak bekerja sama; 2) menunjukkan perilaku yang
diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk a)
ketepatan atau ketelitian respons; b) kecepatan, panjangnya dan
frekuensi respons; dan 3) menggambarkan kondisi-kondisi atau
lingkungan yang menunjang perilaku peserta didik berupa a)
kondisi atau lingkungan fisik; dan b) kondisi atau lingkungan
psikologis.
Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti
yang sangat penting. Keberhasilan pencapaian tujuan
pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan
tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya. Terlepas dari
rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum
sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika
kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat
klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai
pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak
diarahkan pada pencapaian penguasaan
materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan
aspek intelektual atau aspek kognitif.
Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan
filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan
pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan
aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya
pengembangan aspek afektif. Pengembangan kurikulum dengan
menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar
utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada
upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan
bekerja sama. Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan
menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori
pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan
pada pencapaian kompetensi.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan
pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh
dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-
tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat,
teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara
konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir
tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks
sering digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal
yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang
ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih
diusahakan secara berimbang. Zais (1976) menyebutkan anak
itu didik bukan jadi ilmuan tetapi menjadi warga yang baik.
6. Model-Model Evaluasi
a. Evaluasi Intrinsik dan Evaluasi Hasil
FDMichael Scriven sebagai pelopor dari teori evaluasi ini
menyatakan bahwa kriterianya tidak diformulasikan dalam
operasionalnya, kriteria evaluasi merujuk pada kurikulum itu
sendiri. Mengevaluasi kurikulum dengan pendekatan intrinsik
ini perlu diperhatikan; tujuan pendidikan dan tipe-tipe materi
yang akan dipergunakan. Jika rencana kurikulum mempunyai isi
yang kuat dan akurat dari organisasi tertentu maka kurikulum
itu akan efektif membangkitkan peserta didik dalam belajar.
Nilai dasar kurikulum yang telah dievaluasi perlu diuji terlebih
dahulu sebelum disampaikan. Dalam melakukan evaluasi hasil
harus memperhatikan dampaknya terhadap peserta didik,
pendidik, orang tua, dan tenaga administrator sekolah.
materi.
1) Desain
Desain meliputi desain program dengan standar desain.
Program diuji untuk menentukan apakah benar sesuai
dengan jangka waktu, sumber, materi dan lainnya. Semua
ketidaksesuaian yang ada dalam desain program dan
standar dilaporkan kepada pengambil keputusan dan
harus memutuskan antara memutuskan dan membatalkan,
merevisi atau menerima.
2) Pemasangan
Pelaksanaan program seharusnya dibandingkan
dengan pemasangan standar atau kriteria yang benar.
Karakteristik program dievaluasi, termasuk fasilitas,
media, metode, kemampuan peserta didik dan
kualifikasi staf, ketidaksesuaian antara program dan
kriteria dicatat dan dilaporkan kepada pengambil
keputusan untuk mengambil langkah-langkah yang
tepat.
3) Proses
Proses program harus dievaluasi termasuk peserta
didik dan aktivitas staf, fungsi dan komunikasinya,
jika prosesnya kurang tepat, maka dilaporkan kepada
pengambil keputusan yang bertanggung jawab.
4) Produk
Implikasi secara keseluruhan program dievaluasi dalam
kaitannya dengan tujuan. Peserta didik dan staff produk,
seperti halnya produk berhubungan dengan masyarakat
dan sekolah itu. Informasi yang diperoleh akan
membantu pembuat keputusan tentang program harus
dilanjutkan, diakhiri, atau dimodifikasi.
5) Biaya
Produk-produk program harus dievaluasi dari segi
biaya, keuntungan, bahkan bukan saja dari segi uang
tetapi juga medan dan waktu yang tersirat jawabannya
dan mempunyai implikasi ekonomi, social dan politik.
Provous mengatakan bahwa rencana evaluasi ini dapat
digunakan membuat evaluasi program terus menerus
dalam semua tindakan. Dari perencanaan sampai kepada
implementasinya. Hal ini dapat dilaksanakan pada
tingkat wilayah, regional, dan bahkan nasional.
KEPUTUSAN
INSTRUMEN
TINDAK LANJUT
Sodikun, M.Pd.
Gambar 3. Konsep Dasar Evaluasi
Evaluation
Learning Experience
Content
Learning Organization
Berpusat pada
Lingkungan Berpusat pada peserta
pendidik didik
Aktivitas
Pendidik sebagai peserta didik sebagai
kelas
sentral dan bersifat sentral dan bersifat
didaktis interaktif
Peran
Menyampaikan Kolaboratif, kadang-
pendidik
fakta-fakta, pendidik kadang peserta didik
sebagai ahli sebagai ahli
Penekanan
Mengingat fakta-fakta Hubungan antara
pengajaran
informasi dan temuan
Konsep
Akumulasi fakta Transformasi fakta-fakta
pengetahuan
secara kuantitas
Penampilan
keberhasilan Penilaian acuan Kuantitas pemahaman,
norma penilaian acuan patokan
Penilaian Soal-soal pilihan
Protofolio, pemecahan
ganda
masalah, dan penampilan
Penggunaan
Latihan dan praktik Komunikasi, akses,
teknologi
kolaborasi, ekspresi
4. Budaya Kolaboratif
Budaya perlunya melakukan kolaborasi merupakan
prasyarat untuk melakukan perubahan. Tujuan utamanya adalah
1) mendorong kesempatan untuk belajar, kolaborasi
menyediakan pendidik dengan lebih banyak kesempatan untuk
belajar dari satu sama lainnya, baik dengan mengamati mengajar
satu sama lain atau dengan berbagi pengetahuan melalui kerja
kolegial demi perubahan; 2) meningkatkan efektivitas pendidik;
3) merespon perubahan, kolaborasi memungkinkan respon
tuntutan perubahan, karena melibatkan pengalaman dan
keahlian kolektif dari kelompok besar; 4) mendorong
peningkatan kualitas sekolah yang berkesinambungan,
kolaborasi mempromosikan kesempatan untuk belajar,
meningkatkan efektivitas pendidik, dan meningkatkan daya
tanggap terhadap perubahan, mendorong pandangan bahwa
perbaikan sekolah merupakan proses yang berkesinambungan
bukan peristiwa sesaat; 5) mengurangi beban kerja, kolaborasi
mengurangi beban kerja karena komitmen bersama, bukan
tanggung jawab yang harus dilakukan oleh seorang pendidik
individu; 6) menciptakan keyakinan profesional, karena
kolaborasi mengurangi kecemasan dan ketidakpastian.
Jika kolaborasi tersebut begitu kaya manfaat dan diklaim
sebagai syarat untuk perubahan, apa sebenarnya kolaborasi itu?
Kolaborasi menyiratkan adanya ketergantungan kuat, komitmen
kolektif dan tanggung jawab bersama, dan mungkin saja
melibatkan tim pengajaran, pengamatan pelajaran masing-
masing, perencanaan, tindakan penelitian dan pemantauan
bersama. Walaupun banyak manfaat yang diperoleh dari
kolaborasi tersebut, Fullan dan Hargreaves (1991)
mengingatkan bahwa kolaborasi juga bisa berbahaya karena
membuat 1) nyaman dan puas dapat mengkonsolidasikan
bukannya menantang status quo;
2) konformis penekanan pada pemikiran kelompok, yang dengan
demikian mengurangi individualitas dan kreativitas; 3)
menyusun pengembangan kerjasama menjadi sebuah perangkat
administrasi yang paradoks; dan 4) menggunakan kooptasi
kolaborasi sebagai taktik politik untuk memperoleh dukungan
pendidik dan komitmen untuk inisiatif perubahan.
3. Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis mengganti
Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde
Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati.
Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi
pelajaran kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar,
dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9. Djauzak
menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. Hanya
memuat mata pelajaran pokok-pokok saja, katanya. Muatan
materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan
permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi
apa saja yang tepat diberikan kepada peserta didik di setiap
jenjang pendidikan.
4. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan
lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh
konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by
objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi,
Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi, dan
tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”,
yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan
pelajaran dirinci lagi, petunjuk umum, tujuan instruksional khusus
(TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar,
dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Pendidik dibikin
sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran.
5. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski
mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap
penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang
disempurnakan”. Posisi peserta didik ditempatkan sebagai subjek
belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan,
hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar peserta didik Aktif
(CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh penting dibalik
lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan,
Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga
Rektor IKIP Jakarta-sekarang Universitas Negeri Jakarta periode
1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus
hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak
deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya,
banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat
adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran peserta didik
berdiskusi, di sana-sini
ada tempelan gambar, dan yang menyolok pendidik tak lagi mengajar
model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
9. Kurikulum 2013
Alasan pentingnya pengembangan ke Kurikulum 2013
adalah karena ada tantangan masa depan yaitu 1) Globalisasi:
WTO, ASEAN Community, APEC, CAFTA; 2) masalah lingkungan
hidup; 3) kemajuan teknologi informasi; 4) konvergensi ilmu
dan teknologi; 5) ekonomi berbasis pengetahuan; 6) kebangkitan
industri kreatif dan budaya; 7) pergeseran kekuatan ekonomi
dunia; 8) PENGARUH dan imbas teknosains; 9) Mutu, investasi
dan transformasi pada sektor pendidikan; dan 10) materi TIMSS
dan
PISA. Alasan lain kenapa harus mengembangkan Kurikulum
2013 adalah karena orientasi kompetensi masa depan 1)
kemampuan berkomunikasi; 2) kemampuan berpikir jernih dan
kritis; 3) kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu
permasalahan;
4) kemampuan menjadi warga negara yang bertanggungjawab;
5) kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap
pandangan yang berbeda; 6) kemampuan hidup dalam
masyarakat yang mengglobal; 7) memiliki minat luas dalam
kehidupan; 8) memiliki kesiapan untuk bekerja; 9) memiliki
kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya; dan 10) memiliki
rasa tanggungjawab terhadap lingkungan.
Kurikulum 2013 penting dirumuskan karena menurut
persepsi masyarakat, kurikulum lama terlalu menitikberatkan
pada aspek kognitif, beban siswa terlalu berat, dan kurang
bermuatan karakter. Kemudian munculnya fenomena negatif
yang mengemuka seperti perkelahian antar pelajar, narkoba,
korupsi, plagiarism, kecurangan dalam ujian, dan gejolak
masyarakat. Terakhir karena adanya perkembangan
pengetahuan dan pedagogi yaitu neorologi, psikologi, dan
observation based discovery learning dan collaborative learning.
Filosofi Kurikulum 2013 adalah dapat menghasilkan insan
indonesia yang Produktif, Kreatif, Inovatif, Afektif melalui
penguatan Sikap, Keterampilan, dan Pengetahuan yang
terintegrasi dengan langkah-langkah pembelajaran pendekatan
ilmiah 1) mengamati; 2) menanya; 3) mencoba; 4) menalar; 5)
mencipta; dan 6) mengkomunikasikan. Empat perubahan dalam
Kurikulum 2013 yaitu 1) konsep kurikulum; 2) buku yang
dipakai; 3) proses pembelajaran; dan 4) proses penilaian. Untuk
konsep kurikulum yaitu seimbang antara hardskill dan softskill,
dimulai dari Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar
Proses, dan Standar
Penilaian. Kemudian untuk buku yang dipakai yaitu berbasis
kegiatan (activity base) dan untuk SD ditulis secara terpadu
(tematik terpadu). Berikut ini tablel paparan Wakil Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan R.I Bidang Pendidikan di Jakarta,
14 Januari 2014 terkait penyempurnaan pola pikir perumusan
Kurikulum 2013.
Table 5. Paparan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I
Bidang Pendidikan
No KBK KTSP Kurikulum 2013
1 Standar Kompetensi Lulusan Standar Kompetensi Lulusan
diturunkan dari Standar Isi diturunkan dari kebutuhan
2 Standar Isi dirumuskan Standar Isi diturunkan dari
berdasarkan Tujuan Mata Pelajaran Standar Kompetensi Lulusan
(Standar Kompetensi Lulusan Mata melalui Kompetensi Inti yang
Pelajaran) yang dirinci menjadi bebas mata pelajaran
Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar Mata Pelajaran
3 Pemisahan antara mata
Semua mata pelajaran harus
pelajaran pembentuk sikap,
berkontribusi terhadap
pembentuk keterampilan, dan
pembentukan sikap,
pembentuk pengetahuan
keterampilan, dan pengetahuan
4 Kompetensi diturunkan dari
Mata pelajaran diturunkan dari
mata pelajaran
kompetensi yang ingin dicapai
5 Mata pelajaran lepas satu dengan
Semua mata pelajaran diikat oleh
yang lain, seperti sekumpulan
kompetensi inti (tiap kelas)
mata pelajaran terpisah