Anda di halaman 1dari 14

FILSAFAT PANCASILA DAN PEMBANGUNAN HUKUM

Disusun oleh :

Muhammad Rony Willy

Muhammad Rahul

Faiz

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

MEDAN 21/22
DAFTAR ISI
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan hukum yang berkelanjutan merupakan kebutuhan yang harus dilakukan


oleh suatu bangsa dalam mengikuti perkembangan masyarakat maupun perkembangan
kejahatan, karena pada dasarnya perkembangan kejahatan selalu mengikuti
perkembangan masyarakat itu sendiri. Menurut Barda Nawawi Arief bahwa
pembangunan hukum harus selalu disesuaikan dengan dinamika kehidupan (Roeslan
Saleh, 1984: 41). Dalam konteks inilah pengkajian terhadap pembaharuan hukum
merupakan kajian yang bergenerasi (Barda Nawawi Arief, 2009: 2).

Lebih lanjut, bahwa pembaharuan/pembangunan hukum pada hakikatnya merupakan


pembaharuan/pembangunan yang berkelanjutan (sustainable reform/sustainable
development) (Barda Nawawi Arief ,1994:15/ Jay A. Sigler ,1981:269). Menurut M.
Mahfud MD Produk hukum senantiasa berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan
zaman dan perubahan masyarakat karena hukum itu tidak berada pada situasi vakum.
Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa hukum sebagai pelayan kebutuhan
masyarakat harus diperbaharui agar aktual dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani
(M. Mahfud MD: 2006). Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan bahwa hukum
selalu dalam proses untuk menjadi karena hukum itu bergerak.

Dalam melakukan pembangunan hukum diperlukan suatu pedoman agar pembangunan


hukum tersebut dapat mendukung tercapainya tujuan nasional. Pembaharuan Sistem
Hukum Nasional yang selama ini ingin diwujudkan adalah Sistem Hukum Nasional ber-
Pancasila. Menurut Sudarto, Dijelaskan bahwa negara Indonesia dalam melaksanakan
politik hukumnya berlandaskan dasar filsafat Negara ialah Pancasila dan UUD 1945
(Sudarto,1983:20/ Moeljatno, 1985:14). Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa Filsafat
Pancasila, beserta tujuan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi kerangka
acuan pembinaan tata hukum yang baru (Satjipto Rahardjo, 2009:9). Di dalam Pancasila
terkandung nilai-nilai religius, humanistik maupun demokratis. Menurut Ismail Saleh,
bahwa dengan dijadikannya Pancasila sebagai dasar dalam pembangunan sistem hukum
nasional, maka di dalam sistem hukum Indonesia tidak boleh ada pertentangan nilai
antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis (Ismail Saleh,1987:38).
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pancasila sebagai Landasan Filosofis Pembangunan Hukum

Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan falsafah serta ideologi
bangsa dan Negara Indonesia. Nilai-nilaiyang terkandung di dalam Pancasila berasal dari
bangsa Indonesia sendiri,yaitu nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan dan nilai-nilai
religius.Melalui siding BPUPKI dan PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila
disahkan sebagai dasar falsafah negara (Philosofische Gronslag) Republik Indonesia.
Berdasarkan kedudukan Pancasila tersebut maka Pancasila merupakan suatu dasar nilai
serta norma untuk mengatur pemerintah negara/penyelenggara negara. Oleh sebab itu,
seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan negara terutama peraturan perundang-
undangan negara dijabarkan dan diderivikasi dari nilai-nilai Pancasila (M.Ali Mansyur,
2005:3-4).1 Menurut M.Ali Masyur (2005:6), bahwa Pancasila sebagai dasar negara
merupakan falsafah hukum nasional seharusnya mempunyai sifat imperatif, yaitu
Pancasila dijadikan dasar dan arah pengembangan falsafah hukum nasional dan menjadi
acuan dalam penyusunan, pembinaan dan pengembangan falsafah hukum yang konsisten
dan relevan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri (M.Ali Mansyur, 2005:66). Dari
beberapa penjelasan tentang kedudukan Pancasila,menunjukkan bahwa sebagai dasar
falsafah negara, Pancasila adalah sebagai sumber segala sumber hukum bagi bangsa
Indonesia.

Pancasila di samping sebagai dasar falsafah bangsa Indonesia, juga merupakan


pandangan hidup bangsa (way of life) bangsa Indonesia, yaitu penunjuk arah semua
kegiatan atau aktivitas hidup dan kehidupan di segala bidang. Hal ini berarti bahwa
semua tingkah-laku dan tindak-perbuatan setiap manusia Indonesia harus dijiwai dan
merupakan pancaran dari semua sila Pancasila, karena Pancasila sebagai weltanschauung
selalu merupakan kesatuan, tidak bias dilepas-pisahkan satu dengan yang lain;
keseluruhan sila di dalam Pancasila merupakan satu kesatuan organis (Dardji
Darmodihardjo, 2007:210).2 Sebagai pandangan hidup, Pancasila merupakan kristalisasi
dari nilai-nilai yang hidup dan yang diyakini kebnarannya oleh bangsa Indonesia dan
menjadi pedoman bertingkah laku dalam berbangsa dan bernegara. Berdasar pada
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, maka menjadi suatu keniscayaan
bahwa Pancasila merupakan dasar dalam pembangunan hukum nasional. 3

1
Arief Shidharta, B. Filsafat Hukum Pancasila, Makalah pada seminar Empat Pilar Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara, Jakarta, 2015.
2
Kaelan. Filsafat Pancasila sebagai Filsafat Bangsa Negara Indonesia. Makalah pada Kursus Calon Dosen
Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta, 2005.
B. Nilai Sebagai Genus Filsafat Hukum

Aristoteles mengatakan bahwa dalam semua perbuatanya senantiasa ada kehendak


mengejar sesuatu yang baik. Oleh sebab itu, Baik merupakan sesuatu yang dikejar atau
dituju. Nilai itu ada 2 macam yakni nilai yang dikejar karena nilai itu sendiri dan nilai
yang kedua adalah nilai yang dikejar sebagai tujuan . tujuan yang dimaksud adalah
kesempurnaan pribadi manusia.

1. Hakikat Nilai
Yang menjadi dasar timbulnya nilai pada manusia dan kemanusiaanya. Nilai hadir
manakala pikiran dan rasa manusia bertaut satu sama lain, kemudian memutuskan sisi
dominan dari keduanya yang nantinya akan merujuk pada suatu pilihan, yang diantaranya
terjelma dalam berbagai bentuk rupa keputusan , seperti dalam bentuk kata , gerak
ataupun diam . manusia dengan sekilas dapat memberikan penilaian dengan pikiranya
tanpa harus mengalami objek yang dinilainya dan ini kerap terjadi secara spontanitas,
namun pada saat bersamaan manakala penilaian itu tercetus manusia tadi bisa saja tidak
dapat merasakan apa yang telah menjadi penilaianya, demikian pula sebaliknya dominasi
rasa terhadap pikiran dapat membuat seseorang menilai berdasarkan rasa, dengan sadar
atau tidak sadar manakala dominasi rasa mengekang pemikiranya . standar umum yang
dapat dikatakan tentang arti nilai, bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi
kita , sesuatu yang kita cari , sesuatu yang menyenangkan, 4 sesuatu yang disukai dan
diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik. Nilai selalu mempunyai konotasi positif.
Sebaliknya, sesuatu yang kita jauhi, sesuatu yang membuat kita melarikan diri, seperti
penderitaan, penyakit atau kematian adalah lawan dari nilai, adalah non nilai. Dengan
demikian . nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat
bagi kehidupan manusia baik lahir maupun bathin.

2. Sifat Nilai
Nilai itu idiel, atau berbentuk ide, abstrak namun hadir karena “diobjekan” dan
dihadirkan karena subjek. Oleh karena itu, Nilai dikatakan bersifat abstark, tidak dapat
disentuh oleh pancaindra. Nilai berbeda dengan wujud sesuatu yang tetap ada, Bilamana
tidak ada manusia yang memberikan penilaian, karena nilai tidak berada dengan
sendirinya tanpa manusia, maka “ada manusia,ada nilai”. Nilai terbentuk karena adanya
hubungan interdependensi antara fakta sebagai objek yang dinilai serta manusia sebagai
objek sekaligus subjek yang menilai, tanpa hubungan yang bersifat ketergantungan
3
Subandi Al Marsudi. Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005.
4
Muladi, Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Pidato utama pada Seminar
Nasional―Nilai-nilai Pancasila sebagai Nilai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia‖ dalam
rangka Dies Natalis Universitas Pancasila ke 40. Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas
Pancasila pada tanggal 7 Desember 2007
seperti itu, Nilai tidak mungkin ada . dapat disimpulkan bahwa baik dan benar adalah dua
hal yang tidak identik, sekalipun keduanya bersifat positif. Yang baik itu mungkin benar
mungkin juga tidak benar . yang benar itu mungkin dianggap baik atau buruk, akan tetapi
manakala yang baik itu bertautan dengan yang benar atau sebaliknya , maka kita
berhadapan dengan sesuatu yang ideal. 5 Nilai – Nilai itu serasi untuk ruang dan waktu
tertentu , tapi tidak sesuai bagi ruang lain dan waktu lain. Nilai itu tidak hadir dengan
sendirinya berdiri sendiri. Seperti wujud suatu barang . Nilai itu bersifat ideal, namun
tampil dalam bentuk materi dengan hubungan subjek dan objek, namun ide itu dimasukan
ke dalam objek , sehingga objek itu bernilai. 6 ilmu pun hadir karena kebebasan nilai .
nilai sifatnya subjektif , faktor –faktor subjektif yang mempengaruhi:
1. Umur (belum dewasa ,dewasa , matang )
2. Latar belakang pribadi (jenis & tingkat pendidikanya)
3. Agama.
4. Tingkat intelegensinya (rendah, menengah , normal , superior , genius)
5. Latar belakang sosial budaya ( kebudayaan daerah , kebudayaan nasional). Ada tiga
faktor mempengaruhi penilaian yang bersifat objektif ataupun subjektif, yakni faktor
pokok dan faktor pelengkap serta faktor penua.Berbagai sikap dalam proses menilai :
1.sikap buta nilai (value blind) : suatu sikap yang melihat / memandang suatu fakta
sebagaimana adanya.
2.sikap menentukan nilai (value evaluating) suatu sikap yang secara sadar menentukan /
melekatkan nilai tertentu pada suatu fakta tertentu
3. Sikap yang berhubungan dengan nilai ( valute relating ) suatu sikap yang berusaha
mewujudkan nilai tertentu pada suatu fakta tertentu .
4. sikap penguasaan nilai (value conquering) suatu sikap yang takluk / tunduk pada nilai
tertentu yang sudah terdapat pada suatu fakta tertentu

3. Manfaat Nilai

A. Eksistensi diri .Eksistensi diri, hal yang berarti dengan adanya penilaian yang timbul
dari seseorang terhadap objek penilaiannya, maka ecara otomatis penilaian yang
dilontarkannya menjadi ganti dirinya di hadapan subjek penilai lainnya.
B. Analisis diri dan antarpribadi, hal yang berarti bahwa dengan melakukan satu
penilaian terhaap objek penilaian, maka secara sadar atau tidak sadar, sengaja tidak
sengaja, maka orang tersebut telah melakukan satu analisis yang muatan penilaiannya
tersebut bisa menjadi sederhana-kompeleks dan dengan analisisnya, maka terjadi

5
Sudharta, B. Arief, Filsafat Hukum Pancasila, Seminar Nasional ―Nilai-nilai Pancasila sebagai
Nilai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia‖ dalam rangka Dies Natalis Universitas
Pancasila ke 40.
6
Wibisono Siswomihrdjo, Koento, Pemantapan Nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Pengembangan
Ilmu Hukum dalam Kerangka Sistem Kenegaraan Indonesia
pertautan nilai (perbandingan) yang nantinya menimbulkan analisis pribadi juga
antarpribadi.
C. Ekspresi diri, yang berarti bahwa seseorang yang memberikan satu penilaian, maka
secara pribadi dan merdeka telah menunjukkan kebebasan berpendapat menurut
nalurinya yang berarti jujur dan bebas dari tekanan atau penilai lainnya.
D. Pilihan atas perbandingan, yang berarti bahwa penilaian yang dilakukan seseorang
merupakan pilihan final dari berbagai pilihan yang berkecamuk antara pikir dan rasa yang
berdialektik untuk merujuk pada sebuah pilihan dominan dari kedua hal tersebut saat
mana pilihan itu terpilih dan diejawantahkan.
E. Evaluasi, bermakna bahwasanya setiap penilaian dari siapapun atau pihak mana pun
akan dipandang subjektif oleh penilai lainnya, namun fakta atau peristiwa yang
melaratbelakangi akan tetap objektif sekalipun objek atau peristiwa yang ada tersebut
merupakan hasil rekayasa karena itu nilai hadir menyelaraskan perpaduan penilaian
sementara demi terwujudnya pengertian.

4. Korelasi Nilai, Asas Hukum , Norma Hukum, dan sikap Tindak

Korelasi : Hadirnya Nilai mendasari Asas hukum , Asas Hukum kemudian yang
mendasari adanya Norma Hukum , Hadirnya Norma Hukum sebagai acuan dari sikap
tindak. Sikap tindak dapat diukur dengan Norma Hukum , Norma Hukum dapat diuji
dengan Asas Hukum , asas hukum dapat dikembalikan Nilai

5. Nilai-nilai Dasar dalam Hukum

1. Nilai kesamaan
Keadaan antar manusia dimana manusia diperlakukan sama dalam situasi sama
2. Nilai kebangsaan
Hukum melindungi kebebasan eksistensial & kebebasan sosial ,setiap orang bebas untuk
mengurus dirinya sendiri (kebebasan eksistensial) selagi tidak mengganggu kepentingan
pihak lain ( kebebasan sosial)
3. Nilai kebersamaan
Hukum mengatur hubungan dan solidaritas sesama manusia

6. Antinomi Nilai dalam Hukum


Nilai Antinomi adalah Nilai yang berpasang-pasangan akan tetapi ia saling membatasi
dan keduanya bisa berada dalam keadaan yang harmonis

1. Antinomi Nilai Kepastian dengan Nilai Keadilan


- Refleksi terhadap Antinomi Nilainya
Jadi apa yang pasti dalam hukum , belum tentu memberi keadilan, begitu pula sebaliknya,
Apabila keadilan saja yang dipenuhi tanpa memerhatikan apakah hal itu memberikan
kepastian hukum , juga dapat menghancurkan nilai keadilan itu sendiri , hakim dapat
menyatakan bahwa keputusunya adil namun apabila putusanya itu diambil tanpa dasar
hukum yang pasti , apakah hal itu dapat diterima , sehingga yang diputuskan sungguh-
sungguh dapat dipertanggung jawabkan, apa yang adil , jika tidak berdasarkan pada suatu
kepastian hukum, pada akhirnya juga tidak bernilai adil . jadi mengedepankan nilai
keadilan saja, belum tentu akan secara otomatis memberikan kepastian hukum. Oleh
sebab itu hukum yang pasti, seharusnya juga adil , dan hukum yang adil juga seharusnya
memberikan kepastian . Disinilah kedua nilai itu mengalami situasi yang antinomis ,
karena menurut derajat tertentu , nilai-nilai kepastian dan keadilan , harus mampu
memberikan kepastian terhadap hak tiap orang secara adil , tetapi juga harus memberikan
manfaat daripadanya .

2. Antinomi Nilai Individualisme dengan Nilai Kolektivitasme


C.Refleksi terhadap Antinomi nilainya
Bahwa nilai-nilai individualisme dan kolektivisme secara bersama-sama dibutuhkan ,
dengan alasan rasional , bahwa keduanya diharapkan eksis untuk menyempurnakan nilai-
nilai itu menjadi “baik” dan “ buruk” menurut konteksnya. Kolektivisme mungkin
menjadi nilai yang “baik” bagi nilai individualisme yang ada , karena berdasarkan
kenyataan sosial masyarakat indonesia adalah masyarakat yang menggunggulkan nilai-
nilai kolektif, seperti nilai kekeluargaan dan lainya, daripada nilai-nilai individualis ,
namun , nilai kolektivisme itu menjadi “buruk” jika kepentingan individual tidak
dijamin , Nilai individualisme adalah nilai yang wajar untuk ditampung

3. Antinomi Nilai Materialisme dengan nilai Spiritualisme


- Refleksi terhadap Antinomi Nilainya
Nilai-Nilai spiritualisme pada dasarnya memang tidak pernah hilang mutlak, sepanjang
nilai-nilai materialisme masih eksis dalam refleksi hidup, suatu nilai materialisme masih
eksis dalam refleksi hidup. Suatu nilai materialisme akan menjadi “baik” jika ia
berpasangan dengan nilai sepiritualisme. Nilai materialisme ini pun dapat menjadi “
buruk “ jika tidak menerima pasangan nilainya, begitu sebaliknya, nilai sepiritualisme
menjadi “buruk” jika pasangan nilainya ditiadakan. Setiap individu yang berakal, tidak
akan hidup hanya bertumpu pada aspek rohaninya saja . manusia membutuhkan makan ,
tempat berlindung , dan sebagainya , sehingga keinginan akan materi merupakan hal yang
lumrah . jika nilai materialisme dapat mengimbangi nilai spritualisme, mana nilai
sepiritualisme pun akan menjadi nilai yang “baik” pula

4. Antiomi Nilai kebebasan dengan Nilai ketertiban


- Refleksi terhadap Antinomi nilainya
Nilai kebebasan tanpa ketertiban, sama saja dengan kebebasan yang tidak rasional, atau
kebebasan yang dimiliki oleh mahkluk tidak berakal, seperti hewan. Oleh sebab itu
kebebasan hewan disini dapat disamakan dengan keliaran, karena kebebasanya tidak
membutuhkan suatu keadaan yang tertib-sosial . lain halnya dengan individu , yang
berasio . kebebasan itu bukan dibatasi oleh alamnya semata , tetapi karena secara
fundamental, ide kebebasan itu bergandengan . dengan ketegangan yang relatif bersama
ketertiban . nilai ketertiban menjadi alat pembatas yang inheren dalam nilai kebebasan
dan diri manusia sendiri Begitu pula sebaliknya , ketertiban yang amat ketat , tanpa
unsur nilai kebebasan sama sekali, juga bukan suatu nilai orientasi hidup manusia .
dengan demikian dengan contoh aktual diatas telah nyata bahwa ada nilai-nilai yang
berantinomi antara kebebasan (kemerdekaan) dengan ketertiban, dimana ketegangan di
antara kedua nilai ini diperlukan sebagai syarat bagi terciptanya keadaan yang damai
dalam hidup masyarakat

5. Antinomi Nilai Inovasi dengan Nilai Konservasi


- Refleksi terhadap Antinomi lainya
Nilai konservasi dianggap “baik” jika eksistensinya disempurnakan oleh nilai
antinomisnya, yakni nilai inovasi . Begitu pula sebaliknya . Dengan adanya Nilai-nilai
yang bersifat memperbarui dan melestarikan sekaligus, dimana relasinya bersifat
antinomis, manusia dapat menyikapi hidupnya secara bijak dan beradab, Hidup manusia
tidak selalu berubah secara historis karena terputus dengan Nilai-nilai mapan masalalu ,
begitu juga seterusnya, tidak mungkin ada Nilai yang mapan dan lestari , mengalami
perubahan , jika bukan berdasarkan nilai yang sudah mapan dan lestari tersebut
Dan hubungan itu bersifat antinomis, senantiasa dalam ketegangan , dimana dalam
konteks tertentu , nilai inovasi lebih dikedepankan dibanding nilai konservasi , atau
sebaliknya , nilai konservasi malahan lebih dikedepankan dibanding nilai inovasi

C. Pancasila Sebagai Jalinan Nilai

Nilai-nilai pancasila merupakan nilai-nilai dasar manusiawi yang di gali,ditemukan dan


dirumuskan oleh para pendiiri bangsa sebagai satu kesatuan yang sistematis dan
ditetapkan sebagai dasar negara indonesia.
Nilai-nilai dasar tersebut mrupakan nilai-nilai moral yang secara actual menjadi pedoman
hidup bagi bangsa indonesia. Rumusan pancasila yang terdapat di dalam pembukuan
UUD 1945 tampak abstrak dan bersifat umum,sehingga perlu di jabarkan lebih lanjut
agar dapat di wujudkan.7

Sebagai nilai-nilai dasar dan nilai-nilai moral yang di terima sebagai pedoman dalam
kehidupan berbngsa daan bernegara,implementasi pancaila sangat relevan dalam upaya

7
Suteki, Integrasi Hukum dan Masyarakat, Semarang : Pustaka Magister 2007
mewujudkan kesejahteraan dan keamanan melalui kepekaan dan kepedulian kesadaran
masyarakat dalam meningkatkan kemampuan komparatif pemberdayaan ketahanan
pangan nasional. Peningkatan kesadaran masyarakat dalam ketahanan pangan merupakan
salah satu variabel strategis dalam pembanguna sumber daya manusia yang berkualitas
guna mewujudkan stabilitas nasional.8

UU No.4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran,pasal 3 (tujuan


pendidikan dan pengajaran ialah untuk membentuk manusia susila yan cakap dan
warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat
dan tanah air) dan pasal 4 (pendidikan dan pengajaran berdasrkan asas-asas yang
termaktub dalam pancasila Undang-undang dasar Negara revublik Indonesia dan atas
kebudayaan kebangsaan Indonesia).

D. Paradigma Pembangunan Hukum Di Indonesia

Istilah paradigma berasal dari bahasa Latin yaitu paradeigma yang berarti pola. Istilah
paradigma pertama kali dikemukakan oleh Thomas Khun dalam karya monumentalnya,
Struktur Revolusi Ilmu Pengetahuan. Ia mengartikan paradigma sebagai pandangan
mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter). Gagasan utama
Khun adalah memberikan alternatif baru sebagai upaya menghadapi asumsi yang berlaku
umum di kalangan ilmuwan tentang perkembangan ilmu pengetahuan, yang pada
umumnya berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmu pengetahuan tersebut
terjadi secara kumulatif. Pandangan demikian sebagai mitos yang harus dihilangkan.
Sedangkan Khun berpendirian bahwa ilmu pengetahuan berkembang tidak secara
kumulatif melainkan secara revolusi. Dengan pengertian revolusi, Khun menjelaskan
bahwa perkembangan ilmu pengetahuan akan terjadi melalui pergantian paradigma:
paradigma yang lama diganti, baik secara menyeluruh maupun sebagian, dengan
paradigma baru.9

Sofian Effendi dalam Lili Rasjidi menjelaskan bahwa istilah paradigma oleh Khun
dipergunakan untuk menunjuk dua pengertian utama. Pertama, sebagai totalitas
konstelasi pemikiran, keyakinan, nilai persepsi, dan teknik yang dianut oleh akademisi
maupun praktisi disiplin ilmu tertentu yang mempengaruhi cara pandang realitas mereka.
Kedua, sebagai upaya manusia untuk memecahkan rahasia ilmu pengetahuan yang
mampu mengjungkirbalikkan semua asumsi maupun aturan yang ada. Lebih lanjut Lili
Rasjidi memaparkan bahwa pengertian paradigma sebagaimana yang diintrodusi Scott
8
Sutrisno, Endang, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi,
Yogyakarta : Genta Press, 2009
9
Sudjito, Pancasila Sebagai dasar Filsafat dan Paradigma IlmuHukum, disampaikan dalam
matrikulasi Program Doktor Ilmu Hukum UNS, tanggal 02 Maret 2013
mengandung beberapa aspek penekanan yaitu bahwa paradigma merupakan, pertama,
sebagai pencapaian yang baru yang kemudian diterima sebagai cara untuk memecahkan
masalah dan pola pemecahan masalah masa depan. Hal menarik dari pengertian ini
adalah bahwa paradigma adalah cara pemecahan masalah yang seharusnya memiliki daya
prediksi masa depan. Kedua, sebagai kesatuan nilai, metode, ukuran dan pandangan
umum yang oleh kalangan ilmuwan tertentu digunakan sebagai cara kerja ilmiah pada
paradigma itu.12 Dengan demikian istilah Paradigma sesungguhnya merupakan cara
pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar untuk memecahkan suatu masalah
yang dihadapi oleh suatu bangsa ke masa depan.10

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum Dalam Konteks Negara Hukum


Dalam UUD 1945 telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum,
bukan negara kekuasaan. Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum ditandai dengan
dengan beberapa unsur pokok seperti adanya pengakuan prinsip-prinsip supremasi
hukum dan konstitusi, adanya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut
sistem konstitusional yang diatur dalam UUD 1945, adanya prinsip peradilan yang bebas
dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta
menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh
pihak yang berkuasa.

1. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum


Pembangunan nasional yang dilancarkan negara pada hakikatnya merupakan usaha
modernisasi dalam berbagai bidang kehidupan. Kondisi ini dapat diartikan sebagai suatu
usaha transformasi total dari pola kehidupan tradisional kepada pola kehidupan modern
sesuai dengan kemajuan jaman serta didukung oleh ilmu pengetahun dan teknologi.
Dalam rangka mencapai sasaran pembangunan tersebut, hukum harus menampakkan
perannya. Dalam Pandangan Mochtar Kusumaatmadja19 hukum harus mampu tampil ke
depan dalam memberikan arah pembaharuan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa
hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa
adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu
merupakan suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) diperlukan. Baik
perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan kembar dari
masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu yang tidak dapat
diabaikan dalam proses pembangunan.
Dengan demikian, pembangunan hukum dalam kerangka pembangunan nasional harus
dilakukan atas dasar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut
merupakan hasil konsensus bersama dari masyarakat yang menjadi sumber dan motivasi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dalam konteks Indonesia disebut dengan

10
Saleh, Ismail, Kebijaksanaan dan Strategi Pembangunan dan Pembinaan Hukum Nasional, Beserta
Implementasinya, Jakarta : Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1987
Pancasila. Karena itu, secara filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma
pembangunan hukum dalam kerangka pembangunan nasional mengandung suatu
konsekuensi bahwa segala aspek pembangunan hukum dalam kerangka pembangunan
nasional harus mendasarkan kepada hakikat nilai-nilai Pancasila.11

Untuk itu, Pancasila secara utuh harus dilihat sebagai suatu national guidelines, sebagai
national standard, norm and principles yang sekaligus memuat human rights and human
responsibility. Pancasila juga harus dilihat sebagai margin of appreciation sebagai batas
atau garis tepi penghargaan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat yang
pluralistik (the living law) sehingga dapat dibenarkan dalam kehidupan hukum nasional.12

11
Nawawi Arief, Barda,Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi
Baru Hukum
12
Bakry, Noor MS, 1994, Pancasila Yuridis Kenegaraan,Liberty, Yogyakarta
BAB 3
PENUTUPAN

Kesimpulan

Pada dasarnya pembangunan hukum nasional adalah melakukan rekonstruksi hukum agar
sesuai dengan jiwa atau kepribadian bangsa Indonesia, serta dalam upaya mengikuti
perkembangan masyarakat dan IPTEK. Oleh sebab itu pembangunan hukum nasional
seharusnya mendasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yang diyakini
kebenarannya dan mengikat masyarakat, artinya menjadipetunjuk dalam berkehidupan.
Bertolak pada hal tersebut, maka dalam melakukan pembangunan hukum nasional harus
berdasar pada asas-asas yang ada dalam nilai-nilai Pancaila karena nilai-nilai Pancasila
sesungguhnya adalah kristalisasi dari nilai-nilai agama dan nilai-nilai adat yang diyakini
kebenarannya oleh bangsa Indonesia dan menjadi petunjuk hidup.
Daftar Pustaka

Arief Shidharta, B. Filsafat Hukum Pancasila, Makalah pada seminar Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta, 2015.

Darmodiharjo, Darji, dkk. Santiaji Pancasila, Penerbit Usaha Nasional,

Surabaya, Indonesia, 1991. Kaelan. Filsafat Pancasila sebagai Filsafat Bangsa Negara
Indonesia.

Makalah pada Kursus Calon Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta, 2005.


Soekarno. Lahirnya Pancasila, 1945.

Soepomo. Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, Gita Karya, Djakarta,
1963.

Darmodihardjo, Dardji, Pokok-pokok Hasil Penelitian tentang Nilai-nilai Pancasila


sebagai Nilai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Tim Peneliti Fakultas
Hukum UGM dan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, dipresentasikan dalam Seminar
Nasional ―Nilainilai Pancasila sebagai Nilai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum
Indonesia‖ dalam rangka Dies Natalis Universitas Pancasila ke 40. Diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Pancasila pada tanggal 7 Desember 2007

Darmodiharjo, Darji, Orientasi Singkat Pancasila, dalam Santiaji Pancasila Suatu


Tinjauan Filosofis, Historis dan Yuridis Konstitusional, Surabaya : Usaha Nasional, 1991

Hazairin dalam Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, Suatu
Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2007

Kaelan, Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa, Yogyakarta : Paradigma, 2002


Kaelan, Filsafat Pancasila, Yogyakarta : Paradigma, 1996

M. Mahfud MD dalam Membangun Politik Hukum menegakkan Konstitusi, Jakarta :


Pustaka LP3ES, 2006

Anda mungkin juga menyukai