Makalah Kelompok 2
Makalah Kelompok 2
Oleh:
Budiyanto (210103010296)
Muhamad Ramadani (210103010065)
Muhamad Noor sholeh (210103010066)
1
Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushlhatah al-Hadits (Beirut: Dar Al-Qur'an al-Karim,(1979)h-20.
2
M 'Ajjaj al-Khathib. Ushul al-Hadits: 'Ulumuhu wa Mushthalahuln (Beirut: Dar al-
Fikr, 1989), h. 32.
tbid.
Jalan matan tersebut dinamakan dengan sanad adalah karena musnid berpegang
kepadanya ketika menyandarkan matan ke sumbernya. Demikian juga para huffazh
menjadikannya sebagai pegangan ( pedoman ) dalam menilai sesuatu hadits, apakah
shahih atau dha’if.
Sebagai contoh dari sanad adalah seperti yang terlihat dalam hadits berikut:
عن،حدثناايوب:حدثنا عبدالوهاب الثقفي قال: محمد بن المثنى قالAحدثنا:روى اإلمام البخاري قال
ثالث من كن فيه وجدحالوة اإليمان أن: قالAعن أنس عن النبي صلى هللا عليه وسلم،أبي قالبة
وأن يكره أن، وأن يحب المرء اليحبه إال هلل،يكون هللا ورسوله أحب إليه مما سواهما
يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار3
Imam Bukhari meriwayatkan, ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibn al-Mutsanna, ia berkata, ‘telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-
Wahhab al-Tsaqafi, ia berkata, telah menceritakan kepada kami ayyub, dari Abi
Qilabah, dari Anas, dari Nabi SAW, beliau bersabda, ‘Ada tiga hal yang apabila
seseorang memilikinya maka ia akan memperoleh manisnya iman, yaitu bahwa Allah
dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari pada selain keduanya, bahwa ia mencintai
seseorang hanya karena Allah SWT, dan bahwa ia benci kembali kepada kekafiran
sebagaimana ia benci masuk ke dalam api neraka.”
Pada hadits diatas terlihat adanya silsilah para perawi yang membawa kita sampai
kepada matan hadits, yaitu Bukhori, Muhammad Ibn al- Mutsanna, Abd al-Wahhab
al-Tsaqafi, Ayyub, Abi Qilabah, dan Anas r.a. Rangkaian nama-nama itulah yang
disebut dengan sanad dari hadits tersebut, karena merekalah yang menjadi jalan bagi
kita untuk sampai ke matan hadits dari sumbernya yang pertama. Masing-masing
orang yang menyampaikan Hadis di atas, secara sendirian, disebut dengan rawi
(perawi/ periwayat), yaitu orang yang menyampaikan, atau menuliskan dalam suatu
kitab, apa yang pernah didengar atau diterimanya dari seseorang (gurunya).4 Dengan
demikian, apabila kita melihat contoh Hadis di atas'
Maka hadis tersebut diriwayatkan oleh beberapa orang perawi, yaitu
1. Anas r.a (Sebagai Perawi pertama)
2. Abi qilabah (Sebagai perawi kedua)
3. Ayyub (Sebagai perawi ketiga)
4. Abd al-wahhab Al tasqafi (Sebagai perawi keempat)
3
Bukhari. Shahih Al-Bukhari (Beirut: Dar al'Fikr, l40l H/1981 M). 8 jilid: .iilid I' h. 9-10.
4
' M. Syuhudi lsmail. Pengantar llmu Hadits (Bandung: Angkasa, l99l), h. 17.
5. Muhammad ibn Al mutsanna (Sebagai perawi kelima)
6. Bukhari (Sebagai perawi keenam atau perawi terakhir)
Imam Bukhari sebagai perawi terakhir dapat juga disebut sebagai mukhariij, yaitu
orang yang telah menukil atau mencatat sesuatu Hadis pada kitab- nya, dan dari segi
ini Bukhari adalah orang yang men-takhnj Hadis di atas. Apabila kita melihat dari
segi sanad, yaitu jalan yang menyampaikan kita kepada matan Hadis, maka urut-
5
' T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok llmu Dirayah Hadits I (Jakarta: Bulan Bintang, l98l). h.43
6
M 'A.ija.i al-Khathib, Ushul al-Hadits, h.32; Mahmud al-Thahhan. Taisir h. l5: Ash-
Shiddieqy. Pokok-pokok llnu Dirayah Hadits l, lt. 43.
7
Zhafar al-Tahanawi, Qava'id fi 'Ulum al-Hadits. h. 26.
8
Mahmud al-Thahhan, Taisir.h 15.
Kata musnid adalah isim fa'il dari asnada-gusnidu, yang berarti "orang
Wahhab al-Tsaqafi, ia berkata, 'Telah menceritakan kepada kami Aggub, dai Abi
Qilabah, dari Anas, dari Nabi SAW, beliau bersabda, 'Ada tiga hal gang apabila
seseorang memilikinya maka ia akan memperoleh manisnya iman, yaitu bahwa Allah
9
Zhafar al-Tahanawi, Ibid; Mahmud al-Thahhan. lbid
10
Bukhari. Shahih Al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikra, l40l H/I981 M), 8 jilid: jilid l, h. 9-10.
dan rasulnya dicintainya dari pada selain keduanya.menantai seseorang hanga karena
11
Hasby Ash-Shiddiqi pokok pokok ilmu dirayah hadits (Jakarta:bulan bintang,1976)IV:31
12
Ibid,.p.3
d. Balig/berakal 13
Dr. Shubhi Salih menyatakan bahwa jika seseorang Rawi tidak memenuhi salah satu
syarat dari empat syarat tersebut, maka riwayat Rawi itu tidak di terima 14. Para ulama
hadis sepakat bahwa syarat Islam itu diperlukan bagi rawi, yakni orang yang
meriwayatkan hadis kepada orang lain, bukan syarat yang diterapkan kepada orang
yang menerima periwayatan hadis dari orang lain. Maka dengan demikian, para
ulama sepakat bahwa riwayat orang kafir tidak dapat diterima.
4. Pengertian Khabar dan Atsar
Secara Lughawiyah, kedua kata di atas mempunyai arti sebagai berikut : Khabar
dalam makna bahasanya adalah lawan insya(menyusun / menciptakan, atau ucapan
yang tidak memungkinkan benar atau bohong pada dzatnya), jadi makna bahasanya
adalah warta berita yang disampaikan seseorang kepada orang lain yang mengandung
kemungkinan bohong atau benar. Sedangkan pengertian istilahnya khabar adalah
berita yang disandarkan pada selain Nabi, dan ada pendapat bahwa khabar juga
mencakup Nabi dan selainnya. Jadi, tiap hadits mesti khabar bukan sebaliknya.15
Adapun Atsar dalam makna harfiyahnya adalah “bekas sesuatu, sisa sesuatu dan
berarti juga yang dinuklilkan”18 atau sisa waktu / masa19 Selanjutnya dalam
pengertian istilahnya atsar berarti semua hadits marfu’dan mauquf disebut atsar,
kecuali ulama Khurasan dulu menyebut hadits mauquf sebagai atsar, dan hadits
marfu’ sebagai khabar. Jadi, para ahli hadits atau jumhurnya menyamakan pengertian
hadits, khabar, dan atsar, dan bahkan dengan sunnah.16
Dalam pengertian-pengertian di atas, antara hadits, khabar, dan atsar menurut
ahli hadits (mayoritasnya) cenderung sama pengertiannya, sekalipun para ahli fiqh,
ushul fiqh, dan bahasa hampir tidak mempersoalkan makna khabar dan atsar,
keduanya adalah sama dengan hadits. Sedangkan pengertian sunnah inilah yang
banyak sudut pandang pengertiannya, kendatipun ulama hadits cenderung untuk
menyamakannya dengan hadits, khabar, dan atsar. Namun, dalam sudut pandang
yang lain menurut ulama ushul dan fuqaha – antara sunnah dan hadits merupakan dua
13
Subhi salih, ‘ulum Al -hadis wa mustalahuh.(Beirut: Dar Al-ilm Li malayin.1977),.p.124
14
Muhammad , ajjaj Al-Khatib, Ushul. Al-hadis:, ulumuh wa mustalahuh.(ttp,: Dar al-Fikr,1975),p.229-232.
15
Al-Maliki,1406 p,,p.15,bandingkan Hasbi Ash-Shiddiqie, sejarah dan pengantar ilmu hadits,(Jakarta: bulan
bintang),cet X,1991,p.32,tahawuni,1975,0.28.
16
Ajjaj, 1975, p. 28, Al-Maliki, 1405 P., p. 16, Tahawuni, 1972, p. 24-26, Azami, Muhammad Mustafa, Studies In
Hadith Metodologi and Literature, 1977, terjemahan Drs. A.Yamin, Metodologi Kritik Hadits, (Jakarta : Pustaka
Hidayah), cet I, 1992, p. 19, Al- Qosimi, 1979, p. 61, Subhi, 1988, p. 10-11.
kata yang lain pengertiannya. Menurut analisa penulis, antara sunnah dan hadits
tidaklah bisa dengan sembarangan diidentikkan makna keduanya, sebagaimana
dilakukan oleh para ahli hadits terutama as-Syafi’i dan apabila dianalisa dengan
analisa historis-linguistik atau filologinya, kedua kata di atas nyatalah bahwa
keduanya tidak satu makna dalam segala seginya. Hadits adalah merupakan
verbalisasi atau reportase tentang Nabi, kalau lebih luas lagi juga tentang sahabat dan
tabi’in. Hal ini juga bisa diidentikkan dengan khabar atau atsar. Namun sunnah, baik
diceritakan atau tidak, adalah sesuatu yang telah biasa dikerjakan oleh Nabi,
kemudian dicontoh sahabat, tabi’in, dan muslimin pada periode awal Islam. Sunnah
tidak selalu sesuai dengan hadits, bahkan ada juga hadits yang tidak sesuai dengan
qiyas, ijma’, dan sunnah.
Dan di antara hadits, khabar, dan atsar, kendatipun dibedakan pengertiannya dari
segi sanadnya, khabar apabila hadits itu marfu’, atsar apabila hadits itu maqtu’ dan
atau menyamakan pengertian ketiganya, semua itu pada hakekatnya adalah juga
hadits Nabi, sekalipun dalam analisa teori hadits kurang kualitasnya. Namun
akhirnya muncul pertanyaan, bagaimana bila materi hadits itu benar-benar dari ucap
kata, tindakan atau ketetapan dari sahabat dan tabi’in, bukan dari Nabi sebenarnya
seperti hadits Bukhary no. 117 yang hanya cerita tentang hal ihwal Abu Hurairah
bukan Nabi, hadits tentang “tahlilan” yang hanya ucapan tabi’in saja22, dan hadits
penambahan adzan subuh dengan “as- sholatu…” yang taqrir Umar r.a. saja ?. Inikah
sebagai suatu konsekuensi dari perluasan makna hadits, mungkin juga makna khabar
dan atsar ?.
Adapun mengenai hakekat sunnah dan hadits, penulis berpendapat bahwa
keduanya harus ada garis pembeda yang jelas, berikut ini penulis kutip pendapat
Hasbi dan penulis setuju dengan pendapat ini : “Hadits ialah segala peristiwa yang
disandarkan pada Nabi, walaupun hanya sekali saja terjadinya dalam sepanjang hidup
Nabi, dan walaupun hanya diriwayatkan oleh seseorang saja. Adapun sunnah maka
dia sebenarnya adalah : nama bagi amaliah yang mutawatir, yakni cara Rasul
melaksanakan sesuatu ibadah yang dinuklilkan pada kita dengan amaliah yang
mutawatir pula. Nabi melaksanakannya bersama sahabat, kemudian sahabat
melaksanakannya. Kemudian diteruskan pula oleh para tabi’in, walaupun lafadz
penuklilannya tidak mutawatir, namun cara pelaksanaannya mutawatir adanya.
Mungkin terjadi perbedaan lafadz dalam meriwayatkan suatu kejadian. Maka dalam
segi sanad dia tidak mutawatir, tetapi dari segi amaliah dia mutawatir adanya.
Pelaksanaan yang mutawatir itulah yang dikatakan sunnah. Inilah yang dikehendaki
dengan as-sunnah dalam hadits Nabi, artinya saya telah tinggalkan kepada kamu dua
urusan, yang kamu sekali-kali tidak akan sesat selama kamu berpegang kepadanya
yaitu kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, inilah yang disebutkan sabil, sirath, uswah,
tariqah, dan tariqah al-mustaqim”17
D. Kesimpulan
Sebagai contoh dari sanad adalah seperti yang terlihat dalam hadits berikut:
َّدثَنَا أيُّوْ بُ ع َْن أَبِ ْيAال َحA َ Aَب الثَّقَفِ ُّي ق
ِ لوهَّا َ ال َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُدبْنُ ْال ُمثَنَّى قَا َل َح َّدثَنَا َع ْبد ُْا ِ َر َوى ْا ِإل َما ُم ْالب
َ َُخَاريُّ ق
ُ وْ نَ هّٰللاAAا ِن أَ ْن يَ ُكAA َد َحاَل َوةَ ْا ِإل ْي َمA ِه َو َجAث َم ْن ُك َّن فِ ْي ٌ صلَّى هّٰللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل ثَاَل ٍ َقِاَل بَةَ ع َْن أَن
َ س َع ِن النَّبِ ِّي
هًٰلِل
َ Aد فِ ْي ْال ُك ْف ِر َك َما يَ ْكAَ َْو َرسُوْ لُهُ أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم َّما ِس َواهُ َما َو أَ ْن يُ ِحبَّ ْال َمرْ َء اَل ي ُِحبُّهُ إِاَّل ِ َو أَ ْن يَ ْك َرهَ أَ ْن يَعُو
ُرهA
ِ َّأَ ْن يُ ْق َذفَ فِ ْي الن
ار
Pada hadits diatas terlihat adanya silsilah para perawi yang membawa kita sampai
kepada matan hadits, yaitu Bukhari, Muhammad Ibn al Mutsanna, Abdal Wahhab al
Tsaqafi, Ayyub, Abi Qilabah, dan Anas ra. Rangkaian nama nama itulah yang disebut
dengan sanad dari hadits tersebut, karena merekalah yang menjadi jalan bagi kita untuk
sampai ke matan hadits dari sumbernya yang pertama.
Imam Bukhari sebagai perawi terakhir dapat juga disebut sebagai Mukharrij, yaitu
orang yang telah menukil atau mencatat sesuatu hadits pada kitab-Nya, dan dari segi ini
adalah orang yang mentakhriij hadits diatas. Apabila kita melihat dari segi sanad yaitu
jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadits.
Maka dari itu dapat disebut bahwa matan hadits adalah materi atau isi yang
disampaikan oleh periwayat dari masa ke masa sejak zaman sahabat sampai ke Mukharrij,
(penulis kitab induk hadits) dalam meriwayatkan atau mentransmisikan materi (isi) hadits
ada dua, yang keduanya tidak dilarang oleh Rasulullah, yaitu.
Dengan lafadz yang sama persis dengan Rasulullah.
Dengan maknanya saja, sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkannya.
17
Hasbi as-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta : Bulan Bintang), cet X, 1991, p. 39-40
Pengertian rawi, kata rawi berasal dari kata kerja rawa yang berarti membawa,
memukul, menukil atau menerangkan kata dasar dari rawa adalah riwayat yang berarti
periwayatan atau penukilan, sedangkan kata rawi adalah bentuk isim fail dari kata kerja
rawa yang berarti orang yang meriwayatkan atau orang yang menukil.
Adanya pengertian istilah rawi adalah orang yang meriwayatkan atau yang
menyampaikan hadits kepada orang lain atau seseorang yang menulis hadits yang pernah
ia terima dari gurunya dalam kitab hadits atau dalam catatannya.
Para ulama hadits sepakat bahwa syarat islam itu diperlukan bagi rawi, yakni orang
yang meriwayatkan hadits kepada orang lain, bukan syarat yang ditetapkan kepada orang
yang menerima periwayatan hadits dari orang lain.
Pengertian khobar dan atsar secara lughowiyah, kedua kata diatas mempunyai arti
sebagai berikut: khabar dalam makna bahasanya adalah kawan insya (menyusun atau
menciptakan, atau ucapan yang tidak memungkinkan besar atau bohong pada dzatnya),
jadi makna bahasanya adalah warta berita yang disampaikan seseorang kepada orang lain
yang mengandung kemungkinan bohong atau benar. Adapun atsar dalam makna
harfiyahnya adalah “bekas sesuatu, sisa sesuatu dan berarti juga yang dinukilkan” atau
sisa waktu atau masa selanjutnya dalam pengertian istilahnya atsar berarti semua hadits
marfu' dan mauquf disebut atsar, kecuali ulama khurasan dulu menyebut hadits mauquf
sebagai atsar, dan hadits marfu' sebagai khabar.
Dalam pengertian pengertian diatas, antara hadits, khabar dan atsar menurut ahli
hadits (mayoritasnya) cenderung sama pengertiannya, sekalipun para ahli fiqih, ushul
fiqih, dan bahasa hampir tidak mempersoalkan makna khabar dan atsar, keduanya adalah
sama dengan hadits. Dan diantara hadits, khabar, dan atsar, kendatipun dibedakan
pengertiannya dari segi sanadnya, khabar apabila hadits itu marfu', atsar apabila hadits itu
maqtu' dan atau menyamakan pengertian ketiganya, semua itu pada hakikatnya adalah
juga hadits Nabi, sekalipun dalam analisa teori hadits kurang kualitasnya.
Adapun mengenai hakikat sunnah dan hadits, penulis berpendapat bahwa keduanya
harus ada garis bembeda yang jelas, berikut ini penulis kutip pendapat Hasbi dan penulis
setuju dengan pendapat ini: “Hadits adalah segala peristiwa yang disandarkan pada Nabi,
walaupun hanya sekali saja terjadinya dalam sepanjang hidup Nabi, dan walaupun hanya
diriwayatkan oleh seseorang saja. Inilah yang dikehendaki dengan as sunnah dalam hadits
Nabi, artinya saya telah tinggalkaan kepada kamu dua urusan, yang kamu sekali kali tidak
akan sesat selama kamu berpegang kepadanya yaitu kitabullah dan Sunnah Rasulullah-
Nya, inilah yang disebutkan sabil, sirath, uswah, tariqah dan tariqah al mustaqim.
Daftar Pustaka
Al-Tahhan, Mahmud. Taisir Mushthalah al-hadis, (Beirut: Dar Al-Qur’an al-
Karim, 1979) 20
Al-khathib M 'Ajjaj . Ushul al-Hadits: 'Ulumuhu wa Mushthalahuln (Beirut: Dar al-
Fikr, 1989), 32
Shahih Al-Bukhari, Bukhari (Beirut: Dar al'Fikr, l40l H/1981 M). 8 jilid 9-10.
Ismail, M. Syuhudi. Pengantar llmu Hadits (Bandung: Angkasa, l99l), 17.
Ash-Shiddieqy,Hasby, Pokok-pokok llmu Dirayah Hadits 1 (Jakarta: Bulan Bintang,
l98l). 43
Ash-Shiddieqy. Pokok-pokok llnu Dirayah Hadits l, 43.
al-Tahanawi, zhafar ,Qava'id fi 'Ulum al-Hadits. 26.
Salih, Subhi , ‘ulum Al -hadis wa mustalahuh.(Beirut: Dar Al-ilm Li malayin.1977),
124
Al-Maliki, 1406, 15, bandingkan Hasbi Ash-Shiddiqie, sejarah dan pengantar ilmu
hadits,(Jakarta: bulan bintang),cet X,1991, 32,tahawuni,1975,0.28.
Ajjaj, 1975, 28, Al-Maliki, 1405, 16, Tahawuni, 1972, 24-26,
Azami, Muhammad Mustafa, Studies In Hadith Metodologi and Literature, 1977,
terjemahan Drs. A.Yamin, Metodologi Kritik Hadits, (Jakarta : Pustaka Hidayah),
cet I, 1992, 19, Al-Qosimi, 1979, 61, Subhi, 1988, 10-11
Yahya , Dr.H.muhammad, ulumul hadis,(Sulawesi Selatan :Syahadah,2016) 5