Penerbit : Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Press Pengarang : Sumanto Al Qurtuby dkk. ISBN : 978-602-6418-75-3 Ukuran :- Halaman : xviii+ 379 hlm Harga :- Tahun : 2021
Indonesia dewasa ini, sebagai negara kesatuan yang utuh sering
mengalami konflik rasial yang tidak jarang banyak memakan korban dan harta. Salah satu etnis yang sering mengalami rasialisme adalah etnis tionghoa yang memuncak pasca pemberontakan G30S/PKI dan kerusuhan pada zaman orde baru penyebab dari tindakan rasialis ini karena kecemburuan perbedaan kelas sosial yang dirasakan orang yang mencap dirinya pribumi. Dalam buku ini kita akan dibawa untuk berwisata masa lalu pada masing-masing babnya yang menyajikan topik menarik seputar etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa jauh sebelum Indonesia berdiri menjadi salah satu pemeran penting dalam pergerakan ekonomi Hindia Belanda karena etnis Tionghoa sendiri banyak bergerak pada bidang usaha dan perdagangan. Pada buku ini juga dijelaskan tentang para pemukim Tionghoa yang berada di pulau Maluku sebagai pedagang jalur internasional, dari jejak bermukim ini mereka bisa disebut sebagai pelopor perubahan model usaha masyarakat dari pola subsisten ke mekanisme pasar. Mereka juga terlibat pada perdagangan internasional cengkeh sejak awal tahun masehi. Etnis Tionghoa yang dijelaskan dalam buku ini, selain membawa perubahan sistem ekonomi, juga banyak membawa perubahan sosial-budaya dan tata busana yang masih bisa dilihat sampai sekarang, seperti ; ika konde, kebaya, dan teknik merajut. Tidak hanya itu para pendatang Tionghoa membawa gaya bangunan Tiongkok yang terdiri dari ornamen, bahan, dan warna yang khas. Walaupun sudah tinggal lama serta menjadi penduduk lokal dan membangun bangunan seperti orang eropa tetapi mereka tetap menyelipkan model bangunan sesuai dengan tradisi dan kpercayaan leluhur di tanah kelahirannya sebab dengan begitu mereka berharap dapat hidup bahagia, makmur, sehat, dan baik. Menurut saya pegangan orang tionghoa yang tidak lupa dengan leluhurnya harus dicontoh karena lewat para leluhur itu kita bisa tentang prilaku terpuji yang memberikan kearifan dan bukan semata-mata untuk membanggakan diri. Dalam sub-sub bab berikutnya kita disuguhkan tentang pengalaman peranakan-peranakan Tionghoa yang berkecimpung dalam dunia sastra. Mereka yang lahir dan besar pada masa krisis identitas memberi kita pandangan bahwa secara perlahan-lahan etnis Tionghoa dapat diterima dengan baik. Selanjutnya di buku ini menceritakan tentang suksesnya seorang Ateng menarik tawa masyarakat Indonesia dengan fisiknya yang mengalami kelainan dan dinamika dangdut mandarin yang pasca tumbangnya kekuasaan presiden Soekarno dilarang serta kembali naik daun setelah dihapusnya larangan oleh Gus Dur dan dinyanyikan oleh Inul Daratista. Dalalam buku ini juga kita diperlihatkan bagaiaana perkembangan pop culture di Indonesia yang tidak lagi mendiskriminasi karya- karya keturunan Tionghoa yang ditandai dengan munculnya film dan lagu yang bernuansa etnis Tiongkok. Mungkin cuma itu yang saya jelaskan selebihnya agar pembaca akan semakin penasaran tentang isi buku ini. Keunggulan buku ini adalah lengkapnya perjalanan etnis Tionghoa beserta dinamikanya setiap zaman. Gaya penulisan yang dipakai juga mudah dimengerti sehingga membuat kita lebih lancar dalam memahami bab-babnya. Kekurangannya mungkin jika kita masih belum hobi untuk membaca akan terasa berat karena halamannya yang lumayan banyak dan kurang menyoroti budaya yang berdifusi antara Nusantara dan Tionghoa. Kesimpulan saya saat membaca buku Tionghoa dan Budaya Nusantara, tentu saja sangat luar biasa sekali, Bisa mengetahui dinamika kehidupan etnis Tionghoa di setiap zaman yang memberikan banyak pengaruh budaya baru ke Nusantara. Jadi saya merekomendasikan buku ini kepada anda yang hobi untuk membaca dan tertarik belajar sejarah.