Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH HUKUM KELUARGA & WARIS BW

“PEMBAGIAN HARTA WARIS KEPADA ANAK DILUAR NIKAH


BERDASARKAN KUH PERDATA”

DI SUSUN OLEH:

NAMA : Idsa Lu’lu’ Fathina Farhani

NIM : A1011191262

KELAS : C (REG)

MAKUL : HUKUM KELUARGA & WARIS BW

PRODI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK

2021
A. Masalah

Hukum waris merupakan salah satu unsur dari hukum perdata secara menyeluruh dan
merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris memiliki keterkaitan
yang sangat erat dengan lingkup kehidupan manusia sejak dahulu hingga sekarang,
dikarenakan manusia pasti akan mengalami kematian. Akibat hukum yang timbul selanjutnya
dengan terjadinya peristiwa hukum kematian sesorang, diantaranya ialah bagaimana
pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesorang yang meniggal dunia
tersebut.

Pembagian harta warisan secara adil dan sesuai aturan yang berlaku merupakan hal
utama dalam proses pewarisan. Di Indonesia, terdapat 3 hukum waris yang berlaku yakni
hukum waris adat, hukum waris islam dan hukum waris perdata. Masing-masing hukum ini
memiliki aturan mengenai waris yang berbeda-beda.

Mengenai siapa saja yang berhak menjadi ahli waris, Hukum waris islam dan KUH
Perdata sependapat bahwa keturunan sah dari seseorang yang meninggal dunia merupakan
ahli waris yang terpenting. Mereka lebih berhak menerima bagian dibandingkan dengan ahli
waris lain. Hal ini dikarenakan kedekatan hubungan darah dan kekerabatannya dengan
pewaris. Namun dalam keadaan tidak biasa, dimana ketika sesorang meninggl dunia, dan
tidak memiliki keturunan sah tetapi berkemungkinan memiliki anak luar nikah yang diakui
sebagai anaknya, dalam hal ini KUHPerdata telah memiliki ketentuan khusus.

Mengingat perkembangan sosial pada masyarakat Indonesia saat ini, semakin banyak
anggapan bahwa hubungan seks di luar ikatan pernikahan yang sah, bukanlah merupakan
suatu masalah yang luar biasa, sehingga seringkali terjadi kelahiran anak di luar suatu ikatan
perkawinan yang sah. Sehingga ketika terkena musibah atau keadaan dimana mereka
meninggal dunia, anak di luar perkawinan sah tetap mendapatkan waris sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata.

Hubungan di luar nikah dapat mengakibatkan kelahiran seorang anak. Anak yang
lahir dari hubungan tersebut disebut anak luar kawin. Menurut Pasal 43 ayat (1) Undang-
undang Perkawinan, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya. Oleh karena status anak tersebut menurut hukum hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya semata, maka yang wajib memberikan
nafkah anak tersebut adalah ibunya dan keluarga ibunya saja. Ketentuan dari hal tersebut,
anak luar kawin tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan pria yang membenihkan
(bapak biologis), dengan hanya mempunyai hubungan perdata dari garis ibunya, maka anak
luar kawin mendapat perlindungan dari undang-undang, artinya semenjak ia dilahirkan
mendapat ibu dari wanita yang melahirkannya.

Sebaliknya wanita itu tidak dapat menghindar bahwa yang dilahirkan bukan anaknya,
dalam akta kelahiran anak yang demikian, dicatat bahwa anak tersebut dilahirkan dari
seorang perempuan. Berbeda dengan anak sah, dalam akta kelahiran dicatat dilahirkan dari
perkawinan suami isteri yang sah. Kemudian konsekuensi lainnya, dengan adanya hubungan
seperti dimaksud, maka anak luar kawin berhak mewarisi dari ibunya dan keluarga ibunya.
Jika ibunya meninggal ia tampil sebagai ahli waris. Begitu pula kalau ibunya meninggal dulu
dari neneknya, anak luar kawin berhak menggantikan kedudukan ibunya mewarisi sewaktu
neneknya meninggal. Bagaimana dengan bapak biologis anak luar kawin tersebut, apakah
masih ada tempat untuk membuat hubungan perdata dengan anak itu. Lalu bagaimanakah
anak luar kawin mendapatkan bagian waris nya yang diatur dalah KUH Perdata?
B. Pembahasan Masalah

1. Pengertian Hukum Waris menurut KUH Perdata


Dari beberapa pengertian hukum waris yang dikemukakan oleh para sarjana
tersebut pada intinya dapat ditarik suatu benang merah bahwa hukum waris adalah
peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seorang yang meninggal dunia
kepada satu atau beberapa orang lain1. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa pada intinya hukum waris adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat
hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan yang berwujud: perpindahan
kekayaan dari si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris,
baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak
ketiga.
Oleh karena itu dalam suatu pewarisan terdapat tiga unsur penting, yaitu:
(1) adanya orang yang meninggal dunia selaku pewaris,
(2) adanya harta kekayaan yang ditinggalkan dan,
(3) adanya ahli waris.
Yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang meninggal dunia dengan
meninggalkan harta kekayaan. Sedangkan yang dimaksud ahli waris adalah orang-
orang yang menggantikan kedudukan si pewaris dalam bidang hukum harta kekayaan,
karena meninggalnya pewaris. Selanjutnya yang dimaksud warisan adalah harta
kekayaan yang dapat berupa kumpulan aktiva dan pasiva dari si pewaris yang
berpindah kepada para ahli waris.
Dari batasan tersebut dapat ditarik suatu asas bahwa dalam hukum waris yang
berpindah di dalam proses pewarisan adalah harta kekayaan si pewaris. Jadi, obyek
hukum waris adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si pewaris (orang yang
meninggal dunia) untuk dibagi bersama di antara para ahli waris sesuai bagian
masing-masing, baik menurut undang undang ataupun berdasarkan wasiat. Harta
kekayaan (vermogen) adalah semua hak-hak dan kewajiban yang dipunyai orang,
yang mempunyai nilai uang.
2. Golongan Ahli Waris
Sebagaimana kita ketahui, bahwa menurut undang undang (B.W) ada urutan-
urutan tertentu mengenai siapa siapa saja yang berhak mewaris, sehingga dalam B.W
kita 1mengenal adanya empat golongan ahli waris yang secara bergilir berhak atas

1
Soebekti, 1983, Kaitan Undang-Undang Perkawinan dengan Penyusunan Hukum Waris, 10-12 Februari 1983.
harta peninggalan si pewaris. Adapun penggolongan ahli waris yang dimaksudkan di
atas adalah:
a) Golongan pertama : suami atau isteri yang hidup terlama serta anak-anak sah
maupun anak luar kawin yang di akui dan keturunannya. Menurut Pasal 852
B.W disebut kan bahwa yang menjadi ahli waris golongan I adalah anak-anak
atau sekalian keturunannya. Artinya jika anak-anak dari golongan I meninggal
dunia maka dia digantikan oleh sekalian keturunannya2. Akan tetapi jika anak-
anak masih hidup pada saat warisan dibagi maka sekalian keturunan dari anak-
anak tidak dapat mewaris karena tertutup oleh orang tuanya. Yang dimaksud
dengan anak-anak ketentuan ini adalah anak-anak yang sah, sedang untuk
anak-anak luar kawin oleh undang-undang ditentukan dan diatur tersendiri.
b) Golongan kedua : Orang tua (ayah dan ibu) dan saudara saudara sekandung
serta anak keturunannya. Pasal 854 ayat (1) B.W menyatakan bahwa apabila
seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan maupun
suami/isteri yang hidup terlama, sedangkan bapak dan ibunya yang masih
hidup akan menjadi ahli waris dari anaknya yang telah meninggal dunia
tersebut.
c) Golongan ketiga: Kakek dan Nenek serta keluarga dalam satu garis lurus ke
atas dari pada si pewaris. Apabila ahli waris golongan I dan golongan II tidak
ada, maka yang berhak mewaris adalah golongan III yang terdiri dari sekalian
keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas. Hal ini ditentukan dalam Pasal 853
B.W bahwa yang dimaksud dengan keluarga dalam garis ayah dan ibu lurus ke
atas adalah: kakek dan nenek, yaitu ayah dan ibu dari ayah ibu pewaris, ayah
dan ibu dari kakek maupun nenek, baik dari ayah maupun dari ibu dan
seterusnya.
d) Golongan keempat : Keluarga garis kesamping sampai derajat
keenam3.Menurut Pasal 858 ayat (1) B.W dalam hal tidak ada saudara
(golongan II) dan sanak sanak saudara dalam salah satu garis lurus ke atas
(golongan III), maka setengah bagian warisan (di-kloving) menjadi bagian
sekalian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas yang masih hidup

2
Effendi Perangin, Hukum Waris, Cet. IV, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
3
Ali Afandi, Hukum Waris, Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Yayasan Badan Penerbit Gajah
Mada, Yogyakarta, 1964.
(kelompok ahli waris dalam garis yang satu), sedang setengah bagian lagi
menjadi bagian dari para sanak saudara dalam garis yang lain.

Apabila si pewaris meninggalkan ahli waris golongan pertama, maka ahli


waris golongan kedua, ketiga dan keempat, tidak menjadi ahli waris (tidak berhak
mewarisi dan jika si pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan pertama,
maka barulah ahli waris golongan kedua mewaris, sedangkan ahli waris golongan
ketiga dan keempat tidak berhak mewaris dan begitulah seterusnya. Oleh karena
itu, maka dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa ahli waris golongan yang
terdahulu menutup kemungkinan mewaris dari ahli waris golongan yang
terkemudian4.

3. Pengertian Anak Luar Kawin


Undang-Undang sendiri tidak dengan tegas mengatakan siapa yang dapat
dikatakan anak luar kawin, tetapi dari pasal 272 BW, dapat kita simpulkan, bahwa
anak-luar kawin yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu,
tetapi yang tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan
sah dengan ibu si anak tersebut, dan tidak termasuk di dalam kelompok anak zinah
dan anak-anak sumbang. Menurut Paul Scholten pada umumnya yang disebut anak
diluar kawin adalah anak-anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan
yang sah5.
Jadi anak luar kawin (dalam arti luas) sebenarnya meliputi:
a) Anak Zinah
b) Anak Sumbang
c) Anak Luar Kawin yang lain.

Menurut Hukum Perdata Barat, syarat agar anak luar kawin dapat mewaris adalah
bahwa anak luar kawin tersebut harus diakui secara sah oleh ayahnya, karena menurut
sistem B.W. pada asasnya hanya mereka yang mempunyai hubungan hukum dengan
si pewaris sajalah yang mempunyai hak waris menurut undang-undang. Hubungan
hukum antara anak luar kawin dan orang tuanya lahir karena pengakuan, sehingga
anak-anak luar kawin berhak untuk mewaris harta peninggalan orang tuanya.

4
Daniel Angkow, Kedudukan Ahli Waris Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Lex et Societatis,
Vol. V/No. 3/Mei/2017.
5
P.Scholten, 1934, Seri Asser, Handleiding tot de Beoefening van het Nederlands Burgerlijck Recht, Jilid 1,
Inleiding-Personenrecht, Cetakan IV, Tjeenk Willink, Zwolle.
Dari uraian tersebut di atas terlihat bahwa B.W. menganut suatu asas bahwa anak
luar kawin baru mempunyai hubungan hukum dengan orang tuanya, setelah orang tua
nya mengakui anak tersebut. Asas tersebut dapat disimpul kan dari pasal 280, 282;
ayat 2, 285, 286 B.W. Asas ini jelas berbeda dengan ketentuan yang berlaku dalam
hukum Islam dan hukum adat. Menurut asas yang berlaku dalam hukum Islam dan
hukum adat anak luar kawin otomatis mempunyai hubungan hukum dengan ibunya,
tanpa perlu adanya pengakuan dari si ibu6. Demikian pula ketentuan dalam Pasal 43
ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menganut asas yang berlainan
dengan B. W. Yakni seorang anak mempunyai hubungan hukum langsung dengan ibu
kandungnya

Di Indonesia, pengakuan oleh orang tua selain dari pada orang yang sungguh-
sungguh bapaknya tidak boleh7. Anak-anak yang diakui secara sah mempunyai
hubungan hukum dengan orang tua yang mengakui. Hal ini berarti bahwa hubungan
antara orang tua yang mengakui dengan anak yang diakui diatur oleh hukum. Hak dan
kewajiban mereka diatur oleh Undang-Undang. Dari beberapa uraian di atas dapat
ditarik suatu prinsip hukum bahwa hubungan hukum antara anak luar kawin dengan
ayah/ibu yang mengakuinya bersifat terbatas, dalam arti hubungan tersebut hanya ada
antara si anak luar kawin dengan ayah/ ibu yang mengakui saja, tidak sampai meliputi
hubungan hukum dengan anggota keluarga lain ayah/ibunya yang mengakui.

4. Pengakuan Terhadap Anak Luar Kawin


Asas hukum yang berlaku bagi anak luar kawin adalah bahwa seorang anak
luar kawin dapat mewaris dengan syarat dia harus diakui secara sah oleh ayah atau
ibunya. Asas ini berlaku karena menurut sistem B.W hanya mereka yang mempunyai
hubungan hukum dengan si pewaris sajalah yang mempunyai hak mewaris menurut
undang undang. Hubungan hukum antara anak luar kawin dengan orang tuanya baru
ada jika sudah ada pengakuan secara sah. Kendati tidak ada hubungan hukum antara
anak luar kawin dengan orang tuanya karena tidak diakui, namun undang-undang
menentukan adanya kewajiban untuk saling memberikan nafkah, atau yang disebut
dengan alimentasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 328 ayat (2) B.W.8

6
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Op. Cit, hal.73
7
Kho Tjay Sing, 1982, Hukum Perdata Jilid 1: Hukum Keluarga (diktat lengkap), Universitas Diponegoro,
Semarang, hal. 401, 402.
8
J. Satrio, 1990, Hukum Waris, Citra Aditya Bakti, Bandung
Apabila anak luar kawin tidak diakui oleh ayahnya, maka ia tidak dapat menuntut
hak-haknya atas harta warisan. Menurut Pasal 281 KUH Perdata bahwa dengan
pengakuan maka akan terwujud hubungan keperdataan antara anak yang diakui
dengan ayah yang mengakui. Apakah pengakuan tersebut telah terjadi secara sukarela
atau dengan paksaan tidak ada perbedaannya dalam pewarisan pada umumnya.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa pengakuan anak luar kawin ini ada dua
macam, yaitu :
a) Pengakuan secara sukarela. Pengakuan ini dapat dilakukan oleh bapak maupun
ibunya seccara sukarela.
b) Pengakuan secara paksaan. Pengakuan ini dapat terjadi karena adanya tuntutan
dari anak luar kawin itu sendiri.
5. Bagian Waris Anak Luar Kawin
a) Bagian Anak Luar Kawin Jika Mewaris Bersama Ahli Waris Golongan I
Apabila pewaris meninggal dunia dengan meninggal kan keturunan yang sah
dan/atau suami/isteri yang hidup terlama, maka anak luar kawin yang
diakuinya mewaris sepertiga bagian dari yang mereka sedianya harus
mendapat seandainya mereka adalah anak yang sah (pasal 863 B.W. bagian
pertama). Keturunan atau anak-anak yang sah dan atau suami/istri pewaris
yang hidup terlama adalah termasuk ahli waris golongan I. Jadi di sini diatur
pewarisan anak luar kawin bersama-sama dengan golongan I. Dalam hal
demikian anak luar kawin menerima sepertiga dari hak yang mereka sedianya
terima seandainya mereka sebagai anak sah.
b) Bagian Anak Luar Kawin Jika Mewaris Bersama Ahli Waris Golongan II dan
Golongan III
Apabila seorang pewaris tidak meninggalkan keturu nan yang sah dan juga
tidak ada suami/isteri yang hidup terlama, akan tetapi pewaris tersebut
meninggalkan keluar ga sedarah dalam garis ke atas maupun saudara laki-laki
dan perempuan atau meninggalkan keturunan saudara, dengan meninggalkan
anak luar kawin, maka berapa bagian anak luar kawin dan bagaimana cara
pembagiannya. Menurut Pasal 863 B.W dikatakan bahwa apabila anak luar
kawin mewaris bersama-sama dengan ahli waris golongan II atau golongan
III, maka mereka mendapat setengah atau separoh dari harta warisan.
c) Bagian Anak Luar Kawin Jika Mewaris Bersama Ahli Waris Golongan IV
Bagian anak luar kawin akan semakin besar jika dia mewaris dengan ahli
waris dari golongan yang derajadnya lebih jauh lagi dari Pewaris. Menurut
Pasal Pasal 863 ayat 1 B.W dikatakan bahwa bagian anak luar kawin apabila
hanya ada sanak saudara dalam derajad yang lebih jauh, adalah tiga perempat.
Maksud kata “sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh” dalam pasal 863
(1) B.W tersebut adalah ahli waris golongan
C. Kesimpulan Dan Saran
1. Kesimpulan
a) Aturan hukum Perdata mengenai hak mewaris anak dari suatu perkawinan, dengan
pertimbangan bahwa perkawinan merupakan dasar terwujudnya pertalian keluarga
dan hal ini melahirkan hak dan kewajiban di antara mereka yang termasuk di dalam
lingkungan keluarga itu. Seorang anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan
biologis yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan akan menyandang
status dan kedudukan di mata hukum berdasarkan perkawinan orang tuanya. Suatu
perkawinan yang sah akan melahirkan seorang anak yang memiliki status dan
kedudukan yang sah di mata hukum, sedangkan seorang anak yang lahir dari suatu
hubungan yang tidak sah tanpa adanya perkawinan yang sah, maka anak tersebut akan
menyandang status sebagai anak luar kawin.
b) Hak mewaris anak di luar perkawinan berdasarkan asas perkawinan monogami yang
dianut oleh BW (Burgerlijke Wetboek) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 dan
asas pengakuan mutlak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 280 BW (Burgerlijke
Wetboek). Sehingga BW menganut prinsip bahwa hubungan keperdataan antara anak
luar kawin dengan orang tua biologisnya tidak terjadi dengan sendirinya. Melainkan
dengan pengakuan dari kedua orang tua biologisnya. Kedudukan anak luar kawin di
dalam hukum secara realitas adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah, dengan
pengertian bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan
dengan anak sah.
2. Saran

Pemerintah diharapkan membuat regulasi yang jelas terutama terhadap hak-hak


keperdataan dari anak luar kawin, sehingga dalam masyarakat Indonesia tidak akan
terjadi lagi permasalahan-permasalahan hukum atau praktik-praktik yang
meniskriminasikan/merugikan kepentingan anak-anak luar kawin.
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, A. (1964). Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Yogyakarta:
Yayasan Badan Pnerbit Gajah Mada.

Angkow, D. (2017). Kedudukan Ahli Waris Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Lex et
Societatis, Vol. V, 71.

Hartanto, A. (2015). Hukum Waris: Kedudukan Dan Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut "Burgerlijck
Wetboek" Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Surabaya: LaksaBang Justitia Surabaya .

Satrio, J. (1990). Hukum Waris. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sing, K. T. (1982). Hukum Perdata Jilid I : Hukum Keluarga (diktat lengkap). Semarang: Universitas
Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai