Anda di halaman 1dari 88

KRITIK TERHADAP TEOLOGI WAHABIYYAH

DI INDONESIA DALAM PEMIKIRAN


SAID AQIL SIRADJ

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
Nama: Fatmawatun
NIM: 11140331000055

PROGRAM STUDI AQIDAH & FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2019 M
LEMBAR PERSETUttAN PEL711BIMBING
KRITIK TERⅡ ADAP TEOLOGI WAHABIYYAⅡ DIINDONESIA DALAM
PEPIIKIRAN SAID AQIL SIRADJ

Skripsi

Dittuktt ke Fakulttt Ushuluddinunmk Memenuhi Persyttatan


Gelar SttanaAgaFna(S.Ag)


げF‐ Oleh:

Fatmawatun
NINI:11140331000055

ah Bimbingan

rcazy H

PROGRAMA STUDI AQIDAⅡ DAN FILSAFAT ISLAIVI


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITASISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1441/2019M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

SkHpsi bettudul (`KRITIK TERHADAP TEOLOGI WAHABIYYAH DI


NDONESIA DALAM PEMIKIRAN SAID AQIL SIRADJマ telⅢ dittukan dalam dalam
iding munaqasy〔 通,Fakultas Ushuluddin Univcrsitas lslam Negeri(UIN)SyarifHidayatullah

akarta.Skripsi ini telah diterima sebagai slah sttu Syarat untuk mcmperoleh gelar Sttana

garlla(S.Ag)pada PrOgram Studi Aqidah dan Filsafat lslam.


ゝ ‐

Ciputat,12 Novelnbcr 2019

Sidang Munaqasyah

I(etua Sekretaris
F一
 眈

1968031994032002 NIP:196806181999032001

Penguji
enguji I,

1993031002

Pembimbing,
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama Fatmawatun
Tempat, Tanggal Lahir Sumenep, l8 Oktober 1995
NIM I I 14033 l0000ss
Program Studi/ Univ. Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Judul Skripsi Kritik Terhadap Teologi Wahabiyyah Di Indonesia
Dalam Pemikiran Said Aqil Siradj

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

l. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I (Sl) di Universitas lslam
Negeri (U$D Syarif Hidayatullah Jakarra.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)


Syari f Hi dayatul lah Jakarta"
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa kary4 ini bukan hasil karya asli saya
' atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 04 Mei 2019

31000055
ABSTRAK

Fatmawatun, NIM: 11140331000055, Judul Skripsi “Kritik Terhadap Teologi


Wahabiyyah Di Indonesia dalam Pemikiran Said Aqil Siradj”.

Dalam skripsi ini penulis membahas tentang Kritik Terhadap Teologi Wahabiyyah
Di Indonesia Dalam Pemikiran Said Aqil Siradj. Kajian terhadap skripsi ini cukup
penting dilakukan, karena eksistensi Wahabi saat ini menyebar dan
pemahamannya mulai mempengaruhi kultur damai dan saling menghormati
perbedaan, yaitu munculnya pernyataan bid’ah dan takfiri dari kaum Wahabi
terhadap ritual-ritual ibadah yang biasa berjalan dan menjadi kebiasaan terutama
pada masyarakat NU. Karena NU sendiri dalam paham ritual ibadahnya sangat
kental dengan tradisi lokal keindonesiaan atau nusantara, sehingga menjadi ciri
khas yang tidak bisa dipisahkan, karena Islam di Indonesia sendiri penyebarannya
lewat jalur kultural dengan cara mendekati budaya yang ada di Indonesia,
sehingga Islam cepat diterima dan Islam menjadi agama mayoritas di negeri ini.

Kajian ini merupakan studi terhadap kritik Said Aqil Siradj yang notabene dari
NU, bagaimana Said Aqil memberikan pemahaman bahwa berdirinya NU
memang untuk mengkonter paham Wahabi yang mulai meresahkan masyarakat
dengan cara dakwahnya yang mudah membid’ahkan dan mengkafirkan
saudaranya se-muslim yang tidak sejalan dengan paham ritual keagamaannya.
Dalam hal ini Said Aqil menolak keras paham Wahabi yang dianggapnya sebagai
embrio atau benih penyebaran radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Dari hasil penelitian ini, penulis menemukan bahwa kritik Said Aqil terhadap
teologi Wahabi sangat berdasar, karena banyak didapatkan kelompok yang
terindikasi penyebar kebencian, membid’ahkan dan mengkafirkan di tengah
masyarakat muslim Indonesia yang awal dengan cara sembunyi-sembunyi, tapi
sekarang dengan terang-terangan kelompok Wahabi mengembangkan dan
melebarkan dakwahnya dengan mengajarkan pada sekelompok masyarakat,
bahwa banyak ajaran ritual keagamaan di Indonesia yang keluar dari ajaran
Sunnah atau yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga, kritik
Said Aqil terhadap teologi Wahabi menjadi penting diangkat dan dikaji secara
mendalam untuk menghidari munculnya kelompok yang mudah membid’ahkan
dan mengkafirkan sesama muslim.

Kata kunci: Wahabi, Takfir, Tabdi’, Tawasul

i
KATA PENGANTAR.

Segala Puji serta rasa syukur yang sangat mendalam penulis panjatkan

kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Menguasai segala sesuatu, di bumi

maupun di langit. Yang Maha Memudahkan segala urusan hamba-Nya. Karena

atas kuasa-Nya lah penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muḥ ammad

SAW. yang telah memberikan tauladan bagi umat manusia dengan perilaku

qur’ānī-nya. Dan atas izin-Nya pula ia memiliki keistimewaan untuk dapat

memberikan syafaat kepada umatnya.

Penulisan Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar sarjana pada program studi Aqidah dan Filsafat Islam fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang

penulis ajukan adalah “Kritik Terhadap Teologi Wahabiyyah di Indonesia Dalam

Pemikiran Said Aqil Siradj.

Penulisan skripsi ini tentu melibatkan berbagai pihak yang turut membantu

dari awal proses penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini. Oleh karena itu,

penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada:

Dr. Arrazy Hasyim.MA sebagai Dosen Pembimbing Skripsi terbaik bagi

penulis. Terima kasih telah meluangkan banyak waktunya untuk membimbing,

menasehati, sekaligus memberikan gagasan-gagasannya kepada penulis. Sehingga

penulisan skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik.

ii
Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, MA. selaku Rektor

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarann.

Lebih khusus, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Dra. Tien

Rohmatin, MA. selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam dan Dra.Banun

Binaningrum, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas

nasehat dan bimbingannya, akhirnya penulis tetap konsisten menyelesaikan judul

skripsi ini.

Seluruh Dosen dan Guru Besar Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan

begitu banyak pengetahuan sekaligus bimbingannya selama empat tahun ini,

khususnya kepada Hanafi S.Ag, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik

penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para pimpinan dan

segenap civitas akademik Fakultas Ushuluddin, segenap Staf Perpustakaan

Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta yang turut membantu penulis dalam menemukan

buku-buku referensi untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Keluarga penulis, khususnya kedua orang tua penulis yang telah

membesarkan dan mendidik penulis dengan kasih sayang, perjuangan, dan

pengorbanan yang begitu luar biasa. Teruntuk Ayahanda tercinta, H. Maksum

yang telah menanamkan semangat berjuang, yang selalu mendampingi penulis

sampai akhir penulisan skripsi ini. Teruntuk Ibunda tercinta,Hj.Siti Salama, yang

selalu memberikan doa terbaiknya di setiap langkah penulis. Semoga Allah SWT.

senantiasa memberikan umur panjang, kesehatan, serta kepada adik tersayang

iii
,Mulhatul Hasanah dan Siti Ruqayyah. Terima kasih untuk doa, semangat, dan

dukungannya kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.

Teman-teman terbaik penulis di Aqidah dan Filsafat Islam Angkatan 2014-

B, khususnya kepada Hidayanti Fadillah Tunnisa, Ita Nurul Faizah, Khairiyah,

aya. Terimakasih karena telah menjadi yang selalu ada bagi penulis selama kurang

lebih empat tahun ini. Teman-teman lainnya yang selalu membantu dalam

menyelesaikan skripsi ini yaitu Ulfiyatul khairoh, Eva dan Laila .Dan kepada

seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang banyak

membantu, mempermudah dan memperlancar hingga skripsi ini akhirnya selesai.

Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT. selalu membimbing

langkah kita menuju jalan yang benar dan diridhai-Nya. Āmīn yā Rabb al-

‘ālamīn.

Jakarta, 20 Oktober 2019


Penulis

Fatmawatun
NIM. 11140331000063

iv
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah...................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 7
E. Metode Penelitian........................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 11

BAB II WAHABIYYAH DALAM LINTAS SEJARAH .............................. 14


A. Sejarah Munculnya Wahabi .......................................................... 15
B. Tokoh-tokoh Yang Mendukung Wahabi ...................................... 25
C. Perkembangan Wahabi di Indonesia ............................................. 27

BAB III BIOGRAFI SAID AQIL SIRADJ .................................................... 35


A. Silsilah Said Aqil Siradj ............................................................... 35
B. Pendidikan dan Guru-guru ............................................................ 39
1. Nusantara .......................................................................................... 39

v
2. Timur Tengah ................................................................................ 40
C. Kiprah kang said dan kontribusi PBNU ............................................... 43
D. Karya Said Aqil Siradj ......................................................................... 47

BAB IV KRITIK SAID AQIL SIRADJ TERHADAP TEOLOGI WAHABIYYAH


DI INDONESIA ................................................................................ 49
A. Ushûl al-Tsalâtsah .......................................................................... 49
1. Ulûhîyah ................................................................................ .. 50
2. Rubûbîyah ................................................................................ 50
3. al-Asmâ’ wa al-Shifât.................................................................. 52
B. Tawasul ......................................................................................... 58
C. Konsep Takfîr dan Tabdî’ ............................................................. 62

BAB V PENUTUP .......................................................................................... 73


A. Kesimpulan ................................................................................... 73
B. Kritik dan Saran ............................................................................. 74

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 75

vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris


‫ا‬ a a ‫ط‬ th ṭ
‫ب‬ b b ‫ظ‬ zh ẓ
‫ت‬ t t ‫ع‬ ‘ ‘
‫ث‬ ts th ‫غ‬ gh gh
‫ج‬ j j ‫ف‬ f f
‫ح‬ ḥ ḥ ‫ق‬ q q
‫خ‬ kh kh ‫ك‬ k k
‫د‬ d d ‫ل‬ l l
‫ذ‬ dz dh ‫م‬ m m
‫ر‬ r r ‫ن‬ n n
‫ز‬ z z ‫و‬ w w
‫س‬ s s ‫ه‬ h h
‫ش‬ sy sh ‫ء‬
‫ص‬ sh ṣ ‫ي‬ y y
‫ض‬ dl ḍ ‫ة‬ h h

Vokal Pendek

Arab Latin
‫أ‬ a
‫إ‬ i
‫ا‬ u

vii
Vokal Panjang

Arab Indonesia
‫آ‬ ā
ْ‫إِى‬ ī
ْ‫او‬ Ū

Diftong

Arab Indonesia
‫أو‬ Au
‫أي‬ Ai

Kata Sandang al- (‫)ال‬

Arab Indonesia
‫ال‬ al-
‫وال‬ wa al-

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam secara historis termasuk agama semitik yang dibawa Nabi

Muhammad SAW, sebagai penutup para nabi. Agama semitik yang lain dan

muncul sebelum Islam adalah agama Yahudi yang dibawa Nabi Musa dan agama

Nashrani yang dipelopori oleh Nabi Isa. Tiga agama semitik ini sama-sama

mengimani keesaan Tuhan (al-tawḥ îd). Namun, ketiganya memiliki syariat dan

spirit yang berbeda.

Islam, sebagai agama semitik terakhir, dikenal luas bukan hanya di tanah

Arab saja melainkan di penjuru dunia termasuk di Indonesia sendiri. Tersebarnya

Islam di tengah-tengah masyarakat bahkan diterima secara legowo tanpa unsur

paksaan tindak terlepas dari visi yang diembanya. Islam membawa misi raḥ mah

li al-ālamīn (rahmat bagi semesta alam). Di samping itu, Islam datang untuk

menegakkan keadilan dan membela kaum yang tertindas sehingga hak-hak yang

dirampas dapat diraih kembali.

Mulai diturunkannya Islam sampai perkembangannya di era kontemporer,

banyak bermunculan dalam tubuh Islam beberapa kelompok yang

mengatasnamakan Islam. Secara historis, tercatat sejak terjadi tahkim (arbitrase)

antara Alî bin Abi Ṭ âlib dan „Abû Sufyân, pengikut Alî terpecah menjadi tiga:

Pertama, Syiah, kelompok yang mengikuti Alî sebagai pemimpin. Kedua,

1
2

Khawârij, kelompok yang memisahkan diri dari Alî. Adapun yang ketiga, Sunni,

kelompok yang berada di posisi tengah.1

Tiga kelompok yang muncul pada beberapa abad yang lalu,

perkembangannya sampai sekarang masih tetap terasa. Kelompok Khawârij yang

dikenal sebagai kelompok ekstrem mengkafirkan pengikut Alî bin Abi Ṭ âlib ,

karena mereka memutuskan hukum di luar keputusan Allah. Di era modern,

ajaran Khawârij dicangkok oleh kelompok-kelompok keras, seperti kelompok

Wahabi2 yang dicetuskan oleh Muḥ ammad bin „Abd al-Wahhâb, yang lahir pada

tahun 1115 H/1703 M. Pendiri kelompok ekstrem ini banyak mempelajari

pemikiran-pemikiran Ibn Taymîyah (w. 728 H/1328 M). Karena, ketertarikannya

pada pemikiran Ibn Taymîyah , maka ia sering kali diklaim mencerminkan

kemunculan yang tertunda dari Ibn Taymîyah .3

Sebagai perkembangan dari kelompok Khawârij, kelompok Wahabi

memiliki doktrin yang hampir sama. Di antara doktrin-doktrin Wahabi adalah

Pertama, doktrin tasyrīk atau menilai sebuah amaliyah tertentu sebagai bagian

dari syirik atau menyekutukan Allah. Doktrin tasyrīk ini misalkan memuat

larangan agar umat tidak meminta pertolongan atau tawassul kepada para wali

1
Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2011), h. 12-13.
2
Pada dasarnya, tidak ada perbedaan antara Salafī dan Wahābī. Keduanya merupakan dua
istilah yang digunakan untuk bentuk yang sama. Bahkan, mereka memiliki keyakinan yang sama.
Di dalam Jazirah Arab mereka dikenal dengan istilah Kaum Wahābī Ḥanbalī, sedangkan di luar
mereka disebut dengan istilah Salafī. Kenapa sebutan Ḥanbalī disematkan kepada Wahabi? Kaum
Wahabi menganut mazhab Hanbali, yakni pengikut Imam Ahmad bin Hanbal yang berpaham
tajsīm dan nawāshib, sekalipun ada sebagian di antara mereka yang berbeda dalam sejumlah
hukum Islam. Selengkapnya, baca Sayyid Hasan al-Saqqaf, Mini Eksiklopedi Wahabi, terj. Ahmad
Anis, (t.t.p.: Kasyafa, 2013), h. 4-5.
3
Ahmad Shidqi, Respon Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Wabisme dan Implikasinya bagi
Deradikalisasi Pendidikan Islam, Jurnal, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. II, No. 1, Juni 2013, h.
112-113
3

dan orang saleh. Apabila seorang muslim melakukan hal tersebut, maka ia

termasuk sebagai musyrik atau kafir sehingga darahnya halal dan wajib diperangi.

Kedua, doktrin bid’ah. Bid‟ah menurut Wahabi, adalah praktik-praktik

keagamaan yang tidak didasarkan atau tidak ada dasarnya dalam Al-Qur‟an dan

sunnah serta otoritas sahabat Nabi SAW. Kaum Wahabi tidak mengakui adanya

bid‟ah yang baik (bid’ah ḥ asanah), melainkan seluruh bid‟ah itu adalah negatif.

Maka, dengan demikian, melakukan tindakan taqlîd (mengikuti secara konsisten

salah satu dari empat madzhab fikih, yaitu Syafi‟ie, Malik, Imam Hanafi, dan

Hanbali) dipandang sebagai bid‟ah, sebab hasil ijtihad dari empat madzhab ini

banyak yang tidak tercakup secara tekstualis dalam dua rujukan Islam, yaitu Al-

Qur‟an dan hadis. Di samping itu, beberapa praktrek keagamaan yang

berkembang di tengah-tengah masyarakat dipandang bid‟ah, seperti memperingati

hari kelahiran Nabi Muḥ ammad SAW. atau yang biasa dikenal dengan Maulid

Nabi. Demikian pula, memperingati kematian seseorang seperti haul atau tahlilan

dalam rangka kematian seseorang juga dianggap bid‟ah.

Beberapa doktrin Wahabi tersebut banyak mendapatkan pertentangan yang

begitu keras dari masyarakat di Nusantara. Mayoritas masyarakat Nusantara

menganut doktrin Sunni yang terbentang kuat di tubuh Nahdhatul Ulama (NU),

sebuah organisasi yang dibangun oleh Ḥadrah al-Syakh Hâsyim „Asy‟ari.

Sedangkan, motif didirikannya NU adalah untuk mempertahankan paham „Ahl al-

Sunnah wa al-Jamā‟ah. Lebih khususnya, NU membentengi umat Islam agar tetap

teguh pada ajaran Islam „Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‟ah, sehingga tidak tergiur

dengan ajaran-ajaran baru yang gemar membid‟ahkan dan mengkafirkan


4

saudaranya sendiri, sehingga dengan keberadaan NU ditanamkan konsep

tawassuṭ (pertengahan), tawâzun (proporsional), ta’âdul (adil), dan tasâmuḥ

(moderat).4 Konsep-konsep NU ini secara tidak langsung mencegah paham-

paham radikal yang mulai berkecambah di negara pluralistik Indonesia.

Kehadiran kelompok Wahabi di Indonesia benar-benar meresahkan

kelompok Sunnī atau „Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‟ah, bahkan mencederai ajaran-

ajaran Sunnī, seperti menganut fikih empat madzhab, mengikuti tasawuf al-

Ghazâlî, dan menganut teologi sekte „Asy‟ariyyah dan Maturidiyyah. Muhammad

Fiqih Maskumambang (1857-1937 M) membongkar kesesatan pemikiran Wahabi

yang merebak di Indonesia. Misalkan, kesesatan dalam menafsirkan kata fî sabîl-

Allah dalam QS. at-Taubah [9]: 60.5 Kata fî sabîl-Allah, menurut Jamāl al-Dīn al-

Dimasyqī, tidak dapat dipahami sebagai pejuang yang maju ke medan perang.

Pandangan Jamāl al-Dīn ini secara tidak langsung mengeklaim para ulama salaf

yang berpendapat bahwa kata fî sabîl-Allah hanya boleh ditafsirkan dengan makna

pejuang perang adalah pendapat yang rapuh tidak ditopang dengan dalil nash Al-

Qur‟an dan hadis. Sehingga dengan demikian pula, Jamāl al-Dīn menganggap

bahwa para ulama Khalaf (mereka yang hidup setelah periode ulama salaf)

mengikuti jejak para ulama salaf hanya berlandaskan pada sikap fanatisme buta

tanpa disertai dalil-dalil. Asumsi Jamāl al-Dīn kurang tepat dan tidak sesuai

4
Amin Farih, “Nahdlatul Ulama (NU) dan Kontribusinya dalam Memperjuangkan
Kemerdekaan dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”, Jurnal,
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24, No. 2, November 2016, h. 258-259
5
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mukallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang
yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Baca, QS.
at-Taubah [9]: 60.
5

dengan Sunnī. Sementara, pemahaman kata fî sabîl-Allah, menurut Ahl al-Sunnah

wa al-Jamā‟ah, adalah suatu jalan (kebaikan) yang dapat membawa pelakunya

sampai kepada Allah swt. Dengan pemahaman seperti ini, kata fî sabîl-Allah

mencakup semua amal ibadah.6

Tindakan ekstrim kelompok Wahabi demikian ditanggapi oleh pendiri NU,

Ḥadrah al-Syakh Hāsyim „Asy‟arī dalam pernyataannya:

“Wahai ulama-ulama! Kalau kamu lihat orang berbuat suatu amalan


berdasar qaul (pendapat) imam-imam yang boleh ditaklid (diikuti),
meskipun qaul itu marjuh (tidak kuat alasannya), jika kamu tidak setuju,
jangan kamu cerca mereka, tetapi berilah petunjuk dengan halus! Dan jika
mereka tidak sudi mengikuti kamu, janganlah mereka dimusuhi. Kalau
kamu berbuat demikian, samalah kamu dengan orang yang membangun
sebuah istana dengan menghancurkan lebih dahulu sebuah kota.”7

Seruan Hāsyim „Asy‟ārī ini bukan hanya ajakan untuk bersatu, melainkan

pula penegasan untuk saling menghormati dan menghargai pendapat masing-

masing, serta menghindari efek negatif seperti kalimat metafor yang digunakan

beliau, yaitu “membangun istana dengan menghancurkan sebuah kota”. Artinya,

tindakan Wahabi yang membabi buta secara tidak langsung dianggap merobohkan

persatuan dan persaudaraan masyarakat Indonesia yang berpegang pada semboyan

Bineka Tunggal Ika, yaitu berbeda-beda tetapi tetapi satu. Di samping itu,

tindakan ekstrem tersebut berseberangan dengan misi Islam yang menebar rahmat

bagi semesta alam, tidak ada paksaan di dalamnya, bahkan menolak kemafsadatan

di muka bumi.

6
Muhammad Fiqih Maskumambang, Menolak Wahabi: Membongkar Penyimpangan Sekte
Wahabi dari Ibnu Taimiyah hingga Abdul Qadir at-Tilmisani, terj. Abdul Aziz Masyhuri, (Depok:
Sahifa, 2015), h. 25-26
7
Mohammad Guntur Romli, Islam Kita, Islam Nusantara: Lima Nilai Dasar Islam
Nusantara, (Ciputat: Ciputat School, 2016), h. 56
6

Usaha yang dilakukan kelompok Sunnī, khususnya NU, patut diapresiasi. Di

mana prinsip moderat yang diajarkan Hāsyim „Asy‟ārī tetapi dipegang kuat

sampai sekarang, tepatnya periode Said Aqil Siradj. Menurut Said Aqil, Wahabi

berbeda bukanlah teroris yang gemar mengebom, tetapi ia adalah sekelompok

yang mengantarkan seseorang menjadi teroris, karena ajarannya yang ekstrem,

gemar mengkafirkan, membid‟ahkan, dan mensyirikan kelompok lain.8 Di

samping itu, Wahabi secara historis bukanlah Khawârij yang muncul pada tahun

ke-37 Hijriyah di awal perkembangan Islam, sementara Wahabi baru hadir pada

abad ke-18 Masehi. Kendati pun demikian, kedua sekte ini memiliki banyak

kesamaan: sama-sama ekstrem dam mengkafirkan.9

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik menulis skripsi ini

dengan judul Kritik terhadap Teologi Wahhabiyah di Indonesia dalam

Pemikiran Said Aqil Siradj.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, maka pertanyaan akedemik yang

muncul adalah: “Bagaimana pandangan Said Aqil Siradj tentang teologi Wahabi

di Indonesia dalam karyanya, Islam Kalap, Islam Karib?”, yang terbagi ke dalam

dua sub pembahasan, yaitu:

1. Bagaimana kritik Said Aqil Siradj terhadap teologi Wahabi di

Indonesia?

8
Untuk lebih lengkapnya, simak channel YouTobe Shofiyah Channel tentang Islam
Nusantara Wahabi dan Syiah yang disampaikan oleh Said Aqil Siradj, dipublikasikan pada tanggal
12 Januari 2018.
9
Said Aqil Siradj dalam buku Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-kitab Karya
Ulama Klasik, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011), h. 15
7

2. Apakah tawaran pemikiran Said Aqil dalam karyanya masih dapat

dianggap relevan dalam konteks Wahabi di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini mengacu terhadap rumusan masalah skripsi ini.

Berdasarkan rumusah masalah di atas, peneliti menulis skripsi ini dengan tujuan

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pandangan Said Aqil Siradj tentang teologi Wahabi di

Indonesia

2. Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan pemikiran Said Aqil Siradj.

Sedangkan, manfaat penelitian dan penulisan skripsi ini sebagai berikut:

1. Memotret perkembangan teologi Wahabi di Indonesia, baik menyangkut

ritual-ritual ibadah maupun menyangkut tindakan ekstrem;

2. Menelaah kritik Said Aqil Siradj terhadap doktrin Wahabi yang

berkembang di Indonesia.

3. Menghasilkan kesimpulan yang komprehensif dan tepat terkait respons

Said Aqil Siradj menyangkut perkembangan teologi Wahabi di Indonesia

4. Memberikan ruang atau sumbangsih pengetahuan kepada peneliti

berikutnya.

D. Tinjauan Pustaka

Setelah menguraikan rumusan masalah kemudian diikuti tujuan dan

kegunaan penilitian, penulis menyertakan telaah pustaka. Bagian ini berfungsi


8

untuk melacak penelitian-penilitian sebelumnya, sehingga terhindar dari plagiat

(pencangkokan karya).

Ada beberapa penilitan yang penulis baca. Pertama, jurnal bertema “Respon

Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Wahabisme dan Implikasinya bagi Deradikalisasi

Pendidikan Islam” yang ditulis Ahmad Shidqi. Tulisan ini menggambarkan

maraknya aksi radikalisme Islam di Indonesia yang dipelopori gerakan

Wahabisme. Kelompok ini kerap mengkafirkan, membid‟ahkan dan mensyirikkan

tindakan kelompok Islam yang lain. NU sebaga salah satu kelompok umat Islam

yang setia mengamalkan beberapa ritus keagamaan seperti tahlil, ziarah kubur,

maulid, kerap dijadikan sasaran dakwah kaum Wahabi ini. Maka, NU, baik dari

struktural maupun dari kultural, berkonsolidasi untuk meretas gerakan

Wahabisme.10 Pada tulisan ini Shidqi jelas meneliti doktrin Wahābi yang

berkembang di Indonesia yang kemudian direspons negatif oleh Nadlatul Ulama,

sebagai salah satu organisasi terbesar di Nusantara yang mencita-citakan prinsip

moderasi Islam. Akan tetapi, penelitian ini tidak menspesikkan kepada pemikiran

tokoh, khususnya pemikiran Said Aqil Siradj sebagai ketua umum PBNU

(Pengurus Besar Nahdlatul Ulama).

Kedua, jurnal bertema “Global Sufism dan Pengaruhnya di Indonesia” yang

ditulis oleh Ubaidillah. Tulisan ini mendiskripsikan upaya gerakan Salafī-Wahabi

dalam menyebarkan ideologinya di penjuru dunia (global salafism) serta

pengaruhnya di Nusantara. Upaya penyebaran ideologi Salafī ke seluruh penjuru

dunia ini antara lain berupa pemberian beasiswa kepada mahasiswa di negara

10
Ahmad Shidqi, Respon Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Wahabisme dan Implikasinya
bagi Deradikalisasi Pendidikan Islam, h. 109.
9

Arab Saudi dengan dana petrodollar yang mereka miliki, lalu alumninya didaulat

untuk menjadi agen penyebaran ideologi mereka di negara asal para mahasiswa

tersebut. Selain itu, penerjemahan-penerjemahan buku berbahasa Arab yang

mengandung ideologi ajaran Salafī juga digalakkan. Bahkan, saat ini gerakan

Salafī mulai merambah pada ranah ekonomi, seperti penjualan madu dan habbah

al-Sawdā’, serta pengobatan bekam di berbagai klinik terapi di berbagai negara,

termasuk di Indonesia.11 Tulisan ini mengkaji gerakan Salafī (sebutan lain dari

Wahabi) dalam menyebarkan doktrinnya. Kendati pun demikian, objek penelitian

tulisan ini bersifat global, tidak fokus di negara Indonesia. Bahkan, objek yang

dikaji bukan tokoh yang mengkritik gerakan ekstrem ini. Objek kajian global

semacam ini belum menyentuh persoalan yang terjadi di negara Indonesia.

Ketiga, skripsi bertema “Analisis Wacana Citra Wahabi dalam Majalah

Aula Edisi Februari 2016” yang ditulis oleh Arina Rahmatika. Penelitian ini

menghasilkan, bahwa majalah Aula memaparkan tema-tema yang mencitrakan

perilaku Wahabi yang berbahaya, Wahabi yang meresahkan masyarakat dengan

mengacak kitab, Wahabi Indonesia yang salah paham dalam melihat Wahabi di

Saudi, Wahabi sebagai penyebar virus radikal dan Wahabi yang salah menunjuk

ulama panutan.12 Pada tulisan ketiga ini, penelitian yang dihidangkan mulai fokus

dibandingkan penelitian pertama dan kedua. Tulisan ini menghidangkan

pemikiran penulis Nusantara dalam merespons doktrin Wahabi yang

11
Ubaidillah, Global Salafism dan Pengaruhnya di Indonesia, Jurnal, Thaqafiyyat, Vol.
13, No. 1, Juni 2012, h. 35.
12
Arina Rahmatika, “Analisa Wacana Citra Wahabi dalam Majalah Aula Edisi Februari
2016”, Skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017, h. 214
10

menyesatkan. Namun, belum dikaji pemikiran Said Aqil Siradj sebagai tokoh

moderat dalam merespons teologi Wahabi yang merebak di Indonesia.

Dari beberapa penelitian di atas, penulis belum mendapatkan hasil

penelitian yang fokus mengkaji pemikiran tokoh moderat Said Aqil Siradj dalam

merespons teologi Wahabi di Indonesia. Maka, dengan demikian, penelitian ini

termasuk langkah awal dan belum dikaji oleh peneliti sebelumnya.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Pengkajian/penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam penelitian library

research (studi kepustakaan), karena obyek penelitian ini adalah literatur, yaitu

mengusahakan sintesis atas buku Islam Kalap, Islam Karib karya Said Aqil

Siradj. Penelitian ini bersifat analisis-deskriptif-kritis yaitu dengan

mengumpulkan data yang telah ada.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua bagian: data primer

dan data sekunder. Sumber data primernya berupa pemikiran Said Aqil Siradj,

baik yang dibukukan maupun tidak, seperti buku Islam Kalap, Islam Karib.

Sedangkan, sumber data sekundernya, yaitu semua buku yang dianggap

berkenaan dengan penelitian ini, baik itu secara langsung atau tidak, terutama

yang menyangkut tentang kritik Said Aqil Siradj terhadap teologi Wahabi.

3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

Kemudian data yang diperoleh akan diolah dengan langkah-langkah sebagai

berikut:
11

a. Pengolahan data dengan cara editing, yaitu data-data yang telah dihimpun

diperiksa kembali secara cermat dari segi kelengkapan, keterbatasan,

kejelasan makna, dan pengertian, kesesuaian satu sama lain, relevansi, dan

keseragaman data.

b. Pengorganisasian data, yaitu pengaturan dan penyusunan data sedemikian

rupa, sehingga menghasilkan bahan-bahan untuk dideskripsikan.

c. Pengalisaan data yang telah terorganisir dengan merumuskan beberapa

pokok persoalan mengenai kritik Said Aqil Siradj terhadap teologi Wahabi

di Indonesia. Kemudian, hasil analisis ini diharapkan mampu menjawab

beberapa pokok permasalahan dalam penelitian ini.

4. Teknik Analisis Data

Setelah semuanya selesai, kemudian penulis menyajikan penelitian ini

dalam bentuk laporan atas hasil yang telah diperoleh dari penelitian tersebut.

Tentunya, dengan cara diskriptif-analisis, yaitu penulis berupaya memaparkan

secara jelas tentang hasil dari penelitian terhadap buku Islam Kalap, Islam Karib

karya Said Aqil Siradj.

F. Sistematika Penulisan

Secara garis besar memuat tiga bagian utama, yaitu memuat pendahuluan,

isi, dan penutup. Berdasarkan uraian dan tujuan penelitian ini, maka sistematika

pembahasan penelitian ini disusun sebagai berikut:

Bab I memuat latar belakang masalah untuk menjelaskan secara akademik

mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan. Pada bagian pendahuluan ini

juga diuraikan beberapa alasan mengapa penulis memilih tema kritik Said Aqil
12

Siradj terhadap teologi Wahabi di Indonesia, apa yang menari dan unik dari tema

tersebut. Selanjutnya dirumuskan beberapa rumusan masalah atau problem

akademik yang hendak dipecahkan dalam penelitian ini sehingga jelaslah masalah

yang akan dijawab. Sedangkan tujuan dan signifikansinya dimaksudkan untuk

menjelaskan pentingnya penelitian ini dan kontribusinya bagi perkembangan

keilmuan. Kajian pustakan disertakan untuk menghindari plagiasi atau

pencangkokan karya dari penelitian sebelumnya. Sedangkan metode dan langkah-

langkahnya dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana proses dan prosedur serta

langkah-langkah yang akan dilakukan penulis dalam penelitian ini, sehingga

sampai kepada tujuan menjawab problem-problem akademik yang menjadi

kegelisahan penulis.

Bab II merupakan uraian tentang sejarah polemik Wahabi, mulai

kemunculan pertama hingga kemunculan ketiga. Selain itu, bagian ini

menguraikan tokoh-tokoh polemik Wahabi dan kemudian dilanjutkan dengan

uraian tentang perkembangan Wahabi di Indonesia.

Bab III membahas tentang biografi Said Aqil Siradj sebagai objek penelitian

dalam skripsi ini. Beberapa bagian yang penting untuk dibahas adalah silsilah,

pendidikan, guru-guru, dan karya-karyanya.

Masuk pada bagian bab IV adalah menjelaskan ushul al-tsalatsah (tiga

prinsip) Wahabi, meliputi uluhiyyah, rububiyyah, dan asma’. Dilanjutkan

kemudian dengan pembahasan tawassul dan diakhiri dengan analisa takfir

(pengkafiran) dan tab’di’ (pembid‟ahan).


13

Baru masuk bab V adalah penutup berisi kesimpulan yang merupakan

jawaban rumusan masalah sebelumnya dan diakhiri saran-saran kontruktif bagi

penelitian lebih lanjut dan lebih sistematis.


BAB II

WAHABI DALAM LINTASAN SEJARAH

Wahabi lebih tepatnya Wahabisme atau Salafi adalah sebuah aliran

reformasi keagamaan dalam Islam. Aliran ini dirintis oleh seorang teolog muslim

abad ke-18 yang bernama Muhammad bin ‘Abd al-Wahhâb yang berasal dari

Najd, Arab Saudi. Aliran ini digambarkan sebagai sebuah aliran Islam yang

ultrakonservatif, keras, atau puritan.1

Pendukung aliran ini percaya bahwa gerakan mereka adalah gerakan

reformasi Islam untuk kembali kepada ajaran monoteisme murni yang

berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis, bersih dari segala ketidakmurnian seperti

praktik-praktik yang dianggap bid’ah, syirik dan khurafat. Sementara penentang

ajaran ini menyebut Wahabi sebagai gerakan sektarian yang menyimpang, sekte

keji, dan sebuah distorsi ajaran Islam.2

Saat ini Wahabisme merupakan aliran Islam yang dominan di Arab Saudi

dan Qatar. Ia dapat berkembang di dunia Islam melalui pendanaan masjid, sekolah

dan program sosial.3 Dakwah utama Wahabisme adalah Tauhid yaitu Keesaan dan

Kesatuan Allah. Muhammad bin ‘Abd al-Wahhâb dipengaruhi oleh tulisan-

tulisan Ibn Taymîyah dan mempertanyakan interpretasi Islam dengan

mengandalkan al-Qur’an dan hadis. Ia mengincar kemerosotan moral yang

1
Zaenal Abidin, Wahabisme, Transnasionalisme dan Gerakan-Gerakan Radikal Islam di
Indonesia, Jurnal Tasâmuh, Vol. 12 No. 2, Juni 2015, h. 130
2
Ahmad Shidqi, Respon Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Wahabisme dan Implikasinya
bagi Deradikalisasi Pendidikan Islam, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. II No. 1, Juni 2013, h. 112-
113
3
Abu Muhammad waskito,Mendamaikan Ahlus Sunnah di Nusantara (Jakarta: pustaka
alkautsar2012), h. 133

13
14

dirasakan, kelemahan politik di Semenanjung Arab, mengutuk penyembahan

berhala, pengkultusan orang-orang suci, pemujaan kuburan orang yang saleh, dan

melarang menjadikan kuburan sebagai tempat beribadah.4

A. Sejarah Kemunculan Wahabi

Berdirinya Kerajaan Saudi Arabia dan paham Wahabi. Dr. Abdullâh

Mohammad Sindi, di dalam sebuah artikelnya yang berjudul Britain and the Rise

of Wahhabism and the House of Saud menyajikan tinjauan ulang tentang sejarah

Wahabisme serta pemerintah Inggris di dalam perkembangan dan hubungannya

dengan peran keluarga kerajaan Saudi. Wahabi merupakan salah satu sekte Islam

yang paling kaku dan paling reaksioner saat ini. Dan kita tahu bahwa Wahabi

adalah ajaran resmi Kerajaaan Saudi Arabia, tambahnya.5

Wahabisme dan keluarga Kerajaan Saudi telah menjadi satu kesatuan yang

tak terpisahkan sejak kelahiran keduanya. Wahabisme telah menciptakan kerajaan

Saudi, dan sebaliknya keluarga Saudi membalas jasa itu dengan menyebarkan

paham Wahabi ke seluruh penjuru dunia. Wahabisme memberi legitimasi bagi

Istana Saudi, dan Istana Saudi memberi perlindungan serta mempromosikan

Wahabisme ke seluruh penjuru dunia. Keduanya tak terpisahkan karena saling

mendukung satu dengan yang lain.6

4
Sayyid Hasan Al-Saqqaf , Mini Ensiklopedi Wahabi,Penerjemah Ahmad Anis (Beirut:
Dar Al Imam Ar Rawwas, 2013), h. 6
5
Asep Saifuddin Chalim, Aswaja; Pedoman untuk Pelajar, Guru, dan Warga NU,
(Jakarta: Emir 2017), h. 100
6
Edwar Mortimer, Islam dan Kekuasaan, terj. Enna Hadi dan Rahmani Astuti, (Bandung:
Mizan 1984), h. 52
15

Wahabisme memperlakukan perempuan sebagai warga kelas tiga,

membatasi hak-hak mereka seperti: menyetir mobil, bahkan pada dekade lalu

membatasi pendidikan mereka. Bahkan, Wahabisme melarang perayaan Maulid

Nabi Muhammad SAW, melarang kebebasan berpolitik dan secara konstan

mewajibkan rakyat untuk patuh secara mutlak kepada pemimpin-pemimpin

mereka, melarang mendirikan bioskop sama sekali, menerapkan hukum Islam

hanya atas rakyat jelata, dan membebaskan hukum atas kaum bangsawan, kecuali

karena alasan politis, dan mengizinkan perbudakan sampai tahun 60-an.7

Mereka juga menyebarkan mata-mata atau agen rahasia yang selama 24 jam

memonitor demi mencegah munculnya gerakan anti-kerajaan. Wahabisme juga

sangat tidak toleran terhadap paham Islam lainnya, seperti terhadap Syi’ah dan

Sufisme (Tasawuf). Wahabisme juga menumbuhkan rasialisme Arab pada

pengikut mereka. Tentu saja rasialisme bertentangan dengan konsep Ummah

Wahidah di dalam Islam. Wahabisme juga memproklamirkan bahwa hanya ajaran

mereka yang paling benar dari semua ajaran-ajaran Islam yang ada dan siapapun

yang menentang Wahabisme dianggap telah melakukan bid’ah dan kafir.

B. Lahirnya Ajaran Wahabi

Wahabisme atau ajaran Wahabi muncul pada pertengahan abad 18 di

Dir’iyyah sebuah dusun terpencil di Jazirah Arab, Najd. Kata Wahabi sendiri

diambil dari nama pendirinya, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb (1703-1792).8 Ia

7
Zainal Abidin Syihab, Wahabi dan Reformasi Islam Internasional, (Jakarta: Pustaka Dian,
1986), h. 25
8
Khaled Abu El Fadl, Sejarah Wahabi dan Salafi, terj. Helmi Mustofa, (Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta), cet I, h.7
16

lahir di Najd, Uyayna. Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb adalah seorang mubaligh

yang fanatik dan telah menikahi lebih dari 20 wanita (tidak lebih dari 4 pada

waktu bersamaan) dan mempunyai 18 orang anak. Sebelum menjadi seorang

mubaligh, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb secara ekstensif mengadakan

perjalanan untuk keperluan bisnis, pelesiran, dan memperdalam agama ke Hijaz,

Mesir, Siria, Irak, Iran, dan India.9

Walaupun Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb dianggap sebagai Bapak

Wahabisme, namun aktualnya Kerajaan Inggris-lah yang membidani kelahirannya

dengan gagasan-gagasan Wahabisme dan merekayasa Muhammad Ibn ‘Abd al-

Wahhâb sebagai Imam dan Pendiri Wahabisme untuk tujuan menghancurkan

Islam dari dalam dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah yang berpusat di Turki.

Seluk-beluk dan rincian tentang konspirasi Inggris dengan Muhammad Ibn ‘Abd

al-Wahhâb ini dapat ditemukan dalam memori Mr. Hempher, Confessions of a

British Spy.10 Selagi di Basra, Iraq, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb muda jatuh

dalam pengaruh dan kendali seorang mata-mata Inggris yang dipanggil dengan

nama Hempher yang sedang menyamar (undercover). Salah seorang mata-mata

yang dikirim London untuk negeri-negeri Muslim (di Timur Tengah) dengan

tujuan menggoyang kekhalifahan Utsmaniyyah dan menciptakan konflik di antara

sesama kaum Muslim. Hempher pura-pura menjadi seorang Muslim, dan

memakai nama Muhammad, dan dengan cara yang licik, ia melakukan pendekatan

9
Muhammad bin Sa’ad Asyy-suwa’ir, Wahabi dan Imprealisme, penerjemah Abu
muawiyah Hammad (Jakarta:Gria ilmu, 2010), cet.I, h.89
10
Nur Kholik Ridwan, Doktrin Wahabi dan Benih-benih Citra Islam, (Yogyakarta: Tanah
Air 2009), h. 3
17

dan persahabatan dengan Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb dalam waktu yang

relatif lama.11

Hempher, yang memberikan Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb uang dan

hadiah-hadiah lainnya serta mencuci-otak Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb

dengan meyakinkannya bahwa orang-orang Islam mesti dibunuh karena mereka

telah melakukan penyimpangan berbahaya kaum Muslim yang telah keluar dari

prinsip-prinsip Islam yang mendasar. Baginya mereka telah melakukan perbuatan-

perbuatan bid’ah dan syirik.12 Hempher juga merekayasa sebuah mimpi liar (wild

dream) dan mengatakan bahwa dia bertemu Nabi Muhammad Saw mencium

kening (di antara kedua mata) Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb. Ia mengatakan

kepada Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb bahwa dia akan jadi orang besar serta

meminta kepadanya untuk menjadi orang yang dapat menyelamatkan Islam dari

berbagai bid’ah dan takhayul. Setelah mendengar mimpi Hempher, Muhammad

Ibn ‘Abd al-Wahhâb menjadi lebih percaya diri dan terobsesi untuk melahirkan

suatu aliran baru di dalam Islam yang bertujuan memurnikan dan mereformasi

Islam.13

C. Kerajaan Saudi-Wahabi Pertama: 1744-1818

Setelah kembali ke Najd dari perjalanannya, Muhammad Ibn ‘Abd al-

Wahhâb mulai berdakwah dengan gagasan-gagasannya di Uyayna. Bagaimana

11
Ahmad Syafi’i Mufid, Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia,
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI 2011), h. 6
12
Khaled Abu El Fadl, Sejarah wahabi dan Salafi, terj. Helmi Mustofa, (Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta), cet I, h. 31
13
Edwar Mortimer, Islam dan Kekuasaan, h. 52
18

pun, dakwahnya yang keras dan kaku membuatnya diusir dari tempat

kelahirannya. Lalu ia berdakwah di sekitar Dir’iyyah, dimana sahabat karibnya

Hempher dan beberapa mata-mata Inggris berada dalam penyamaran ikut

bergabung dengannya.14

‘Abd al-Wahhâb juga tanpa ampun membunuh seorang pezina penduduk

setempat di hadapan orang banyak dengan cara kasar seperti menghajar kepala

pezina dengan batu besar. Padahal, hukum Islam tidak mengajarkan hal seperti itu

(ayat al-Qur’an). Para ulama Islam (Ahlus Sunnah) tidak membenarkan tindakan

Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb yang sangat berlebihan seperti itu.

Walaupun banyak orang yang menentang ajaran Muhammad Ibn ‘Abd al-

Wahhâb yang keras, kaku termasuk ayah dan saudaranya Sulaiman Muhammad

Ibn ‘Abd al-Wahhâb. Keduanya adalah orang-orang yang benar-benar memahami

ajaran Islam. Dengan uang, mata-mata Inggris telah berhasil membujuk

Muhammad Saud untuk mendukung Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb.15

Pada 1744, al-Saud menggabungkan kekuatannya dengan Muhammad Ibn

‘Abd al-Wahhâb untuk membangun sebuah aliansi politik, agama dan

perkawinan. Dengan aliansi ini, antara keluarga Saud dan Muhammad Ibn ‘Abd

al-Wahhâb lahirlah wahhabisme sebagai agama dan gerakan politik telah lahir.

Atas penggabungan ini setiap kepala keluarga al-Saud beranggapan bahwa mereka

menduduki posisi Imam Wahhabi (pemimpin agama), sementara itu setiap kepala

14
Kekerasan Wahabi salah satunya diwujudkan dalam persoalan jihad. Ahmad Syafi’i
Ma’arif, Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: The
Wahid Institute, 2009), h. 67
15
Ahmad bin Zaini Dahlan, Mutiara Bercahaya dalam Menolak paham Wahabi,
penerjemah Aan najib Mustofa (Pasuruan: Garoeda Buana indah pasuruan, 1995), cet III, h.106
19

keluarga Wahhabi memperoleh wewenang untuk mengontrol ketat setiap

penafsiran agama (religious interpretation).16

Hasil aliansi Saudi-Wahabi pada 1774, sebuah kekuatan angkatan perang

yang terdiri dari orang-orang Arab Badui yang terbentuk dari bantuan para mata-

mata Inggris.17 Sampai pada waktunya, angkatan perang ini pun berkembang

menjadi sebuah ancaman besar yang pada akhirnya melakukan teror di seluruh

Jazirah Arab sampai ke Damaskus (Suriah), serta menjadi penyebab munculnya

fitnah terburuk dalam Sejarah Islam (pembantaian atas orang-orang sipil dalam

jumlah yang besar). Dengan cara ini, angkatan perang mampu menaklukkan

hampir seluruh Jazirah Arab untuk menciptakan Negara Saudi-Wahhabi yang

pertama.18

Sebagai contoh, untuk memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai

syirik dan bid’ah yang dilakukan oleh kaum Muslim, Saudi-Wahhabi telah

mengejutkan seluruh dunia Islam pada 1801. Tindakannya yang menghancurkan

dan menodai kesucian makam Imam Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad Saw)

di Karbala, Irak. Mereka juga tanpa ampun membantai lebih dari 4.000 orang di

Karbala dan merampok lebih dari 4.000 unta yang mereka bawa sebagai harta

rampasan. Pada 1810, Wahabi membunuh penduduk yang tidak berdosa di

sepanjang Jazirah Arab. Mereka menggasak dan menjarah banyak kafilah

16
Muhammad bin Sa’ad Asyy-suwa’ir, Wahabi dan Imprealisme, h. 97
17
Faizah, Pergulatan Teologi Salafi dalam Mainstream Keberagamaan Masyarakat
Sasak, Jurnal, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 16 Nomor 2 (Desember) 2012, h. 377
18
Sayyid Hasan Al-Saqqaf , Mini Ensiklopedi Wahabi,Penerjemah Ahmad Anis (Beirut:
Dar Al Imam Ar Rawwas, 2013), h. 9
20

peziarah dan sebagian besar di kota Hijaz, termasuk 2 kota suci Makkah dan

Madinah.19

Di Makkah, mereka membubarkan para peziarah dan di Madinah mereka

menyerang, menodai Masjid Nabawi, membongkar makam Nabi, dan menjual

serta membagi-bagikan peninggalan bersejarah dan permata-permata yang mahal.

Para teroris Saudi-Wahhabi ini telah melakukan tindak kejahatan yang

menimbulkan kemarahan kaum Muslim di seluruh dunia termasuk kekhalifahan

Utsmaniyyah di Istanbul. Sebagai penguasa yang bertanggung jawab atas

keamanan Jazirah Arab dan penjaga masjid-masjid suci Islam, Khalifah Mahmud

II memerintahkan sebuah angkatan perang Mesir dikirim ke Jazirah Arab untuk

menghukum klan Saudi-Wahhabi.20

Pada 1818, angkatan perang Mesir yang dipimpin Ibrahim Pasha (putra

penguasa Mesir) menghancurkan Saudi-Wahhabi dan meratakan kota Dir’iyyah.

Imam kaum Wahhabi saat itu, Abdullah al-Saud dan dua pengikutnya dikirim ke

Istanbul untuk dihukum pancung dan dirantai dihadapan orang banyak. Sisa klan

Saudi-Wahhabi ditangkap di Mesir.

D. Kerajaan Saudi-Wahabi ke-II: 1843-1891

Walaupun Wahabisme berhasil dihancurkan pada 1818, namun dengan

bantuan Kolonial Inggris mereka dapat bangkit kembali. Setelah pelaksanaan

hukuman mati atas Imam Abdullah al-Saud di Turki, sisa-sisa Saudi-Wahhabi

19
Faizah, Pergulatan Teologi Salafi dalam Mainstream Keberagamaan Masyarakat
Sasak, h. 382
20
Khaled Abou El-Fadhl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustafa,
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta 2006), h. 61
21

memandang saudara-saudara Arab dan Muslim mereka sebagai musuh yang

sesungguhnya dan sebaliknya mereka menjadikan Inggris dan Barat sebagai

sahabat sejati mereka. Maka ketika Inggris menjajah Bahrain pada 1820 dan mulai

mencari jalan untuk memperluas area jajahannya, Dinasti Saudi-Wahhabi

menjadikan kesempatan ini untuk memperoleh perlindungan dan bantuan

Inggris.21

Pada 1843, Imam Wahhabi yaitu Faisal Ibn Turki al-Saud berhasil

melarikan diri dari penjara di Cairo dan kembali ke Najd. Imam Faisal kemudian

mulai melakukan kontak dengan Pemerintah Inggris. Pada 1848, dia memohon

kepada Residen Politik Inggeris di Bushire agar mendukung perwakilannya di

Trucial Oman. Pada 1851, Faisal kembali memohon bantuan dan dukungan

Pemerintah Inggris. Pada 1865, Pemerintah Inggris mengirim Kolonel Lewis

Pelly ke Riyadh untuk mendirikan sebuah kantor perwakilan Pemerintahan

Kolonial Inggris dengan perjanjian bersama Dinasti Saudi-Wahhabi untuk

mengesahkan Kolonel Lewis Pelly.

Imam Faisal mengatakan bahwa perbedaan besar dalam strategi Wahhabi

antara perang politik dengan perang agama adalah tidak akan ada kompromi

membunuh semua orang. Pada 1866, Dinasti Saudi-Wahhabi menandatangani

sebuah perjanjian dengan pemerintah Kolonial Inggris kekuatan yang dibenci oleh

semua kaum Muslim karena kekejaman kolonialnya di dunia Muslim. Perjanjian

21
Mahmud Hibatul Wafi, Diskursus Reformasi Arab Saudi: Kontestasi Kerajaan Saudi
Dan Wahabi, Jurnal Islamic World and Politics, Vol.2. No.1 January-Juni, h. 228-229
22

ini serupa dengan banyak perjanjian tidak adil yang selalu dikenakan kolonial

Inggris di Teluk Arab (sekarang dikenal dengan Teluk Persia).22

Sebagai pertukaran atas bantuan pemerintah kolonial Inggris yang berupa

uang dan senjata pihak Dinasti Saudi-Wahhabi menyetujui untuk bekerja sama

dengan pemerintah kolonial Inggris. Isi perjanjiannya ialah pemberian otoritas

atau wewenang kepada pemerintah kolonial Inggris atas area yang dimilikinya.

Perjanjian yang dilakukan Dinasti Saudi-Wahhabi dengan musuh paling getir

bangsa Arab dan Islam yaitu Inggris, pihak Dinasti Saudi-Wahhabi telah

membangkitkan kemarahan yang hebat dari bangsa Arab dan Muslim lainnya baik

negara-negara yang berada di dalam maupun yang diluar wilayah Jazirah Arab. 23

Dari semua penguasa Muslim yang paling merasa disakiti atas

pengkhianatan Dinasti Saudi-Wahhabi ini adalah seorang patriotik bernama al-

Rasyid dari klan al-Hail di Arabia tengah. Dengan dukungan orang-orang Turki,

al-Rasyid menyerang Riyadh lalu menghancurkan klan Saudi-Wahhabi.

Bagaimanapun, beberapa anggota Dinasti Saudi-Wahhabi sudah mengatur untuk

melarikan diri diantaranya adalah Imam Abdul-Rahman al-Saud dan putranya

yang masih remaja, Abd al-Aziz. Dengan cepat keduanya melarikan diri ke

Kuwait untuk mencari perlindungan dan bantuan Inggris.

22
Mahmud Hibatul Wafi, Diskursus Reformasi Arab Saudi Kontestasi Kerajaan Saudi
Dan Wahabi, h. 230
23
Mahmud Hibatul Wafi, Diskursus Reformasi, h. 232
23

E. Kerajaan Saudi-Wahhabi ke III (Saudi Arabia): Sejak 1902

Ketika di Kuwait Imam Abdul Rahman dan putranya, Abd al-Aziz

menghabiskan waktu mereka menyembah-nyembah tuan Inggris mereka dan

memohon-mohon akan uang, persenjataan serta bantuan untuk keperluan merebut

kembali Riyadh. Namun pada akhir penghujung 1800-an, usia dan penyakit nya

telah memaksa Abdul Rahman untuk mendelegasikan Dinasti Saudi Wahhabi

kepada putranya yang kemudian menjadi Imam Wahhabi yang baru.24

Pada abad 20 melalui strategi licin kolonial Inggris di Jazirah Arab dengan

cepat menghancurkan Kekhalifahan Islam Utsmaniyyah dan sekutunya klan al-

Rasyid secara menyeluruh, kolonial Inggris langsung memberi sokongan kepada

Imam baru Wahhabi Abd al-Aziz. Dibentengi dengan dukungan kolonial Inggris,

uang dan senjata. Imam Wahhabi yang baru, akhirnya dapat merebut Riyadh dan

ia menteror penduduknya dengan memaku kepala al-Rasyid pada pintu gerbang

kota. Abdul-Aziz dan para pengikut fanatik Wahhabinya juga membakar hidup-

hidup 1.200 orang. 25

Abd al-Aziz yang dikenal di Barat sebagai Ibn Saud, ia sangat dicintai oleh

majikan Inggrisnya. Banyak pejabat dan utusan Pemerintah Kolonial Inggris di

wilayah Teluk Arab yang menemui atau menghubunginya, dan dengan murah-hati

mereka mendukungnya dengan uang, senjata dan para penasihat. Sir Percy Cox,

Captain Prideaux, Captain Shakespeare, Gertrude Bell, dan Harry Saint John

Philby (yang dipanggil Abdullah) adalah di antara banyak pejabat dan penasihat

24
Idahram, Sejarah Berdarah Sehte Salafi Wahabi, h. 120
25
Mahmud Hibatul Wafi, Diskursus Reformasi Arab Saudi : Kontestasi Kerajaan Saudi
Dan Wahabi, h. 234
24

kolonial Inggris yang secara rutin mengelilingi Abdul Aziz demi membantunya

memberikan apa pun yang dibutuhkannya.

Dengan senjata, uang dan para penasihat dari Inggris berangsur-angsur Abd

al-Aziz menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab di bawah panji-panji

Wahhabisme untuk mendirikan Kerajaan Saudi-Wahhabi ke-3, yang saat ini

disebut Kerajaan Saudi Arabia. Ketika mendirikan Kerajaan Saudi Abd al-Aziz

beserta para pengikut melakukan pembantaian yang mengerikan, khususnya di

daratan suci Hijaz.

Pada May 1919 di Turbah, pada tengah malam mereka menyerang angkatan

perang Hijaz, membantai lebih 6.000 orang. Pada tahun1924 tepatnya bulan

Agustus tentara Saudi-Wahabi mendobrak memasuki rumah-rumah di Hijaz, Taif.

Mereka mengancam, mencuri uang, persenjataan, memenggal kepala anak-anak

kecil dan orang-orang yang sudah tua. Banyak wanita Taif yang segara meloncat

ke dasar sumur air demi menghindari pemerkosaan dan pembunuhan yang

dilakukan tentara-tentara Saudi-Wahhabi.26

Tentara primitif Saudi-Wahhabi ini juga membunuhi para ulama dan orang-

orang yang sedang melakukan shalat di masjid. Hampir seluruh rumah-rumah di

Taif diratakan dengan tanah tanpa pandang bulu. Mereka membantai beberapa

laki-laki yang ditemui di jalan-jalan juga. Lebih dari 400 orang tak berdosa ikut

dibantai dengan cara mengerikan di Taif.

26
Mahmud Hibatul Wafi, Diskursus Reformasi Arab Saudi : Kontestasi Kerajaan Saudi
Dan Wahabi, h. 235
25

F. Tokoh-tokoh Yang Mendukung Wahabi

Sekte Wahabi yang telah berkembang di belahan dunia tentunya diajarkan

oleh beberapa tokoh.

1. Muhammad bin Abd al-Wahhâb

Muhammad bin Abd Wahhâb lahir pada tahun 1111H. Dan wafat pada

tahun 1217. Jadi usia hidupnya sekitar 92 tahun. Jabatan penting di Kerajaan

Arab Saudi: Pendiri dan pelopor gerakan Wahabi/Salafi dan Mufti Kerajaan Arab

Saudi.27 Karya-karyanya mencakup Rasâ’il al-‘Aqīdah, Kitâb al-Kabâ’ir,

Mukhtashar al-‘Insâb wa al-Syarh al-Kabīr, Mabhats al-‘Ijtihâd wa al-Khilâf,

Kitâb al-Thahârah, Syurūth al-Shalâh wa ‘Arkânihâ wa wâjibâtihâ, Kitâb ‘Âdâb

al-Masyy ‘ila al-Salâh, ‘Ahkâm Tamannī al-Maut, dan beberapa kitab yang lain.28

2. Abd al-‘Azīz bin Abdullâh bin Baz

Abd al-‘Azīz bin Abdullâh bin Baz (1330 H-1420 H / 1910 M-1999 M).

Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi: Qadhi (Hakim) di daerah al-Kharaj

semenjak tahun 1357-1371 H, Tahun 1390 H-1395 H Rektor Universitas Islam

Madinah tahun 1414 H Mufti Umum Kerajaan. Kitab atau buku karya tulis bin

Baz: Al-Imâm Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb: Da’watuhu wa Sīratuhu, Bayan

Ma’na Kalimah Lâ Ilah Illâ-Llâh, Al-Aqīdah al-Shahīhah wamâ Yudhadduhâ, Al-

Da’wah ila-Llâh, dan beberapa karya yang lain.29

3. Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin

27
Muhammad Faqih bin Abdul Djabbar maskumambang, menolak wahabi, (Depok:
Sahifa, 2015), h. 4
28
Mukhamad Syamsul Huda, Pengaruh Pemikiran Teologi Muammad bin Abd al-
Wahhab terhadap Pemerintahan Dinasti Saudi Arabia Ketiga, Tesis, UIN Sunan Kalijaga, 2014,
h. 27-28
29
‘Abd al-Azīz bin ‘Abdullâh bin Baz, Fatwa-Fatwa Terkini, terj. Musthafa Aini,
(Jakarta: Darul Haq 2003), h. 14.
26

Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin (1347 H-1421 H). Al-Utsaimin adalah

pakar fiqih-nya kalangan Wahabi Salafi. Banyak persoalan hukum baru yang

difatwakan olehnya. Seperti haramnya mengucapkan selamat natal, dan lain-lain.

Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi: Imam masjid jami’ al Kabir Unaizaih,

Mengajar di perpustakaan nasional Unaizah, Dosen fakultas syariah dan fakultas

ushuluddin cabang Universitas Islam Imam Muhammad bin saud di Qasim.30

Kitab atau buku karya tulis Al-Utsaimin: Usūl fī al-Tafsīr, Syarh

Muqaddimah al-Tafsīr, Tafsīr al-Qur’ân al-Karīm, Majmū’ al-Fatâwâ, Al-Qaul

al-Mufīd fī al-Syarh Kitâb al-Tauhīd, Al-Ibdâ’, fī Kamâl al-Syar’i wa Khathr al-

Ibtidâ’, Risâlah al-Hijâb, Syarhr, dan beberapa karya yang lain.

4. Muhammad Nashir al-Dīn al-Albânī

Muhammad Nashir al-Dīn al-Albânī (1333 H-1420 H/1914 M-1999 M).

Jabatan penting di Kerajaan Arab Saudi: Tahun 1381-1383 H: Dosen Hadits

Universitas Islam Madinah. Kitab atau buku karya tulis Al-Albani, antara lain,

Silsilah al-Ahâdīts al-Shahīhah, Silsilah al-Ahâdīts al-Dha’īfah, Shahīh al-

Targhīb wa al-Tarhīb, Dha’īf al-Targhīb wa al-Tarhīb, Shahīh wa Dha’īf al-Adab

al-Mufrad, Dha’īf Sunan al-Tirmidzī, dan beberapa kitab yang lain. 31

5. Shâlih bin Fauzân bin Abdullâh Al-Fauzân

Shâlih bin Fauzân bin Abdullâh Al-Fauzân (1345 H). Jabatan penting di

Kerajaan Arab Saudi: Dosen Institut Pendidikan Riyad, Dosen Fakultas Syari’ah,

Fakultas Ushulud Dien, Mahkamah Syariah, Anggota Lajnah Daimah lil Buhuts

30
Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin, Fatâwâ Nūr alâ al-Darb, h. 1
31
Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan, Genealogi dan Ajaran Salafi, (Ciputat:
Yayasan Waqaf Darsun, 2107), h. 181
27

wal Ifta’ (Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa), Anggota Haiah Kibaril Ulama’

dan Komite Fiqh Rabithah Alam Islamiy di Mekkah, Anggota Komite Pengawas

Du’at Haji, Ketua Lajnah Daimah lil buhuts wal ifta’, Imam, Khatib dan Pengajar

di Masjid Pangeran Mut’ib bin Abdil Aziz di Al Malzar.32

Kitab atau buku karya tulis Al-Fauzân: Muntaqâ min Fatâwâ al-Fauzân,

Syarh Lum’ah al-I’tiqâd al-Hadī ilâ Sabīl al-Rasyâd, Al-Mulkhish fī Syarh Kitâb

al-Tauhīd, Al-Ta’līq al-Mukhtashar alâ al-Qashīdah al-Nūniyyah, dan beberapa

karya yang lain.

G. Perkembangan Wahabi di Indonesia

Berawal dari abad 18 di Arab Saudi penguasa lokal Dir’iyah, Muhammad

al-Saūd (1745-1965) dan Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1987) ialah

seorang pembaharu puritan yang bersemangat mendirikan negara Islam. Akan

tetapi tidak bershasil sehingga kedua tokoh tersebut membentuk aliansi yang

menguntungkan kedua belah pihak. Aliansi ini mendorong Ibn Saud untuk

menguasai semenanjung Arab dan menggalang wahabisme sebagai gerakan

reformasi besar dalam sejarah muslim modern. Kedua tokoh ini berhasil merebut

kota Makkah dan Madinah pada tahun 1925 yang tidak lepas dari dukungan

Inggris. Gerakan ini menyapu bersih Arabia tengah dengan merebut Mekkah dan

Madinah serta mempersatukan kabilah-kabilah kedalam apa yang diyakini oleh

32
Muhammad Thâhir al-Qadr, Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri, (Jakarta:
Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam LPPI 2014), h. 376
28

para pengikutnya sebagai pembentukan kembali masa-masa Islam pada abad ke-7

dibawah pimpinan Nabi Muhammad Saw.33

Ibn Sa’ud memandang gerakan wahabi adalah senjata politik potensial yang

ampuh dan strategis. Karena bagi siapapun yang tidak terbiasa memperlakukan

teks-teks ajaran agama secara rasional, dewasa dan penuh perasaan klaim dan

tuduhan teologis akan sulit ditolak.34 Ketidakberdayaan dihadapan klaim dan

tuduhan teologis inilah yang menjajikan kekuasaan politik. Hal ini terlihat dari

perjanjian kedua tokoh tersebut. Bahwa Abd al-Wahab dan keturunan laki-lakinya

akan mengendalikan otoritas keagamaan, sedangkan Ibn Sa’ud dan keturunan

laki-lakinya akan memegang kekuasaan politik yang nantinya mereka akan

menikahi keturunan wanita yang lain agar aliansi ini bisa terus dilestarikan.

Dalam perkembangannya, Abd al-Wahab mengatakan untuk membuat suatu

perubahan tidak hanya dengan perkataan saja akan tetapi harus dibarengi dengan

perbuatan. Maka dilakukanlah jihad dengan perbuatan bertujuan untuk

merealisasikan ajarannya. Aksi kekerasan pertama wahabi ketika itu

menghancurkan makam Zaid Ibn al-Khaththâb, sahabat Nabi dan saudara Umar

Ibn Khaththab. Didukung oleh Utsmân Ibn Mu’ammar dan menyiapkan 600 orang

pasukan serta pengikut wahabi pada waktu itu demi melancarkan rencana tersebut.

Aksi kekerasan wahabi ini tidak lepas dari ideologi yang ingin menciptarakan

negara Islam yang bebas dari TBC.

33
Faizah, Pergulatan Teologi Salafi dalam Mainstream Keberagamaan Masyarakat
Sasak, h. 375
34
Abu Muhammad waskito, Mendamaikan Ahlus Sunnah di Nusantara”Mencari Titik
kesepakatan Antara as’ariyah dan Wahhabiyah, (Jakarta: Pstaka Alkautsar 2012), h. 83
29

Dalam penaklukan Jazirah Arab 1920 lebih dari 400 ribu umat Islam

dibunuh diekskusi secara publik atau di amputasi, perlakuan ini tidak lepas dari

tindak kekerasan baik dari doktrinal, kultural, maupun sosial. Dengan tindakan

kekerasan, sultan Utsmani merasa wajib menghentikan gerakan wahabi dan

berusaha menguburnya walapun idasari dengan kepentingan politik, juga

pertimbangan agama. Ketika Muhammad Ali Pasya berhasil menangkap para

tokoh wahabi mereka diajak berdialog untuk mencari kebenaran tetapi ajakan ini

ditolak dan menganggap pahamnya yang paling benar.35

Kemudian pada tahun 1979 Ayatullâh Khomeini melakukan kritik dan

penolakan terhadap kerajaan Saudi karena kebiasaan buruk keluarga istana Sa’ud

yang tidak sesuai dengan norma ajaran Islam. Ketika itu Ayatullâh melontarkan

gagasan penting yakni pembebasan Mekah dan Madinah dari cengkraman wahabi

dan menetapkannya dibawah pengelolaan dan pengawasan internasional. Sebagai

pemimpin Iran, Khomeini mungkin punya agenda politik tersendiri, tetapi

gagasannya sangat penting dan berharga. Pendudukan bersenjata atas masjid al-

Haram oleh Juhayman al-Utaybi dan para pengikutnya pada 1 Muharram 1400

tepatnya 20 november 1979 serta kritik keras dan gagasan Ayatullah Khomeini

telah membuat penguasa wahabi-saudi sadar bahwa borok-borok mereka terugkap

secara telanjang ke dunia Internasional yang mengakibatkan menurunkan citra

mereka sebagai Khadim alHaramain.

Maka sejak 30 tahun yang lalu penguasa wahabi-Saudi telah

membelanjakan uang yang mungkin lebih dari USD 90 milyar yang disalurkan

35
Ubaidillah, Global Salafism dan Pengaruhnya di Indonesia, Jurnal ThaqafiyyaT, Vol.
13, No. 1, Juni 2012, h. 39
30

melalui Rabithat al-Alam al-Islami, International Islamic Relief Organization

(IIRO) dan yayasan lain keseluruh dunia untuk membela diri dan memperbaiki

citra melaluai wahabisasi global. Di Indonesia IIRO menyalurkan dananya

diantaranya melalui DDII, LIPIA, MMI, Kompak, dan lain-lain.36

Sebelum serangan ke World Trade Center (WTC) pemerintah Saudi

memang membiayai al-Qaeda. Namun setelah serangan 11 september 2001,

terutama setelah al-Qaeda menyerang kerajaan Saudi, pemerintah Saudi berhenti

mebiayai gerakan teror tersebut tetapi menggantinya dengan pembiayaan

penyebaran ideologi keseluruh dunia (wahabisasi global).37 Pergerakan kaum

wahabi yang dimulai oleh Ibn Taymîyah dan di sokong oleh Ibn Qayyim al-

Djauziah (1292-1350), kemudian disebarluaskan oleh Muhammad ibn Abdul

Wahab (1703-1787) di intensipkan oleh Djamaludin al Afgani (1838-1897) dan

muridnya Rasyid Ridha (1856-1935), yang menitik beratkan pada reform ajaran

agama murni serta mengharmoniskan dalam kehidupan kemasyarakatan dan

politik. Di Indian dipopulerkan oleh Sayyid Ahmad Khan, sedangkan di Indonesia

dikenal dengan Kaum Padri walaupun akhirnya gerakan ini kandas dan

ditumpaskan oleh penjajah meski sudah di hanguskan oleh penjajah namun ide

besarnya terus berkembang, mendaging, menjalar ke darah rakyat, menjelma

dalam kancah pendidikan dan dakwah Thawalib di Sumatra Barat, al-Irsyad di

Suamatra dan Jawa.38

36
Kishwar Rizvi, Regiliour Icon and National Symbol: The Tomb of Ayatollah Khoimeini
in Iran, (Leden: Brill, 2003), h. 209
37
Sayyid Hasan Al-Saqqaf , Mini Ensiklopedi Wahabi,Penerjemah Ahmad Anis (Beirut:
Dar Al Imam Ar Rawwas, 2013), h. 11
38
Hanan Qisthina Sindi, Analisis Perilaku Kejahatan Terorisme Osama Bin Laden,
Jurnal Journal of International Relations, Volume 2, Nomor 4, Tahun 2016, h. 94.
31

Di Indonesia, interaksi antara pemikiran Wahabi dengan masyarakat

Indonesia mulai terlihat pada abad 18.39 Ide dakwah Ibn Abdul Wahhab dianggap

menginspirasi ulama asal sumatera Barat yang dikenal dengan kaum Paderi yang

dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Namun, fakta sejarah ini menurut Martin

Van Bruinessen kurang kuat dalam mendukung argumen pengaruh Wahabi dalam

gerakan Paderi. Bahkan banyak fakta lain yang justru tidak menunjukkan

argumen tersebut. Pemikiran Wahabi di Indonesia juga dianggap telah

mempengaruhi pemikiran Syaikh Ahmad Syurkati pendiri Madrasah al-Irsyad di

awal-awal abad 20.40

Pengaruh pemikiran Wahabi secara masif masuk ke Indonesia melalui

peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan oleh

Muhammad Natsir. Melalui dukungan dana dari Arab Saudi, lembaga ini banyak

mengirimkan mahasiswa ke Timur Tengah untuk belajar Islam. Melalui dukungan

dari Arab Saudi pula, DDII mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan

Arab (LIPIA) tahun 1981 yang kurikulumnya mengikut Universitas al-Imam

Muhammad bin Suud al-Islamiyyah di Riyadh. 41

Dari LIPIA inilah lahir kader-kader dakwah wahabi di Indonesia serta

menjadi sarana diseminasi pemikiran Wahabi melalui kitab-kitab yang dicetak

39
Abdurrahman Wahid, edt.Ilusi Negara Islam: EkspansiGerakan Islam Transnasional di
Indonesia.(Jakarta: The Wahid Institute, 2009), h. 78
40
”Perkembangan Dakwah Salafiyah Di Indonesia”, Abdurrahman bin Abdul Karim At-
Tamimi, 21 February 2015, dilihat 12 juli 2019, https://almanhaj.or.id/1128-perkembangan-
dakwah-salafiyah-di-indonesia.html. Lihat pula Ahmad Syafi’iMufid, edt.Perkembangan Paham
Keagamaan Transnasional di Indonesia.(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Kementerian Agama RI, 2011), h. 227-230.
41
Abu Muhammad Waskito, Wajah Salafi Ekstrim di Dunia Interne, (Bandung: AD
DIFA press, 2009), h. 59
32

serta dibagikan gratis oleh lembaga ini.42 Melalui LIPIA pula banyak mahasiswa

yang setiap tahun dikirim ke Arab Saudi untuk belajar Islam. Beberapa alumni

LIPIA yang saat ini telah menjadi tokoh penting di kalangan wahabi di Indonesia,

seperti: Yazid Jawwas di Minhaj as-Sunnah Bogor; Farid Okbah, direktur al-

Irsyad; Ainul Harits, Yayasan Nida''ul Islam Surabaya; Abubakar M. Altway,

Yayasan al-Sofwah, Jakarta; Ja'far PLN Arab Saudi dan Wahabi di Indonesia.

Umar Thalib, pendiri Forum Ahlussunnah Wal Jamaah; dan Yusuf Utsman Ba’isa

direktur Pesantren al-Irsyad, Tengaran.43

Pendirian Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) yang

didanai oleh Arab Saudi merupakan salah satu kesuksesan diplomasi Wahabi-
44
Islam Saudi melalui jalur pendidikan di Indonesia. Para Alumni LIPIA ini,

setelah lulus akan kembali dan menyebarkan pemikiran-pemikiran Wahabi di

lingkungan masyarakatnya. Pada tahun 2009, jumlah alumni LIPIA telah

berjumlah sekitar 8.604 orang dan menyebar di berbagai wilayah di Indonesia

dengan profesi yang berbeda-beda, bahkan banyak diantaranya yang menjadi

pejabat. 45

Pendirian LIPIA tahun 1980an, menurut Amanda Kovacs, tidak hanya

bermotifkan kepentingan dakwah Islam ke Indonesia, namun menjadi sarana Arab

Saudi untuk membendung eskpansi pemikiran Syiah pasca revolusi Iran 1979.

42
Idahram, Sejarah Berdarah Sehte Salafi Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesanten 2011),
h. 43
43
Abdurrahman Wahid, edt.Ilusi Negara Islam: EkspansiGerakan Islam Transnasional di
Indonesia, 78.
44
Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan , hal .171
45
Hanan Qisthina Sindi, Analisis Perilaku Kejahatan Terorisme Osama Bin Laden,
Jurnal Journal of International Relations, Volume 2, Nomor 4, Tahun 2016, h. 96
33

Keberadaan Iran dianggap membahayakan legitimasi Saudi sebagai sebuah negara

Islam yang menjadi patron Islam seluruh dunia. Apalagi Iran sering menyerang

hubungan antara Arab Saudi dan Amerika Serikat yang dianggap sebagai

pengkhianat terhadap agama Islam sendiri. Institusi LIPIA dibentuk dan didanai

oleh Arab Saudi sebagai containment policy, kebijakan pembendungan terhadap

efek domino revolusi Iran di Asia Tenggara. Kebijakan pendirian LIPIA ini

menurut Kovac sama persis dengan usaha Arab Saudi mendirikan universitas

Islam Madinah tahun 1961 sebagai usaha untuk membendung kebijakan Jamal

Abdul Nasser yang menjadikan Universitas al-Azhar sebagai representasi dakwah

Islam ke seluruh dunia serta sebagai pusat penyebaran visi sosialisme Arab ala

Abdul Nasser. Selain menjadikan LIPIA sebaga sarana pencetak kader-kader

dakwah Wahabi, Saudi juga rutin memberikan beasiswa setiap tahun kepada

mahasiswa-mahasiswa Indonesia untuk belajar di Arab Saudi seperti Universitas

Islam Madinah dan Universitas Imam Muhammad ibn Sa’ud di Riyadh.46

Setelah menjadi alumni, mereka pulang dan ikut menyebarkan aliran

paham Wahabi di daerah masing-masing baik melalui ceramah di masjid-masjid,

membentuk pesantren, mendirikan radio, membuat majalah, tabloid, bahkan

membangun siaran TV. Di Indonesia, siaran TV dan Radio Rodja merupakan

salah satu saluran televisi yang terkenal dan memiliki jangkauan seluruh

Indonesia. Konten-konten dari ceramah para Ustad wahabi ini berisi ajakan untuk

terikat pada ajaran salafussholeh versi pemahaman Wahabi dan meninggalkan

praktek-praktek bidah yang sesat seperti perayaan Maulid Nabi, Perayaan Isra`

46
Asep Saifuddin Chalim, Aswaja; Pedoman untuk Pelajar, h. 100
34

Mi`raj, Qunut Shubuh, Tahlilan 3, 7, 14, sampai 40 hari, mengaji di depan

jenazah, mengaji di kuburan, membaca Yasin malam jumat, dan seterusnya.

Semua praktek di atas dipandang sesat karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi

Muhammad SAW.47

Salah satu ormas berskala nasional yang mendakwahkan ajaran wahabi di

Indonesia adalah Wahdah Islamiyah. Lembaga ini didirikan tahun 2002 di

Makassar Sulawesi Selatan sebagai sebuah ormas resmi di Indonesia. Salah satu

pendirinya, Ustad Zaitun Rasmin, Lc adalah lulusan universitas Islam Madinah.

Wahdah Islamiah hingga saat ini sangat aktif dalam mendakwahkan Islam Wahabi

khususnya di wilayah Indonesia bagian timur dan juga telah memiliki cabang di

hampir seluruh wilayah Indonesia. Ormas ini memiliki sekolah-sekolah dan

pesantren. Lembaga pendidikan yang paling penting sebagai wadah kaderisasi

dakwah wahabiyyah adalah STIBA, Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab

yang diasuh oleh para alumni Universitas Islam Madinah. Zaitun Rasmin sebagai

ketua umum DPP Wahdah Islamiyah saat ini telah menjadi salah satu tokoh Islam

yang diakui di Indonesia. Beliau menduduki jabatan di Majelis Ulama Indonesia

dan sebagai wakil ketua MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda

Indonesia).48

Demikianlah pengaruh besar dari politik luar negeri Arab Saudi di bidang

pendidikan bagi penyebaran ajaran Wahabi di Indonesia. Ajaran yang awalnya

berada di Arab Saudi ini akhirnya menyebar ke Indonesia melalui pelajar-pelajar

yang telah diberikan beasiswa oleh pemerintah Arab Saudi untuk belajar di

47
Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, h. 45
48
Ubaidillah, Global Salafism dan Pengaruhnya di Indonesia, h. 42-43
35

universitas-universitas di Arab Saudi. Para alumni tersebut mendirikan berbagai

lembaga dakwah dan pendidikan untuk mereproduksi kader bagi dakwah Wahabi

di Indonesia. Bisa dibilang, Indonesia merupakan salah satu tempat tumbuh subur

dan berkembangnya aliran Wahabi. Pemerintah Indonesia pun tidak

mempersoalkan keberadaan aliran pemikiran ini, bahkan pemerintah memberikan

kebebasan kepada pemerintah Arab Saudi untuk menjalin kerjasama pendidikan

dengan berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia, baik negeri maupun

swasta.49

49
Said Aqil Siradj, Islam Kalap dan Islam Karib, (Jakarta: Daulat Press 2014), h. 86
BAB III

BIOGRAFI SAID ‘AQIL SIRADJ

Pada bab ini peneliti akan memaparkan bagaimana kehidupan Said Aqil

Siradj di masa kecil sampai saat ini. Peneliti juga akan memaparkan karya-karya

beserta silsilah Said Aqil Siradj sehingga kita akan dapat mengenalnya lebih jauh

lagi. Selain itu, peneliti juga akan memaparkan bagaimana kehidupan dari Kang

Said.

A. Silsilah Said Aqil Siradj

KH. Said Aqil Siroj dilahirkan pada tanggal 3 juli 1953 didesa kempek

kecamatan palimanan, 18 km arah barat kota cirebaon jawa baerat.1 Lulus S1 dari

Universitas King Abd al-Aziz arab Saudi, Fakultas Syariah, tahun 1982. Lulus S2

dari Universitas Ummul al-Qura Makkah, Fakultas Ushuluddin, tahun 1987, dan

S3 diperoleh dari Universitas Ummul al-Qura Makkah, Fakultas Ushuluddin,

tahun 1994 dengan predikat Cumlaude. Panggilan akrabnya ialah Kang Said,

ayahnya bernama KH. Aqil Siradj sedangkan ibunya bernama Nyai H. Afifah

binti Kyai Harun. Ia adalah putra kedua dari lima bersaudara yaitu Abuya KH.

Ja’far Shadiq Aqil Siradj (Alm), KH. Said Aqil Siradj, KH. Muh. Musthofa Aqil

Siradj, KH. Ahsin Syifa Aqil Siradj (Alm) dan KH. Ni’amillah Aqil Sirad2.

Kelima saudaranya berdomisili di Cirebon, kecuali kang Said karena tuntutan

1
Said Aqil Siradj, Ahlussunnah Wallamaah Sebuah Kritik Historis,(Jakarta: Pustaka
Cendekiamuda, 2008), h. 101
2
Ahmad Mustofa Haroen, Meneneguhkan Islam Nusantra, (Jakartta: Khalista 2015). h.
33

35
36

profesi dan karir mengharuskan pindah ke daerah Jalan Sadar Raya No. 3-A Rt 08

Rw 04 Ciganjur Jakarta Selatan 12630.

Said Aqil Siradj nasabnya tersambung dengan Syekh Syarif Hidayatullah

(Sunan Gunung jati) berasal dari jalur ayahandanya (Kyai Aqiel) yang merujuk

pada pesantren Gedongan,dari jalur ibunya dari Pesantren Kempek. Akan tetapi,

pendapat yang kuat dan dapat diverifikasi secara jelas berasal dari jalur

ayahandanya, yakni Kyai Aqil bin Kyai Siradj bin Kyai Said. Selain itu, Said Aqil

Siradj juga tersambung dengan jalur silsilah keluarga Syekh Ahmad Mutamakkin

Kajen. Hal ini, pernah terdengar ketika bersilaturahmi dengan kyai Sahal

Mahfudh. Kang Said masih memiliki hubungan famili yang akrab dengan Kyai

Sahal Mahfudh.3

Keluarga Said Aqil Juga memeiliki hubungan silsilah dengan Syekh Syarif

Hidayatullah. Hubungan darah yang tersambung dari kakeknya, Kyai harun

membuktikan bahwa pesantre-pesantren di Cirebon memiliki hubungan

kekeluargaan yang yang kental. Silsilah ini, bukan dimaksudkan sebagai

penghormatan diri, atau pencitraan semata. Akan tetapi untuk menjaga silaturahmi

antar keluaraga, pesantren dan menjaga amanah perjuangan Islam yang sudah

diwariskan oleh Walisongo, terutama Syekh Syarif Hidayatullah.

Runtutan silsilah ini, bermula dari kang said bin Ny. Afifah binti Kyai

Harun bin Ny. Madrawi binti Pangeran Hasanudin bin Sultan Anom Moh.

Kaharuddin I bin Sultan Anom Abu Sholeh Imamuddin bin Sultan Anom

Khaeruddin bin Sultan Anom Alimuddin bin Sultan Anom Raja Mandura Raja

3
Ahmad Mustofa Haroen : Meneneguhkan Islam Nusantra, h. 37
37

Kadiruddin bin Sultan Anom Muhammad Badruddin bin Panembahan Girilaya

bin Pangeran Dipati Anom Cirebon bin Panembahan Ratu bin Pangeran Dipati

Carbon bin Pangeran Pasarean bin Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung

Jati).

Selanjutnya, dari Syekh Syarif Hidayatullah, nasabnya tersambung secara

runtut dengan Fatimah Az-Zahra binti Rasulallah SAW. Dengan demikian,

silsilah keluarga dan genealogi pengaetahuan pesantren, yang menjadi akar

keilmuan Kang Said dapat ditelusuri secara jelas ini menjadi ciri khas pesantren

yang mewarisi keilmuan islam secara runtut, bukan secara serampangan

mengamalkan keilmuan Islam4.

Sejak kecil ia tinggal di lingkungan pesantren Tarbiyatul Mubtadien atau

Kempek, Paliman, Cirebon. Pada dasarnya sejarah Pesantren Kempek tidak bisa

dilepaskan dari pejuangan kakeknya yaitu KH. Harun. KH. Harun ialah seorang

ulama yang terkemuka dan mewarisi tradisi intelektual dari Kiyai-Kiyai Cirebon.

Pada tahun 1935, beliau wafat dan perjuangannya untuk mengurus pesantren itu

dilanjutkan oleh bapaknya yaitu KH. Aqil Siradj. Karna kecerdasannya pula ia

mulai mengembangkan sistem pendidikan madrasah dengan merintis Majlis

Tarbiyatul Mubtadien tahun 1960-an, sampai saat ini pondok pesantren tersebut

masih eksis di Cirebon dan semua putra KH.5 Aqil Siradj menjadi pengasuh

4
Ahmad Mustofa Haroen : Meneneguhkan Islam Nusantra, (Jakartta: Khalista 2015). h.
36
5
Said Aqil Siroj, Islam Sebagai Sumber Inspirasi Budaya Nusantara,(Jakarta: LTN NU
2014) h. 273
38

pesantren dengan mempertahankan metode kesalafiannya yang berfokus pada

kitab kuning (klasik) khususnya Nahwu Shorof juga konsentrasi Al-Qur'an6.

Kang Said menikah dengan Hj. Nurhayati Abdul Qadir dan dikaruniai

empat orang anak yaitu : Muhammad Said Aqil, Aqil Said Aqil, Nisrin Said Aqil

dan Rihab Said Aqil. Dalam kehidupannya, kang Said selalu mandiri walaupun

terlahir dari keluarga yang mapan dan serba berkecukupan. Baginya, pendidikan

ialah penting dan harus diperioritaskan. Hidup dalam keluarga yang bersahaja dan

memiliki dedikasi tinggi dalam dunia pendidikan terutama pendidikan agama7.

Said Aqil Siradj mempunyai hobi berwisata beserta keluarganya terutama

disaat terhenti sejenak dari aktifitasnya yang super sibuk dan sangat padat karena

jabatan beliau sekarang sebagai ketua PBNU yang setiap hari mengharuskan Kang

Said beraktivitas di kantor PBNU Jalan kramat Raya No. 164 Jakarta Pusat 10430.

Pengalaman organisasi kang Said berawal sebagai aktivis IPNU anak cabang

Palimanan Cirebon, PMII Yogyakarta ketua KMNU (Keluarga Mahasiswa

Nahdlatul Ulama) Makkah, tahun 1983-1987). Wakil katib ‘Am PBNU tahun

1994-1998, Katib ‘Am PBNU tahun 1998-1999, dan Rois Syuriah PBNU tahun

1999-2004. Ketua PBNU periode 2004-2010. Ketua Umum PBNU 2010 hingga

sekarang.8

Kang Said juga nampak dipercaya sebagai wakil ketua Tim Gabungan

Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan medio Mei 1998 sekaligus ketua Tim

Investigasi pembantaian Kasus Dukun Santet Banyuwangi, hingga akhirnya

6
Mohammad Dawam Sukardi, NU sejak Lahir (Dari Pesantren Untuk Bangsa; Kado
Buat Kyai Said), (Jakarta: SAS Center, 2010). h. 25
7
Mohammad Dawam Sukardi, NU sejak Lahir, h. 67
8
Said Aqil Siroj, Islam Sebagai Sumber Inspirasi Budaya Nusantara, h. 274
39

diangkat sebagai salah seorang anggota Komnas HAM. Pada tahun yang sama

beliau juga diangkat juga menjadi Wakil Ketua Konseptor Tim Lima Perumus

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADART) PKB dan menjadi

anggota MPR RI Fraksi Utusan Golongan dari NU. Karir ayah empat anak ini

benar-benar dan terhitung super sukses jika dilihat dari masa domisili di tanah air

selepas studi yang baru menginjak tahun ke-59.

B. Pendidikan dan Guru-guru

a) Nusantara

Pendidikan kang Said bermulai dari mengaji di pesantren ayahnya dengan

metode tradisional khas pesantren salafiyyah, disini ia menemukan kecintaan akan

ilmu pengetahuan yang menuntun langkahnya untuk menemukan sumber-sumber

pengetahuan dalam Islam yang luas10. Selain itu, ia juga tetap belajar formal di

Sekolah Rakyat sampai tahun 1965 dan melanjutkan studi ke pondok pesantren

Hidayatul Mubtadin Lirboyo Kediri. Disana, ia mulai belajar dari Madrasah

Tsanawiyyah (MTs) hingga menyelesaikan tingkat menengah atas (SLTA)

dibawah asuhan KH. Mahrus Ali pada tahun 1965-1970. Di tanah Lirboyo Kang

Said merasakan mondok sebenarnya, ia belajar banyak kitab dari nahwu, sharaf,

balaghah hingga fiqh. Kang Said juga mengaji kepada kiyai Muzzajad yang

menjadi ustadz di Pesantren Lirboyo. Ia sangat dikenal sebagai santri yang tekun

dalam mencari sumber-sumber keilmuan sebagai pondasi pengetahuan pesantern.

Di Pesantren ini, kang Said merasakan kenikmatan pengetahuan yang kelak

9
KH. Said Aqil Siradj, Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta:
Pustaka Ciganjur 1999). h. 90
10
Ahmad Mustofa Haroen : Meneneguhkan Islam Nusantra, (Jakartta: Khalista 2015). h.
34
40

menjadi modal untuk mengabdikan diri di Nahdlatul Ulama dan bangsa

Indonesia11.

Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Pesantren al-Munawwir

Krapyak Yogyakarta dibawah bimbingan KH. Ali Ma’sum. Di pesantren inilah

kang Said mendapatkan gemblengan KH. Ali Ma’sum, kiyai ialah sosok ulama

tegas nan beribawa. Beliaupun pernah menjadi Rais’Am PBNU pada tahun 1980-

an. Kang Said merasa mendapatkan didikan yang berharga dibawah naungan

kiyai, bahkan ia mengembangkan bakatnya dalam bidang seni. Ia juga menjadi

salah satu prioner berdirinya jama’ah shalawat di Krapyak. Kemampuan vocal

yang baik menjadikan Kang Said cepat dikenal sebagai vokalis shalawat12

Ketika nyantri di Pesantren Krapyak, kang Said bertemu dengan tetangga

sedesanya di Cirebon yaitu Nurhayati. Kedekatannya dengan gadis itu membawa

keduanya kepelaminan pada tanggal 13 Juli 1977. Setelah mnikah, kang Said

melanjutkan studinya ke Mekkah Saudi Arab hingga tahun 1994.13

b) Timur Tengah

Setelah mondok di Pesantren Lirboyo dan Krapyak, Kang Said melanjutkan

studinya ke Ummul Qura University, Mekkah, Arab Saudia. Alasannya memilih

universitas tersebut karena sistem pendidikan yang bagus untuk pengembangan

keilmuan Islam dan setara dengan Universitas al-Azhar, Mesir. Pada tahun 1980,

kang Said berhasil lulus strata 1 jurusan Ushuluddin dan kemudian melanjutkan

S-2 jurusan Perbandingan Agama. Lalu meneruskan belajarnya ke jenjang

11
Ahmad Mustofa Haroen : Meneneguhkan Islam Nusantra. h. 49
12
Said Aqil Siroj, Islam Sebagai Sumber Inspirasi Budaya Nusantara, (Jakarta: LTN NU
2014), h.. 272
13
Ahmad Mustofa Haroen: Meneguhkan Islam Nusantra, h. 50-54
41

doktoral dengan hasil yang meal dengan hasil yang memuaskan (camlaude). Dan

pada saat ini menjadi professor juga direktur pasca sarjana Unisma Malang14.

Selama di Makkah, kang Said didampingi oleh istrinya dan semenjak disana

ia juga mendapatkan beasiswa. Beasiswa tersebut hanya mencukupi untuk

membiayai kebutuhan kang Said dengan istrinya dan oleh karna itu ia bekerja

sampingan untuk mendapatkan tambahan dana. Atas kerja kerasnya ia mampu

menyelesaikan tesisnya dengan mengupas isi kitab perjanjian Lama dan surat-

surat Sri Paus Paulus. Pada tahun 1994 kang Said juga berhasil menyelesaikan

studi S-3 yang disertasinya dengan judul “Shillatullahi bil-kalam fit- tashawwuf

al-falsafi” (Relasi Allah dan Alam Perspektif Tasawuf dan Filosofis). Kang Said

berhasil mempertahankan disertasinya dengan nilai camlaude. 15

Almarhum Nurcholis Madjid mengisahkan bahwa Said Aqil ialah putra kiai

yang cerdas. Dia pernah membuat disertasi mengkritik Imam Ghazali yang

sebenarnya bertentangan dengan hatinya tetapi karena kondisi Saudi Arabia yang

begitu ketat paham Wahabiyyah, terpaksa ia melakukan hal itu. Ketika di

Mekkah, kang Said juga bersahabat dengan Gus Dur. Gus Dur lebih suka tinggal

dikediaman rumahnya. Kang Said juga sering diajak Gus Dur untuk berkunjung

ke kediaman ulama terkemuka salah satunya ialah Sayyid Muhammad Alawi al-

Maliki.

Ketika kang Said masih belajar di kampus Ummul Qura, ia sangat tekun

memperdalam ilmu-ilmu kontemporer yang menjadi dinamika keilmuan Islam.

sekaligus untuk menguatkan dasar keilmuan dan tirats yang telah dikuatkan
14
Said Aqil Siradj, Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta : Pustaka
Ciganjur 1999). h. iv
15
Ahmad Mustofa Haroen: Meneneguhkan Islam Nusantra, h. 55
42

pondasinya ketika belajar di Pesantren Lirboyo dan Krapyak. Kang Said juga

dikenal sebagai pakar sejarah Islam dan tasawuf16.

Sekembalinya ia dari Makkah, Kang Said mulai mengawali di NU bahkan ia

dipercaya sebagai wakil Katib ‘Am PBNU dari keputusan Muktamar Cipasung.

Semasa awal sebagai pengurus PBNU, kang Said membuat gebrakan dengan

menggulirkan wacana perluya umat Islam Indonesia melakukan rekontruksi

pemahaman ahlussunnah wal-jamaah. Setelah menjabat sebagai ketua umum

PBNU sejak 2010, ia telah masuk dalam jajaran tokoh elit muslim dunia. Tahun

2010, menduduki peringkat ke19, 2011, peringkat ke-17 dan tahun 2012

peringkat ke-19. Pengaruhnya ini dinilai tak lepas dari besarnya Nahdlatul Ulama

dengan pengikut lebih dari 70 juta dan terus melakukan perluasan jaringan. NU

memiliki jaringan dari pusat sampai ke tingkat ranting atau desa serta melakukan

perluasan cabang di luar negeri dimana banyak anak NU yang belajar di berbagai

universitas atau bekerja di berbagai institusi17.

NU memang dinilai masyarakat memiliki kontribusi yang besar pada bidang

pendidikan, kesehatan dan pengurangan kemiskinan. NU juga turut serta dalam

gerakan anti korupsi, reformasi sosial yang berakar pada nilai-nilai Islam dan

memiliki perhatian besar dalam menjaga harmoni sosial. Kiai Said juga

mendirikan Said Aqil Center (SAS), sebuah pusat studi di Mesir yang berfokus

pada pengembangan wacana keislaman, khususnya di dunia Arab.

16
Ahmad Mustofa Haroen: Meneneguhkan Islam Nusantra, (Jakartta: Khalista 2015). h.
56-59
17
Ahmad Mustofa Haroen: Meneneguhkan Islam Nusantra, h. 62
43

C. Kiprah Kang Said dan Kontribusi PBNU

Pengalaman mengaji dengan ayahnya di Pesantren Kempek menjadi akar

keilmuan kang Said. Begitupun ketika Kang Said dibimbing oleh Kiai Mahrus

Ali, ia merasakan manisnya mengaji di Lirboyo. Kesuksesan kang Said tak

terlepas dari peran ayah dan guru-gurunya. Kang Said sebagai santri yang telah

mengalami berbagai tradisi tentu saja pengalamannya sangat berharga ditambah

dengan intensitas belajarnya di Mekkah, sebagai pusat peradaban dan

pengetahuan umat Islam.

Terlepas dari prosesnya yang panjang, kang Said juga mendapat sentuhan

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bakal intelektual kang Said rupanya telah

diendus Gus Dur yang sering mempromosikan kang Said pada awal kiprah

sebagai aktifis di negeri ini. Pada awal berada di Indonesia, ketika sudah

menyelesaikan pendidikan doktoral di Ummul Qura University, kang Said

ditawari Gus Dur untuk menjadi bagian dari pengurus PBNU18.

Pada masa awal khidmatnya sebagai pengurus PBNU, kang Said membuat

gebrakan dengan menggulirkan wacana yang kontroversial. Kang Said

mengungkapkan bahwa umat Islam Indonesia perlu melakukan rekontruksi

pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah. Bagi Kang Said, gagasan ini sangat

penting karena umat Islam seolah terkotak-kotak dalam sekat pemahaman yang

berbeda. Gagasannya menghasilkan pro-kontra dalam NU dan ranah kultural

warga nahdliyyin19. Lebih unik lagi, kritik Ahlussunnah yang dilakukan Said

Aqil dengan pendekatan sejarah Islam ternyata membawa trend tersendiri di


18
Ahmad Mustofa Haroen: Meneneguhkan Islam Nusantra, (Jakartta: Khalista 2015). h.
81
19
Ahmad Mustofa Haroen, Meneneguhkan Islam Nusantra,. h. 84
44

kalangan santri. Pada tahun 1990-an kang Said juga berhasil memaksa komunitas

pesantren untuk belajar sejarah Islam. Padahal selama berabad-abad, pesantren di

Indonesia didominasi oleh kajian fiqh dan grammer Arab20.

a. Menjadi Ketua Umum PBNU : Menggairahkan Nalar Kritis

Kang Said dikenal sebagai intelektual NU yang kritiknya selalu menuai

reaksi keras dari komunitas kiyai pesantren dan akhirnya ia pernah diadili puluhan

kiyai dalam forum halaqah (Lokakarya). Pada suatu ketika kang Said juga pernah

menerima undangan dari A. Kurdo Irianto Pr. (Romo Paroki Algon) dan pertama

kalinya berkhotbah di depan altar Gereja Katolik Aloysius Gonzaga (Algon)

Surabaya. Ia menjadi sorotan publik kembali, setelah berkhotbah di Gereja

tersebut. Seperti pada kasus sebelumnya, tidak sedikit para kyai yang memberi

stempel kafir padanya. Polemik itu pun akhirnya justru semakin meyakinkan

kedalaman dan keluasan ilmu Kang Said. Tidak hanya warga NU atau umat Islam

saja yang merasa perlu mengaji padanya, tapi orang-orang non muslim pun sangat

membutuhkan petuah-petuahnya untuk menjadi pemeluk agama yang baik dan

benar21.

Kang Said dikenal sebagai tokoh Islam moderat. Sikap dan pandangannya

yang moderat, toleran dan akomodatif membuat Said Aqil dikenal oleh hampir

semua kalangan dan kelompok. Aktifitasnya pun semakin padat seiring dengan

kepercayaan segenap elemen masyarakat kepadanya. Beberapa kelompok

masyarakat yang membutuhkan pikirannya, di antaranya: Anggota KOMNAS

HAM Penasehat Angkatan Muda Kristen Republik Indonesia, Pendiri Gerakan


20
Said Aqil Siradj, Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka
Ciganjur 1999). h. 5
21
Said Aqil Siradj, Islam Kebangsaan, h. iii
45

Keadilan dan Persatuan Bangsa (GKPB), Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa

12 Mei, Pendiri Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Dewan Penasehat ICRP,

Anggota MPR RI F-UG (dari NU), Panitia Pembangunan Gereja Jagakarsa

Jakarta Selatan. Dibawah komando Kang Said NU berhasil menggerakan kembali

iklim akademik di tubuh organisasi. PBNU merevitalisasi dan membangun

kembali universitas-universitas di beberapa kota. Diantaranya mendirikan

Pascasarjana Islam Nusantara, di STAI Nahdlatul Ulama, Jakarta22.

b. Keliling Indonesia, Menyuburkan Gairah Berpikir

Kualitas keilmuan Kang Said dalam khazanah pemikiran Islam menjadikan

dirinya sebagai rujukan dalam perkembangan isu kegaamaan di negri ini. Ia sering

mengunjungi kota-kota di Indonesia untuk ceramah, diskusi bahkan membuat

seminar. Semangat turun ke kota-kota negeri ini didasari oleh obsesi kuatnya

untuk membawa masyarakat Islam ke altar kesadaran intelektual23.

Selain ceramah Kang Said juga mengajarkan poengalamannya kepada

mahasiswanya. Kang Said juga mengajar di Program Pascasarjana di beberapa

perguruan tinggi salah satunya ialah UIN Syarif Hidayatullah. Karya-Karya

Ilmiah kang Said sering menjadi bahan inspirasi bagi anak muda NU dalam

menorehkan gagasan-gagasannya. Beberapa buah pikirannya juga sering dijadikan

rujukan mereka, tak terkecuali metodologi berpikirnya.

Strateginya yang akrab dengan media sehingga ia dapat mengoptimalkan

untuk mengenalkan dan menyosialisasikan pemikirannya. Meski demikian

22
Ahmad Mustofa Haroen, Meneneguhkan Islam Nusantra, (Jakartta: Khalista 2015). h.
67
23
Said Aqil Siradj, Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara Menuju Masyarakat
Mutamaddin, (Jakarta : LTNU 2014), cet. 1. h. 22
46

tetaplah semakin lengkap penjabaran gagasannya jika diungkapkan dengan tulisan

yang utuh. Bagaimanapun juga, buku adalah sarana ekspresi yang sangat efektif

dan menjanjikan kepuasan tersendiri, tegas Kang Said24.

c. Menjadi Majelis Wali Amanah UI

Kiprah Kang Said tidak hanya bergerak dalam bentuk ormas dalam

mengomando Nadhlatul Ulama. Majelis Wali Amanah UI merupakan sebuah

organ strategis yang mengemban amanah publik dalam memandu atau mendorong

kinerja pimpinan UI. Secara skruktural MWA terdiri dari dosen, tenaga

kependidikan, masyarakat dan mahasiswa. Tugasnya ialah melakukan

pengawasan terhadap kondisi keuangan UI, memberikan masukan kepada rektor

atas pengelolaan UI serta pelaksaan peraturan perundang-undangan.

Kang Said terpilih menjadi bagian MAW UI dari unsur perwakilan

masyarakat. Ia mengemban tugas sebagai penasehat, masukan dan gagasan-

gagasan baru dalam pengembangan UI agar lebih baik dalam perkembangan

kedepannya. Dalam hal ini kang Said akan memeberikan pikiran-pikirannya yang

strategis untuk pengembangan kampus. Selain itu ia menambahkan tugas

akademisi memajukan perkembangan ilmu pengetahuan dan mendorong

perubahan sosial belom bisa dituntaskan oleh perguruan tinggi yang ada. Kang

Said juga berharap MWA mampu mendorong lahirnya kaum profesional yang

mampu menjadi pemimpin25.

D. Karya-Karya

24
Ahmad Mustofa Haroen, Meneneguhkan Islam Nusantra, h. 90
25
Ahmad Mustofa Haroen, Meneneguhkan Islam Nusantra, h. 69
47

a. Rasail al-Rusul fi al-Ahdi al-Jadid wa Atsaruha fi alMasihiyah (Pengaruh

Surat-Surat para rasul dalam Bibel terhadap Perkembangan Agama

Kristen), Tesis dengan nilai memuaskan, (1987)

b. Allah wa Shillatuhu bi al-Kaun fi al-Tasawwuf al-Falsafi (Hubungan

Antara Allah dan Alam Perspektif Tasawwuf Falsafi), Disertasi dengan

nilai Cum Laude di promotori Prof. Dr. Mahmud Khofaji (1994)26

c. Ahlussunah wal Jama’ah, Lintas Sejarah (1997)

d. Islam Kebangsaan, Fiqih Demokratik kaum Santri (1999)

e. Kyai Menggugat, Mengadili Pemikiran Kang Said (1999)

f. Ma’rifatullah, Pandangan Agama-Agama, Tradisi dan Filsafat (2003)

g. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi

bukan Aspirasi (2006)

Semua karya Ilmiah yang dibukukan oleh kang Said merefleksikan pola

pikir tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan), I’tidal (jalan tengah), dan

tasamuh (toleran) dalam Islam. Islam selama ini dilekatkan dengan segenap aksi

kekerasan dan anarkisme. Sesuatu yang memperihatinkan bagi kita apabila ada

sekelompok umat islam mengangkat simbol-simbol Islam untuk membenarkan

aksi kekerasan dan pengerusakan terahadap sarana publik dan tempat ibadah.

Rasulullah Saw sendiri ketika melepas tentara islam yang akan berangkat untuk

berperang sudah memperingatkan para sahabat agar memerhatikan etika27.

26
Said Aqil Siroj, Islam Sebagai Sumber Inspirasi Budaya Nusantara, h. 273
27
Said Aqil Siraj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, (Jakarta : Mizan 2006) h. 16
BAB IV

KRITIK SAID AQȊL SIRADJ TERHADAP TEOLOGI WAHABIYYAH

DI INDONESIA

Pada bagian sebelumnya, telah diuraikan secara garis besar mengenai

silsilah Said Aqil Siradj, mulai dari pendidikannya hingga karya-karyanya. Bagian

ini kemudian menganalisi kritik Said Aqil Siradj terhadap teologi Wahabiyyah di

Indonesia yang dari masa ke masa.

Ada tiga dasar tauhid Wahabiyyah yang akan dianalisis dari kritik Said Aqil

dalam karyanya, Islam Kalap, Islam Karib. Pada dasarnya tiga pilar tawhîd ini

tidak pernah diterangkan oleh Rasulullah atau para sahabat Nabi. Tidak ada secara

rinci yang menjelaskan baik teks al-Qur‟an maupun hadist Nabi yang membahas

dan membagi tawhîd menjadi tiga yaitu Ulûhîyyah, Rubûbîyah dan Asmâ‟ wa al-

shifât. Rukun tawhîd ini hanya tambahan dari kaum Wahabi.1

A. Ushûl al-Tsalȃtsah

Trilogi tawhîd ini merupakan hasil inovasi Ibn Taymîyah dalam

membangun dan mensistematikan prinsip dasar dalam teologi Wahhabi. Terutama

ulûhiyyah dan rubûbiyah belum ditemukan dalam karya-karya „Abd Allâh Ibn

Ahmad Hambal, Ibn Khuzaimah, „Uthmân Ibn Saîd Al-Dârimî, Ibn Abû Ya‟la Ibn

al-Sâghûnî, Ibn al-Jauzî, dan lainnya. Namun konsep trilogi ini telah diterima oleh

1
Ahmad Mousalli, Wahabism, Sallafism and Islam, Who is The Enemy?, (Beirut: Conflict
Forum 2009), h. 6

49
50

semua kalangan yang meyebut dirinya Wahhabi setelah Ibnu Taymiyah. 2

Trilogi tawhîd telah menjadi pebeda abadi antara wahabi dan aliran sunni

lainnya. Oleh karena memahami doktrin ini adalah aspek terpenting untuk

mengerti realita wahhabi saat ini. 3

1. Ulûhîyah dan Rubûbiyah

Menurut Ibn Taymîyah tawhîd ulûhiyah merupakan bentuk pengesaan

terhadap Allah SWT dalam bentuk ibadah. Dengan seorang hamba tidak akan

melakukan penyembahan kepada selain Allah membersihkan segala sekutu dari-

Nya. Dialah Dzat yang berhak untuk disembah, diagungkan dan dibesarkan nama-

Nya4.setelah itu ada ajaran tentang peran allah sebagai penggerak dan pengatur

alam semesta, keyakinan terhadap aspek ini menumbuhkan terhadap keimanan

qâda’ dan qadar ibn taimyah menyebut ajaran ini dengan istilah tawhîd

rubûbiyah.5

Dalam dua tawhîd yang pertama ini, Ibn Taimiyyah membedakan antara

kalimat al-Rabb dan al-Ilâh yang sebenarnya mempunyai kesamaan arti, yaitu

Tuhan. Kedua kalimat yang bersinonim ini mempunyai arti yang sangat beda al-

Rabb bermakna Dialah Dzat yang menciptakan hamba-Nya dan memberikan

semua ciptaan-Nya serta mengatur dan menunjukkannya pada jalan-Nya yang

lurus (al-Shirâth al-Mustaqîm).6 Sedangkan kalimat al-Ilâh bermakna Dialah Dzat

yang berhak untuk dituhankan dan disembah dengan rasa cinta, pasrah,

2
Arrazy Hasyim, Teologi Islam Puritan Genealogi dan Ajaran Salafi, ( Ciputat: Yayasan
Wakaf Darus-Sunnah, 2017), h. 214
3
Arrazy Hasyim, Teologi Islam Puritan, h. 215
4
Shalih bin Fauzan, Kitab Tawhîd, (Jakarta: Daruul Haq 2006), h. 14
5
Arrazy Hasyim, Teologi Islam , h. 216
6
Risyanto, “Pemikiran Tawhîd Ibnu Taimiyah Perspektif Hermeneutika Filosofis” Skripsi
S2 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016) h. 80
51

penghormatan dan pengagungan, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi golongan Salafi-

Wahabi percaya kepada Allah sebagai satu-satunya yang patut disembah saja itu

tidak cukup.7

Menurut Ibnu Taymiyyah Rubûbiyah adalah bentuk pengesaan kepada

Allah SWT. dalam tiga hal yang meliputi penciptaan (al-Khalq), kepemilikan (al-

Mulk), dan pengaturan (al-Tadbîr).8 Dalam hal ini hanya Allah yang menciptakan

alam semesta dan semua perlengkapannya serta hanya Dia lah yang memiliki

semua isi alam ini. Tidak ada ciptaan sekecil apapun kecuali Dialah yang

memilikinya. Lebih dari itu, Allah juga yang mengatur semua keharmonisan,

keserasian, dan keselarasan alam semesta ini9.

Pandangan Ibnu Taimiyyah ini lalu diikuti oleh Muhammad bin Abdul

Wahhab, perintis ajaran wahhabi.10 Dalam pembagian tersebut, Ibnu Taimiyyah

membatasi makna Rabb atau Rububiyyah terhadap sifat Tuhan sebagai pencipta,

pemilik dan pengatur langit, bumi dan seisinya. Sedangkan makna Illah atau

ulûhiyyah dibatasi pada sifat Tuhan sebagai yang berhak disembah. Tentu saja, ini

tidak sesuai dengan dalil al-Qur‟an dan as-Sunnah.11

Ibn taymiyah menjelaskan bahwa tawhîd uluhiyah merupakan tawhîd

tertinggi dalam aqidah Islam. Ini disebabkan tawhîd ini merupakan inti dari semua

risalah kenabian. Semua teori dan keyakinan terhadap Allah tidak bermanfaat

7
Yunun Yusuf, Alam Pikir islam pemikiran kalam: dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga
Hassan hanafi, (Jakarta: Kharisma putra Utama 2014), h. 24
8
Risyanto, “Pemikiran Tawhîd Ibnu Taimiyah, h. 126
9
Ibn Taimiyah, Kemurnian Aqidah, terj. Halimuddin (Jakarta: Bumi Aksara 1996), h. 23
10
Syaikh Abdurrahman bin Hammad al-Umr, Hakikat Dakwah Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab, (Bekasi: PT Daruul Falah 2010), h. 29
11
Syehk Idahram, Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren 2011), h. 323
52

tanpa meyakini tawhîd uluhiyah. Oleh karena itu, ibn taymiyah menilai ajaran

tawhîd dari kebanyakan filosof, teolog dan sufi seperti al- Suhrawardi al-Maqtul,

al-Ghazali, Fakh al-Din al-Razi, dan al-Amidi belum termasuk kepada tawhîd

uluhiyah. Ini disebabkan mereka menyempuradukkan antara falsafah dan kalam.

Terutama ahli kalam, Ibn taymiyah menilai bahwa mereka mempunyai masalah

dalam banyak aspek. Terkadang teori mereka menumbuhkan kontradiksi dan

keraguan. Terkadang mengikuti hawa nafsu di sisi lain. Semua itu disebabkan

mereka bertawhîd hanya berdasarkan rasio semata.12

Tawhîd rubûbiyah menurut ibn taymiyah tidak cukup untuk mengesakan

Allah, karena konsep ini belum mampu melepaskan seseorang dari pada

penyimpangan tawhîd, yaitu syirik. Namun ia mengakui bahwa ini adalah tawhîd

yang wajib diyakini pada tataran dasar. 13

2. Al-Asmâ’ wa al-Sifât

Para ulama sepakat, baik salaf maupun khalaf tentang dua tawhîd yang

pertama, walaupun mereka berbeda pada istilah yang dipakainya. Berbeda sekali

dengan jenis tawhîd yang ketiga, yang telah dirumuskan oleh Ibnu Taimiyah

tentang nama-nama Allah SWT dan sifat-sifat-Nya. Ibnu Taimiyah menetapkan

nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT.14 Nama-nama dan sifat-sifat Allah telah

ditetapkan-Nya dalam al-Qur‟an sebagaimana Dia menamai dan mensifati diri-

Nya sendiri dengan tanpa penta‟wilan., penyamaan dengan ciptaan-Nya, dan

tanpa harus dihitung dengan bilangan yang sangat terbatas, delapan, sepuluh,

dua puluh, atau bahkan menafikannya. Hal tersebut sangat bertentangan dengan
12
Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan ,h. 216
13
Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan ,h. 223
14
Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan h . 220
53

apa yang telah ditetapkan Allah SWT, dengan menafikan atau membatasi nama

atau sifat-Nya tersebut berarti mengurangi kebesaran dan kesempurnaanya.

Allah mempunyai sifat yang sangat mulia, semua makhluk Allah di dunia tidak

mungkin menyamai sifat-Nya.15 Sebagai bentuk keimanan seseorang kepada

sifat Allah, dalam prespektif Ibn Taimiyyah dia harus menjauhi diri dalam

bentuk tahrîf (perubahan), ta’tîl (penegasian sifat) dan takyîf (cara dan keadaan)

dan tamthîl(Penyerupaan). 16.

Dalam banyak pertemuan bahkan dalam kajian keislaman, Said Aqil selalu

memberikan pemahaman bahwa NU didirikan untuk menyikapi ajaran Wahhabi.

Menurutnya, kelompok semacam ini tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam

Ahlussunnah wal Jama‟ah (Aswaja) yang bersumber pada ajaran dan teladan Nabi

Muhammad SAW. Bagi NU, Wahabi itu hanya sampai pada peringkat

ahlussunnah (pengikut sunnah) saja, tetapi tidak wal jamaah (pengikut sahabat

dan ulama penerusnya).17

Tentu, Kiai Said Aqil Siradj menilai tidak wal Jamaah karena Wahabi dan

kelompok eksklusif sejenis mudah memvonis kafir sejumlah kelompok tak

sepaham, termasuk para ulama besar, seperti Imam al-Ghazali, Abu Hasan Al-

Asy‟ari, Abdul Qadir al-Jailani, hingga beberapa ulama Al-Azhar.18 Tidak hanya

memfvonis kafir, bid‟ah dan syirik tetepi kalangan wahabi juga menanamkan

benih kekerasan bisa berangkat dari basis pesantren, bahkan ketua PBNU ini

15
Abdurrahman bin Hassan, Ringkasan Minhajus Sunnah Ibn Taimiyyah, terj. Fuad, (Solo:
Pustaka Aryyan 2002), h. 67
16
Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan h . 221
17
Ahmad Musthofa Haroen, Meneguhkan Islam Nusantara, h. 128
18
Said Aqil Siradj, “NU Didirikan untuk Menyikapi Ajaran Wahabi” dinukil dari
https://youtube.com, diakses tanggal 12 Agustus 2019.
54

menyebutkan jumlah pesantrean sampai tidak kurang dari 20 pesantren di

Indonesia yang ditengarai sebagai penyebar paham radikalisme. Said Aqil

menandaskan untuk mewaspadai berkembangnya teologi wahabi ini.19

Sejak maraknya dakwah Wahhabiyah di Indonesia, banyak sekali buku

agama yang menyebutkan bahwa tawhîd dibagi menjadi tiga, yakni: Tawhîd

Rubûbiyah, Tawhîd Uluhiyah dan Tawhîd Asma‟ wa-al-Shifat. Sebelum itu,

istilah ini tergolong asing di telinga kaum muslimin, meskipun konsep tawhîd

sudah mereka pahami dengan sangat baik dalam ajaran Ahlussunnah wal Jama‟ah

(Asy‟ariyah-Maturidiyah).

Sebagai sebuah klasifikasi ilmiah, sebenarnya tak masalah bila tawhîd

dilihat dari dua aspek berbeda, yakni aspek penciptaan dan aspek peribadahan.

Aspek penciptaan ini kemudian melahirkan konsep “Tawhîd Rubûbiyah” yang

menjelaskan bahwa Sang Pencipta alam semesta ini hanyalah satu saja, yakni

Allah subhanahu wata„ala. Dari aspek peribadahan kemudian muncul aspek

“Tawhîd Uluhiyah” yang menjelaskan bahwa masyarakat harus menyembah Allah

semata tanpa dibarengi dengan sesembahan lainnya.20 Sampai di sini sebenarnya

klasifikasi ini biasa saja dan tak ada yang baru sehingga para ulama sebelum Ibn

Taymiyah juga banyak menyinggungnya. Misalnya saja Imam at-Thabari dalam

tafsirnya berkata:

‫كبوت العشة تقش بىحذاوية اهلل غيش أوهب كبوت تششك به في عببدته‬

19
Sutrisno, konstruksi kelompok-kelompok Radilak; studi pada wilayah hukum jawa
tengah, jurnal perguruan tinggi ilmu kepolisisan,Volum 12 nomor 3 (Desember) 2018, h. 19
20
Abdul Wahab Ahmad, “Tawhîd Rubûbiyah dan Uluhiyah adalah Satu Kesatuan” dinukil
dari https://islam.nu.or.id, diakses pada tanggal 19 Agusutus 2019.
55

“Orang Arab (jahiliyah) mengakui keesaan Allah tetapi mereka menyekutukan-

Nya dalam hal ibadah.” (Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsîr at-Thabari, I: 128)

Klasifikasi istilah “rubûbiyah” dan “uluhiyah” itu didasarkan pada perbedaan arti

kata “rabb” dan “ilah” yang menjadi kata dasar dari keduanya. Sebagaimana

diterangkan oleh al-Maqrizi, seorang sejarawan bermazhab Syafi‟i yang hidup di

abad kesembilan Hijriah, kata “rabb” berasal dari kata rabba-yarubbu yang

berarti yang mencipta, merawat, dan yang bertanggung jawab atas penciptaan,

rezeki, kesehatan dan perbaikan. Sedangkan kata “ilah” berarti menjadikan

sebagai yang disembah (ma’lûh) sehingga menjadi satu-satunya yang dicintai,

ditakuti, diharapkan dan sebagainya (al-Maqrizi, Tajrîd at-Tauhîd, 5).

Meskipun secara bahasa diketahui bahwa makna leksikal antara “rabb” dan “ilah”

mempunyai perbedaan, namun dalam tataran penggunaannya tak demikian.

Keduanya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sebab dalam logika paling

sederhana dapat diketahui bahwa sosok yang mencipta dan merawat alam semesta

(aspek rubûbiyah) adalah satu-satunya sosok yang layak disembah

(aspek rubûbiyah) dan demikian pula mustahil seorang manusia berakal akan

melakukan penyembahan (aspek uluhiyah) pada sosok yang sama sekali tak

terlibat dalam penciptaan dan perawatan alam semesta (aspek rubûbiyah). Itulah

sebabnya para penyembah berhala tidak menyembah segala objek yang mereka

lihat atau mereka buat, namun hanya objek tertentu saja yang mereka yakini

punya andil dalam sisi rubûbiyah.


56

Musyrikin jahiliyah tahu betul bahwa mereka mendapat manfaat yang

banyak dari pohon kurma, satu-satunya pohon yang dapat hidup subur

menghasilkan makanan pokok di padang pasir, tetapi tak ada satu pun yang

menyembahnya sebab mereka tak meyakini pohon kurma punya sisi ketuhanan.

Sebaliknya, mereka tahu betul kalau patung-patung buatan mereka tak

bergerak dan tak bisa melakukan apa pun secara fisik tetapi mereka meyakininya

sebagai sosok yang mempunyai aspek rubûbiyah, karena itulah mereka

menyembahnya. Andai mereka begitu bodohnya (jahil) menyembah sesuatu yang

mereka yakini tak punya kuasa rubûbiyah sama sekali, maka pasti mereka akan

lebih menuhankan pohon kurma atau unta daripada berhala buatan tangan mereka

sendiri yang secara kasat mata tak bisa apa-apa itu.

Karena makna “rabb” dan “ilah” ini tak terpisahkan dalam praktiknya,

maka kedua kata ini biasa diterjemah sama sebagai “Tuhan” dalam bahasa apa

pun dan tak dibedakan lagi penggunaanya secara umum. Bahkan dalam Al-Qur‟an

pun, penggunaan keduanya juga tak dibedakan. Allah berfirman:

َ‫سِلمُىن‬
ْ ‫َولَب يَ ْأ ُمشَكُمْ أَن تَّتَخِزُوا۟ ٱ ْل َملَٰٓئِكَ َة وَٱلىَبِيِهَ َأسْبَببًب ۗ أَيَ ْأ ُمشُكُم بِٲلْكُ ْف ِش َبعْذَ إِرْ أَوّتُم ُم‬

“Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi

sebagai rabb-rabb (Tuhan-Tuhan). Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat

kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?” (QS. Ali Imran: 70)

Dalam ayat di atas secara tegas Allah mengisyaratkan bahwa orang-orang

musyrik menjadikan para malaikat dan pada nabi sebagai “rabb” di samping
57

Allah. Ini bukti bahwa kata “rabb” juga bermakna sesembahan seperti kata “ilah”.

Penggunaan bentuk plural dari kata “rabb” menjadi “arbâb” dalam ayat itu

menjadi bukti lain bahwa asumsi sebagian orang bahwa kaum musyrik bertawhîd

dalam level rubûbiyah adalah isapan jempol belaka sebab nyata-nyata mereka

mengenal adanya “arbâb” atau Tuhan-Tuhan yang memiliki kuasa rubûbiyah.

Meskipun memang “rabb” dalam keyakinan kaum musyrik bertingkat; ada yang

utama (supreme God) dan ada yang biasa (lesser God).21

Dalam ayat lain, Allah lebih tegas lagi berfirman:

َ‫ة ٱ ْل َٰعَلمِيه‬
ِ َ‫ل مُبِيهٍ إِ ْر ُوسَىِيكُم ِبش‬
ٍۢ ‫ضَٰل‬
َ ‫تَٲللَهِ إِن كُىَب لَفِى‬

"Demi Allah, sungguh kami dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena

kami mempersamakan kalian (para berhala) dengan Tuhan (Rabb) semesta alam".

(QS. As-Syu‟ara‟: 97-98)

Ayat itu menjadi bukti tak terbantahkan bahwa para berhala yang

disembah itu oleh para kaum musyrik jahiliyah disejajarkan dengan “Rabb al-

‘âlamîn” atau Tuhan semesta alam, yang tak lain adalah Allah. Dengan demikian

menjadi jelas bahwa pembedaan istilah “tawhîd rubûbiyah” dan “tawhîd

uluhiyah” hanyalah benar dalam tinjauan kebahasaan saja atau sebagai klasifikasi

21
Idrus Ramli, Mazhab As’ari Benarkah Ahlussunnah Wal Jamaah? Jawaban Terhadap
Aliran Salafi,(Surabaya: Khalista 2009), h. 65
58

yang murni teoritis. Sedangkan dalam praktiknya keduanya sama sekali tak bisa

dibedakan.

Dengan demikian, klaim bahwa orang musyrik jahiliyah sebenarnya

bertawhîd di level rubûbiyah tetapi musyrik hanya di level uluhiyah adalah klaim

yang tidak tepat. Bahkan pembagian seperti ini menjadi sama sekali tak relevan

ketika kita sadar bahwa yang dilawan oleh para Nabi bukan hanya kaum musyrik

tetapi juga kaum ateis yang sama sekali tak percaya keberadaan Allah.

B. Tawassul

Tawassul berasal dari fi‟il madhi. Wassala, menurut arti etimologi (bahasa-

lughoh) mempunyai arti taqarraba ilaihi bisababin, artinya upaya mendekatkan

diri kepadanya dengan sesuatu. Menurut Mahmud Yunus tassala mempunyai arti

berbuat kebaikan yang mendekatkan dia kepada Allah.22 Dengan demikian

tawassul berarti mengambil wasilah atau perantara.

Tawassul dengan mengimani Muhammad SAW dan mengikuti ajarannya

merupakan kewajiban setiap orang. Tak ada jalan untuk sampai kepada rahmat

dan keselamatanNya kecuaki melalui tawassul dengan mengimani Rasul SAW

dan mengikuti ajarannya.beliau itu pemilik tempat terpuji yang diimpikan semua

orang. Beliau pemberi syafaat terbesar dan tertinggi kedudukannya di sisi Allah

SWT.23 Firmannya:

“Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan tertinggi di sisi

Allah.” (QS.33;69) 7
22
Mahmud Yunus, Kamus Yunus (Jakarta: PT Hidakarya Agung 1990), h. 499
23
Ibn Taymiyah, Tawassul dan wasilah dalam masyarakat muslim Indonesia,(Bandung:
Remaja rosdakarya 2006), h. 2
59

Tawassul ialah salah satu jalan dari berbagai jalan tadzorru‟ kepada Allah.

Sedang wasilah ialah setiap sesuatu yang dijadikan Allah sebagai sebab untuk

mendekatkan diri kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya :

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah

jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya serta berjihadlah dijalan-Nya supaya

kamu mendapat keberuntungan” (QS. al-Maidah: 35)

Tawassul termasuk bagian (furuiyyah) dari ajaran Islam. Nahdlatul Ulama

(NU) mengajarkan tawassul kepada pengikutnya untuk mendekatkan diri kepada

Allah SWT. Namun, tawassul ini sering ditolak oleh kelompok Wahabi, karena—

seperti yang disebutkan Said Aqil Siradj—mereka melihat bahwa tawassul dengan

ziarah kubur para wali termasuk perbuatan syirik. Sesungguhnya mereka

bersikukuh syirik itu adalah perbuatan yang terlarang alias haram.24

Klaim Syirik yang dituduhkan oleh kelompok Wahabi termasuk salah satu

dari cerminan Islam garis keras. Karena, Islam yang sesungguhnya adalah

sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau tidak

menuduh orang lain, sekalipun mereka sesat, dengan tuduhan kasar atau

menyesatkan. Islam yang didakwahkan oleh beliau dibingkan dengan keteduhan

dan kesejukan, sehingga ajaran-ajaran Islam selalu berkesan di hati umat beliau.

24
Said Aqil Siradj, Islam Kalap, Islam Karib, (Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 18
60

Islam yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya tentu tidak seperti islam

yang dipahami kelompok garis keras, termasuk kelompok Wahabi. Islam ala Nabi

Muhammad SAW dapat dilihat dari Islam yang diajarkan oleh Wali Songo di

Indonesia. Said Aqil Siradj menyebutkan dalam bukunya Islam Kalap Islam

Karib, bahwa Wali Songo merupakan bagian dari para wali yang menyebarkan

Islam di Indonesia dengan wajah yang meneduhkan dan sikap yang santun. Para

wali ini mengajarkan Islam dengan menggunakan nilai-nilai budi pekerti atau

akhlak yang berbasis pada nilai-nilai tasawuf. Sehingga dengannya, ajaran Islam

lebih mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.25

Islam yang dengan pendekatan nilai-nilai tasawuf ini merupakan Islam yang

diserap dari pendekatan batiniah. Tentunya, Islam semacam ini berbeda dengan

Islam yang dipahami oleh Wahabi yang melihat Islam terbatas pada lahiriyah

semata. Kelompok Wahabi dengan pendekatan lahiriyah ini cenderung berpihak

pada kelompok teroris yang melihat Islam terbatas pada terks secara lahir, tidak

melihat maksud di balik teks tersebut. Islam secara lahiriyah cenderung tidak

membumi, sehingga nilai-nilai budaya yang berkembang tidak diperhatikan dan

lebih sering diabaikan. Cara pandang seperti ini tidak cocok dipraktekkan di

Indonesia yang menganut paham plural. Sebab, di dalamnya terbentang beragam

agama, beragam budaya, dan beragam ras. Islam di Indonesia membutuhkan

Islam yang “kontekstual” dan menghargai tradisi. Salah satu tradisi yang

membumi di negara ini adalah praktek tawassul yang biasanya dilakukan oleh

25
Siradj, Islam Kalap, Islam…, h. 149
61

masyarakat. Karena, mayoritas masyarakat mempercayai bahwa tawassul adalah

salah satu cara mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Kritik yang di sampaikan Said Aqil tersebut merupakan salah satu cara

menjaga persatuan masyarakat Indoensia tanpa saling menyudut satu sama lain.

Ahmad Mustafa Haroen menegaskan, bahwa Said Aqil berusaha menjaga tradisi

kultural NU tidak terkikis dengan cara melawan ideologi Wahhabi. Diperlukan

berjuang sekuat tenaga untuk meng-counter pendapat mereka. Jangan minder dan

merasa kalah. Kalau hanya dihujat Maulid Nabi tidak ada dalilnya atau ziarah

kubur tidak ada dalilnya, sudah banyak buku yang ditulis untuk membantahnya.26

Said Aqil—sebagai disebutkan oleh Haroen—juga menambahkan beberapa

pernyataan sebagai kritik terhadap kelompok Wahabi, bahwa maulid Nabi itu

memuji-muji Nabi Muhammad. Semua sahabat juga memuji Nabi Muhammad,

setinggi langit bahkan Nabi Muhammad diam saja tidak melarang tawassul,

semua sahabat juga tawassul dengan Rasulullah. Tawassul dengan manusia.

Bukan Allahumma langsung. Tawassul dengan manusia, bukan Allahumma

lansung. Tapi saya minta tolong Rasulullah sampai begitu! Litarhamna,

rahmatilah kami. Labit bin Rabiah mengatakan, kami datang kepadamu wahai

manusia yang paling mulia di atas bumi, agar engkau merahmati kami. Coba,

minta rahmat kepada Rasulullah, kalau itu dilarang, kalau itu salah, Rasulullah

pasti dilarang. 27

26
Ahmad Musthofa Haroen, Meneguhkan Islam Nusantara, ( Jakarta: Khaira Jalisin
Kitabun, 2015), h. 130
27
Ahmad Musthofa Haroen, Meneguhkan Islam Nusantara, h. 131. Baca Pula, Siradj, Islam
Kalap, Islam…, h. 18-19
62

C. Konsep Takfȋr dan Tabdȋ’

Doktrin takfir ada dalam semua agama dan aliran aliran keadamaan, tanpa

terkecuali Islam. Meskipun berkaitan, takfir dalam konteks ini sangat berbeda

dengan riddah (kemurtadan). Ini lebih cendrung kepada persoalan teologis,

sedangkan riddah termasuk pada persoalan fiqh.28

Istilah takfir seakar dengan kata kufr. Kata takfir secara etimologis berarti

murtad, keluar dari agamanya, atau mengundurkan diri dari kelompoknya.

Sedangkan, tafsir secara terminologis adalah menolak kebenaran dari Allah yang

disampaikan Rasul-Nya.29 A‟id Ibn al-Dawsari, pengikut Ibn Taymiyah

mengemukakan pemahaman umum tentang takfir. Pertama, takfir merupakan hal

biasa yang ada dalam semua agama, aliran, mazhab dan pemikir. Kedua, takfir

temasuk hukum sar‟i yang tidak dapat dipungkiri ketetapannya. Pengingkaran

terhadap takfir hanya terjadi jika term ini dipahami terlalu luas, berlebihan

melampaui batas, atau mengarah kepada pengkafiran sesame muslim. Kaidah

takfir telah baku di semua aliran teologi Wahabi dalam pandangan A‟id Ibn Said

al-Dawasari adalah yang paling moderat dan teliti. Keempat, sikap tidak

mengkafirkan belum tentu mufakhkharah (membanggakan) dan ijabaiyah

(positif). Ini disebabkan sikap tersebut dapat berimplikasi kepada pendusta

terhadap realita dan menegasikan fakta suatu pemikiran yang bertentangan

dengan dengan prinsip keimanan. kelima, sikap suatu golongan terhadap yang

28
Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan h . 262
29
Asep Saifuddin Chalim, Aswaja Pedoman untuk pelajar,Guru, dan Warga NU, (Jakarta:
Erlangga 2017), hal 73
63

berbeda dengannya juga berlainan, maka Wahabi adalah aliran yang paling tepat

sekaligus pengasih terhadap mereka yang bermuamalah.30

Kafir-mengkafirkan seringkali menghantui hidup masyarakat di penjuru

dunia, termasuk di dalam negara Islam. Biasanya kafir-mengkafirkan dilakukan

oleh kelompok ekstrem, seperti kelompok Wahabi. Mereka gemar mengkafirkan

orang dianggap syirik, karena melakukan praktek keagamaan yang menyesatkan,

seperti ziarah kubur, tawassul, dan Maulid Nabi. Kafir-mengkafirkan kemudian

mendorong mereka berbuat kekerasan di luar akal sehat, seperti pengrusakan

kuburan, padahal kuburan itu adalah peristirahatan terakhir yang semestinya

diperlakukan dengan bijaksana.

Melihat kenyataan tersebut, Said Aqil Siradj menyebutkan tindakan Wahabi

yang membabi buta dan tidak menggunakan akal sehat adalah perbuatan yang

“konyol”. Tindakan ini tentunya tidak manusiawi dan berupaya merangsek

kenyamanan beragama. Pemahaman keagamaan yang gemar mengkafirkan dan

bertindak ekstrem selalu berhadapan dengan literalisme kaku yang bertumpu pada

symbol-simbol formal keagamaan.31 Wahabi melihat Islam hanya terbatas pada

symbol semata, tidak melihat substasi yang ada di dalamnya. Padahal, symbol itu

hanyalah “kulit” yang seringkali belum menggambarkan isi di dalamnya.

Kafir-mengkafirkan sering dibarengi dengan klaim tab’di’, pembid‟ahan.

Bid‟ah menurut kaum Wahabi adalah praktik-praktik keagamaan yang tidak

didasarkan atau tidak ada dasarnya dalam al-Qur‟an dan Sunnah serta otoritas

sahabat Nabi. Sehingga konsep bi‟dah versi Wahabi ini biasanya dipasangkan

30
Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan h . 263
31
Siradj, Islam Kalap, Islam…, h. 17/20
64

sebagai lawan negatif dari sunnah. Dengan demikian, menegakkan sunnah

melibatkan tindakan meninggalkan bid‟ah. Kaum Wahabi tidak mengakui adanya

bid‟ah yang baik (bid‟ah hasanah), melainkan seluruh bid‟ah itu adalah negatif

dan didefinisikan secara kronologis: bid‟ah adalah seluruh praktik atau konsep

keagamaan yang baru ada setelah abad ketiga Hijriyah.32 Dengan demikian,

periode perkembangan konsep atau praktik keagamaan baru yang bisa diterima

tidak hanya meliputi dua generasi pertama kaum Muslim, yakni generasi sahabat

dan tâbi„în, tetapi juga periode para imam empat mazhab fikih Sunni. Namun,

melakukan tindakan taqlîd (mengikuti secara konsisten salah satu dari empat

mazhab fikih tersebut) dipandang sebagai bid‟ah selama hal itu melibatkan

pemberian otoritas kepada segala sesuatu selain al-Qur‟an dan Sunnah.33

Selain itu, bid‟ah juga dipandang telah mencengkram kaum Muslim dalam

berbagai praktik lainnya yang lebih berbahaya. Di antara praktik-prakti

keagamaan yang dikategorikan sebagai bid‟ah oleh Wahabi adalah memperingati

hari kelahiran Nabi Muhammad Saw atau yang biasa dikenal dengan‚ Maulid

Nabi. Selain itu, praktik-praktik memperingati kematian sesorang seperti haul atau

tahlilan dalam rangka kematian seseorang itu juga termasuk bid‟ah menurut

perspektif Wahabi. Konsepsi bid‟ah yang dijadikan sebagai retorika dalam setiap

dakwah Wahabi seperti disebutkan di atas itu merupakan konsep yang dihasilkan

oleh pemikiran Ibn Al-Wahab.

32
Muhammad Said Ramadan Al- Buthi, salafi sebuah Fase Sejarah Bukan
Mazhab,penerjemah Futuhal Arifin(Jakarta: Gemma Insani,2005 ) Cet, I, h. 179
33
Hamid Algar, Wahabisme: Sebuah Tinjauan Kritis, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi
2011), h. 50
65

Said Aqil mengkritik sikap pembid‟ahan Wahabi terhadap orang yang

melakukan praktek keagamaan yang belum pernah dilakukan oleh Nabi, bahwa

pembid‟ahan ini berlawanan dengan Islam yang dipahami oleh Ahlussunnah wal

Jama‟ah atau yang disebut dengan Aswaja. Islam Aswaja selalu mengacu kepada

kekayaan sejarah dan budaya Nusantara. Karenanya, Aswaja menghargai tradisi,

pluralitas budaya dan martabat manusia sebagai makhluk budaya.34 Berbeda hal,

Wahabi melihat budaya bukanlah bagian dari Islam, sehingga mengawinkan

budaya dengan nilai-nilai Islam adalah mengada-ada alias bid‟ah.

Dalam kitabnya, Fadlul Islam Ibn Abd Wal-ahab menulis sebuah sub bab

dengan judul‚ Ma ja’a anna al-bid’atu asyaddu min al-kabair (apa saja yang

termasuk dalam bid‟ah itu adalah dosa besar).35 Jadi orang yang melakukan tahlil,

merayakan maulid, ziarah kubur, serta bertawassul pada para wali itu telah

diangap telah melakukan dosa besar. Bahkan salah satu tokoh Wahabi

kontemporer, Abdul Aziz bin Baz, menulis dalam kitabnya Syarhu atstsalastatil

ushul bahwa barang siapa yang bertaqarrub kepada selain Allah, baik kepada wali,

Nabi dan pohon, maka ia telah musyrik dan kafir.36

Sedangkan menurut beberapa mutakallimun seperti Imam al-Asy‟ari takfiri

dalam bukunya Imam al-Asy‟ariy, mengatakan bahwa Islam jauh lebih luas

daripada Iman. Tetapi, tidaklah dapat dikatakan bahwa setiap muslim itu mukmin.

Selain itu, Iman meliputi juga perkataan dan perbuatan yang bertambah dan

berkurang. Ia juga mengatakan bahwa hati manusia itu bisa berbolak-balik di

34
Siradj, Islam Kalap, Islam…, h. 124
35
Nur Kholik Ridwan, Doktrin Wahabi Jilid , (Yogyakarta: Penerbit Tanah Air 2009), h.
69
36
Nur Kholik Ridwan, h. 70
66

antara dua jari (kekuasaan) Allah, sebagaimana bolak-baliknya langit dan bumi

dalam genggaman-Nya. Begitu pulalah yang diriwayatkan dari Rasul Saw.

Pernyataannya ini sama seperti pendapat-pendapat Imam Ahl as-Sunnah lainnya.

Pembagian Tafkiri menurutnya Al-Imam al-Asy‟ariy tidak menyebutkan

secara jelas di dalam buku karyanya. Namun jika ditelaah lebih jauh dapat

dipahami bahwa seorang Muslim yang berbuat dosa besar dikatakan alFasiq yang

dalam istilah Ibn Taimiyah Mu’min Naqish al-Iman. Jika demikian adanya berarti

jenis kefasikan dapat dikategorikan ke dalam alkufr al-asgar. Sementara

pendapatnya tentang kekafiran adalah jenis Alkufr al-akbar yang mengeluarkan

pelakunya dari agamanya.37.

Kriteria takfir yang tampak dari pembahasan Al-Imam al-Asy‟ariy bahwa

seseorang dapat dikafirkan jika seseorang melakukan sesuatu yang haram dengan

mengingkari keharamannya. Kriteria selanjutnya adalah tidak ada Syahadah dan

mengingkari apa yang dibawa oleh Rasul Saw. mengucapkannya dengan lidah

dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang iman. Dengan demikian,

untuk menjadi mukmin, cukup dengan pengakuan dalam hati dua kalimah

syahadah serta membenarkan apa yang dibawa oleh Rasul.38

Jika takfir dilakukan kepada orang yang terpenuhi syarat dan tidak ada

penghalang, tentunya ada konsekuensi dari pengkafiran tersebut. Menurut Al-

Imam al-Asy‟ariy orang yang benar-benar telah dianggap kafir maka tidak

dishalatkan jenazahnya, berbeda dengan yang meninggal dari Ahl al-Qiblah tetap

37
Azhar, Analisis Komparatif Konsep Takfir Antara Salaf Dan khalaf , dalam Jurnal
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan, Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017, h.
129
38
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1978), h. 28
67

disalatkan baik yang patuh maupun yang melanggar. Karena ini merupakan

konsekuensi tidak adanya pencabutan haknya sebagai orang Islam. Sementara

konsekuensi lain yaitu ancaman neraka baginya walaupun menurutnya di akhirat

ia tidak dikekalkan di dalamnya sebagaimana yang ditulisnya di dalam kitab

Maqalat al-Islamiyyin.39

Menurut NU Islam Nusantara sebagai perwujudan Islam yang telah ada dan

tetap ada sampai hari ini digambarkan sebagai Islam Ahlu al-sunnah wa al-

jama‟ah yang memiliki sifat moderat, toleran, dan akomodatif terhadap budaya.
40
Ideologi Ahlu al-sunnah wa al-jama‟ah atau yang biasa disebut dengan Aswaja

digambarkan sebagai ideologi yang bersifat tawasuth, tawazun, tasamuh dan

i’tidal. Manifestasi keberagamaan yang berpijak pada ideologi tersebut

memunculkan corak beragama yang lebih fleksibel dan inklusif, sehingga dapat

berbaur dengan berbagai perbedaan corak beragama baik dalam Islam maupun

diluar Islam, dan akomodatif terhadap budaya termasuk didalamnya dalam

menerima tradisi lokal dan paham kebangsaan seperti halnya Pancasila.

Merujuk secara ontologis, identitas Aswaja sebenarnya lebih cocok

dikategorikan sebagai manhaj berpikir daripada sebagai mazhab. Hal ini karena

aswaja sebagai pemahaman berislam mencakup didalamnya berbagai mazhab,

baik mazhab kalam, fqih, ataupun tasawuf. Sehingga tidak cocok dikatakan

sebagai mazhab Terkait dengan Aswaja ini, Said Aqil Siroj mengartikan istilah

tersebut secara historis sebagai orang-orang yang memiliki metode berfikir

39
Abu Hasan al-Asyariy, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin , Cet. 1 (As-
Sa‟adah: Mesir, 1945), vol. II, hlm. 148
40
Fathoni Ahmad, Sekali Lagi tentang KH Said Aqil Siroj, https://www.nu.or.id, diakses
pada tanggal 22 Agusutus 2019.
68

keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-

dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran.

Terbentuknya corak tersebut terutama dipengaruhi oleh kondisi sosial-

politik yang melingkupi awal mula kemunculannya. Menurut Said Aqil Siroj

secara historis munculnya paham Aswaja lebih dipengaruhi faktor politis daripada

teologis. Ia menggambarkan kemunculan Aswaja mula-mula diawali oleh kondisi

perpecahan umat Islam yang tengah berkecamuk pada masa pemerintahan Daulah

Bani Umayyah. Kemelut tersebut merupakan imbas dari berbagai peristiwa

perpecahan yang terjadi pada masa-masa sebelumnya, terutama semenjak

peristiwa terbunuhnya khalifah ke-3 yakni Usman bin „Affan yang kemudian

memunculkan kericuhan dan perang saudara yang di istilahkan dengan al-fitnah

al-kubra.

Adanya penegakan corak Islam yang khas Indonesia bukanlah hal netral

begitu saja, tindakan dalam pewacanaan tersebut secara lebih jauh merupakan

implikasi sekaligus konsekuensi dari adanya faktor-faktor yang bersifat politis.

Hal ini secara lebih konkrit salah satunya di sebabkan karena adanya corak

berislam di Indonesia yang kurang ramah, dan toleran terhadap Islam yang

berhaluan moderat seperti yang diwakili oleh ormas NU dan Muhammadiyah.41

Diantara kedua ormas tersebut, tentunya ormas NU yang lebih terdesak dengan

adanya berbagai gerakan tersebut, mengingat fakta bahwa dalam tradisi beragama

yang dijalankan ormas NU sendiri yang lebih kentara dalam relasinya dengan

praktik bermazhab dan tradisi lokal

41
Said Aqil Siradj, Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara, (Jakarta: LTN NU, 2014),
h. 212
69

Sebagaimana yang marak diwacanakan selama ini, gerakan trans-nasional

merupakan gerakan yang mengusung pada penerapan Islam secara legal-formal.

Kecenderungan yang bersifat legal formal tersebut menjadikan gerakan ini lebih

mengedepankan penerapan aspek normatifitas Islam atas berbagai manifestasi

tradisi dan budaya. Gerakan ini marak terutama pasca bergulirnya era reformasi di

Indonesia pada tahun 1998. Ada berbagai jenis dari gerakan Islam ini, namun

diantara gerakan tersebut yang cukup dominan ialah gerakan Salafi Wahabi,

Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir Indonesia

Di antara ketiga kelompok tersebut, kelompok Wahabi merupakan yang

paling kuat terutama dalam hal pendanaannya. Meski begitu dari ketiganya

negara dan aplikasi syari‟ah sebagai hukum positif atau sekaligus mendirikan

sistem pemerintahan Khilafah seperti halnya yang dicita-citakan oleh HTI. Dari

beberapa kelompok tersebut yang paling masif pergerakanya di Indonesia ialah

kelompok Salafi-Wahabi dan Hizbut Tahrir Indoensia. Kedua kelompok tersebut

dapat dipetakan dalam tipologinya masing-masing, misalnya kelompok Wahabi

yang lebih cenderung menyuarakan pemurnian atau puritanisme Islam dengan

slogan kembali pada al-Qur‟an dan as-Sunnah.42 Dengan slogan tersebut

kelompok ini mengklaim kelompok-kelompok diluar dirinya terutama para

penganut Islam Tradisional dan tarekat sebagai ahlul bid‟ah dan sering pula di cap

syirik dan kafir.

42
Memahami Salafi, Wahabi, dan HTI, dinukil dari https://pinterpolitik.com, diakses
pada tanggaL 22 agustus 2019
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bardasarkan penjelasan yang penulis paparkan di atas maka pembahasan

tentang pandangan Said Aqil tentang teologi Wahabi di Indonesia adalah sebagai

berikut:

Pertama, Said Aqil Siradj mengkritik bahwa Wahabi memang kerap kali

tampak menonjol karena aktifitasnya yang mencela praktik-praktik keagamaan

yang dipandangnya syirik dan bid’ah, seperti tahlil, shalawatan, maulid nabi, dsb.

Hal ini menjadi ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Wahabi memang bukanlah kelompok teroris tetapi mereka menyediakan

landasan teologis bagi munculnya aksi-aksi terorisme. Aksi-aksi kekerasan yang

kini terjadi tidak bisa terlepas dari pengaruh dan kontribusi ajaran dan doktrin

Wahabi.

Kedua, kritik Said Aqil Siradj terhadap teologi Wahabi di Indonesia dapat

dikatakan relevan, karena pemikirannya merespons secara langsung teologi

Wahabi yang kerapkali masuk dan berkembang di Indonesia. Maka dari itu,

gagasan Said Aqil sedikit banyak memberikan kontribusi terhadap keutuhan

NKRI yang seharusnya tetap dijaga dan diperjuangkan mulai dari dahulu hingga

sekarang. Di samping itu, gagasan Said Aqil dapat mencegah pemikiran

73
74

radikalisme yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan sistem negara

Indonesia yang wasathiyyah, moderat.

B. Saran

Setelah penulis melakukan penelitian, penulis hanya ingin memberikan

gambaran kepada para pembaca yang mungkin masih mempertanyakan

bagaimana Said Aqil Siradj ketua PBNU menanggapi maraknya wahabis di

Indonesia. Penulis juga menyadari bahwa dalam memahami pemikiran Said Aqil

Siradj mengenai tanggapannya tentang Wahabi di Indonesia masih jauh dari kata

sempurna karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman penulis.

Sehingga diperlukan kajian-kajian yang lebih mendalam mengenai tema tersebut.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan.

Penelitian mengenai kritik Said Aqil Siradj terhadap teologi Wahabi di

Indonesia bukan sesuatu baru dalam khazanah pengetahuan di Indonesia. Oleh

karena itu, masih banyak ruang kosong untuk diteliti bagi peneliti berikutnya.

Salah satu ruang kosong yang masih tersedia adalah kritik Said Aqil Siradj

terhadap pemikiran radikalisme secara umum, seperti terorisme dan Hizbut Tahrir

Indonesia (HTI).
DAFTAR PUSTAKA

Abdullâh bin Baz, „Abd al-Aziz bin. Fatwa-Fatwa Terkini, terj. Musthafa Aini.
Jakarta: Darul Haq 2003

Abdurrahman bin Hammad al-Umr, Syaikh. Hakikat Dakwah Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab. Bekasi: PT Daruul Falah 2010

Abidin Syihab, Zainal. Wahabi dan Reformasi Islam Internasional. Jakarta: Pustaka
Dian, 1986

Abidin, Zaenal. Wahabisme, Transnasionalisme dan Gerakan-Gerakan Radikal Islam


di Indonesia, Jurnal Tasâmuh, Vol. 12 No. 2, Juni 2015

Abou El-Fadhl, Khaled. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustafa,.
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta 2006

Algar, Hamid. Wahabisme: Sebuah Tinjauan Kritis. Jakarta: Yayasan Abad


Demokrasi 2011

Aqil Siradj, Said. “NU Didirikan untuk Menyikapi Ajaran Wahabi” dinukil dari
https://youtube.com, diakses tanggal 12 Agustus 2019

Aqil Siradj, Said. Ahlussunnah Wallamaah Sebuah Kritik Historis. Jakarta: Pustaka
Cendekiamuda, 2008

Aqil Siradj, Said. Dalam buku Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-kitab
Karya Ulama Klasik. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011

Aqil Siradj, Said. Islam Kalap dan Islam Karib. Jakarta: Daulat Press 2014

Aqil Siradj, Said. Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum Santri. Jakarta: Pustaka
Ciganjur 1999

Aqil Siradj, Said. Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara. Jakarta: LTN NU, 2014

Dawam Sukardi, Mohammad. NU sejak Lahir (Dari Pesantren Untuk Bangsa; Kado
Buat Kyai Said). Jakarta: SAS Center, 2010

Faizah, Pergulatan Teologi Salafi dalam Mainstream Keberagamaan Masyarakat


Sasak, Jurnal, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 16 Nomor 2
(Desember) 2012
Faqih bin Abdul Djabbar Maskumambang, Muhammad. Menolak Wahabi. Depok:
Sahifa, 2015

Farih, Amin. “Nahdlatul Ulama (NU) dan Kontribusinya dalam Memperjuangkan


Kemerdekaan dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI)”, Jurnal, Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24,
No. 2, November 2016

Fiqih Maskumambang, Muhammad. Menolak Wahabi: Membongkar Penyimpangan


Sekte Wahabi dari Ibnu Taimiyah hingga Abdul Qadir at-Tilmisani, terj.
Abdul Aziz Masyhuri. Depok: Sahifa, 2015

Guntur Romli, Mohammad. Islam Kita, Islam Nusantara: Lima Nilai Dasar Islam
Nusantara. Ciputat: Ciputat School, 2016

Hasan Al-Saqqaf, Sayyid. Mini Ensiklopedi Wahabi, Penerjemah Ahmad Anis.


Beirut: Dar Al Imam Ar Rawwas, 2013

Hassan, Abdurrahman bin. Ringkasan Minhajus Sunnah Ibn Taimiyyah, terj. Fuad.
Solo: Pustaka Arayyan 2002

Hasyim, Arrazy. Teologi Muslim Puritan, Genealogi dan Ajaran Salafi. Ciputat:
Yayasan Waqaf Darsun, 2107

Hibatul Wafi, Mahmud. Diskursus Reformasi Arab Saudi: Kontestasi Kerajaan Saudi
Dan Wahabi, Jurnal Islamic World and Politics, Vol.2. No.1 January-Juni

Idahram, Syaikh. Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi. Yogyakarta: Pustaka


Pesantren, 2011

Idahram, Syekh. Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi. Yogyakarta: Pustaka


Pesantren 2011

Kholik Ridwan, Nur. Doktrin Wahabi dan Benih-benih Citra Islam. Yogyakarta:
Tanah Air 2009

Mortimer, Edwar. Islam dan Kekuasaan, terj. Enna Hadi dan Rahmani Astuti.
Bandung: Mizan 1984

Mousalli, Ahmad. Wahabism, Sallafism and Islam, Who is The Enemy?. Beirut:
Conflict Forum 2009
Muhammad Waskito, Abu. Mendamaikan Ahlus Sunnah di Nusantara”Mencari Titik
kesepakatan Antara as’ariyah dan Wahhabiyah. Jakarta: Pstaka Alkautsar
2012

Muhammad Waskito, Abu. Wajah Salafi Ekstrim di Dunia Internet. Bandung: AD


DIFA press, 2009

Mustofa Haroen, Ahmad. : Meneneguhkan Islam Nusantra. Jakartta: Khalista 2015

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press, 1978

Qisthina Sindi, Hanan. Analisis Perilaku Kejahatan Terorisme Osama Bin Laden,
Jurnal Journal of International Relations, Volume 2, Nomor 4, Tahun 2016

Rahmatika, Arina. “Analisa Wacana Citra Wahabi dalam Majalah Aula Edisi
Februari 2016”, Skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017

Ramli, Idrus.Mazhab As’ari Benarkah Ahlussunnah Wal Jamaah? Jawaban


Terhadap Aliran Salafi. Surabaya: Khalista 2009

Risyanto, “Pemikiran Tawhîd Ibnu Taimiyah Perspektif Hermeneutika Filosofis”


Skripsi S2 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2016

Sa‟ad Asy-suwa‟ir, Muhammad bin. Wahabi dan Imprealisme, penerjemah Abu


muawiyah Hammad. Jakarta:Gria ilmu, 2010

Said Ramadan Al- Buthi, Muhammad. Salafi sebuah Fase Sejarah Bukan Mazhab,
penerjemah Futuhal Arifin. Jakarta: Gemma Insani,2005

Saifuddin Chalim, Asep. Aswaja Pedoman untuk pelajar,Guru, dan Warga NU.
Jakarta: Erlangga 2017

Shidqi, Ahmad. Respon Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Wabisme dan Implikasinya
bagi Deradikalisasi Pendidikan Islam, Jurnal, Jurnal Pendidikan Islam, Vol.
II, No. 1, Juni 2013

Sutrisno, Konstruksi Kelompok-kelompok Radikal; studi pada wilayah hukum Jawa


Tengah, jurnal perguruan tinggi ilmu kepolisisan,Volume 12 nomor 3
(Desember) 2018

Syafi‟i Ma‟arif, Ahmad. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional
di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute, 2009
Syafi‟i Mufid, Ahmad. Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di
Indonesia,. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI 2011

Syamsul Huda, Mukhamad. Pengaruh Pemikiran Teologi Muammad bin Abd al-
Wahhab terhadap Pemerintahan Dinasti Saudi Arabia Ketiga, Tesis, UIN
Sunan Kalijaga, 2014

Taymiyah, Ibn. Tawassul dan wasilah dalam masyarakat muslim Indonesia.


Bandung: Remaja Rosdakarya 2006

Thâhir al-Qadr, Muhammad. Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri. Jakarta:
Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam LPPI 2014

Ubaidillah, Global Salafism dan Pengaruhnya di Indonesia, Jurnal ThaqafiyyaT, Vol.


13, No. 1, Juni 2012

Wahab Ahmad, Abdul. “Tawhîd Rubûbiyah dan Uluhiyah adalah Satu Kesatuan”
dinukil dari https://islam.nu.or.id, diakses pada tanggal 19 Agusutus 2019

Wahid, Abdurrahman. edt. Ilusi Negara Islam: EkspansiGerakan Islam


Transnasional di Indonesia.Jakarta: The Wahid Institute, 2009

Yusuf, Yunun. Alam Pikir islam pemikiran kalam: dari Khawarij ke Buya Hamka
Hingga Hassan hanafi. Jakarta: Kharisma putra Utama 2014

Zaini Dahlan, Ahmad bin. Mutiara Bercahaya dalam Menolak paham Wahabi,
penerjemah Aan najib Mustofa. Pasuruan: Garoeda Buana indah pasuruan,
1995

Anda mungkin juga menyukai