Anda di halaman 1dari 21

HADIST DITINJAU DARI KUANTITAS NYA

(diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah pengantar studi al-quran dan hadist)

Dosen Pengampu :

Ahmad Noor Islahuddin,Lc., L.LM.

Disusun Oleh: Kelompok 8 (F)

Annisa Bertina (2121030225)

Roy Andre Da Costa Adsa (2121030207)

Zaka Alkoni (2121030214)

FAKULTAS SYARI'AH

HUKUM EKONOMI SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur bagi Allah SWT. yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Hadist ditinjau dari kuantitasnya”.
Makalah ini disusun sebagai tugas dari mata kuliah Pengantar Studi Al- Qur’an dan
Hadist.

Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Ahmad Noor Islahuddin,Lc., L.LM. selaku
dosen pengampu mata kuliah Pengantar Studi Al-Qur’an dan Hadist yang telah
membimbing kami sehingga, makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, masih terdapat banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu saya mengharapkan kritik dan saran
yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Terima kasih, dan
semoga makalah ini bisa memberikan manfaat positif bagi kita semua

Bandar Lampung, 03 Desember 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ........................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 1
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................... 2

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN HADITS MUTAWATIR ................................... 3

2.2 SYARAT-SYARAT HADIST MUTAWATIR ........................... 5

2.3 PENGERTIAN HADITS AHAD ................................................ 6

2.4 MACAM-MACAM HADIST AHAD .......................................... 7

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan ................................................................................ 14

3.2 Saran........................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 16

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Masalah

Kata hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata
dari qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits juga berarti al-khabar (yaitu sesuatu yang
dipecakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Hadits kemudian
didefinisikan sebagai ucapan, perkataan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW
.Hadits, di lihat dari sudut kuantitas, atau jumlah rawi, diklarifikasikan dengan hadits
mutawatir dan hadits ahad. Seluruh umat islam juga sepakat bahwa hadits merupakan
salah satu sumber ajaran Islam. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam (baik
berupa perintah maupun larangannya) sama halnya denga kewajiban mengikuti al-
Qur’an. Hal ini karena hadits merupakan mubayyin (penjelas) terhadap al-Qur’an,
yang karenanya siapa pun tidak akan bisa memahaminya tanpa dengan memahami
dan menguasai hadits. Begitu pula halnya menggunakan hadits tanpa al-
Qur’an.Karena al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi
garis besar syariat. Dengan demikian, antara hadits dengan al- Qur’an memiliki kaitan
sangat erat, untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisahkan atau
berjalan sendiri-sendiri

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan hadist mutawatir?


2. Apa sajakah syarat-syarat hadist mutawatir?
3. Apa saja macam-macam hadist mutawatir?
4. Apa faedah dari hadist mutawatir?
5. Apa yang dimaksud dengan hadist Ahad?
6. Apa saja Macam-macam hadist Ahad?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui Apa yang dimaksud dengan hadist mutawatir
2. mengetahui syarat-syarat hadist mutawatir
3. Mengetahui macam-macam hadist mutawatir
4. Mengetahui faedah dari hadist mutawatir

1
5. Mengetahui maksud dari hadist Ahad
6. Mengetahui syarat-syarat hadist Ahad
7. Mengetahui Macam-macam hadist Ahad

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Hadits Mutawatir

2.4.1. Hadits Mutawatir

Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang datang


berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada
jaraknya.

Sedangkan pengertian Hadits mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa


definisi, antara lain sebagai berikut:

“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat
mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta”.

Ada juga yang mengatakan:

“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat
mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sejak awal sanad
sampai akhir sanad, pada setiap tingkat (Thabaqat). [3]

Sementara Nur ad-Din Atar mendefinisikan:

“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari
kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad
dengan didasarkan pada panca indra”. [

2.4.2. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir

Mengenai syarat-syarat Hadits mutawatir ini, yang terlebih dahulu


merincinya adalah ulama ushul. Sementara para ahli Hadits tidak begitu
banyak merinci pembahasan tentang Hadits mutawatir dan syarat-syarat
tersebut. Karena menurut ulama ahli Hadits, khabar Mutawatir yang
sedemikian sifatnya, tidak termasuk kedalam pembahasan Ilmu Al-Isnad, yaitu
sebuah disiplin ilmu yang membicarakan tentang sahih atau tidaknya suatu

3
Hadits, diamalkan atau tidaknya, dan juga membicarakan sifat-sifat rijalnya
yakni para pihak yang banyak berkecimpung dalam periwayatan Hadits, dan
tata cara penyampaian. Padahal dalam kajian Hadits mutawatir tidak
dibicarakan masalah-masalah tersebut. Karena bila telah diketahui statusnya
sebagai Hadits mutawatir, maka wajib diyakini kebenarannya, diamalkan
kandungannya, dan tidak boleh ada keraguan, sekalipun di antara adalah orang
kafir.

Sedangkan menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu Hadits dapat


ditetapkan sebagai Hadits Mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:

a. Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi

Hadits mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang


membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta. Mengenai masalah ini para ulama berbeda
pendapat. Ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak
menetapkan jumlah tertentu. Menurut ulama yang tidak mensyaratkan
jumlah tertentu, yang penting dengan jumlah itu, menurut adat, dapat
memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan mustahil
mer eka sepakat untuk berdusta. Sedangkan menurut ulama yang
menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlah
tertentu itu.

Al-Qadhi Al-Baqillani menetapkan bahwa jumlah perawi Hadits agar


bisa disebut Hadits mutawatir tidak boleh berjumlah empat. Lebih dari
itu lebih baik. Ia menetapkan sekurang-kurangnya berjumlah 5 orang,
dengan mengqiyaskan dengan jumlah nabi yang mendapat gelar Ulul
Azmi.Al-Isthakhary menetapkan yang paling baik minimal 10 orang,
sebab jumlah 10 itu merupakan awal bilangan banyak.Ulama lain
menentukan 12 orang, mendasarkan pada firman Allah:

‫عش ََر نَقِيبًا‬ ْ َ‫َوبَعَثْنَا مِ ْن ُه ُم اثْن‬


َ ‫ي‬

“…Dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin.


(QS.Al-Maidah (5):12)”

4
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Sesuai
dengan firman Allah:

َ َ‫اِن يَّكُن ِمنكُم عِش ُرون‬


‫صا ِب ُرونَ يَغ ِلبُوا مِ ائَتَي ِن‬

“Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh… (QS. Al-Anfal (8): 65)”
[10]

Ayat ini memberikan sugesti kepada orang-orang mukmin yang tahan


uji, yang hanya dengan jumlah 20 orang saja mampu mengalahkan 200
orang kafir. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlah perawi yang
diperlukan dalam Hadits mutawatir minimal 40 orang, berdasarkan
firman Allah SWT.:

َ‫ّللا َو َم ِن اتَّ َب َعكَ مِنَ ْال ُمؤْ مِ نِين‬ ُّ ‫َيا أَيُّ َها النَّ ِب‬
ُ َّ َ‫ي َح ْسبُك‬

“Wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang


mengikutimu.” (QS. Al-Anfal (8): 64) [11]

Saat ayat ini diturunkan jumlah umat Islam baru mencapai 40 orang.
Hal ini sesuai dengan Hadits riwayat Al-Thabrany dan Ibn Abbas, ia
berkata: “Telah masuk Islam bersama Rasulullah sebanyak 33 laki-laki
dan 6 orang perempuan. Kemudian Umar masuk Islam, maka jadilah
40 orang Islam. [12]

Selain pendapat tersebut, ada juga yang menetapkan jumlah perawi


dalam Hadits mutawatir sebanyak 70 orang, sesuai dengan firman
Allah SWT.:

‫َار ُمو َسى قَ ْو َمهُ َس ْبعِينَ َرج ًُل لِمِ يقَاتِنَا‬ ْ ‫َو‬
َ ‫اخت‬

“Dan Nabi Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk
(memohon taubat dari Kami) pada waktu yang telah kami tentukan…
(QS. Al-Araf (7):155) [13]

Penentuan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana disebutkan diatas,


sebetulnya bukan merupakan hal yang prinsip, sebab persoalan pokok
yang dijadikan ukuran untuk menetapkan sedikit atau banyaknya

5
jumlah Hadits Mutawatir tersebut bukan terbatas pada jumlah, tetapi
diukur pada tercapainya Ilmu Dharuri. Sekalipun jumlah perawinya
tidak banyak (tapi melebihi batas minimal yakni 5 orang), asalkan
telah memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka sampaikan itu
bukan kebohongan, sudah dapat dimasukkan sebagai hadits mutawatir.
[14]

b. Adanya keseimbangan antar perawi pada Thabaqat pertama dengan


Thabaqat berikutnya

Jumlah perawi Hadits mutawatir, antara Thabaqat


(lapisan/tingkatan) dengan thabaqat lainnya harus seimbang. Dengan
demikian, bila suatu Hadits diriwayatkan oleh 20 orang sahabat,
kemudian diterima oleh 10 tabi’in, dan selanjutnya hanya diterima oleh
5 tabi’in, tidak dapat digolongkan sebagai Hadits mutawatir, sebab
jumlah perawinya tidak seimbang antara thabaqat pertama dengan
thabaqat-thabaqat seterusnya. [15]

Akan tetapi ada juga yang berpendapat, bahwa keseimbangan


jumlah perawi pada tiap thabaqat tidaklah terlalu penting. Sebab yang
diinginkan dengan banyaknya perawi adalah terhindarnya
kemungkinan berbohong. [16]

c. Berdasarkan Tanggapan Pancaindra

Berita yang disampaikan oleh perawinya tersebut harus


berdasarkan tanggapan pancaindra. Artinya bahwa berita mereka
sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau
penglihatannya sendiri. Oleh karena itu, bila berita itu merupakan hasil
renungan, pemikiran atau rangkuman dari suatu peristiwa lain ataupun
hasil istinbat dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan Hadits
mutawatir, misalnya berita tentang baharunya alam semesta yang
berpijak pada pemikiran bahwa setiap benda yang rusak itu baharu,
maka berita seperti ini tidak dapat dikatakan Hadits Mutawatir.
Demikian juga berita tentang ke-Esa-an Tuhan menurut hasil

6
pemikiran pada filosof, tidak dapat digolongkan sebagai Hadits
mutawatir.

2.1.3. Macam-Macam Hadits Mutawatir

a. Mutawatir Lafzhi
“Hadits mutawatir lafzhi ialah hadits yang kemutawatiran
perawinya masih dalam satu lafal.”

Contoh:

‫من كذب علي متعمدا فليتبو أمقعده من النار‬

Artinya: Barang siapa berdusta atas (nama)-ku dengan sengaja, maka


hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka.

Keterangan:

Menurut Al Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang Sahabat. Al-


Nawawi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang
Sahabat.[17]

Lafadz yang orang ceritakan hampir semua bersamaan dengan contoh


tersebut tersebut, diantaranya ada yang berbunyi begini :

)‫من تقول علي مالم اقل فليتبوأ مقعده من النا (ابن ماجه‬

Artinya: “Barang siapa mengada-adakan omongan atas (nama)-ku


sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil
tempat duduknya dari neraka.” (Ibnu Majah)

Kemudian ada yang berbunyi seperti ini :

)‫ومن قال علي مالم اقل فاليتبوأ مقعده من النار (الحاكم‬

Artinya :” Dan barang siapa berkata atas (nama)-ku sesuatu yang aku
tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya
dari neraka.” (Hakim)

7
Adanya perbedaan pada permulaan hadits mungkin terjadi karena Nabi
SAW mengucapkannya beberapa kali, namun pada dasarnya maknanya
sama saja.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadits,


diantaranya: Bukhari, Muslim, Darimy, Abu Dawud, Ibnu Majah,
Tirmidzi, Ath-Tajalisy, Abu Hanifah, Thabarani dan Hakim.

b. Mutawatir Ma’nawiy

Hadits Mutawattir Ma’nawiy merupakan hadits yang dimana


susunan redaksinya berbeda namun pada prinsipnya memiliki makna
yang sama.

Contoh:

Adanya hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah mengangkat kedua


tangannya ketika berdo’a.

‫قال أبو موسى ما رﻔﻊ رسول هللا ﺼلى هللا عليه و سلﻡ يﺩيه حتى رؤﻱ بياﺽ ابﻁيه ﻔى شيﺊ‬
‫من ﺩعاﺌه اﻻ ﻔى اﻹستسقاﺀ‬

(‫)رواه البخارى و مسلم‬

“Abu Musa Al-Ayari berkata bahwa Rasulullah saw tidak mengangkat


kedua tangan beliau dalam berdo’a hingga tampak putih-putih kedua
ketiaknya dan beliau saw mengangkat tangannya selain dalam do’a
shalat istisqa’. (HR Bukhori dan Muslim)”[18]

‫منكبيه حﺫو يﺩيه يرﻔﻊ كان‬

“Ketika beliau saw mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak


beliau.

c. Mutawatir Amali,

Hadits mutawatir amali, yakni amalan agama (ibadah) yang


dikerjakan oleh Nabi SAW, kemudian diikuti oleh para Sahabat, lalu
Tabi’in , dan seterusnya sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits
tentang sholat, jumlah rakaatnya, dan lain sebagainya. Segala yang

8
menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits
mutawatir amali.[19]

2.1.4. Faedah Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir itu memberi faedah ilmu dharuriy atau yakin, artinya
yakni suatu keharusan untuk meyakini kebenaran suatu berita dari Nabi SAW
yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa ada keraguan sedikitpun.

Para perawi Hadits mutawatir tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan
kedhabitannya (kuatnya hafalan/ingatan), karena kuantitas para perawi Hadits
sudah menjamin tidak mungkin terjadi kesepakatan bohong.

Hadits mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut, memberikan informasi


yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan
seseorang mengingkari hadits mutawatir, bahkan para ulama menghukumi
kufur bagi orang yang mengingkari hadits mutawatir. Mengingkari hadits
mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti
bersumber dari Rasulullah.

2.2 Hadits Ahad

2.2.1 Pengertian Hadits Ahad

Secara bahasa kata “ahad” merupakan bentuk plural dari kata “ahad”
yang bermakna satu. Hadits ahad, secara bahasa adalah Hadits yang
diriwayatkan oleh satu orang.[20] Adapun pengertian Hadits ahad secara
istilah adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat syarat Hadits mutawatir.
Menurut Al Qathan Hadits ahad adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat
mutawatir.[21] Dengan demikian berarti bahwa Hadits ahad adalah Hadits
yang sanadnya shahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya
(Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai
kepada qath’I atau yakin.[22]

9
2.2.2 Macam-macam Hadits Ahad

A. Hadits Masyhur

Secara bahasa, kata masyhur adalah isim maf’ul dari kata


syahara yang berarti mengumumkan dan menjelaskan suatu hal. Dalam
penegrtian ini masyhur juga berarti sesuatu yang terkenal, yang dikenal
atau yang populer dikalangan manusia.[23] Sedangkan secara istilah,
Hadits masyhur adalah Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau
lebih dari setiap generasi, akan tetapi tidak mencapai jumlah
mutawatir. Jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya Hadits masyhur ini
tidak semuanya berkualitas shahih, karena jumlah perawi yang
demikian belum tentu menjamin keshahihannya kecuali disertai sifat
sifat yang menjadikan sanad ataupun matannya shahih. Dengan
demikian, Hadits masyhur sendiri dapat dikelompokan kepada yang
berkualitas shahih, hasan dan dhaif.[24]

Lebih lanjut, berdasarkan pada segi lingkungan, popularitas dan


penyebarannya maupun segi frekuensi penggunaannya, Hadits
masyhur ini juga sangat beragam, yaitu

- Hadits mayhur di kalangan muhadditsun

َ‫ َوﺫَ ْك َوان‬،‫علَى ِر ْع ٍل‬ ِ ُ‫الرك‬


َ ‫وع يَدْعُو‬ ُّ َ‫قَنَتَ َش ْه ًرا بَ ْعد‬

“Rosululloh mengerjakan qunut selama sebulan yang dilakukan setelah


rukuk untuk mendo’akan suku ri’l dan dzakwan” (Shohih Bukhori,
no.1003 Shohih Muslim, no.677 )

- Hadits Masyhur di kalangan muhadditsu, ulama lain dan


juga orang awam

ْ َ‫ال ُم ْس ِل ُم َم ْن َسل َِم ال ُم ْس ِل ُمون‬


‫مِن ِل َسانِ ِه َويَ ِد ِه‬

10
“Orang muslim adalah orang yang menyelamatkan orang-orang islam
lainnya dari lisan dan datangnya” (Shohih Bukhori, no.10, 11, 6484
dan Shohih Muslim, no.40, 41, 42)

- Hadits Mashur dikalangan fuqaha

َّ ‫َض ْال َح َل ِل ِإلَى هللاِ ال‬


ُ‫ط َلق‬ ُ ‫أَ ْبغ‬

“Perkara halal yang paling dibenci oleh Alloh adalah perceraian”


(Sunan Abu Dawud, no.2178, Sunan Ibnu Majah, no. 2018 dan Sunan
Baihaqi, no.14894)

- Hadits Masyhur di kalangan ahli ushul fiqih

‫علَ ْي ِه‬ َ ‫ع ْن أ ُ َّمتِي ْال َخ‬


َ ‫ َو َما ا ْست ُ ْك ِرهُوا‬،َ‫ َوالنِ ْسيَان‬،َ‫طأ‬ َ ‫ُرفِ َﻊ‬

“Diangkat dari umatkudari umatku sesuatu yang dilakukan karena


salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.” (Sunan Ibnu
Majah, no.2043, Shohih Mustadrok Hakim, no.2601Ibnu Hibban,
no.7219, Sunan Daruqutni, no.4351)

- Hadits Masyhur di kalangan ahli bahasa arab

ِ ‫ص َهيْب لَو لم يخف هللا لم َي ْع‬


‫ﺼ ِه‬ ُ ‫نعم ال َعبْد‬

“Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib, jika saja ia tidak takut pada


Alloh, ia tak akan melakukan maksiat kepaNya” (La Adhla Lah =
hadits ini tidak diketahui asalnya).

- Hadits Masyhur di kalangan umum

‫ان‬
ِ ‫ط‬َ ‫العَ َجلَةُ مِنَ ال َّش ْي‬

“Sifat tergesa-gesa itu darri setan” (Sunan Turmudzi, no.2012)[25]

11
B. Hadits Aziz

Secara bahasa, kata aziz merupakan sifat musyabbahah dari


kata “azza ya’izzu”,yang berarti sedikit atau jarang dan kata azza
ya’azzu yang berarti kuat dan sangat. Sedangkan menurut istilah
Hadits aziz adalah Hadits yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua
perawi pada seluruh tingkatan/generasi.[26] Dengan demikian, suatu
Hadits yang pada salah satu thabaqah sanadnya diriwayatkan oleh dua
periwayat, meskipun pada thabaqah lainnya diriwayatkan oleh banyak
periwayat, maka Hadits itu dinamakan Hadits azis.[27] Contoh Hadits
azis adalah :

Hadits yang disebutkan oleh al Hafidz Ibnu Hajar di dalam “Nuzhatun


Nadzar” [hal. 70] yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Syaikhan dari
Anas radhiyallohu ‘anhu, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam
bersabda :[28]

َ‫اس أَجْ َمعِين‬ ْ ‫َﻻ يُؤْ مِ نُ أَ َحدُكُ ْم َحتَّى أَكُونَ أَ َحبَّ ِإلَ ْي ِه‬
ِ َّ‫مِن َوا ِل ِد ِه َو َولَ ِد ِه َوالن‬

“Salah seorang di antara kalian tidak dianggap beriman (dengan


sempurna) sehingga saya lebih dicintainya melebihi cintanya terhadap
orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya”

Hadits aziz ini bisa dinilai shahih, hasan maupun dhaif, sesuai dengan
keadaan sanad dan matannya, setelah dilakukan penelitian
terhadapnya. Diantara contohnya adalah Hadits yang diriwayatkan
dari Anas ibn Malik dari Rasulullah SAW, tentang etika sosial sebagai
parameter kualitas keimanan seseorang, sebagai berikut :

C. Hadits Gharib

Secara bahasa kata “gharib” merupakan sifat musyabbahah


yang bermakna menyendiri. Sedangkan secara istilah, Hadits gharib
adalah Hadits yang diriwayatkan seorang perawi di manapun hal itu
terjadi. Artinya bahwa tiap Hadits gharib ini tidak disyaratkan harus
satu perawi pada setiap tingkatan atau generasi, akan tetapi cukup satu

12
tingkatan sanad dengan satu orang perawi. Di antara contohnya adalah
Hadits yang diriwayatkan dari Umar ibn Khattab dari Rasullullah
SAW tentang pentingnya niat sebagai berikut :

Berdasarkan letak terjadinya ke-gharib-an, Hadits model ini dapat


dipilih menjadi tiga kelompok, yaitu :

Gharib matnan wa isnadan (gharib dari segi matan dan sanadnya)


artinya bahwa Hadits tersebut tidak diriwayatkan melainkan melalui
satu sanad.

Gharib isnadan la matan (gharib dari segi sanadnya dan tidak


matannya). Artinya Hadits tersebut merupakan Hadits masyhur
kedatangannya melalui beberapajalur dari seorang perawi atau seorang
sahabat atau dari sejumlah perawi, lalu ada seorang perawi
meriwayatkannya dengan jalur lain yang tidak masyhur. Hadits gharib
dalam bentuk ini dinamakan Hadits gharib mutlak disebabkan
diriwayatkan oleh seorang perawi saja, melalui jalur yang tidak
masyhur.

Gharib matnan la isnadan, yaitu Hadits yan pada mula sanadnya


tunggal, akan tetapi pada tahap selanjutnya masyhur. Sebenarnya
Hadits gharib dalam bentuk ini, jika dicermati, dapat dikelompokan
pertama[29]

Jika ditinjau dari segi ke-ghariban sanadnya, ada sejumlah ulama yang
membaginya menjadi dua kelompok, yaitu :

- Kelompok pertama (Hadits Gharib Mutlak), yaitu Hadits


yang ke-gharib-an sanadnya terjadi pada asal sanadnya, dengan
kata lain yang diriwayatkan oleh rawi secara sendirian pada
awal sanadnya.

Contoh hadits Gharib mutlak :

ِ ‫اَ َلو َﻻ ُء لَحْ َمة َكلَحْ َم ِة النّس‬


ُ‫ب َﻻ يُبَاعُ َوﻻَ ي ُْوهَب‬

13
Artinya : “kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan
kekerabatan dengan jalan keturunan, tidak boleh dijual dan tidak boleh
dihibahkan”.

Hadits ini diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar
hanya Abdukllah bin Dinar saja yang meriwayatkan. Abdullah bin
Dinar adalah seorang Tabi’I , seorang hafidh yang kokoh ingatanya.

- Hadits Ghairu Nisbi, yaitu Hadits yang keghariban


sanadnya terjadi pada tengah sanad, bukan pada asal sanad
sebagaimana Hadits gharib mutlak. Maksutnya, semula
diriwayatkan oleh lebih dari seorang rawi dalam asal sanadnya
kemudian secara sendirian diriwayatkan oleh satu orang rawi
dari mereka para perawi tersebut.

Contoh lain hadits gharib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat
tinggal tertentu :

ِ ‫أُمِ َر نَا أَ ْن نَ ْق َر أَبِﻔَاتِ َح ِة ْال ِكتَا‬


)‫ب َو َما تَيَس ََّر(رواه ابو ﺩاوﺩ‬

Artinya : “kami diperintahkan oleh Rasul SAW agar membaca surat


Al-Fatihah dan surat yang mudah ( dari al-Qur’an )”. ( HR Abu Dawud
)

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad Abu Al Walid
Al-Tayalisi, Hammam, Qatadah, Abu Nadrah, Dan said. Semua rawi
ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkanya dari kota
lain.[30]

Jenis-jenis Gharib nisbi :

Terdapat berbagai jenis gharib yang memungkinkanya termasuk hadits


gharib nisbi, bukan gharib mutlak karena dinisbikan kepada sesuatu
tertentu :

1. Kegharibanya dinisbikan kepada rawi yang tsiqah


(terpercaya)sepertipernyataan mereka, “tidak diriwayatkan oleh
seorang pun rawi tsiqah kecuali si fulan”.

14
2. Ke-Gharibanya karena diriwayatkan oleh rawi tertentu dari rawi
tertentu seperti pernyataan mereka . “Diriwayatkan secara menyendiri
oleh fulan dar fulan”, meskipun diriwayatkan dari arah lain selain dia”.

3. Ke-gharib-anya pada penduduk negeri tertentu atau penghuni


tertentu. Seperti pernyataan mereka, “diriwayatkanh secara menyendiri
oleh penduduk makkah” atau “oleh penduduk syam”.

4. Ke-gharianya karena diriwayatkanya oleh penduduk negeri


tertentu dari penduduk negeri tertentu pula. Seperti pernyataan
mereka.“diriwayatkan secara menyendiri oleh penduduk syam dari
penduduk khijaz”.[31]

Ditinjau dari segi letak kegharibanya, hadits gharib dibagi :

a. Hadits gharib matan dan sanad, hadits yang matanya


diriwayatkan oleh seorang rawi saja.

b. Hadits gharib matan, bukan sanad. Seperti hadits yang matanya


diriwayatkan oleh sekelompok sahabat, namun diriwayatkan secara
menyendiri dari sahabat lainya. Dalam perkara ini, Imam Tirmidzi
berkata, “Hadits ini gharib diliat dari aspek ini”.

2.2.3 Ketentuan Hukumnya

Hadits Masyhur baik yang masyhur istilah maupun masyhur non-


istilah ada yang shahih, hasan, dhaif bahkan ada yang mawdhu’. Hanya saja,
Hadits masyhur istilah yang shahih kualitasnya lebih tinggi dari Hadits aziz
atau gharib yang juga shahih.

Sebagaimana halnya Hadits masyhur, Hadits aziz ada yang shahih, hasan,
dhaif bahkan mawdhu’ tergantung pada keberadaan sanad dan matan Hadits
yang bersangkutan. Karena hal itu, tidak semua Hadits aziz itu shahih dan
tidak pula setiap Hadits shahih adalah azis.

15
Hadits gharibpun juga sama ada yang shahih, hasan, dha’if adapula yang
mawdhu’ tergantung kualitas sanad dan matannya. Jika suatu Hadits gharib
memenuhi semua syarat Hadits shahih, yaitu sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah dan terlepas dari syadz dan illat.
Maka Hadits tersebut shahih. Akan tetapi jika syarat syaratnya terpenuhi
namun salah seorang periwayatannya ada yang kurang dhabit maka Hadits itu
dikatakan hasan. Demikian pula, jika suatu Hadits gharib bertentangan dengan
Hadits dengan kualitas sama dan tidak mungkin dilakukan kompromi satu
dengan yang lain, maka Hadits gharib itu dinamakan Hadits mudhtharib. Jika
Hadits gharib diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah tetapi bertentangan
dengan riwayat dari periwayat yang lebih stiqah, maka Hadits itu dinamakan
sebagih Hadits syadz (janggal). Apabila periwayat pada Hadits gharib itu
dha’if dan bertentangan dengan Hadits dari periwayat yang tsiqah, maka
Hadits itu dinamakan hadits munkar.

16
BAB 3
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi
dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi
lagi menjadi 3 bagian yaitu: mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan
hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur,
sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu
aziz.

3.2 Saran

Demikian yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih bannyak kekurangan dan kelemahan karena
terbatasnya pengetahuan dan juga referensi yang kami peroleh hubungannya dengan
makalah ini. Kami berharap kepada para pembaca memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami pada khususnya dan pembaca pada umumnya

DAFTAR PUSTAKA

https://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/16/hadits-mutawatir/ https://www.kompasiana.com

https://tebuireng.ac.id/kajian-hadis/mengenal-macam-macam-hadis/

https://muhfathurrohman.wordpress.com/2013/08/23/hadits-ahad/

https://almanhaj.or.id/2854-contoh-contoh-hadits-ahad.html

https://itha911.wordpress.com/kumpulan-makalah-2/klasifikasi-hadits-dari-segi-banyaknya- rawi/

17
18

Anda mungkin juga menyukai