Anda di halaman 1dari 17

Tinjauan Pustaka

MASALAH ANESTESI PADA OPERASI


LABIOSKISIS DAN PALATOSKISIS

Oleh :

dr. Ade Mayasari

Pembimbing :

Dr.dr. M. Sofyan Harahap, SpAn KNA

BAGIAN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FK UNDIP / RSUP Dr. KARIADI

SEMARANG

2020
Tinjauan Pustaka

MASALAH ANESTESI PADA OPERASI LABIOSKISIS DAN


PALATOSKISIS

Ade Mayasari, M. Sofyan Harahap.


Bagian / SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran UNDIP / RSUP Dr. Kariadi Semarang

I. PENDAHULUAN

Labioskisis (celah bibir) dan palatoskisis (celah palatum / langit-langit) adalah kelainan
kraniofasial yang paling umum. Efek estetika dan fungsionalnya mempengaruhi gaya hidup
pasien. Perbaikan melalui pembedahan bibir mulai dilakukan pada usia sekitar 3-6 bulan, dan
perbaikan langit-langit dilakukan sedini mungkin sebagai tindakan lanjutan. Idealnya semua
dilakukan oleh ahli bedah berpengalaman yang bekerja sama dengan ahli anestesi pediatrik, yang
mengikuti standar perawatan pasien dengan celah bibir atau langit-langit, dimana keselamatan
pasien adalah yang terpenting.1

II. LABIOSKISIS DAN PALATOSKISIS

A. Definisi Labioskisis dan Palatoskisis

Labioskisis dengan atau tanpa palatoskisis dan palatoskisis saja merupakan cacat bawaan
yang umum diseluruh dunia. Kelainan ini paling sering menyebabkan deformitas kraniofasial
yaitu sekitar 65%.2 Di Indonesia, jumlah pasien bibir dan celah langit-langit terjadi 3000-
6000 kelahiran per tahunnya atau 1 bayi tiap 1000 kelahiran. Rasio kejadian
labiopalatoskisis pada anak laki-laki 1,5 – 2 kali lebih sering daripada anak perempuan.
Kejadian celah pada sisi kiri dua kali lebih sering daripada sisi kanan.2

Labioskisis disebabkan oleh berbagai faktor. Pada kebanyakan kasus, disebabkan oleh
mutasi gen, penyimpangan kromosom, serta interaksi dari faktor genetik dan lingkungan.
Faktor genetic, seperti riwayat keluarga. Faktor lingkungan termasuk faktor teratogen, seperti
penggunaan fenitoin derivat asam retinoat, ibu merokok, infeksi, nutrisi (kurangnya
suplemen asam folat), dan metabolisme kolesterol.2

Tujuan operasi pada pasien degan celah bibir dan langit-langit adalah perbaikan estetika
dari bibir dan hidung, penutupan celah palatum, normalisasi bicara dan mendengar, fungsi
2
mengunyah yang normal, kesehatan gigi, serta perkembangan psikososial yang normal.
Perbaikan labioskisis unilateral adalah membentuk bibir atas dengan panjang vertikal yang
sesuai dan simetris, perbaikan struktur yang mendasari dengan fungsi normal otot dan
perbaikan utama hidung yang cacat.3

B. Klasifikasi Celah Bibir dan Celah Langit-langit

Labioskisis diklasifikasikan berdasarkan cacatnya atas celah unilateral dan bilateral serta
komplit dan inkomplit.4 Celah komplit melibatkan seluruh bagian vertikal dari bibir atas dan
sering disebut celah alveolar karena bibir dan palatum berasal dari embriologi yang sama.
Celah inkomplit hanya melibatkan sebagian dari bagian vertikal bibir atas, dimana masih
terlihat bagian otot dengan kulit yang utuh diatas celah bibir. Adapun jembatan diatas celah
bibir dengan celah inkomplit disebut sebagai Simonartband.4

Veau yang dikutip oleh Chen et al, mengklasifikasikan celah bibir dan palatum menjadi 4
grup:5

A. Celah pada palatum mole saja (26%)

B. Celah pada palatum mole dan durum (39%)

C. Celah pada bibir dan palatum unilateral (23%)

D. Celah pada bibir dan palatum bilateral (12%)

Gambar 1. Klasifikasi Celah Bibir dan Langit-langit5

C. Gejala Klinis

Celah bibir dapat terjadi dalam berbagai variasi, mulai dari takik kecil pada batas yang
merah terang sampai celah sempurna yang meluas ke dasar hidung. Celah ini mungkin
unilateral atau bilateral dan biasanya melibatkan rigi-rigi alveolus. Biasanya disertai dengan
gigi yang cacat bentuk, gigi tambahan, atau bahkan tidak tumbuh gigi. Celah kartilago cuping

3
hidung dan pemanjangan vomer menghasilkan tonjolan keluar bagian anterior celah prosesus
maksilaris.6

Celah langit-langit murni terjadi pada linea mediana dan dapat melibatkan hanya uvula
saja atau dapat meluas kedalam atau melalui palatum mole dan palatum durum sampai ke
foramen insisivus. Apabila celah palatum ini bersamaan dengan celah bibir (sumbing), cacat
ini dapat melibatkan linea mediana palatum mole dan meluas sampai ke palatum durum pada
satu atau kedua sisi, memaparkan satu atau kedua rongga hidung sebagai celah palatum
unilateral atau bilateral.6

III. PEMBEDAHAN PADA LABIOPALATOSKISIS

Penanganan untuk labiopalatoskisis adalah dengan cara operasi. Ada perbedaan pendapat
yang cukup besar mengenai waktu optimum operasi. Meskipun operasi dapat dilakukan pada
hari pertama kehidupan, usia paling awal yang wajar adalah 10 sampai 14 hari setelah
kelahiran, asalkan bayi mempunyai kenaikan berat badan yang normal. Aturan “rule of ten”
adalah panduan yang baik, yaitu lebih dari usia 10 minggu, berat badan 10 pons (± 5 kg), dan
hemoglobin 10 gram/dl. Usia tiga bulan diyakini sebagai saat yang paling tepat.7

Berikut ini adalah tahapan proses yang akan dijalani, meliputi:8

1. Tindakan pertama dikerjakan untuk menutup celah bibir berdasarkan kriteria rule of ten

2. Tindakan operasi selanjutnya adalah menutup langit-langit/palatoplasti dikerjakan sedini


mungkin (15-24 bulan) sebelum anak mampu bicara sehingga pusat bicara otak belum
membentuk cara bicara. Pada umur 8-9 tahun dilaksanakan tindakan operasi penambahan
tulang pada celah alveolus atau maksila untuk memungkinkan ahli ortodonti mengatur
pertumbuhan gigi di kanan dan kiri celah supaya normal

3. Operasi terakhir pada usia 15-17 tahun dikerjakan setelah pertumbuhan tulang-tulang
wajah selesai

IV. ANESTESI PADA LABIOSKISIS DAN PALATOSKISIS

A. Tujuan anesthesia:8

- Lapangan operasi minimal perdarahan

- Anak tanpa rasa sakit

- Tidak ada depresi pernafasan

- Meminimalkan edema lidah dan jalan nafas


4
B. Tantangan anesthesia:8

- Pasien anak

- Adanya anomali terkait

- Jalan nafas terbagi

- Jalan nafas sulit

C. Evaluasi dan Persiapan Pra Operasi

a. Berhubungan dengan anomali non sindromik, seperti penyakit jantung bawaan, kelainan
ginjal, hernia umbilical, cacat anggota tubuh (polidaktili, sindaktili), kelainan mata /
telinga, dan keterbelakangan mental. Berhubungan dengan sindrom, seperti Van der
woude syndrome, Pierre Robin sequence, Treacher Collins syndrome, Goldenharr
syndrome, Velocardiofacial syndrome, Stickler syndrome, Down syndrome, Fetal
Alcohol syndrome, Klippel Feil syndrome.9

Pierre Robin sequence. Tanda utama yaitu mikrognatia, disertai pula dengan
pseudomakroglosia, karakteristik celah palatum “bentuk U”, obstruksi jalan nafas saat
lahir menyebabkan menyusui pada posisi tengkurap, dan adhesi bibir lidah. Intubasi
menjadi mudah seiring bertambahnya usia, dikarenakan pertumbuhan dari mandibula.10

Gambar 2. Pierre Robin Sequence10

Treacher Collins syndrome. Terjadi pada 28% pasien dengan celah bibir. Ditandai
dengan hipoplasia tulang wajah, palpebra miring ke bawah, mikrotia, makroglossia, dan
retrognathia. Hipoplasia rahang atas (maxila) menyebabkan kesulitan dari ventilasi
sungkup, dan intubasi menjadi semakin sulit seiring bertambahnya usia.11

5
Gambar 3. Treacher Collins Syndrome11

Goldenharr syndrome. Terjadi pada 25-30% pasien dengan celah bibir. Ditandai dengan
mikrosomia hemifasial, hipoplasia mandibula, hipoplastik sendi temporomadibula,
mirotia atau tidak ada telinga, mikroftalmia, anomali tulang belakang (skoliosis). Intubasi
menjadi lebih sulit seiring bertambahnya usia.12

Gambar 4. Goldenharr Syndrome12

Anamnesis

- Riwayat antenatal / paparan lingkungan: ibu merokok atau alkoholik, kurang vitamin
A dan asam folat, obat-obatan seperti fenitoin, fenobarbital, dan karbamazepin;
infeksi virus pada ibu, dan agen teratogenik seperti pestisida. Terutama terjadi pada 4-
9 minggu setelah pembuahan

- Riwayat kelahiran: obstruksi pada jalan nafas bagian atas pada saat lahir atau setelah
lahir
6
- Riwayat keluarga: penyebab genetik terjadi pada 3-5% orang tua dengan celah bibir,
20-40% saudara dengan celah bibir, 40-50% kembar monozigot, dan 5% kembar
dizigotik

b. Pasien dengan celah bibir atau palatum bukan hanya masalah kosmetik, tetapi juga
beberapa masalah lain, yaitu:13

- Masalah makan: penambahan berat badan tidak memadai, gangguan nutrisi


menyebabkan anemia dan dehidrasi, gagal tumbuh

- Infeksi telinga tengah: gangguan pendengaran konduktif

- Obstruksi jalan nafas kronik: mendengkur, apneu selama menyusui, kor pulmonal,
bicara hipernasal

- Gigi: maloklusi gigi

- Psikologis: depresi

- Infeksi saluran nafas atas: rinore kronis. Rinore terjadi karena respon vasomotor
terhadap dinamika aliran udara yang berubah. Pertimbangan anestesi yaitu efek
samping pernafasan perioperatif seperti desaturasi, bronkospasme (3 kali lebih
sering), dan spasme laring; sedangkan pembedahan akan mengurangi rinore dan
infeksi tersebut.

Pembiusan dapat dilanjutkan maupun ditunda dengan pertimbangan:1

- Tunda operasi jika terjadi infeksi aktif yang berat, ditandai dengan pilek berwarna
hijau, batuk produktif, mengi, demam, atau anak lesu. Hiperaktivitas bronkial
mengalami resolusi gejala setelah 2 minggu pengobatan dengan antibiotik, jika perlu
bronkodilator

- Operasi dapat dilanjutkan jika ditemukan pilek bening, batuk kering ringan,
pemeriksaan fisik dada jernih. Dibutuhan tim anestesi pediatrik untuk
mengoptimalkan manajemen perioperatif, sehingga mengurangi risiko kejadian buruk
pernafasan perioperatif

c. Pemeriksaan Penunjang

- Rutin: darah rutin, fungsi ginjal

- Khusus: foto toraks, elektrokardiografi, ultrasonografi toraks jika ditemukan sindrom


infeksi pada anak, gagal tumbuh, murmur jantung

7
- Kebutuhan darah tidak diperlukan pada operasi celah bibir terisolasi, tetapi bisa
dibutuhkan pada operasi celah palatum dan flap faring9

d. Puasa pre Operasi.

Sebagai prasyarat untuk operasi elektif. Puasa berkepanjangan tidak mengurangi risiko
pneumonitis aspirasi selama anestesi. Mengurangi jam puasa memungkinkan pemberian cairan
bening untuk kenyamanan pasien dan menurunkan hipovolemia saat induksi anestesi.

Fasting Time (hour)

Clear liquids 2

Breast milk 4

Infant formula 6

Fried / fatty food 8

Tabel 1. Pedoman Puasa pada Pasien Anak14

D. Premedikasi

Sedasi secara intramuskular / intravena / per oral sebaiknya dihindari pada pasien
kesulitan jalan nafas atau dengan sindrom. Pasien anak yang ketakutan, berteriak, banyak
sekret, tidak aman dilakukan premedikasi tanpa pengawasan yang optimal. Sedikit
premedikasi sedasi tidak berbahaya dengan menggunakan midazolam oral (0,2-0,3
mg/kg), atropin oral (30-40 µg/kg), dilakukan 30-40 menit dibawah pengawasan.1,9

Pemantauan yang diperlukan yaitu saturasi oksigen, tekanan darah, elektrokardiografi,


end tidal CO2, suhu, stetoskop prekordial.1,8

Persiapan tempat tidur dengan menggunakan alas atau selimut hangat. Pertahankan suhu
tubuh pasien normotermia.

Penggunaan cairan dengan 5% dektrosa di RL, diberikan dengan aturan 4-2-1.

E. Induksi Anesthesia

Inhalasi atau intravena propofol 2,5 – 3 mg/kg dilakukan jika adanya jalur intravena yang
lancar, konfirmasi pergerakan balon pompa dengan ventilasi spontan, hanya jika ventilasi
dapat dikuasi kemudian diberikan pelumpuh otot. Pelumpuh otot depolarisasi dan non
depolarisasi dapat diberikan dengan pertimbangan resiko distrofi otot dan hiperkalemia
pada suksinilkolin.9,13

Ventilasi sungkup yang sulit jarang terjadi pada pasien celah bibir atau palatum.
Kesulitan ventilasi terjadi pada 0,02% pasien. Obstruksi dapat terjadi dikarenakan lidah
8
jatuh menutupi celah, dan karena laringospasme. Pengelolaan anestesi dengn
menggunakan ganjal bahu pada pasien <6 bulan, memiringkan kepala ke satu sisi atau
diposisikan lateral atau semi prone.9,13

Intubasi cenderung tidak sulit pada pasien celah bibir unilateral terisolasi. Kemungkinan
kesulitan laringoskopi terjadi pada celah alveolar besar pada sisi kiri, celah palatum yang
lebar, celah bibir bilateral dengan palatum, premaxilla menonjol, anak <6 bulan, anak
dengan sindrom, micrognatia, retrognatia.18

Gambar 5. Prediktor Sulit Laringoskopi18

Teknik untuk membantu intubasi dengan cara menambal celah dengan kain kasa, hard
gum shield, manipulasi laring eskternal, dan teknik intubasi bilah lurus paraglossal. Dapat
pula dengan menggunakan glidescope dan fiberoptic scope, tetapi membutuhkan
pengalaman dan keahlian dari pengguna.8,13

9
Gambar 6. Teknik untuk Membantu Intubasi

Gambar 7. Teknik Intubasi Bilah Lurus Paraglossal19


10
Right Angle Endotracheal (RAE) digunakan pada operasi ini, diletakkan pada tengah
bibir, simetri sehingga pergerakan dinding dada seimbang kanan dan kiri, dan difiksasi
untuk mencegah intubasi endobronkial.13

Gambar 8. Right Angle Endotracheal (RAE)20

Throat pack / pak tenggorokan dilakukan pada operasi celah bibir maupun celah palatum.
Dilakukan setelah memposisikan pasien. Lebih mudah dan mengurangi resiko cedera
jaringan lunak dengan menggunakan diamond forceps dibanding magill’s forceps.
Beritahu tim bedah jika ada pemasangan pak di tenggorokan pasien. Pak tenggorokan
yang tidak dikeluarkan setelah operasi menyebabkan obstruksi jalan nafas.13

Tetap waspada klinis pasien saat memposisikan pasien. Letakkan stetoskop prekordial.
Pantau tekanan jalan nafas, oksimetri nadi, kapnometri. Selalu auskultasi setelah
perubahan posisi. Area kerja anestesi di sisi kiri pasien, jalur intravena di tangan kiri,
tiang infus diletakkan di sisi kaki kiri serta mensterilkan area kepala pasien.13

Gambar 9. Ganjal Bahu, Leher Hiperekstensi21


11
Selang endotrakea / ETT dapat lepas, bergeser, atau tertekan pada saat pemasangan atau
pelepasan pak, insersi dari retraktor mulut, penekanan lidah dengan spatel tongue,
pergerakan dari kepala, manipulasi jalan nafas, dan sirkuit tertarik

F. Pemeliharaan Anesthesia

Strategi:

- Ventilasi menggunakan O2 + N2O + anestesi volatil, dan obat pelumpuh otot

- Infiltrasi adrenalin di daerah pembedahan: 5 µg/kg (1 mg dilarutkan dalam 200-500


ml normal salin menjadi larutan 1:200.000 atau 1:500.000). Absorpsi sistemik
menyebabkan takikardi dan hipertensi

- Dexametason 0,25 mg/kg

- Pelepasan sumbatan lidah / tongue gag tiap 90 menit

- Multimodal analgesia. Opioid: fentanil 2-3 µg/kg, morfin 0,05-1 mg/kg. Non opioid:
infus parasetamol 15 mg/kg atau supositoria 30 mg/kg, supositoria diklofenak 1-2
mg/kg

- Blok saraf. Blok saraf untuk bedah celah bibir: blok nervus infraorbita, blok nervus
nasal eksterna. Blok bedah celah palatum: blok nervus greater palatine, lesser
palatine, dan nasopalatine. Blok nervus infraorbital dengan menggunakan 0,5-1 ml
dari 0,5% bupivakain + adrenalin 1:200.000 atau lidokain 0,5% (dosis maksimal 1
ml/kg)9,16

12
Gambar 10. Blok Nervus Infraorbital17

Gambar 11. Blok Palatum16

Masalah intra operasi dan tatalaksana:

- Respon otonom (takikardi, hipertensi)  tingkatkan konsentrasi inspirasi dari


anestesi volatil, beri opioid kerja pendek (fentanil 0,5 µg/kg), deksmedetomidin
(bolus 1 µg/kg dilanjutkan rumatan 0,5-0,7 µg/kg/jam)

13
- Tekanan jalan nafas meningkat  cek mesin, cek sirkuit, apakah sodalime habis,
apakah kegagalan katup inspirasi atau ekspirasi; rasakan balon pompa apakah terlalu
keras/ketat perlu dicurigai terjadi intubasi endobronkial, spasme bronkus, atau
sumbatan oleh lendir; lakukan auskultasi ulang; tekanan ETT oleh retraktor mulut
sering terjadi pada operasi celah bibir/palatum  informasikan ke dokter bedah

- ETCO2 menurun  cek ventilator biasanya dikarenakan hiperventilasi, cek mesin /


sirkuit kemungkinan adanya kebocoran, diskoneksi, ektubasi tidak disengaja; bisa
dikarenakan pasien hipovolemia, hipotensi, atau hipotermi

G. Operasi Selesai

Setelah operasi selesai, lakukan arm restrain / pengekangan lengan di siku, lepas pak
tenggorokan, sedot air liur, jaga bekas jahitan (jangan gunakan laringoskop), ekstubasi
jika anak sudah sadar penuh dan refleks jalan nafas sudah kembali.9,13

Masalah obstruksi jalan nafas setelah ekstubasi, dapat disebabkan karena:13

- Spasme laring, spasme bronkus

- Edema laring / subglotik (karena ETT besar, trauma intubasi, intubasi berulang)

- Perdarahan atau bekuan darah di jalan nafas

- Reflek muntah berkurang

- Efek residu agen anestesi

- Efek depresi pernafasan dari opioid

- Operasi celah bibir / palatum menyebabkan pengurangan dari ukuran jalan nafas

- Faktor pasien: pasien dengan sindrom, usia <6 bulan, mikrognatia / retrognatia,
riwayat OSA (obstructive sleep apneu), trauma intubasi, flap faring, pembedahan
lama, preop terdapat infeksi jalan nafas ringan

Post extubation stridor (PES) ditandai dengan suara mengi saat inspirasi dan distres
nafas.

Penatalaksanaan:

- Posisikan pasien tengkurap

- Berikan oksigen tambahan

- Berikan kortikosteroid (deksametason 0,5 mg/kg)

14
- Inhalasi epinefrin 1:1000 (0,5 ml/kg sampai 5 ml)

- Jika perlu masukkan selang nasofaringeal (NPA). Harus dihindari pada post operasi
faringoplasti karena dapat merobek atau mengganggu koreksi bedah sebelumnya.

- Jika perlu intubasi ulang atau trakeostomi

H. Pemantauan post Operasi

Pemantauan: oksimetri nadi, dapat juga dilakukan pemantauan EKG, kapnografi, suhu,
tekanan darah.

Pasien di ruang pemulihan hingga sadar penuh, bebas nyeri, dan tidak ada perdarahan.

Pasien di bangsal diperlukan pemantauan nafas dan saturasi oksigen selama 24 jam.
Masalah jalan nafas dapat terjadi segera setelah operasi hingga 24 jam post operasi.

Penatalaksanaan nyeri setelah operasi mengunakan multimodal analgesia, dapat diberikan


anestetik lokal (infiltrasi oleh dokter bedah), blok saraf, analgesi opioid, dan analgesi non
opioid. Misalnya parasetamol 15 mg/kg (maksimal 2600 mg/hari) atau OAINS seperti
ketorolak 0,5 mg/kg, atau pilihan lain seperti kombinasi keduanya, atau parasetamol
dengan opioid seperti tramadol, atau OAINS dengan opioid.16

V. RINGKASAN

Anestesi pada pasien celah bibir atau langit-langit harus dilakukan dengan peralatan dan
obat-obatan yang tepat, untuk menghasilkan prosedur teraman bagi pasien, dikarenakan pasien
ini memiliki risiko tinggi komplikasi pernafasan, seperti sulitnya intubasi, spasme laring, dan
spasme bronkus. Jika komplikasi mungkin timbul dari prosedur pembedahan atau anestesi, ahli
anestesi harus dapat mendiagnosis dan mengelolanya, dan pasien harus dipindahkan ke ruang
pemulihan atau perawatan intensif tergantung pada tingkat keparahan komplikasi. Pemilihan
pasien secara hati-hati berhubungan langsung dengan hasil pembedahan, ahli anestesi terlatih,
dan sumber daya manusia dan material akan memberikan perawatan terbaik selama dan setelah
prosedur operasi.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Brzenski A. Pediatric anesthesia for patients with cleft lip and palate. Anesthesia topics
for plastic and reconstructive surgery. June 5th 2017

2. Hafiz A. Labioplasti dengan teknik millard dan tennison randall. Jurnal kesehatan
andalas. 2017;6(2)

3. Jagomagi T, Soots M, Saag M. Epidemiologic factors causing cleft lip and palate and
their regularities of occurrence in Estonia. Stomatologija, Baltic Dental and Maxillofacial
Journal. 2010;12:105-8

4. Dyleski RA, Crockett DM. Cleft lip and palate: evaluation and treatment of primary
deformity. Dalam: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editor (penyunting). Head and
neck surgery otolaryngology. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2006.hlm.1338-54

5. Miachon MD, Leme PLS. Surgical treatment of cleft lip. Rev col bras cir.
2014;41(3):208-14

6. Wang TD, Milczuk HA. Cleft lip and palate. Dalam: Kennedy JF, editor (penyunting).
Cumming Pediatric Otolaryngology. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2015.hlm.106-22

7. Behrman R.E, Kliegman R.M, Arvin A.M. Nelson Ilmu Keseshatan Anak Edisi 15 Vol.2.
Jakarta: EGC.2000

8. Chen PKT, Noordhoff MS, Kane A. Repair of unilateral cleft lip. Plastic Surgery. Edisi
ke-3. China: Elsevier Inc. 2013.hlm.517-48

9. Law R. Anaesthesia for cleft lip and palate surgery. Update in anaesthesia. Diunduh dari:
https://www.wfsahq.org/components/com_virtual_library/media/52c9c55961dc9d40b2cd
434555f68c6d-d123ab20e827c93f317203b6c1d70f72-Cleft-Lip-and-Palate-Surgery--
Update-14-2002-.pdf

10. Pierre robin sequence. The university of Chicago: pediatrics clerkship. Diunduh dari:
https://pedclerk.bsd.uchicago.edu/page/pierre-robin-sequence

11. Kalakoti P. Facial features of a day old Indian neonate with Treacher Collins syndrome.
Journal of Clinical Neonatology. 2014;3(4):230-231

12. Villani R. Goldenhar syndrome : surgical planning in a severe case with cleft lip and
palate, coloboma and macrostomia. JSM Head and Face Medicine. 2017;2(1):1003

16
13. Bhattachraya S. Cleft palate surgery – procedure. Clinical pain advisor. Diunduh dari:
https://www.clinicalpainadvisor.com/home/decision-support-in-
medicine/anesthesiology/cleft-palate-surgery-procedures/

14. Miller R. Miller’s anesthesia 7th edition. 2015;1:1062

15. Cladis F. Anesthesia for patients with clefts. Pocket Dentistry. Diunduh dari:
https://pocketdentistry.com/anesthesia-for-patients-with-clefts/

16. Reena. Postoperative analgesia for cleft lip and palate repair in children. Journal of
anaesthesiology clinical pharmacology. 2016;32(1):5-11

17. Rohrich R. 15 facial danger zone 6 – infraorbital region. Plastic surgery key. Diunduh
dari: https://plasticsurgerykey.com/15-facial-danger-zone-6-infraorbital-region/

18. Hodges S. A protocol for safe anaesthesia for cleft lip and palate surgery in developing
countries. Anaesthesia. 2000;55:636-441

19. Fiadjoe J. The pediatric airway. A practice of anesthesia for infants and children.
2019;21:297-339

20. Specilized endotracheal tubes. Introduction to ENT anesthesiology rotation. Diunduh


dari: https://www.utmb.edu/pedi_ed/ADAPT/LOs/Introduction%20to%20ENT
%20Anesthesiology%20Rotation/ENT_15.htm

21. Positioning infants and young children for airway management. Pediatric anesthesia
digital handbook. Diunduh dari: https://www.maskinduction.com/positioning-infants-
and-children-for-airway-management.html

17

Anda mungkin juga menyukai