Anda di halaman 1dari 2

MARHAENISME

Marhaenisme adalah ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia dan
bangsa atas bangsa. Ideologi ini dikembangkan oleh Presiden pertama Negara Republik
Indonesia, Ir. Soekarno, dari pemikiran Marxisme yang diterapkan sesuai natur dan kultur
Indonesia. Soekarno mencetuskan Marhaenisme yakni untuk mengangkat harkat hidup
Massa Marhaen (terminologi lain dari rakyat Indonesia), yang memiliki alat produksi namun
(masih) tertindas. Meski demikian, pengertian Marhaen juga ditujukan kepada seluruh
golongan rakyat kecil yang dimaksud ialah petani dan buruh (proletar) yang hidupnya selalu
dalam cengkeraman orang-orang kaya dan penguasa/Borjuis/Kapitalis.

Etimologi

Marhaenisme diambil dari seorang petani bernama Marhaen yang hidup di Indonesia dan
dijumpai Bung Karno pada tahun 1926-1927.
[1] Dalam versi yang berbeda, nama petani yang dijumpai Bung Karno di daerah Bandung,
Jawa Barat itu adalah Aen. Dalam dialog antara Bung Karno dengan petani tersebut,
selanjutnya disebut dengan panggilan Mang Aen. Petani tersebut mempunyai berbagai
faktor produksi sendiri termasuk lahan pertanian, cangkul dan lain-lain yang ia olah sendiri,
tetapi hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya yang sederhana. Kondisi ini
kemudian memicu berbagai pertanyaan dalam benak Bung Karno, yang akhirnya
melahirkan berbagai dialektika pemikiran sebagai landasan gerak selanjutnya. Kehidupan,
kepribadian yang lugu, bersahaja namun tetap memiliki semangat berjuang memenuhi
kebutuhan hidupnya inilah, maka nama petani tersebut oleh Bung Karno diabadikan dalam
setiap rakyat Indonesia yang hidupnya tertindas oleh sistem kehidupan yang berlaku.
Sebagai penyesuaian bahasa saja, nama Mang Aen menjadi Marhaen.

Istilah ini untuk pertama kalinya digunakan oleh Soekarno di dalam pledoinya tahun 1930,
Indonesia Menggugat untuk mengganti istilah proletar.[2].

Dalam bukunya "Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai", Kol. (Inf.) Soegiarso Soerojo,
seorang perwira intelijen pada masa Orde Baru, menyangsikan bahwa ada petani yang
memiliki nama Marhaen, dan memberikan alternatif sumber lain dari nama tersebut, yaitu
singkatan dari Marx-Hegel-Engels.[3][4].

Ideologi

Marhaenisme pada esensinya adalah sebuah ideologi perjuangan yang terbentuk dari
Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan Yang Berkebudayaan Bung Karno.

Menurut marhaenisme, agar mandiri secara ekonomi dan terbebas dari eksploitasi pihak
lain, tiap orang atau rumah tangga memerlukan faktor produksi atau modal. Wujudnya dapat
berupa tanah atau mesin/alat. Dalam konteks modern, kendaraan, perangkat teknologi
informasi, alat dapur dan barang elektronik bisa saja diberdayakan dengan tepat guna
sebagai modal atau faktor produksi. Meskipun tidak besar, kepemilikan modal sendiri ini
perlu untuk menjamin kemandirian orang atau rumahtangga itu dalam perekonomian.

Berbeda dengan kapitalisme, modal dalam marhaenisme bukanlah untuk ditimbun atau
dilipatgandakan, melainkan diolah untuk mencukupi kebutuhan hidup dan menghasilkan
surplus. Petani menanam untuk mencukupi makan keluarganya sendiri, barulah menjual
surplus atau kelebihannya ke pasar. Penjahit, pengrajin atau buruh memproduksi barang
yang kelak sebagian akan dipakainya sendiri, walau selebihnya tentu dijual. Idealnya, syarat
kecukupan-sendiri ini harus dipenuhi lebih dulu sebelum melayani pasar. Ini artinya ketika
buruh, pengrajin atau petani memproduksi barang yang tak akan dikonsumsinya sendiri, ia
cuma bertindak sebagai faktor produksi bagi pihak lain, yang menjadikannya rawan untuk
didikte oleh pasar atau dieksploitasi. Secara agregat (keseluruhan) dalam sistem ekonomi
marhaenisme, barang yang tidak/belum diperlukan tidak akan diproduksi, sebab setiap
orang/rumahtangga tentu memastikan dulu profil dan taraf kebutuhannya sendiri sebelum
membuat apapun. Inovasi kelahiran produk baru akan terjadi manakala kebutuhannya
sudah konkret betul.

Cara ini mendorong tercapainya efisiensi, sekaligus mencegah pemborosan sumber daya
serta sikap konsumtif. Dan karena hanya difungsikan sekadar menghasilkan surplus, modal
yang tersedia juga mustahil ditimbun atau diselewengkan untuk menindas
tumbuh-kembangnya perekonomian pihak lain.

Marhaenisme yang dimaksud Soekarno bisa dibandingkan dengan formulasi pendekatan


teori kewirausahaan yang baru diperkenalkan pada tahun 70-an oleh David McClelland yaitu
hampir 50 tahun kemudian. Bedanya, jika McClelland lebih menekankan opsi pada upaya
penanaman virus N.ach (Need for Achievement) atau kehendak untuk maju dari kalangan
rakyat atau pengusaha kecil, sehingga notabene didominasi oleh pendekatan fungsional,
maka pendekatan Soekarno atas marhaen (petani dan pedagang kecil), justru bersifat
struktural, yaitu melalui penanaman sikap progresif revolusioner.[2]

Dalam pidato di depan Sidang PBB, 30 September 1960, Soekarno tegas menyatakan,
bahwa Pancasila (baca: Marhaenisme) pada hakekatnya adalah sublimasi dari Declaration
of Independence (Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat) dan Manifesto of Communism
dari Uni Soviet. Artinya Pancasila justru merupakan alternatif ketiga dari kedua kubu yang
bertentangan dalam Perang Dingin di antara Blok Barat dengan Blok Timur saat itu. Secara
ideologis, pemikiran Soekarno mirip sekali dengan apa yang dirumuskan oleh Anthony
Giddens 20 tahun kemudian, sebagai '"The Third Way.

Anda mungkin juga menyukai