Anda di halaman 1dari 2

Abu – abu merah muda

"Aku berdo'a agar aku dijodohkan dengan hujan. Agar setiap harinya aku bahagia, selalu
segar dan menawan," aku tersenyum, menatap langit. Berharap tuhan dan hujan
mendengar kalimatku barusan. Berharap hujan pun punya angan dan ingin yang sama
denganku, sehingga tuhan tak akan sulit membujuknya untuk bersamaku.

"Kau fikir jika berjodoh dengan hujan kau akan selalu bahagia? Hujan tak selalu gerimis,
hujan bukan hanya rintik. Kelopak rapuh sepertimu tak akan kuat melawan badai, tak akan
kuat tersambar petir. Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri jika bersama dengan hujan.
Takdirmu sudah pasti. Berjodoh dengan tangkai, bukan dengan hujan ataupun yang
lainnya." Kedua alisnya menyatu, matanya menatap sangsi.

Perkenalkan, Ala sahabat terbaikku. Dia tangkai yang amat menawan. Tinggi kokoh
menjulang, pemikirannya sefrekuensi denganku, namun ada banyak sekali duri di
tangkainya. Ia selalu menjadi benteng pertahananku, kelopak bunga yang rapuh. Namun itu
tak cukup membuatku jatuh hati padanya, meskipun ia sudah mengatakan dan
meyakinkanku berkali-kali.

"Ayolah, aku bisa menjagamu. Aku menyayangimu, Xan. Kau tak akan pernah menemukan
rasa sayang seperti rasa sayangku padamu. Bukankah kau juga merasakannya?" Katanya
kala itu

"Pola kasih sayang pastilah berbeda, Ala. Kau menyayangiku dengan caramu, maka tangkai
lain juga akan menyayangiku dengan caranya sendiri. Kamu terlalu kokoh untuk bunga
rapuh sepertiku, kita tidak serasi. Aku hanya pantas mekar di durimu, bukan ditangkai gagah
mu," Ala menghirup nafas dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar tanda menyerah.

Ayolah, Aku tak seindah yang kalian bayangkan. Aku hanyalah bunga kuncup yang
rapuh. Warna ku juga tak meriah, hanya abu-abu dengan sedikit gradasi merah muda
diujungnya. Mungkin ini alasan hanya Ala yang benar-benar menjadi sahabatku. Dia benar-
benar menjagaku.

Dulu sekali, aku pernah menjalin kasih dengan tangkai yang penuh kasih, dia tak
segagah dan tak semenawan Ala. Tapi dia bisa memberikan bentuk kasih sayang yang tulus,
bukan kasih sayang yang akan dibangga-banggakan dikemudian hari seperti Ala.

Suatu hari, aku melontarkan pertanyaan "Gun, kapan aku kau bawa pulang?"

Dia hanya tersenyum, mengelus lembut kelopakku. "Maafkan aku bunga layu. Ada yang
lebih segar diujung sana, pulanglah. Cerita kita berakhir sampai disini, berbahagialah."
Aku pulang, menceritakan semuanya pada Ala. Ia amat murka, untung saja dia masih bisa ku
yakinkan bahwa aku 'baik-baik saja'. Jika tidak, mungkin saja Gun sudah patah luluh lantak
hari itu juga.

Begitulah Ala. Akan sangat murka jika ada yang berani menggores luka di hatiku. Aku
terlindungi jika bersamanya, namun hanya sebatas itu. Aku tak bisa membalas perasaannya.

Kemarin Ala datang, menjengukku yang menggigil di badai rindu. Ia bawakan aku
sesulut api asa, berhembus bersama udara lalu mendekat dan berbisik. "Berhentilah,
tangkai yang kau tuju sudah memiliki bunga. Berbaliklah, lihat tangkai lain yang menunggu
kelopakmu merekah,"

Aku berhenti, berbalik dan bimbang.

"Aku hanya ingin memastikan. Apakah dia tumbuh indah bersama bunganya atau tidak,"

"Sudahlah, kebahagiaan nya bukan tanggungjawab mu. Dirimu lebih penting dari semua hal
tentang dia." Ala mengelus kelopakku, menyalurkan ketenangan dalam setiap sentuhannya.

"Xan..!" Seseorang menyerukan namaku. Aku dan Ala menoleh, lalu kami saling tatap.

Dia datang, membawa sejumput rasa yang sekilas pernah kuharapkan dulu. Tapi, mengapa
sekarang? Mengapa dia datang ketika aku sudah memutuskan untuk memilih Ala?

Anda mungkin juga menyukai