Nanti, akan kuajak kau ke tempat paling damai di dalam kalbu.

Jauh dari mulut-mulut yang hatinya

digadaikan demi kehormatan. Disana hanya kita, buku-buku lapuk yang takkan pernah lekang, semut-
semut di sekitar kopi kita, dan angin dari kota yang kelelahan berhembus. Pun jika ada yang
mengganggu, hanyalah keinginan-keinginan kita sendiri.

Tak apa sesekali degup berderu,

untuk apa-apa yang terlalu lama terpendam bisu.
Kita juga berhak untuk tak lagi ragu.

yang diam-diam merasa terasing. Yang sering dipaksa bungkam, dan memedam, karena apa-apa yang
diungkap tidak pernah dipedulikan, atau bahkan ditertawakan. Tentang mereka yang dipaksa menjadi
rahasia. tentang rasa-rasa yang benar-benar ada, pada orang yang tidak seharusnya. juga mereka yang
terpaksa harus menjaga rahasia, untuk membuat keadaan tetap baik-baik saja. untuk mereka yang
sering menyembunyikan resah, dan kebingungan mencari tempat berserah, hingga akhirnya harus
menyerah dengan cara yang paling tidak disukai. padahal, menyerah saja tidak pernah disukai siapapun.
tentang mereka yang ketakutan, bersembunyi, dan dipaksa terlihat baik. tentang mereka yang benar,
dan menjadi salah di mata yang tidak tepat. tentang mereka yang mencari naungan, untuk perasaannya,
untuk rahasianya, untuk suara-suara dalam doa yang tak pernah punya tempat untuk diterima selain
Tuhannya. tentang kebenaran-kebenaran yang saling menyalahkan. kita semua hanya potongan diksi
yang mencari kata lain, untuk membuat kalimat penjelasan, mencari arti dan maknanya sendiri.

Ia rindu,
pada cahaya sore yang biasa bermain di sekitar celah jemarinya.
Ia cemburu,
pada kata demi kata yang hanya terpisah sepersekian tarikan nafas.

Setiap hari ditenunnya kain dari rindu-rindu yang sabar, untuk menjahit syukur-demi syukur,
yang akan ia kirim pada seorang yang berjarak satu doa darinya.

Makna-makna berbaris di ujung premis,

Menunggu puisi selesai berdandan.
Sayang, diksi terakhir hilang setelah koma tak berkesudahan.

Dekat, namun tak melekat. Hanya memberi sekat.