Anda di halaman 1dari 24

BAB III

FINDINGS AND ANALYSIS

2.1 Ringkasan Novel

Novel ini menceritakan tentang aktivitas sehari-hari yang terjadi di

rumah keluarga March. Keluarga tersebut terdiri dari Ny. March, dan

keempat putrinya yaitu Meg, Jo, Beth dan Amy, sedangkan ayahnya, Tn.

March ikut berperang dalam perang saudara yang terjadi sekitar tahun 1860.

Keempat anak Tn. March memiliki karakter dan cita-cita yang berbeda. Meg

sebagai anak pertama dan memiliki wajah tercantik diantara saudara-

saudaranya ingin menjadi seorang ibu rumah tangga, Jo memiliki karakter

tomboi dan bercita-cita ingin menjadi seorang penulis terkenal, Beth

seorang gadis yang lembut dan suka bermain musik, ia berharap bisa

menjadi musisi hebat, sementara Amy adalah gadis yang manja dan bercita-

cita ingin menjadi pelukis hebat. Mereka sangat beruntung karena memiliki

ibu seperti Ny. March, ia memiliki hati yang lembut dan bijaksana meski

harus mengasuh keempat anaknya seorang diri, ia tidak pernah mengeluh.

Kisah dalam novel ini dimulai dengan Meg, Jo, Beth dan Amy yang

sedang duduk di ruang tamu dan meratapi kemiskinan mereka. Mereka

berempat memutuskan bahwa dari mereka masing-masing akan memberikan

hadiah untuk ibu mereka, Marmee, daripada memiliki hadiah untuk diri

mereka sendiri pada saat hari Natal. Marmee pulang dengan membawa surat

dari suaminya Tn. March, dalam surat itu bertuliskan pesan-pesan kepada

anaknya untuk berjuang melawan beban yang dirasakan dengan lebih ceria
dan tidak mengeluh akan kemiskinan mereka. Pada hari natal, anak-anak

memberikan hadiah ke ibu mereka dan melakukan drama tragedi opera.

Pada suatu hari, Meg dan Jo menghadiri pesta tahun baru di rumah

temannya yang kaya, yaitu Sally Gardiner. Di pesta itu, Jo bertemu Laurie,

cucu dari Tn Laurence yang merupakan sahabat dari ayah mereka.

Gadis-gadis ini memiliki berbagai petualangan. Meg mencari

pekerjaan di luar rumah untuk membantu kehidupan keluarganya. Meg

menghabiskan hari-harinya mengajar anak-anak kecil sebagai pengasuh. Jo

menghabiskan waktu membaca dan merawat Bibi March dan berharap dia

bisa membaca semua buku di perpustakaan Bibinya. Di beberapa titik,

Laurie mengajak Jo dan Meg untuk menonton Seven Castle of the Diamond

Lake. Namun Jo menolak untuk membiarkan Amy pergi bersamanya ke

teater. Setibanya di rumah, Jo mengetahui bahwa Amy membakar naskah Jo

yang membuatnya merasa sangat terluka dan marah sehingga dia tidak akan

pernah bisa memaafkan Amy. Dalam kemarahannya, dia hampir

membiarkan Amy tenggelam saat bermain ice skating. Karena ibunya,

akhirnya Jo bisa memaafkan adiknya. Kemudian cerita berlanjut ke Meg

yang menghadiri pesta Annie Moffat. Namun, Meg malu karena

keluarganya miskin dan dia tidak mampu membeli baju baru seperti gadis-

gadis lain. Saat di pesta, dia mendengar bahwa orang mengira dia berniat

menikahi Laurie hanya untuk uangnya.

Suatu hari, keluarga menerima telegram yang mengatakan bahwa Tn.

March sakit dan dirawat di rumah sakit di Washington, D.C. Ny. March
pergi untuk merawatnya dan Jo menjual rambutnya untuk membantu

membiayai perjalanan. Sementara Ny. March di Washington, bayi dari

keluarga Hummel sakit parah yang mengakibatkan kematian karena demam

berdarah. Beth kembali dan dikurung di tempat tidur, Amy dikirim ke

rumah Bibi March karena takut dia tertular demam. Beth sekarat di ambang

kematian sampai akhirnya Ny. march kembalidan akhirnya demam turun.

Nantinya, ceritanya bercerita tentang Pak Brooke yang akan mendapatkan

pekerjaan. Kemudian dia meminta Meg untuk menikah dengannya. Jo

sangat sedih karena kehilangan kakaknya, tapi Ny. March mencoba

menghiburnya. Pada Hari Natal, Tn. March kembali ke rumah. Gadis-gadis

senang melihatnya dan akhirnya cerita keluarga March selesai.

2.2 Tinjauan Novel

2.2.1. Tema

Novel Little Women adalah sebuah kisah moralitas. Setiap bab

tidak hanya berisi kehidupan dan petualangan empat bersaudara, tetapi

juga pelajaran tentang bagaimana menjadi orang baik, dan bagaimana

mencapai kebahagiaan dalam hidup. Ini juga mengajarkan tentang

kemandirian perempuan melawan kehidupan kemiskinan. Novel ini juga

memuat cerita yang memiliki nilai pengorbanan dan kemanusiaan, baik

antar keluarga March maupun sesamanya. Misalnya di bab 15 “Sehelai

Telegram” ketika Jo rela memotong rambutnya, untuk dijual ke salon, dia

melakukannya untuk mendapatkan lebih banyak uang untuk perjalanan


ibunya ke Washington untuk mengunjungi ayah mereka karena dia

sekarat.

Karakter Ny. March mencerminkan wanita secara alami, memiliki

kebajikan iman, kesederhanaan, kebaikan, pengorbanan diri, kelembutan,

kasih sayang, sentimentalitas dan kerendahan hati. Dia mendidik anak-

anaknya dengan kesabaran dan ketulusan. Kemudian, terungkap bahwa

jalan yang paling bijaksana adalah menunggu sampai beberapa

kecelakaan kecil, atau sifatnya yang murah hati, melunakkan kebencian

Jo dan menyembuhkan kesalahan tersebut. Namun, Ny. March berbisik

lembut, “sayangku, jangan biarkan matahari membakar kemarahanmu,

kalian harus saling memaafkan, saling membantu dan besok mulailah

langkah baru”. Sebenarnya tidak mudah mengasuh mereka di usia dini

tanpa bantuan seorang suami namun ia mampu membuktikannya melalui

novel ini.

2.2.2. Karakter

Dalam novel ini, Alcott menceritakan tentang kehidupan empat

putri keluarga March. Meg, yang tertua dari keempat saudara perempuan

March, memiliki sifat bertanggung jawab dan baik hati. Dia cantik,

sederhana, penyayang dan dia tertarik pada hal-hal mewah dalam hidup.

Jo, yang tertua kedua dari saudara perempuan March, dan merupakan

tokoh protagonis dari novel. Dia membenci sesuatu yang berbau romansa

dalam kehidupan, yang nyatanya karena dia adalah wanita tomboi. Beth,

saudari ketiga March, sangat pemalu, dia suka musik, banyak menoleksi
boneka dan suka memelihara kucing. Amy, saudara perempuan termuda

March adalah seorang seniman kecil dan merasa dirinya adalah orang

yang sangat penting dan sedikit manja kepada orangtua.

Ibu atau Marmee- ibu dari gadis-gadis March. Dia berusaha keras

untuk membesarkan anak perempuannya menjadi wanita rendah hati,

cerdas, baik dan sederhana. Marmee adalah panutan moral bagi anak

perempuannya. Dia menasihati mereka melalui semua masalah mereka

dan bekerja keras tetapi harus tetap bahagia, sementara suaminya dalam

perang. Mr March, ayah dari keluarga March, dia sedang berperang di

awal cerita. Dia adalah orang yang sangat cerdas dan filosofis. Semua

karakternya begitu hidup dan menarik, seperti teater di rumah, piknik,

membuat koran sendiri, dan acara-acara lain yang membuat mereka

menjadi wanita dewasa. Eksplorasi karakter dan beberapa peristiwa yang

terjadi pada keempat putri March dideskripsikan secara proporsional.

Setiap bab bergantian menceritakan salah satunya sebagai pusat cerita.

Meski karakter Jo yang merupakan cerminan kepribadian Alcott tampak

mendominasi cerita.

2.2.3. Latar

Novel Little Women berlatar tahun 1860-an di kota New England,

Concord, Massachusetts. Sebagian besar aksi di Bagian I berkisar di

sekitar rumah keluarga March. Dengan kepergian Mr. March, yang

melayani sebagai pendeta untuk tentara yang berperang dalam Perang


Saudara, keempat putri dan ibu mereka tetap di rumah, berjuang untuk

hidup senyaman mungkin dalam situasi tersebut.

2.2.4. Plot

Plot keseluruhan novel ini sederhana. Empat gadis memulai cerita

saat remaja dan masing-masing menjadi dewasa melalui berbagai

pengalaman untuk memasuki masa dewasa. Saat mereka tumbuh, mereka

mempelajari nilai-nilai pada hal-hal yang berharga dan mereka

menetapkan prioritas masing-masing. Pertama, dalam Situasi Awal, Jo

March dan saudara perempuannya bekerja keras untuk menjaga keluarga

mereka tetap bersama meskipun mereka berada dalam kemiskinan. Yang

kedua adalah Konflik ketika Ibu March mendapatkan surat yang

mengatakan bahwa Pak March sakit parah. Sebuah surat tidak juga

membuat Ny. March sedih tetapi juga keempat anaknya. Ketiga adalah

Komplikasi ketika Ibu March tidak punya uang untuk pergi ke Washington

D.C. Selanjutnya adalah klimaks ketika Jo pergi untuk memotong

rambutnya dan menjualnya sehingga dia dapat memberikan $25,00 kepada

keluarga untuk membiayai perjalanan Marmee. Ketegangannya adalah

ketika Beth sakit karena dia terkontaminasi dari bayi Hummel yang

meninggal karena demam berdarah. Berikutnya adalah penutup ketika

dokter mengatakan bahwa Beth akan mati seperti bayi, namun akhirnya

demamnya turun. Kemudian Kesimpulan ketika Hari Natal tiba dan Pak

March pulang dan cerita berakhir dengan kebahagiaan.


2.3 Stereotip Gender yang Tercermin dalam novel Little Women karya

Louisa May Alcott

Dalam penelitian ini lebih fokus untuk mengetahui jawaban dari

pertanyaan yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebelumnya.

Pertama, dengan menggunakan teori New Criticism, yang bertujuan untuk

mengetahui karakter Josephine March dalam Little Women karya Louisa

May Alcott. Kemudian, dengan menggunakan teori Stereotype untuk

mengetahui konstruksi stereotip gender yang tergambar di masyarakat dan

reaksinya terhadap konstruksi stereotip gender dalam Little Women karya

Louisa May Alcott. Dalam penelitian ini, penulis ingin mendeskripsikan

Josephine March sebagai tokoh utama dalam Little Women karya Louisa

May Alcott. Dia adalah anak kedua dari empat bersaudara, seperti yang

dijelaskan oleh Alcott dalam novel;

a. Josephine Seorang Tomboi

Gambaran Jo dalam novel tersebut menunjukkan karakteristik fisik

seorang tomboi. Jo tidak menyukai menjadi seorang wanita dan tidak

ingin menjadi wanita seperti pada umunya. Gambaran ini dapat dilihat

pada bagian pertama;

“Fifteen- year-old Jo was very tall, thin, and brown, and reminded
one of a colt, for she never seemed to know what to do with her
long limbs, which were very much in her way. She had a decided
mouth, a comical nose, and sharp, gray eyes, which appeared to
see everything, and were by turns fierce, funny, or thoughtful. Her
long, thick hair was her one beauty, but it was usually bundled into
a net, to be out of her way. Round shoulders had Jo, big hands and
feet, a flyaway look to her clothes, and the uncomfortable
appearance of a girl who was rapidly shooting up into a woman
and didn‟t like it.” (hal 7)
Kutipan di atas dengan jelas menunjukkan bahwa Josephine berusia

lima belas tahun saat cerita dimulai. Dalam keinginan dan tingkah

lakunya, dia menggagalkan harapan gender yang khas. Dia merasa

tidak nyaman menjadi seorang wanita. Ketika cerita dimulai, dia

berbaring di lantai ruang tamu di rumahnya, mengatakan “Christmas

won‟t be Christmas without any presents, grumbled Jo, lying on the

rug” (hal 1). Bahkan dia menolak untuk tidak memakai aksesoris

wanita dan menolak budaya bahwa wanita harus tinggal di rumah. Hal

ini dapat dilihat pada kutipan;

Jo immediately sat up, put her hands in her pockets, and began to
whistle.
“Don‟t, Jo. It‟s so boyish!
“That‟s why I do it.‟
“I detest rude, unladylike girls!‟
“I hate affected, niminy-piminy chits!‟
“Birds in their little nests agree,‟ sang Beth, the peacemaker, with
such a funny face that both sharp voices softened to a laugh, and
the “pecking‟ ended for that time. “Really, girls, you are both to
be blamed,‟ said Meg, beginning to lecture in her elder-sisterly
fashion. ‟You are old enough to leave off boyish tricks, and to
behave better, Josephine. It didn‟t matter so much when you were
a little girl, but now you are so tall, and turn up your hair, you
should remember that you are a young lady.‟ (hal 5).
Selain itu, Josephine yang merupakan nama feminim, namun ia

merubahnya menjadi Jo, agar terdengar maskulin. Namanya adalah

indikasi pertama dan paling jelas dari pemberontakannya, dia

memperpendek nama yang semula Josephine Victoria menjadi "Jo"

yang lebih terdengar lebih kepada nama lelaki. Hal ini dapat dilihat
dari kutipan “I hate my name, too, so sentimental! I wish every one

would say Jo instead of Josephine. How did you make the boys stop

calling you Dora?” (hal 47)

Josephine memang terlihat seperti lelaki, dimana terkadang

ayahnya juga memanggil “son Jo”, ayahnya berkata “In spite of the

curly crop, I don‟t see the “son Jo‟ whom I left a year ago” (hal

390). Jo membalas "strong words that mean something" dan

menyatakan "I hate think I‟ve got to grow up, and be Miss March,

and wear long gowns, and look as prim as a China Aster! It‟s bad

enough to be a girl, anyway, when I like boy‟s games and work and

manners! I can‟t get over my disappointment in not being a boy” (hal

6). Jo menjadi dewasa secara signifikan selama tahun pertama dalam

cerita, ayahnya memperhatikan bahwa dia telah mulai bertindak

seperti seorang wanita muda, tidak lagi menggunakan bahasa gaul

atau berbohong. Namun, Jo akan selalu merasa nyaman duduk di

tanah atau dikelilingi oleh anak laki-laki, dia adalah dirinya sendiri

dan tidak peduli apa yang orang lain pikirkan tentangnya.

Selain itu, Josephine membenci sesuatu tentang romansa dalam

kehidupannya dan tidak menginginkan apa pun selain

mempertahankan keluarganya. Pada bab 20 menjelaskan Jo mengakui

bahwa dirinya benar-benar tidak mengerti tentang cinta;

“Mercy me! I don‟t know anything about love and such


nonsense!‟cried Jo, with a funny mixture of interest and contempt.
“In novels, the girls show it by starting and blushing, fainting
away, growing thin, and acting like fools. Now Meg does not do
anything of the sort. She eats and drinks and sleeps like a sensible
creature, she looks straight in my face when I talk about that man,
and only blushes a little bit when Teddy jokes about lovers” (hal
355).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Jo tidak tahu apa-apa tentang

cinta. Dia mengakui bahwa dia benar-benar tidak mengerti seperti

apa cinta dalam arti praktis sehari-hari. Dia tahu bahwa pahlawan

wanita dalam novel bertindak konyol ketika mereka jatuh cinta,

namun saat melihat saudara perempuannya tidak bertindak konyol,

jadi dia berasumsi bahwa Meg tidak sedang jatuh cinta.

b. Josephine seorang yang pemarah

Jo memiliki temperamen yang cepat dan bertindak impulsif. Dia

akan cepat meminta maaf dan yang pertama berdamai jika terjadi

persaingan. Dia menyatakan bahwa masalah terbesarnya adalah

“dreadful temper. You don‟t know, you can‟t guess how bad it is! It

seems as if I could do anything when in a passion; I get so savage, I

could hurt anyone and enjoy it. I am afraid I shall do something

dreadful some day, and spoil my life, and make everybody hate me”

(hal 75). Jo takut kemarahannya membuatnya menjadi orang yang

jahat, orang yang bisa menyakiti orang lain dengan sengaja, tetapi

kenyataannya, tampaknya tidak ada kemarahan yang dapat diterima

dalam keluarga March. Gairah kontrol ini didorong oleh Mr. March

ketika dia membantu Marmee agar tidak marah hampir setiap hari

dalam hidupnya (hal 75).


Meskipun Jo memiliki temperamen yang cepat tetapi dia sangat

takut dengan temperamennya sehingga dia memutuskan untuk

menaklukkannya dan pada akhir cerita dia berhasil sebagian. Jo selalu

berusaha menjadi lebih baik dan tetap tenang saat dia marah. Dapat

dilihat dari kutipan di bawah ini;

“I will try, Mother, I truly will. But you must help me, remind me,
and keep me from flying out. I used to see Father sometimes put his
finger on his lips, and look at you with a very kind but sober face,
and you always folded your lips tight and went away. Was he
reminding you then?‟ asked Jo softly” (140).

c. Josephine seorang yang mandiri

Sebagai wanita mandiri, Jo menolak lamaran Laurie, seperti yang

dia kutip di bab 35 “Saya tidak bisa mengatakan ya‟ dengan sungguh-

sungguh, jadi saya tidak akan mengatakannya sama sekali” (654). Dia

berpikir bahwa wanita dapat melakukan apa saja dan siapa saja yang

mereka inginkan tanpa pria. Dia menghidupi keluarganya karena dia

adalah seorang wanita pekerja yang mampu mendapatkan hasil dari

pikirannya. Menurut Jo, cinta pertamanya adalah untuk keluarganya

dan tujuan awalnya adalah untuk menjaga saudara perempuannya,

orang tua, dan teman-teman terdekatnya dekat sepanjang hidupnya.

Dia telah meyakinkan dirinya sendiri bahwa pernikahan tidak akan

cocok untuknya karena itu menghancurkan keluarga "Saya hanya

berharap saya bisa menikahi Meg sendiri, dan menjaganya tetap aman

dalam keluarga" (319). Dengan menolaknya, Jo tetap setia pada

keyakinan pribadinya dan mengorbankan kemungkinan untuk


mengakhiri kemiskinan keluarganya. Dia memilih kemerdekaan.

Laurie dibiarkan patah hati dan berubah menjadi lebih buruk.

Memang, dia tidak bisa menghadapi Jo setelah penolakannya dan

pergi ke Eropa.

Pada Bab 13 ketika gadis-gadis March dan Laurie mendiskusikan

impian mereka. Dapat dilihat dari kutipan di bawah ini;

“I'd have a stable full of Arabian steeds, rooms piled with books,
and I‟d write out of a magic inkstand, so that my works should be
as famous as Laurie's music. I want to do something splendid
before I go into my castle—something heroic, or wonderful—that
won't be forgotten after I'm dead. I don't know what, but I‟m on
the watch for it, and mean to astonish you all, some day. I think I
shall write books, and get rich and famous; that would suit me, so
that is my favorite dream.” (265)
Berbeda dengan mimpi khas saudara perempuannya, mimpi Jo

sangat besar dan diungkapkan dengan percaya diri. Kuda-kuda yang

diinginkan Jo, dan dengannya dia terus-menerus dibandingkan,

mewakili kebebasan liar yang dia dambakan. Secara signifikan, Jo

tidak menyebutkan suami atau anak-anak dalam mimpinya, tetapi

mengatakan bahwa dia menginginkan buku dan tinta. Pernyataan yang

kuat ini menjangkau jauh melampaui batas-batas ruang tamu kecil

seorang wanita dan menuntut ketenaran dan kemandirian yang

langgeng di dunia pria.

d. Josephine seorang yang periang

Josephine selalu menyemangati adik-adiknya dalam setiap situasi

dan membuat mereka bahagia dan tertawa, meski terkadang itu omong

kosong. Terlihat dari kutipan di bawah ini;


“How ridiculous you are, Jo!‟ But Meg laughed at the nonsense
and felt better in spite of herself. „Lucky for you I am, for if I put
on crushed airs and tried to be dismal, as you do, we should be in
a nice state. Thank goodness, I can always find something funny to
keep me up. Don‟t croak any more, but come home jolly, there‟s a
dear.” (62)

e. Josephine adalah gadis pekerja keras dan ambisius dalam

mencapai tujuannya.

Jo adalah gadis pekerja. Dia memiliki pekerjaan, sesuatu yang agak

tidak biasa bagi seorang wanita muda dengan latar belakang kelas atas

di Amerika abad kesembilan belas. Bahkan ketika kami pertama kali

bertemu Jo, berusia lima belas tahun, dia bekerja sebagai pendamping

untuk Bibi March-nya. Menjadi "pendamping" seorang wanita tua

yang kaya, atau bahkan seorang wanita muda yang kaya, adalah

bentuk pekerjaan yang umum bagi gadis-gadis abad kesembilan belas

yang berasal dari keluarga baik-baik tetapi tidak memiliki banyak

uang sendiri. Seperti kebanyakan teman, Jo menghabiskan waktu

dengan majikannya, membacakan untuknya, melakukan tugas-tugas

kecil untuknya seperti melilitkan benangnya, dan biasanya

berkeliaran. Ini mungkin kedengarannya tidak terlalu sulit, tetapi Jo's

Aunt March adalah seorang wanita tua yang tirani dan egois yang

frasa favoritnya adalah "Sudah kubilang." Dia terus-menerus menegur

Jo karena perilakunya yang tidak seperti wanita, dan Jo marah di

bawah pengawasannya.

Jo akhirnya kehilangan pekerjaannya sebagai pendamping Bibi

March untuk Amy, tapi dia terus bekerja sebagai pengasuh anak-anak
dari seorang teman keluarga, Mrs Kirke, di rumah kos di New York.

Dalam hal ini, pekerjaan Jo terus membantunya merawat keluarganya,

terutama saudara perempuannya yang sakit, Beth, tetapi juga

memberinya kesempatan untuk melihat dunia di luar kota New

England tempat dia dibesarkan. Saat mengerjakan pekerjaan ini, Jo

mendapatkan pekerjaan lain sebagai kontributor cerita sensasional

untuk sebuah surat kabar bernama The Weekly Volcano, tetapi ini

adalah pekerjaan yang akhirnya mengajarinya tentang beberapa hal

yang tidak dijual termasuk kejujuran dan integritasnya.

Seperti Amy, Jo juga memiliki aspirasi artistik yang besar,

menulis. Dia ingin menjadi penulis. Dari halaman pertama sudah jelas

bahwa Jo adalah kutu buku keluarga, yang merupakan penokohan

pertama Jo dalam novel tersebut” kata Jo yang adalah kutu buku” (2).

Dia mencintai sastra, baik membaca maupun menulisnya. Josephine

yang memiliki bakat yang jelas untuk menulis, tampaknya unggul

dalam hal cerita yang penuh gairah. Memang, permainan kecil

mereka; The Witch's Cures at Christmas, termasuk karakter-karakter

eksotis seperti Don Pedro, Rodrigo dan Zara, digambarkan sebagai

tragedi opera, penuh ketegangan, drama, dan gairah yang meningkat.

Jo suka menulis dan dalam kondisi terbaiknya di rumah, dengan

saudara perempuannya sebagai pembaca dan penonton. Karena

mereka semua perempuan, Jo tidak merasa minder, dia bangga dengan

tulisannya. Ketika dia menulis untuk ayahnya, hal-hal berbeda, karena


dia kemudian melabeli tulisannya sebagai hal-hal kecil yang konyol,

yang hanya bisa menghiburnya; Saya membuat pome„ kemarin, ketika

saya membantu Hannah mencuci dan karena Ayah menyukai hal-hal

kecil saya yang konyol, saya memasukkannya untuk menghiburnya

(268).

Selain itu, dia juga membuat drama untuk saudara perempuannya

untuk tampil dan menulis cerita yang akhirnya dia terbitkan. Dia

meniru Dickens, Shakespeare dan Scott. Setiap kali dia tidak

mengerjakan tugas, dia meringkuk di kamarnya, di sudut loteng atau

di luar, benar-benar asyik dengan buku bagusnya. Alasan Jo untuk

menulis adalah bahwa dia mendukung keluarga sementara ayahnya

tidak. “"Putri Duke membayar tagihan tukang daging, Tangan Hantu

meletakkan karpet baru, dan Kutukan Coventrys membuktikan berkah

dari Pawai dalam hal belanjaan dan gaun." (472).

2.4 Konstruksi Stereotip Gender Yang Digambarkan Dalam Masyarakat

Dalam Little Women Karya Louisa May Alcott.

Little Women adalah sebuah novel yang ditulis di era modern,

tepatnya pada abad kesembilan belas. Abad kesembilan belas sering disebut

zaman Victoria, mengambil nama itu dari Ratu Inggris Victoria yang

memerintah selama 60 tahun. Itu adalah zaman di mana dampak revolusi

industri menyebabkan perbedaan yang tajam antara peran gender, terutama

kelas atas dan menengah. Gender dan peran gender mengacu pada gagasan

masyarakat tentang bagaimana anak laki-laki atau perempuan atau laki-laki


dan perempuan diharapkan berperilaku dan harus diperlakukan. Tampilan

gender, seperti halnya peran gender, merupakan manifestasi publik dari

identitas gender. Dapat dikatakan bahwa yang satu berjenis kelamin dan

yang satu berjenis kelamin; bahwa seks biasanya, tetapi tidak selalu,

mewakili apa yang ada di antara kedua kaki, sedangkan gender mewakili

apa yang ada di antara telinga seseorang. Pernyataan di atas menjelaskan

bahwa jenis kelamin terlihat dan gender tidak terlihat. Bisa juga diartikan

bahwa seks adalah tipe biologis yang diciptakan oleh Tuhan sedangkan

gender dikonstruksi secara sosial karena adanya peran gender, telah tercipta

stereotipe.

Dalam Little Women karya Louisa May Alcott, pria pada saat itu

digambarkan sebagai orang yang kuat, aktif, berani, duniawi, logis, rasional,

mandiri, individual, mampu menahan godaan, ternoda, ambisius, dan ruang

di depan umum. Sebaliknya, perempuan digambarkan sebagai sosok yang

lemah, pasif, penakut, domestik, tidak logis, emosional, sosial atau

kekeluargaan, bergantung, tidak mampu menahan godaan, murni, puas, dan

ruang dalam privasi. Menjadi perempuan bukanlah hal yang mudah untuk

menjadi manusia laki-laki selama ini karena ada beberapa peraturan yang

membatasi perilaku perempuan dan bahkan dalam hukum, perempuan

memiliki kekuasaan yang lebih kecil daripada laki-laki. Wanita harus

bergantung pada pria dan yang harus dilakukan anak perempuan adalah

mempersiapkan diri untuk pernikahan karena tujuan hidup setiap wanita

harus menikah.
Di era Victoria, wanita setidaknya dilihat oleh kelas menengah,

sebagai bagian dari lingkup domestik, dan stereotip ini mengharuskan

mereka untuk menyediakan rumah yang bersih bagi suami mereka, makanan

di atas meja, dan membesarkan anak-anak mereka. Hak-hak perempuan

sangat terbatas di era ini, kehilangan kepemilikan atas upah mereka, semua

properti fisik mereka, tidak termasuk properti tanah dan semua uang lain

yang mereka hasilkan setelah menikah.

2.5 Reaksi Josephine Terhadap Konstruksi Stereotip Gender Dalam

Masyarakat Dalam Little Women Karya Louisa May Alcott.

Dalam Little Women karya Louisa May Alcott, karakter utama adalah

Josephine yang berubah menjadi seorang wanita dalam masyarakat di

Amerika selama zaman Victoria. Tidak seperti saudara perempuannya, dia

menantang masyarakat patriarki normatif dan tidak mencoba untuk

menyesuaikan diri, seperti yang dilakukan Amy dan Meg dengan sangat

baik, dia juga tidak melarikan diri darinya seperti yang dilakukan Beth.

Sebaliknya dia menentang masyarakat. Dapat dilihat dari kutipan di bawah

ini;

"How I wish I was going to college! You don't look as if you liked it.
"I hate it! Nothing but grinding or skylarking. And I don‟t like the
way fellows do either, in this country.‟
"What do you like?‟
"To live in Italy, and to enjoy myself in my own way.‟ Jo wanted very
much to ask what his own way was, but his black brows looked rather
threatening as he knit them, so she changed the subject by saying, as
her foot kept time, „That‟s a splendid polka! Why don‟t you go and
try it?‟ (50)
Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa Josephine menentang

masyarakat, dia membenci masyarakat patriarki normatif pada saat itu.


Selain itu, dia juga tidak menyukai kehidupan pernikahan. Dapat dilihat

dari kutipan di bawah ini;

“Then we‟ll be old maids,‟ said Jo stoutly. "right, Jo. Better be


happy old maids than unhappy wives, or unmaidenly girls, running
about to find husbands,‟ said Mrs. March decidedly. "Don't be
troubled, Meg, poverty seldom daunts a sincere lover. Some of the
best and most honored women I know were poor girls, but so love
worthy that they were not allowed to be old maids. Leave these things
to time. Make this home happy, so that you may be fit for homes of
your own, if they are offered you, and contented here if they are not.
One thing remember, my girls. Mother is always ready to be your
confidante, Father to be your friend, and both of hope and trust that
our daughters, whether married or single, will be the pride and
comfort of out lives.” (171).
Pada saat itu, pernikahan menandakan kedewasaan dan kehormatan

seorang wanita, tetapi menjadi ibu adalah konfirmasi bahwa dia telah

memasuki dunia kebajikan wanita dan pemenuhan wanita. Bagi wanita yang

tidak menjadi seorang ibu berarti dia dapat dicap tidak mampu, gagal atau

dalam beberapa hal tidak normal. Keibuan diharapkan dari seorang wanita

yang sudah menikah dan wanita lajang yang tidak memiliki anak adalah

sosok yang harus dikasihani.

Josephine ingin setara dengan laki-laki pada saat itu, yang dianggap

mandiri. Jo ingin memasuki profesi pria dan menjadi petualang dan liar.

Faktanya, dia berkata, “Lagi pula, menjadi seorang gadis sudah cukup

buruk, ketika saya menyukai permainan, pekerjaan, dan sopan santun anak

laki-laki! Saya tidak bisa melupakan kekecewaan saya karena tidak menjadi

laki-laki” (13). Dia tomboi, dan bereaksi dengan tidak sabar terhadap

banyak batasan yang diberikan pada wanita dan anak perempuan. Menjadi

perempuan tidak semudah menjadi manusia laki-laki pada masa itu karena
ada beberapa peraturan yang membatasi perilaku perempuan dan bahkan

dalam undang-undang, perempuan memiliki kekuasaan yang lebih kecil

daripada laki-laki. Perempuan harus bergantung pada laki-laki dan yang

harus dilakukan anak perempuan adalah mempersiapkan diri untuk menikah

karena tujuan hidup setiap perempuan harus menikah.

Jo sadar akan fakta-fakta itu dan dengan demikian dia memutuskan

untuk menjadi maskulin sebagai caranya untuk menunjukkan

kekecewaannya atas diskriminasi dan untuk menunjukkan bahwa dia,

sebagai seorang gadis yang berubah menjadi seorang wanita tidak lebih

lemah dari pria. Dia ingin mencari nafkah, seperti tugas yang secara

konvensional disediakan untuk pria. Dalam novel tersebut dijelaskan bahwa

Jo lebih maskulin daripada feminin dan Jo sendiri secara terbuka mengakui

keinginannya untuk menjadi seorang pria;

"Mother didn't say anything about our money, and she won't wish us
to give up everything. Let's each buy what we want, and have a little
fun; I'm sure we work hard enough to earn it," cried Jo, examining
the heels of her shoes in a gentlemanly manner“ (2)
"I hate to think I've got to grow up and be Miss March, and wear long
gowns, and look as prim as a China Aster! It's bad enough to be a
girl, anyway, when I like boy's games and work and manners! I can't
get over my disappointment in not being a boy. And it's worse than
ever now, for I'm dying to go and fight with Papa. And I can only stay
home and knit, like a poky old woman!" (4)
Dalam deskripsi fisik Alcott tentang Jo, pembaca juga mengenali ciri-

ciri maskulin, karena dia memiliki “bahu bulat”, tangan dan kaki besar,

tampilan pakaian yang berantakan”, lebih jauh lagi dia dianugerahi

“penampilan yang tidak nyaman dari seorang gadis yang dengan cepat

menembaki seorang wanita dan tidak menyukainya”. Sifat maskulinnya,


yang menjadikannya tipikal tomboi, tidak hanya ditekankan oleh Alcott dan

ditegaskan oleh Jo sendiri. Mereka juga diakui oleh keluarganya. Saat Mr.

March pulang, dia menyebut putri kesayangannya sebagai "son Jo" (348),

Meg menasihati adiknya untuk tidak berperilaku seperti laki-laki, sedangkan

Amy tidak menyukai perilaku kekanak-kanakan kakaknya.

Demikian pula, Laurie ingin menyeberang ke pengejaran feminin.

Keinginannya untuk tinggal di rumah dan belajar piano adalah kualitas yang

lebih feminin. Dia ingin mengejar musik, pada saat itu mengejar budaya

feminin, bukan bisnis, mengejar maskulin secara budaya. Bahkan nama

panggilannya, Laurie, yang dia gunakan untuk memberi nama yang lebih

maskulin, Theodore, menunjukkan sisi femininnya. Dapat dilihat dari

kutipan di bawah ini;

“Nicely, thank you, Mr. Laurence. But I am not Miss March, I‟m only
Jo,‟ returned the young lady. „I‟m not Mr. Laurence, I‟m only
Laurie. „Laurie Laurence, what an odd name. „My first name is
theodore, but I don‟t like it, for the fellows called me Dora, so I made
the say Laurie instead. „I hate my name, too, so sentimental! I wish
every one would say Jo instead of Josephine. How did you make the
boys stop calling you Dora?” (47)
Dalam Little Women, musik memiliki hubungan yang menarik

dengan tingkat kesesuaian karakter. Untuk gadis-gadis March, semakin

cenderung musikal seorang saudari, semakin tradisional feminin dan patuh

pada tugas feminin dia. Marmee bernyanyi untuk gadis-gadis sepanjang

waktu dan dia mewujudkan ibu rumah tangga yang ideal dan patuh. Beth,

sama-sama sangat musikal dan sangat pasif. Sebaliknya, Amy memiliki

suara yang buruk dan Jo memiliki suara terburuk dari semuanya, kedua

gadis itu mandiri dan penting dengan batasan yang ditempatkan pada
wanita. Menariknya, Laurie juga menyukai musik dan ingin menjadi musisi

profesional, namun minat ini membuatnya tidak sesuai dengan peran yang

diharapkan darinya sebagai seorang pria. Dapat dilihat dari kutipan di

bawah ini;

“After I‟d seen as much of the world as I want to, I‟d like to settle in
Germany and have just as much music as I choose. I‟m to be a
famous musician myself, and all creation is to rush to hear me. And
I‟m never to be bothered about money or business, but just enjoy
myself and live for what I like.” (253)
Kemudian, sebelum mendengar surat ayah, Jo mengumumkan

keinginannya untuk bergabung dengan tentara dan bertarung dengan

ayahnya dalam Perang Saudara. Dia bermimpi melakukan sesuatu yang

indah dan bepergian ke luar negeri, dan dia tergoda untuk melarikan diri

dengan Laurie ketika dia melamar. Hal ini dapat dilihat dari kutipan pada

bab 2;

“We all will,‟ cried Meg. „I think too much of my looks and hate to
work, but won‟t any more, if I can help it. „I‟ll try and be what he
loves to call me, „a little woman‟ and not be rough and wild, but do
my duty here instead of wanting to be somewhere else,‟ said Jo,
thinking that keeping her temper at home was a much harder task
than facing a rebel or two down South.“ (16)
Menurut kutipan di atas, ikut berperang sangat kontras dengan

masyarakat saat itu. Jo mengatakan bahwa dia ingin melakukan sesuatu

yang menarik, seperti berada di Perang Saudara seperti ayahnya, daripada

duduk di rumah. Jo menunjukkan bahwa wanita tidak bisa bertarung dalam

Perang Sipil, dan umumnya menjalani kehidupan yang tidak terlalu penuh

petualangan dibandingkan pria. Dalam pernyataan ini, Jo juga menunjukkan

keinginan untuk membuat ayahnya bahagia dengan bertindak secara


stereotip perempuan. Jo berjuang sepanjang novel karena dia ingin

menjalani kehidupan yang penuh petualangan dan mandiri serta membantu

dan menyenangkan keluarganya. Dengan kata lain, perjuangan untuk

kesuksesan individu bertentangan dengan tugas dan kasih sayang yang dia

rasakan untuk keluarganya dan dengan ranah domestik yang diterima

sebagian besar wanita saat itu.

Pada saat itu, wanita harus bergantung pada pria dan anak perempuan

harus mempersiapkan diri untuk pernikahan karena tujuan hidup setiap

wanita harus menikah. Wanita dalam masyarakat Victoria memiliki satu

peran utama dalam kehidupan, yaitu menikah dan mengambil bagian dalam

kepentingan dan bisnis suaminya. Sebelum menikah, mereka akan belajar

keterampilan ibu rumah tangga seperti menenun, memasak, mencuci, dan

membersihkan, kecuali jika mereka berasal dari keluarga kaya. Sebaliknya,

Jo ingin menjadi wanita mandiri. Dia tidak suka memakai gaun, dia tidak

mau harus memakai sarung tangan, dia lebih suka berkelahi daripada

ayahnya, dia ingin kuliah, dia membenci pekerjaan menjahit dan pekerjaan

rumah tangga lainnya, dan dia suka berlari liar dan menghargai

kemerdekaan. Dia berpikir bahwa wanita dapat melakukan apa saja dan

siapa saja yang mereka inginkan tanpa pria. Selain itu, dia juga menolak

lamaran Laurie, seperti kutipan di bab 35 “Saya tidak bisa mengatakan ya‟

dengan sungguh-sungguh, jadi saya tidak akan mengatakannya sama sekali”

(654). Berbeda dengan saudara perempuannya, dia tidak bisa memasak dan
tidak bisa membuat apa pun untuk dimakan. Terlihat dari kutipan di bawah

ini;

“Don‟t try too many messes, Jo, for you can‟t make anything but
gingerbread and molasses candy fit to eat. I wash my hands of the
dinner party, and since you have asked Laurie on your own
responsibility, you may just take care of him.” (200).
Josephine ingin setara dengan laki-laki pada saat itu, yang dianggap

ambisius. Seperti Amy, Jo memiliki aspirasi artistik yang besar, menulis.

Memang, Jo telah menjadi terkenal karena tulisannya dan dengan demikian

dapat dianalisis sebagai model pencapaian sastra. Dari halaman pertama

sudah jelas bahwa Jo adalah kutu buku keluarga, yang merupakan

penokohan pertama Jo dalam novel “kata Jo, yang kutu buku” (2). Baru

kemudian dia dicirikan sebagai pria yang seperti pria. Memang, aspirasi

menulisnya lebih penting untuk pengembangan pribadinya daripada

pelanggaran gendernya. Pemberontakannya terhadap kewanitaan khas

Victoria harus diperlakukan sebagai hasil logis dari ambisi sastranya. Jo

terus-menerus menulis cerita, drama, dan puisi liar. Dapat dilihat dari

kutipan di bawah ini;

“Well, I‟ve left two stories with a newspaperman, and he‟s to give his
answer next week,‟ whispered Jo, in her confidant‟s ear. „Hurrah for
Miss March, the celebrated American authoress!‟ cried Laurie,
throwing up his hat and catching it again, to the great delight of two
ducks, four cats, five hens, and half a dozen Irish children, for they
were out of the city now. „Hush! It won‟t come to anything, I dare
say, but I couldn‟t rest till I had tried, and I said nothing about it
because I didn‟t want anyone else to be disappointed.„It won‟t fail.
Why, Jo, your stories are works of Shakespeare compared to half the
rubbish that is published every day. Won‟t it be fun to see them in
print, and shan‟t we feel proud of our authoress?” (269).
Terlebih lagi, apa yang paling menarik baginya di rumah Bibi March

adalah perpustakaan besar, di mana dia melahap puisi, romansa, sejarah,

perjalanan dan gambar, seperti kutu buku biasa. Namun, Jo menyadari

bahwa sebagai seorang wanita dia tidak akan pernah bisa mencapai

kepenulisan sejati, setara dengan kepenulisan pria. Masyarakat patriarki

tidak mengizinkan perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki.

Akibatnya, perempuan dianggap berasal dari tugas yang lebih feminin untuk

merawat rumah dan mengejar outlet kreativitas feminin. Di bagian pertama

novel, Amy memiliki ide-ide yang menipu dan konyol tentang masyarakat

dan tampaknya seperti yang dikatakan Foote "dengan senang hati

diperbudak olehnya" (74). Namun, melalui rasa sakit dan penghinaan, Amy

akan belajar bagaimana menyesuaikan diri dan berperilaku dalam

masyarakat ini dan tetap mandiri, jujur pada diri sendiri dan dihormati.

Seperti yang ditunjukkan Foote, pemahaman Amy tentang kerja masyarakat

yang kompleks dan penerimaannya terhadap masyarakat itu, akan dihargai

(78).

Anda mungkin juga menyukai