Anda di halaman 1dari 23

HIWALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah Keuangan Syariah

Dosen Pengampu : Andi Cahyono, S.H.I., M.E.I

Kelompok 9 :

Disusun oleh :

Mudrik Asyrof Nurandani 192111127

HES 5D

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama islam adalah agama yang sempurna, hal ini islam telah mengatur
keseluruhan pola hidup manusia seperti kegiatan muamalah. Muamalah merupakan
aturan atau hukum Allah swt untuk mengatur manusia yang berkaitan dengan urusan
duniawi dalam bersosial. Diantara muamalah islam yang telah diajarkan dan tidak asing
di lingkungan sekitar adalah hiwalah (pemindahan hutang).
Dalam sistem ekonomi islam juga memiliki banyak kesempatan, perhatian yang
terus bertambah. Penghapusan bunga merupakan keniscayaan ciri islam dalam hukum
ekonomi islam, rekayasa sistem perbankan dan moneter bebas bunga telah menawarkan
tantangan terbesar bagi seorang ekonom muslim. Kebangkitan ekonomi yang berbasis
ajaran agama islam yang diawali dengan pengkajian literatur tentang ekonomi baik
dalam Al-Qur’an, Hadist dan dalam sejarah islam sehingga menghasilkan beberapa
pemikiran tentang ekonomi islam.
Beberapa produk pemikiran tentang ekonomi islam telah di praktikkan dalam
dunia perbankan salah satunya adalah konsep Pemindahan hutang atau bisa disebut
Hiwalah. Sistem hiwalah sangat mudah diadaptasikan kepada sesama manusia, karena
hiwalah merupakan sebagian kehidupan manusia di dalam muamalah. Praktek hiwalah
ini sering berlaku dalam permasalahan hutang-piutang, maka dari itu untuk
menyelesaikan suatu masalah muamalah perlu dianalisa sehingga praktik hiwalah ini
bisa dijadikan sebagai jalan menyelesaikan masalah. Hiwalah tidak hanya berperan
untuk menyelesaikan masalah utang piutang saja, tetapi juga berperan dalam
pemindahan hutang maupun dana dari individu ke individu lainya atau dari kelompok
satu terhadap kelompok yang lain.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dan Dasar Hukum Hiwalah?
2. Apa sajakah rukun dan syarat Hiwalah?
3. Apa sajakah Jenis-Jenis Hiwalah?.
4. Bagaimana Pengaplikasian Hiwalah pada Bank Syariah dan Lembaga Keuangan
Syariah?.
5. Bagaimana Fatwa DSN MUI Tentang Hiwalah?.

C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan Pengertian dan Dasar Hukum Hiwalah.
2. Menguraikan rukun dan syarat Hiwalah
3. Menguraikan Jenis-Jenis Hiwalah.
4. Mendeskripsikan Pengaplikasian Hiwalah pada Bank Syariah dan Lembaga
Keuangan Syariah.
5. Menjelaskan Fatwa DSN MUI Tentang Hiwalah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan dasar hukum Hiwalah


a. Pengertian Hiwalah.
Pengertan Hiwalah menurut etimologi berarti al-intiqal dan al-tahwil yaitu
memindahkan dan mengoper. Menurut Abdurrahman al-Jaziri berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan hiwalah adalah “Perpindahan dari satu tempat ke tempat
yang lain”. Hiwalah juga berarti pengalihan, perpindahan, perubahan dan memikul
sesuatu di atas pundak.1 Hiwalah menurut terminologi adalah “pemindahan hak
menuntut utang kepada pihak lain (ketiga) atas dasar persetujuan dari pihak yang
memberi utang”.
Menurut Jumhur Ulama Fiqh memberikan pengertian tentang hiwalah
adalah “Akad yang menghendaki pengalihan utang dari tanggungjawab seseorang
kepada tanggungjawab orang lain” Menurut Imam Syafi’i hiwalah adalah “aqad
pemindahan sesuatu utang dari tanggungan yang berutang kepada tanggungan
orang lain”. Ibnu Abidin dalam kitabnya Radd al-Muhtar „ala ad-Durr al-Mukhtar,
memberikan pengertian hiwalah adalah “pemindahan kewajiban membayar utang
dari orang yang berhutang (al-muhil) kepada orang yang berutang lainnya (al-
muhtal „alaih)”. Al-Kamal ibn al-Hummam, dalam kitabnya Fath al-Qadir Syarh
al-Hidayah, mengatakan “Pengalihan kewajiban membayar utang dari beban pihak
pertama kepada pihak lain yang berhutang kepadanya, atas dasarnya saling
mempercayai”.2
Dari pemikiran yang dikemukakan diatas, maka pengertian hiwalah adalah
pemindahan hak atau tanggungjawab utang seseorang untuk menuntut dari pihak

1
Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Medan: FEBI UIN-SU Press, 2018), h.174
2
Syahpawi, “Hiwalah Sebagai Solusi dalam Megatasi Kredit Maret dalam Perbankan Syariah”, Iqtishaduna,
Vol.1, No.2, 2012, h.167
pertama kepada pihak yang lain atas dasar persetujuan dari para pihak yang
memberi utang.3 Gambaran sederhana mengenai hiwalah seperti berikut : Semisal si
A (Muhal) memberi pinjaman kepada si B (Muhil) sebesar 5 ribu rupiah, sedangkan
si C masih mempunyai hutang kepada si B (Muhal „alaih) sebesar 5 ribu rupiah,
karena si B tidak mampu membayar hutangnya kepada si A, maka si B mengalihkan
beban hutangnya kepada si C. Dengan demikian si C harus membayar hutang
kepada kepada si A sebagai pengalihan beban hutang dari si B ke si A. Dengan
begitu hutang si B ke si A sudah selesai dengan cara si C membayar kepada si A,
begitupun hutang si C ke si B itu juga dianggap selesai karena kesepakatan telah
dibayarkan hutang si B ke si A.4
b. Dasar Hukum Hiwalah
a) Al-Quran
Pengalihan Hutang (Hiwalah) merupakan bentuk muamalah yang telah
dibenarkan oleh syariat dan dipraktekkan sejak zaman nabi Muhammad Saw
sampai sekarang. Allah Swt berfirman5 :

ِ ‫ش ِد ْيد ُ ْال ِعقَا‬


‫ب‬ َ َ‫ّٰللا‬ ِ ‫اَلثْ ِم َو ْالعُد َْو‬
‫ان َۖواتَّقُوا ه‬
‫ّٰللاَ ۗا َِّن ه‬ ِ ْ ‫َو ََل تَعَ َاونُ ْوا َعلَى‬

Artinya :
Dan tolong-tolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebijakan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah swt, sesungguhnya Allah amat berat siksa-nya. (Q.S Al-
Maidah: 2).
Dalam ayat diatas menerangkan bahwa setiap kaum muslimin
diperintahkan untuk saling tolong-menolong satu sama lain. akad hiwalah
3
Ibid, h.167
4
Novanda Eka Nurazizah, “Implementasi Akad Hiwalah dalam Hukum Ekonomi Islam di Perbankan Syariah”,
An-Nisbah, Vol.2, NO.1, 2021, h. 87
5
H. Syaikhu dkk, Fikih Muamalah : Memahami konsep dan dialektika kontemporer, (Yogyakarta : K-Media,
2020), h. 148
merupakan suatu bentuk saling tolong-menolong yang merupakan bentuk
manifestasi dari ayat tersebut.6
b) Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah SAW bersabda7 :
”Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah
suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan
piutangnya (dihiwalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah.”
c) Ijma
Ulama sepakat membolehkan hiwalah. Hiwalah dibolehkan pada utang
yang tidak berbentuk barang / benda Karena hiwalah adalah perpindahan
hutang. Oleh karena itu, harus pada uang atau kewajiban finansial.8

B. Rukun dan syarat hiwalah


a. Rukun hiwalah.
Rukun hiwalah menurut Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab dari orang yang
memindahkan (al-muhil) dan qabul dari orang yang dipindahkan (al-muhal) dan
yang dipindahi utang (al-muhal „alaih). Sedangkan menurut Malikiyyah rukun
hiwalah ada empat, yaitu9 :
a) Muhil adalah orang yang memindahkan penagihan utang dari dirinya kepada
pihak lain.
b) Muhal bih adalah pihak yang memberikan pinjaman utang kepada al-muhil.
c) Muhal „alaih adalah orang yang menjadi sasaran penagihan yang baru, yang
seharusnya tagihan itu jatuh kepada muhil.

6
Ibid, h. 149
7
Fithriana Syarqawie, Fikih Muamalah, (Banjarmasin : IAIN Antasari Press, 2015), h.32
8
Ibid, h.32
9
Ahmad wardi muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Grafika Offset, 2019), h. 449
d) Shighat yaitu dua lafaz akad yang terdiri atas ijab dan kabul dari kedua belah
pihak yang melakukan hiwalah. Lafaz ijab adalah segala lafaz yang
mengandung makna memindahkan. Sementara, lafaz Kabul adalah segala lafaz
yang mengandung makna persetujuan atas ijab sebelumnya.10
b. Syarat Hiwalah
Syarat hiwalah ada yang berkaitan dengan sigat ada yang terkait dengan
para pihak, dan ada yang terkait dengan piutang. Syarat yang terkait dengan para
pihak meliputi syarat yang terkait dengan pihak yang mengalihkan utang (muhil),
ada yang terkait dengan pihak ketiga yang menerima pengalihan piutang (muhal
alaih), dan ada yang terkait dengan penerima pengalihan utang (muhal).11
Syarat sigat dapat menggunakan bahasa lisan, tulisan atau syarat. Sigat harus
menunjukan pengalihan hak penagihan tanggungan. Syarat yang terkait dengan
muhil adalah 1). Berakal, 2). Baligh, 3). Kerelaan muhil. Berdasarkan syarat
tersebut maka unsur paksaan atau keterpaksaan terhadap muhil tidak sah. Sementara
syarat terkait dengan muhal adalah 1). Berakal, 2). Baligh, 3). Adanya unsur
kerelaan, tidak terpaksa atau dipaksa. Adapun syarat yang terkait dengan muhal
„alaih adalah 1). Berakal, 2). Baligh, 3). adanya unsur kerelaan, tidak terpaksa atau
dipaksa. Syarat yang terkait dengan muhal bih ada dua, yaitu muhal bih adalah
piutang. Kedua, piutang tersebut harus mengikuti muhil dan muhal. Berdasarkan
syarat ini, hiwalah terhadap piutang yang tidak mengikat maka tidak sah12
Ketika akad hiwalah telah disepakati, maka muhil terbebas dari tuntutan
hutang dari pihak muhal. Penagihan utang akan berpindah dari pihak muhil kepada
muhal „alaih, artinya ketika muhal ingin menagih utang, maka ia harus datang ke
muhal „alaih, bukan kepada muhil. Berdasarkan pernyataan tersebut para ulama

10
Ahmad Sarwat, Ensiklopedia Fikih Indonesia 7 : Muamalat, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2018). h.
302
11
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2016). h. 236
12
Ibid, h. 236-247
berbeda pendapat mengenai peralihan hak ini. Abu hanifah dan Abu Yusuf
menyatakan, perpindahan hak itu meliputi hak penagihan dan pembayaran utang
sekaligus, yakni dari pihak muhil beralih kepada pihak muhal „alaih. Akan tetapi,
pembayaran utang itu akan kembali kepada muhil, ketika muhal „alaih mengalami
kebangkrutan atau meninggal dunia.13
Menurut Imam Muhammad, yang hanya berpindah hak penagihan saja,
bukan hak pembayaran nominal utang yang ada. Beban pembayaran utang tetap
melekat pada diri muhil. Menurut Zafar, hak penagihan dan pembayaran utang ridak
bisa berpindah kepada muhal „alaih, muhal „alaih hanyalah sebagai penanggung
bagi muhil ketika ia tidak bisa membayar. Menurut pendapat yang rajih, muhal
memiliki hak untuk melakukan penagihan dan pembayaran nominal utang dari
muhal „alaih. Akad hiwalah akan berakhir ketika terjadi pembatalan, dan muhal
memiliki hak untuk melakukan penagihan kembali pada muhil.14
Menurut Hanafiyah, ketika muhal „alaih mengalami kebangkrutan, maka
akad dinyatakan berakhir dan hak penagihan beralih kepada muhil. Menurut
Hanabalah, Syafiiiyah dan Malikiyah, ketika akad hiwalah telah dilakukan
sempurna, hak penaguihan dan beban utang tidak bisa dialihkan kembali kepada
muhil. Jika muhal „alaih mengalami kebangkrutan dan muhal tidak diberitahu oleh
muhil, maka muhal tetap berhak melakukan penagihan kepada muhil. Karena, muhil
memberikan sesuatu yang bersifat tidak diketahui oleh muhal dan mengandung
unsur gharar (ketidakpastian).15

C. Jenis-Jenis Hiwalah
Akad hiwalah berdasarkan jenis objek hiwalah dibagi dua jenis hiwalah, yaitu
hiwalah dayn dan hiwalah haq. Hiwalah dayn adalah pemindahan kewajiban melunasi

13
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogykarta : Pustaka Pelajar, 2008), h. 260
14
Ibid, h. 260-261
15
Ibid, h. 261
utang kepada orang lain. Sedangkan hiwalah haq adalah pemindahan kewajiban hak
(piutang) kepada orang lain. Perbedaan hiwalah dayn dan hiwalah haq terletak pada
siapa yang berinisiatif melakukuannya. Jika yang berinisiatif melakukan adalah orang
yang berutang maka ia adalah hiwalah dayn, sedangkan, yang melakukan orang yang
berpiutang maka ia adalah hiwalah haq.16
Selain pembagian di atas, ahli Hanafiyyah membagi hiwalah menjadi hiwalah
muqayyadah dan hiwalah mutlaqah. Hiwalah muqayyadah adalah pemindahan utang
dari seseorang kepada tanggungan orang lain yang mempunyai utang kepadanya dengan
menyebutkan bahwa hiwalah tersebut terjadi pada tanggungan (utang) yang wajib
dibayar oleh orang lain tersebut kepada pihak yang melakukan hiwalah. Sedangkan
hiwalah mutlaqah, adalah seseorang memindahkan tanggungan utangnya kepada orang
lain dan tidak membatasinya dengan utang yang ditanggung oleh orang lain tersebut. 17
Ulama Hanafiyyah membolehkan kedua jenis hiwalah tersebut, namun hiwalah
mutlaqah menurut Hanafiyyah hanya boleh pada hiwalah dayn. Sedangkan mayoritas
ahli fikih hanya membolehkan hiwalah muqayyadah. Pendapat ulama Hanafiyyah inilah
yang dipegang oleh DSN MUI dalam fatwanya No. 58/DSN-MUI/V/2007 tentang
hiwalah bi al-ujrah. Dalam fatwa tersebut, DSN menyatakan bahwa Hiwalah
muqayyadah adalah hiwalah di mana muhil adalah orang yang berutang sekaligus
berpiutang kepada muhal ‟alaih sebagaimana dimaksud dalam Fatwa No.12/DSN-MUI/
IV/2000 tentang Hiwalah. Sedang hiwalah mutlaqah adalah hiwalah di mana muhil
adalah orang yang berutang tetapi tidak berpiutang kepada muhal ‟alaih. Selanjutnya
dalam fatwa tersebut dikatakan bahwa hiwalah bi al-ujrah hanya berlaku pada hiwalah
mutlaqah, sehingga dalam hiwalah mutlaqah, muhal ‟alaih boleh menerima ujrah/fee
atas kesediaan dan komitmennya untuk membayar utang muhil yang besarnya fee

16
Ahmad Syakur, “Hawalah sebagai Alternatif Pembiayaan Multijasa di Lembaga Keuangan Syariah”
Muqtasid, Vol. 1, No. 2, 2010. h. 356
17
Ibid, h. 356-357
tersebut harus ditetapkan pada saat akad secara jelas, tetap dan pasti sesuai kesepakatan
para pihak.18
Skema Jenis-Jenis Hiwalah
1. Hiwalah Haq

Dalam hal ini yang bertindak sebagai muhil adalah pemberi hutang dan ia
mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang
tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. 19 Keterangan diatas
dijelaskan sebagai berikut :
1) Muhil berutang kepada muhal
2) Muhil berjanji akan membayar utang kepada muhal
3) Muhil meminta bantuan kepada muhal „alaih untuk membayar utang muhil
kepada muhal
4) Muhal „alaih memberikan dana/uang sebesar utang muhil kepada muhal
5) Lalu muhal „alaih menanyakan apakah utang muhil sudah dibayar ke muhal
6) Jika sudah maka utang muhil kepada muhal selesai dan muhil harus mengganti
uang muhal „alaih yang sudah membayar utangnya kepada muhal
18
Ibid, h. 357
19
Nizaruddin, “Hiwalah dan Aplikasi dalam Lembaga Keuangan Syariah” Adzkiya, Vol. 1, No. 2, 2013, h. 11
2. Hiwalah Dayn

Hiwalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai
hutang kepadanya. Ini berbeda dari hiwalah Haq. Pada hakikatnya hiwalah dayn sama
pengertiannya dengan hiwalah yang telah diterangkan20. Keterangan di atas
menjelaskan sebagai berikut :
1) Muhil berhutang kepada muhal
2) Muhal „alaih memiliki utang kepada muhil
3) Muhil meminta muhal „alaih untuk membayar utang muhil kepada muhal
4) Muhal „alaih membayar utang kepada muhil, lalu utang muhal „alaih kepada
muhil lunas dan utang muhil kepada muhal juga lunas

3. Hiwalah Muqayyadah

20
Ibid, h. 11
Para ulama berpendapat bahwa hanya membolehkan hiwalah muqayyadah dan
mensyaratkan pada hiwalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang
muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama
jenis dan jumlahnya, maka sahlah hiwalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka
hiwalah tidak sah.21 Keterangan di atas menjelaskan :
1) Ani (muhil) berhutang kepada bambang (muhal) sebesar Rp 1 Juta
2) Desi (muhal „alaih) memiliki utang kepada ani (muhil) sebesar Rp 1 Juta
3) Ani (muhil) mengalihkan utangnya kepada desi (muhal „alaih), sehingga desi
yang membayar hutang kepada bambang (muhal)

4. Hiwalah Mutlaqah

21
Ibid, h. 11
Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C,
sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hiwalah ini disebut
Hiwalah Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur
ulama mengklasifikasikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah.22

D. Pengaplikasian Hiwalah pada Bank Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah.


Hiwalah dalam teknis perbankan merupakan akad pengalihan piutang nasabah
(muhal) kepada bank (muhal „alaih). Nasabah meminta bantuan bank agar membayar
terlebih dahulu piutangnya atas transaksi yang halal dengan pihak yang berhutang
(muhil). Kemudian bank akan menagih kepada pihak yang berutang tersebut. Atas
bantuan bank membayarkan terlebih dahulu piutang nasabah, bank dapat membebankan
fee jasa penagihan. Penetapannya dilakukan dengan memperhatikan besar kecilnya
risiko tidak tertagihnya piutang.23
Beberapa produk jasa bank syariah yang menggunakan akad hiwalah, antara lain:
1. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah memiliki piutang kepada pihak
ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut
dan bank menagihnya dari pihak ketiga
2. Post dated check, di mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan
dahulu piutang tersebut.
22
Ibid, h. 10-11
23
Imam Mustofa, Fiqih Mua’malah Kontemporer, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2016). h. 237-238
3. Bill discounting pada dasarnya sama dengan hiwalah, namun dalam bill discounting
nasabah harus membayar fee/ujrah. 24
Pandangan Bank Muamalat Indonesia terkait hiwalah adalah pengalihan utang
dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah
fuqaha, hal itu merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang)
,menjadi tanggungan (muhal „alaih) atau orang yang berkewajiban membayar utang.
Secara sederhana, hal ini dapat dijelaskan bahwa muhal memberi pinjaman kepada
muhil, sedangkan muhil mempunyai piutang kepada muhal „alaih. Muhil tidak mampu
membayar utang kepada muhal, maka muhil mengalihkan beban utang kepada muhal
„alaih. Maka, muhal „alaih harus membayar utang muhil kepada muhal. Sedangkan
utang muhal „alaih sebelumnya terhadap muhil dianggap selesai.25
Berikut adalah skema pengaplikasian hiwalah dalam Lembaga Keuangan
Syariah:

24
Ibid, h. 238
25
Ibid, h. 238-239
Berdasakan skema di atas, dapat dijelaskan penjelasan sebagai berikut26 :

1. Produsen atau penyuplai barang (muhal) menyuplai barang kepada pembeli


(muhil);
2. Setelah barang sampai di tangan pembeli, kemudian muhil menandatangani bukti
penerimaan dan memberikan berkas tagihan;
3. Kemudian bank syariah (muhal „alaih) dan produsen (muhal) melakukan akad
hiwalah;
4. Produsen mengirimkan berkas tagihan kepada bank syariah untuk diproses dan
dicairkan;
5. Bank membayar tagihan kepada produsen (muhal);
6. Setelah itu bank syariah memberikan berkas tagihan kepada pembeli (muhil);
7. Pembeli (muhil) membayar tagihan kepada bank syariah, bisa cash atau angsuran

26
Ibid, h. 239-240
Akad hiwalah dapat juga membentuk alternatif konsep pembiayaan multijasa,
yang terdiri dari tiga alternatif. Alternatif pertama, menggunakan akad hiwalah semata,
sedangkan alternatif kedua dan ketiga sebenarnya merupakan akad hibrid (uqud
murakkabah) atau multi akad, yang merupakan gabungan dua akad atau lebih dalam
satu kesepakatan baru. Berkumpulnya dua akad dalam satu kesepakatan (ijtima‟ al-
uqud al-muta‟addidah fi safqat wahidah) atau multi akad dalam produk LKS
kontemporer adalah diperbolehkan oleh mayoritas ahli fikih. Multi akad yang di larang
adalah yang dilarang oleh syara, Namun kebolehan multi akad tersebut harus sesuai
dengan batasan-batasan dan ketetapan syariah, agar tidak termasuk akad ganda yang
dilarang oleh teks-teks syariah, baik melalui pemahaman teks tersebut maupun
berdasarkan analogi (qiyas) karena kesamaan illat. Batasan-batasan syariah tersebut
adalah: a) Multi akad tersebut tidak dilarang dalam nash shar‟i; b) Multi akad tersebut
tidak menjadi sarana ke suatu yang diharamkan; c). Multi akad tersebut tidak dijadikan
sebagai hilah (siasat) untuk mengambil riba dengan jalan lain.27
Akad hiwalah bi al-ujrah ( hiwalah dengan imbalan) dan wakalah (perwakilan)
merupakan gabungan dalam pembiayaan multijasa yang digabungkan dalam satu
kesepakatan (kontrak). Kedua akad tersebut dibolehkan oleh ahli fikih dan juga telah
ditetapkan fatwanya oleh DSN MUI: hiwalah bi al-ujrah ditetapkan dalam fatwa No.
58/DSN-MUI/V/2007, sedangkan wakalah ditetapkan dalam fatwa No. 10/DSNMUI/
IV/2000. maka multi akad yang merupakan kumpulan dari akad hiwalah bi al-ujrah
dengan akad wakalah ini diperbolehkan. Secara garis besar konsep pembiayaan
multijasa berdasar akad hiwalah ini mekanismenya ada tiga alternatif, yaitu:28
Alternatif pertama: alternatif ini menggunakan akad hiwalah semata.
Mekanismenya hampir sama dengan pembiayaan multijasa dengan menggunakan akad
ijarah. Hanya saja pembiayaan dengan akad hiwalah ini lebih sempit, karena hanya

27
Ahmad Syakur, “Hawalah sebagai Alternatif Pembiayaan Multijasa di lembaga Keuangan Syariah”,
Muqtasid, Vol. 1, No. 2, 2010, h. 359-360
28
Ibid, h. 360
pada objek utang yang telah ada pada tanggungan nasabah. Alternatif pertama ini
mekanismenya adalah sebagai berikut: 29
1. Nasabah melakukan transaksi dengan pihak ketiga sehingga menimbulkan
tanggungan kepadanya seperti pendaftaran sekolah anaknya, pesan makanan atau
lainnya;
2. Nasabah datang ke LKS meminta pembiayaan multijasa berdasar akad hiwalah
dengan membawa bukti utang, seperti surat tagihan, surat pemesanan atau lainnya
serta persyaratan lainnya. Jika LKS menyetujui permintaan nasabah tersebut
dengan imbalan (fee) tertentu yang disepakati, maka kedua belah pihak (LKS dan
nasabah) menandatangani pembiayaan multijasa dengan akad hiwalah bi al-ujrah;
3. Pihak LKS kemudian mentransfer uang sejumlah tanggungan nasabah yang
menjadi objek hiwalah kepada pihak ketiga;
4. Nasabah membayar utangnya yang telah dialihkan ke LKS ditambah fee (ujrah)
yang disepakati secara angsuran dalam batas waktu yang telah disepakati.
Alternatif kedua: alternatif ini menggunakan akad hibrid, yaitu penggabungan
antara hiwalah bi al-ujrah dengan wakalah. Secara garis besar mekanisme dari
pembiayaan multijasa dalam alternatif ini adalah sebagai berikut:30
1. Nasabah melakukan transaksi dengan pihak ketiga sehingga menimbulkan
tanggungan kepadanya seperti pendaftaran sekolah anaknya, pesan makanan atau
lainnya;
2. Nasabah datang ke LKS meminta pembiayaan multijasa berdasar akad hiwalah
dengan membawa bukti utang, seperti surat tagihan, surat pemesanan atau lainnya
serta persyaratan lainnya. Jika permintaan nasabah tersebut disetujui dengan
imbalan (fee) tertentu yang disepakati, maka kedua belah pihak (LKS dan nasabah)
menandatangani pembiayaan multijasa dengan akad hiwalah bi al-ujrah;

29
Ibid, h. 360-361
30
Ibid, h. 361
3. Kemudian LKS membuat akad wakalah dengan nasabah agar nasabah tersebut
menjadi wakil LKS dalam membayarkan tanggungan nasabah yang di-hiwalah-kan
kepada LKS tersebut yang diikuti dengan penyerahan uang sejumlah tanggungan
atau utang nasabah yang menjadi objek hiwalah dari LKS kepada nasabah untuk
dibayarkan kepada pihak ketiga;
4. Nasabah datang kepada pihak ketiga untuk melunasi utangnya atas nama LKS;
5. Nasabah membayar utangnya yang telah dialihkan ke LKS ditambah fee (ujrah)
yang disepakati kepada LKS secara angsuran dalam batas waktu yang disepakati
bersama.
Alternatif ketiga: alternatif ini juga menggunakan akad hibrid, berupa gabungan
antara akad hiwalah bi al-ujrah dengan akad wakalah. Secara garis besar mekanisme
pembiayaan ini adalah sebagai berikut:31
1. Nasabah yang membutuhkan pembiayaan seperti untuk pernikahan, sekolah atau
lainnya, datang ke LKS untuk negosiasi awal. Setelah melihat proposal
pembiayaan, LKS berjanji untuk melakukan hiwalah atas utang nasabah ketika
nasabah telah melakukan transaksi yang menimbulkan tanggungan atau utang pada
pihak lain;
2. Berpegang pada janji LKS tersebut, nasabah melakukan transaksi yang diinginkan
dengan pihak lain (pihak ketiga) sehingga menimbulkan tanggungan nasabah
kepada pihak ketiga tersebut;
3. Nasabah datang ke LKS dengan membawa bukti utang dari pihak ketiga kemudian
kedua belah pihak menandatangani akad hiwalah bi al-ujrah;
4. Kemudian LKS membuat akad wakalah dengan nasabah agar nasabah tersebut
menjadi wakil LKS dalam membayarkan tanggungan nasabah yang di-hiwalahkan
kepada LKS tersebut. yang diikuti dengan penyerahan uang sejumlah tanggungan

31
Ibid, h. 361-362
atau utang nasabah yang menjadi objek hiwalah dari LKS kepada nasabah untuk
dibayarkan kepada pihak ketiga;
5. Nasabah datang kepada pihak ketiga untuk melunasi tanggungannya atas nama
lembaga keuangan syariah;
6. Nasabah membayar utangnya yang telah dialihkan ke LKS ditambah fee (ujrah)
yang disepakati kepada LKS secara angsuran.

E. Fatwa DSN MUI Tentang Hiwalah.


Akad Hiwalah sudah diperkenalkan sejak ratusan tahun yang lalu dan bisa
ditelusuri dalam kitab-kitab fikih klasik. Di masa sekarang, kemunculan Dewan Syariah
Nasional (DSN) sebagai pelaksana tugas dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
menetapkan fatwa seputar ekonomi dan mengawasi penerapannya mempertegas
kembali akad tersebut sebagai rujukan baik bagi individu maupun perbankan dan
Lembaga Keuangan Syariah (LKS). DSN mengeluarkan dua fatwa berkaitan dengan
akad hiwalah. Yang pertama adalah fatwa No: 12/DSN-MUI/IV/2000, sementara yang
kedua adalah fatwa No: 58/DSN-MUI/V/2007.32
Perbedaan kedua fatwa ini terletak pada jenis hiwalah yang juga dibagi menjadi
dua dalam literatur fikih. Fatwa No : 58/DSN-MUI/V/2007 berkaitan dengan hiwalah
bil ujroh (upah). Fatwa ini berlaku hanya pada hiwalah mutlaqah di mana pihak muhal
alaih awalnya tidak ada kaitannya dengan hutang-piutang. Jadi ia hanya menolong
muhil dengan suatu imbalan karena sebelumnya tanpa memiliki hutang apapun pada
pihak muhal. Sementara itu, fatwa NO: 12/DSN-MUI/IV/2000 berkaitan dengan
hiwalah muqayyadah, yaitu pihak muhal „alaih memang memiliki hutang pada muhil.33
Hiwalah adalah pengalihan utang dari satu pihak yang berutang kepada pihak
lain yang wajib menanggung pembayarannya, sedangkan hiwalah bil ujrah adalah

32
Munandar Harits WIcaksono, “Analisis Terhadap Hadits Dasar Hukum Fatwa DSN No: 12/DSN-
MUI/IV/2000”, Taraadin, Vol. 1, No. 2, 2021, h. 135
33
Ibid, h. 135
Hiwalah dengan pengenaan imbal jasa (ujrah). Ketentuan tentang hiwalah dalam Fatwa
Dewan Syariah Nasional adalah sebagai berikut34:
1. Rukun hiwalah adalah muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang,
muhal, yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal „alaih, yakni orang yang
berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal, muhal bih, yakni
utang muhil kepada muhtal, dan shighat (ijab-qabul).
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-
cara komunikasi modern.
4. Hiwalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal, dan muhal „alaih.
5. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
6. Jika transaksi hiwalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal
dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal „alaih.
Sedangkan terkait dengan hiwalah bil ujrah, secara spesifik Fatwa DSN MUI
No. 58/DSN-MUI/V/2007), menjelaskan35:
1. Hiwalah adalah pengalihan utang dari satu pihak ke pihak lain, terdiri atas hiwalah
muqayyadah dan hiwalah muthlaqah.
2. Hiwalah muqayyadah adalah hiwalah di mana muhil adalah orang yang berutang
kepada muhal sekaligus berpiutang kepada muhal ‟alaih sebagaimana dimaksud
dalam Fatwa No.12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hiwalah.
3. Hiwalah muthlaqah adalah hawalah di mana muhil adalah orang yang berutang
tetapi tidak berpiutang kepada muhal ‟alaih;
4. Hiwalah bil ujrah adalah hiwalah dengan pengenaan ujrah/fee.
5. Hiwalah bil ujrah hanya berlaku pada hiwalah muthlaqah.

34
Detri Budi Nugraheni, “Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Wakalah, Hawalah, dan Kafalah
dalam Kegiatan Jasa Perusahaan Pembiayaan Syariah”, Media Hukum, Vol. 24, No. 2, 2017, h. 130
35
Ibid, h. 131
6. Dalam hiwalah muthlaqah, muhal ‟alaih boleh menerima ujrah/fee atas kesediaan
dan komitmennya untuk membayar utang muhil.
7. Besarnya fee tersebut harus ditetapkan pada saat akad secara jelas, tetap dan pasti
sesuai kesepakatan para pihak.
8. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
9. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-
cara komunikasi modern;
10. Hiwalah harus dilakukan atas dasar kerelaan dari para pihak yang terkait.
11. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
12. Jika transaksi hiwalah telah dilakukan, hak penagihan muhal berpindah kepada
muhal „alaih.
13. LKS yang melakukan akad Hiwalah bil ujrah boleh memberikan sebagian fee
hiwalah kepada shahibul mal.
BAB III

KESIMPULAN

Hiwalah adalah pemindahan hak atau tanggungjawab utang seseorang untuk


menuntut dari pihak pertama kepada pihak yang lain atas dasar persetujuan dari para pihak
yang memberi utang. Dasar Hukum Hiwalah, yaitu Al-Quran, Hadits, Ijma. Rukun hiwalah
antara lain : Muhil, Muhal bih, Muhal „alaih, Shighat. Syarat sigat dapat menggunakan
bahasa lisan, tulisan atau syarat. Sigat harus menunjukan pengalihan hak penagihan
tanggungan. Syarat yang terkait dengan muhal adalah 1). Berakal, 2). Baligh, 3). Kerelaan
muhil. Sementara syarat terkait dengan muhil adalah 1). Berakal, 2). Baligh, 3). Adanya
unsur kerelaan, tidak terpaksa atau dipaksa. Adapun syarat yang terkait dengan muhal
„alaih adalah 1). Berakal, 2). Baligh, 3). adanya unsur kerelaan, tidak terpaksa atau dipaksa.
Akad hiwalah berdasarkan jenis objek hiwalah dibagi dua jenis hiwalah, yaitu
hiwalah dayn dan hiwalah haq. Selain pembagian tersebut, ahli Hanafiyyah membagi
hiwalah menjadi hiwalah muqayyadah dan hiwalah mutlaqah. Hiwalah dalam teknis
perbankan merupakan akad pengalihan piutang nasabah (muhal) kepada bank (muhal
„alaih). Nasabah meminta bantuan bank agar membayar terlebih dahulu piutangnya atas
transaksi yang halal dengan pihak yang berhutang (muhil). Kemudian bank akan menagih
kepada pihak yang berutang tersebut. Atas bantuan bank membayarkan terlebih dahulu
piutang nasabah, bank dapat membebankan fee jasa penagihan. Penetapan Hiwalah
dilakukan dengan memperhatikan besar kecilnya risiko tidak tertagihnya piutang. DSN
mengeluarkan dua fatwa berkaitan dengan akad hiwalah. Yang pertama adalah fatwa No:
12/DSN-MUI/IV/2000, sementara yang kedua adalah fatwa No: 58/DSN-MUI/V/2007.
DAFTAR PUSTAKA

Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogykarta : Pustaka Pelajar.


H. Syaikhu dkk. 2020. Fikih Muamalah : Memahami konsep dan dialektika kontemporer,
Yogyakarta : K-Media
Muslich, Ahmad wardi. 2019. Fiqh Muamalah. Jakarta : Grafika Offset.
Mustofa, Imam. 2016. Fiqih Mua‟malah Kontemporer. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Nizaruddin. 2013. Hiwalah dan Aplikasi dalam Lembaga Keuangan Syariah. Adzkiya.
Volume. 1. Nomor. 2
Nugraheni, Detri Budi. 2017. “Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Wakalah,
Hawalah, dan Kafalah dalam Kegiatan Jasa Perusahaan Pembiayaan Syariah”.
Media Hukum. Volume. 24. Nomor. 2.
Nurazizah, Novanda Eka. 2021. “Implementasi Akad Hiwalah dalam Hukum Ekonomi
Islam di Perbankan Syariah”. An-Nisbah. Volume.2. Nomor.1
Sarwat, Ahmad. 2018. Ensiklopedia Fikih Indonesia 7 : Muamalat. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama..
Sudiarti, Sri. 2018. Fiqh Muamalah Kontemporer. Medan: FEBI UIN-SU Press
Syahpawi. 2012. “Hiwalah Sebagai Solusi dalam Megatasi Kredit Maret dalam Perbankan
Syariah”. Iqtishaduna, Volume.1, Nomor.2.
Syakur, Ahmad. 2010. “Hawalah sebagai Alternatif Pembiayaan Multijasa di Lembaga
Keuangan Syariah”. Muqtasid, Volume. 1. Nomor. 2.
Syarqawie, Fithriana. 2015. Fikih Muamalah. Banjarmasin : IAIN Antasari Press.
Wicaksono, Munandar Harits. 2021. “Analisis Terhadap Hadits Dasar Hukum Fatwa DSN
No: 12/DSN-MUI/IV/2000”. Taraadin. Volume. 1. Nomor. 2.

Anda mungkin juga menyukai