Anda di halaman 1dari 4

PENEGAKAN HUKUM PADA ASPEK EKONOMI

Izin Bapak/Ibu Dosen, izin rekan-rekan

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pertama-tama, Marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat dan hidayah-Nya kita dapat berkumpul ditempat dan waktu yang berbahagia ini.
Shalawat dan salam kita curahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang kita harapkan
syafaatnya di yaumul akhir kelak

Bapak/Ibu Dosen yang saya hormati dan teman-teman sekalian

Pada hari yang cerah ini saya akan menyampaikan sebuah pidato yang berjudul PENEGAKAN
HUKUM PADA ASPEK EKONOMI

Pembuka
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, aktivitas ekonomi
berkembang semakin pesat, baik dari sisi ragam maupun intensitasnya. Meski di negara maju
sekalipun, komputer baru dinikmati rumah tangga di tahun 1970-an, dan internet dalam
bentuknya yang paling sederhana digunakan di universitas-universitas di tahun 1980-an.
Meski demikian, saat ini, baik di negara maju maupun berkembang, komputer dan internet
sudah merupakan barang kebutuhan yang sulit dinafikkan keberadaannya. Keberadaan
internet membawa kemudahan orang untuk berkomunikasi dan mencari informasi. Namun
tidak disanggah bahwa lewat internet pula kejahatan seksual terhadap anak-anak,
plagiarisme, bullying, penipuan via email hingga pencucian uang justru semakin mudah
dilakukan. Hal serupa terjadi pada keberadaan telepon genggam. Di satu sisi, telepon
genggam mempermudah komunikasi, di sisi lain, HP sering digunakan untuk praktik
penipuan, dan praktik gendam. Tentu saja jika kita hidup 20-30 tahun lalu, kita tidak akan
pernah berfikir munculnya berbagai aktivitas kejahatan tersebut yang memanfaatkan
kemajuan teknologi informatika tersebut.

ISI

Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan


teknologi berpengaruh langsung terhadap ragam dan intensitas kegiatan ekonomi baru.
Namun demikian, kecepatan munculnya jenis aktivitas ekonomi baru ini sering kali kurang
diimbangi oleh upaya pengaturan pemerintah untuk meminimasi potensi kejahatan yang
mungkin timbul. Fenomena ini tentunya bukanlah hal yang mengherankan, karena diperlukan
waktu bagi pemerintah untuk mengkaji dampak buruk dari penyalahgunaan perkembangan
teknologi.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa fenomena hukum tidak bisa dipisahkan dari
aspek ekonomi. Ekonomika Kriminalitas atau Crime Economics atau Law and
Economics adalah cabang ilmu ekonomika yang menitikberatkan analisis ekonomika pada
bidang hukum dan regulasi. Cakupan pembahasan di Ekonomika Kriminalitas tidak saja
terbatas pada tindak pidana yang terkait langsung dengan aspek ekonomi (misalnya korupsi,
pencucian uang, fraud, dll), namun juga berbagai tindak kejahatan konvensional lain
(misalnya  pencurian, pembunuhan, perkosaan dll) dan kejahatan terorganisasi (misalnya
perdagangan narkoba, terorisme, perdagangan manusia, prostitusi anak-anak, dll).
Ekonomika Kriminalitas juga membahas fenomena yang terjadi di hukum perdata, misalnya
terkait dengan persaingan usaha, perceraian, peradilan pajak, dan lain sebagainya.

Adapun Sanksi hukum di Indonesia seringkali tidak menciptakan efek jera kepada
para pelaku kejahatan. Di UU Tipikor disebutkan bahwa maksimum denda kepada koruptor
adalah Rp1 miliar, berapapun nilai uang yang berhasil dikorupsi oleh koruptor tersebut.
Penetapan hukuman maksimal di dalam undang-undang mungkin rasional ditinjau dari Ilmu
Hukum, meski dari perspektif Ilmu Ekonomi, khususnya di Game Theory dan Behavioural
Economics, hal tersebut justru cenderung mendorong pelaku kejahatan ataupun calon pelaku
kejahatan untuk melakukan kejahatan.

Implikasi dari penetapan hukuman maksimal di dalam UU yang cenderung rendah


bagi koruptor, menyebabkan munculnya mekanisme subsidi rakyat kepada para koruptor!
Seperti dijelaskan di awal, bahwa nilai kerugian negara yang harus ditanggung oleh
pembayar pajak adalah Rp67,75 triliun. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa negara,
melalui UU Tipikor, justru menciptakan sistem subsidi dari rakyat kepada para koruptor.
Permasalahan menjadi semakin ironis, ketika karakteristik koruptor umumnya adalah tingkat
pendidikan tinggi, berkedudukan tinggi di masyarakat dan seringkali memiliki kekayaan di
atas rata-rata. Jika subsidi dari masyarakat yang mampu kepada masyarakat yang kurang
mampu disebut derma atau sedekah, mungkin perlu diciptakan satu kosakata baru untuk
mengakomodasi fenomena orang miskin mensubsidi koruptor yang notabene orang kaya.

Permasalahan serupa terjadi pula di ranah hukum perdata. Kasus Temasek adalah
bukti yang menunjukkan lemahnya hukum di Indonesia akibat penetapan sangsi yang tidak
mempertimbangkan aspek rasionalitas pelaku pelanggar ketentuan. Lewat investasinya di PT
Indosat, Temasek dinyatakan bersalah melanggar 10 tuntutan berdasarkan undang-undang
persaingan usaha. Sesuai dengan UU nomor 5/1999, untuk setiap kasus yang terbukti
bersalah, Temasek didenda Rp 25 miliar sehingga total denda adalah Rp 250 miliar. Meski
angka ini terlihat besar. Namun, jika dibandingkan dengan besarnya keuntungan yang
diperoleh Temasek dari investasi di Indosat maka angka tersebut tidaklah berarti. Perhitungan
dari pihak KPPU menunjukkan bahwa besarnya consumer surplus yang hilang akibat praktik
dagang Temasek adalah sebesar Rp 14 triliun. Jika kita menggunakan asumsi konservatif
bahwa 50% dari consumer surplus yang hilang tersebut bisa dinyatakan sebagai profit
perusahaan, itu berarti keuntungan Temasek adalah Rp 7 triliun. Dibandingkan dengan
besarnya denda, maka keuntungan Temasek tersebut adalah 28 kali besarnya total denda yang
harus dibayar Temasek. Implikasinya, UU no 5/1999 memberikan hak kepada Temasek
untuk melanggar UU persaingan usaha sebanya 27 kali lagi!!!

Sejauh ini, upaya penanggulangan kejahatan di Indonesia masih belum terfokus pada
upaya mencegah tindak kejahatan. Tawuran pelajar adalah fenomena yang sejak tahun 1980-
an sering kita dengar terjadi di kota-kota besar Indonesia, khususnya Jakarta. Meski
demikian, upaya sistematis untuk meredam tawuran pelajar belumlah optimum. Hal yang
sama juga terjadi  dengan  penanggulangan bullying di sekolah-sekolah. Studi yang dilakukan
oleh Bowles dan Pradiptyo (2004) menunjukkan bahwa anak pelaku bullying umumnya
pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya (entah itu di rumah maupun di sekolah serta
lingkungan hidupnya). Problem menjadi serius, ketika ternyata baik pelaku maupun korban
bullying memiliki kecenderungan tinggi me-lakukan tindak kejahatan di masa datang.
Penutup

Saat ini adalah momentum yang paling tepat bagi kita untuk mengembangkan
Ekonomika Kriminalitas di Indonesia. Di saat negara kita banyak menghadapi permasalahan
korupsi, penyelundupan narkoba, praktik pencucian uang dan juga terorisme, adalah saat
yang tepat bagi para ahli dibidang hukum, ekonomi, ilmu sosial dan budaya untuk bertukar
pikiran menanggulangi masalah tersebut bersama. Adalah bukan waktunya lagi untuk
menjunjung egosentris cabang keilmuan karena hal inilah yang menyebabkan para ahli
terkotak-kotak dan tidak mampu bekerja sama untuk menyelesaikan masalah sosial yang
dihadapi bersama.

Anda mungkin juga menyukai