Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
bimbingan dan petunjuk kepada kita semua sehingga kami berhasil menyusun buku Pedoman
Internal Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Puskesmas Bojongsoang.
Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama dituntut agar dapat
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, akuntabel dan transparan kepada masyarakat,
khususnya mendapatkan jaminan keselamatan bagi pasien. Untuk itu perlu ditingkatkan
pelayanannya khususnya dalam pencegahan dan pengendalian infeksi di Puskesmas.
Disamping pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi ini digunakan bagi seluruh
petugas, buku ini juga sangat penting bagi pasien, keluarga pasien, orang yang berkunjung, dan
lingkungan Puskesmas.
Kami menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kami sangat
berharap atas saran dan masukannya untuk pembenahan kedepannya. Semoga buku ini
bermanfaat bagi kita semua dalam upaya Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Puskesmas
Bojongsoang.
Tim Penyusun
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pelayanan kesehatan yang diberikan di Puskesmas harus didukung oleh sumber
daya manusia yang berkualitas untuk mencapai pelayanan yang prima dan optimal.
Pelayanan yang prima dan optimal dapat diwujudkan dengan kemampuan kognitif dan
motorik yang cukup yang harus dimiliki oleh setiap petugas kesehatan khususnya di
Puskesmas Bojongsoang. Seperti yang kita ketahui pengendalian infeksi di Puskesmas
merupakan rangkaian aktifitas kegiatan yang wajib dilakukan oleh Tim Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi yang merupakan tuntutan kualitas sekaligus persyaratan
administrasi Puskesmas menuju akreditasi.
Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang diperoleh/dialami pasien selama
dirawat di Rumah Sakit. Infeksi Nosokomial terjadi karena adanya transmisi mikroba
pathogen yang bersumber dari lingkungan rumah sakit dan perangkatnya. Akibat lainnya
yang juga cukup merugikan adalah hari rawat penderita yang bertambah, beban biaya
menjadi semakin besar, serta merupakan bukti bahwa manajemen pelayanan medis rumah
sakit kurang membantu.
Infeksi nosokomial yang saat ini disebut sebagai healthcare associated Infection (HAIs)
merupakan masalah serius bagi semua sarana pelayanan kesehatan di seluruh dunia
termasuk Indonesia.
Bagi masyarakat umum, sarana kesehatan merupakan tempat pemeliharaan
kesehatan. Pasien mempercayakan sepenuhnya kesehatan dirinya atau keluarganya
kepada petugas kesehatan, maka kewajiban petugas kesehatan adalah menjaga
kepercayaan tersebut. Pelaksanaan Kewaspadaan Universal merupakan langkah penting
untuk menjaga sarana kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dll) sebagai tempat
penyembuhan, bukan menjadi sumber infeksi.
Berkaitan dengan hal di atas maka diperlukan rangkaian program yang
berkesinambungan dalam rangka pencegahan dan pengendalian Infeksi (PPI). Untuk
meminimalkan risiko terjadinya infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya perlu diterapkan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI).
Hasil survey tentang upaya pencegahan infeksi di Puskesmas (Bachroen, 2000)
menunjukkan masih ditemukan beberapa tindakan petugas yang potensial meningkatkan
penularan penyakit kepada diri mereka, pasien yang dilayani dan masyarakat luas yaitu :
1. Cuci tangan yang tidak benar
2. Penggunaan alat pelindung diri yang tidak tepat
3. Pembuangan peralatan tajam secara tidak aman
4. Tekhnik dekontaminasi dan sterilisasi peralatan yang tidak tepat
5. Praktek kebersihan ruangan yang belum memadai.
Hal tersebut dapat saja meningkatkan risiko petugas kesehatan tertular akibat
tertusuk jarum atau terpajan darah/ cairan tubuh yang terinfeksi. Sementara pasien dapat
tertular melalui peralatan yang terkontaminasi atau menerima darah atau produk darah
yang mengandung virus.
3
B. TUJUAN
Tujuan Umum
Meningkatkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan sumber daya manusia
tentang pencegahan dan pengendalian infeksi, sehingga dapat melindungi petugas dan
masyarakat dari penularan penyakit infeksi guna meningkatkan mutu pelayanan di
Puskesmas.
Tujuan Khusus
1. Menjadi penuntun bagi tenaga kesehatan hingga mampu memberikan pelayanan
kesehatan dimana risiko terjadinya infeksi dapat ditekan.
2. Menjadi acuan bagi para penentu kebijakan dalam perencanaan logistik di
Puskesmas.
3. Menjadi acuan dikalangan non medis yang mempunyai risiko terpajan infeksi dalam
pekerjaannya.
4. Menjadi bahan acuan petugas kesehatan dalam memberikan penyuluhan kepada
pasien/ keluarga pasien tentang tindakan pencegahan infeksi.
C. RUANG LINGKUP
Pedoman ini digunakan untuk panduan bagi petugas kesehatan di Puskesmas
dalam melaksanakan pencegahan dan pengendalian infeksi pada pelayanan terhadap
pasien yang menderita penyakit menular baik kontak langsung, droplet dan udara.
D. BATASAN OPERASIONAL
Kewaspadaan Standar diterapkan pada semua petugas dan pasien / orang yang
datang ke fasilitas pelayanan kesehatan. (Infection Control Guidelines CDC, Australia).
Kewaspadaan berdasarkan transmisi / penularan, hanya diterapkan pada pasien
yang dirawat inap di Puskesmas, sampai diagnosa tersebut dapat dikesampingkan.
(Gardner and HICPAC 1996).
Surveilans adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus dan
sistematik dalam bentuk pengumpulan data, analisis data, interpretasi data dan
diseminasi informasi hasil interpretasi data bagi mereka yang membutuhkan.
E. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431)
2. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125)
3. Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
4. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063)
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.741/Menkes/Per/VII/2008 tentang Standart
Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota
6. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan
Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 374/Menkes/SK/V/2009 tentang Sistem
Kesehatan Nasional
8. Undang-undang No 23 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
9. Permenkes 11 Tahun 2017 Keselamatan Pasien
10. Permenkes 27 Tahun 2017 tentang Pengendalian Pencegahan Inspeksi
11. Permenkes No 75 Tahun 2014 Tahun Puskesmas
4
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
B. Distribusi Ketenagaan
Tim PPI berjumlah 18 orang sesuai dengan struktur organisasinya. Tim PPI terdiri dari
Ketua, Sekretaris dan Anggota Tim yang terdiri dari masing-masing unit terkait yang
berhubungan langsung dengan kegiatan PPI.
5
1. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana kebersihan tangan
- Bekerja sama dengan bagian penunjang dalam pengadaan botol dan braket untuk
tempat handrub, sabun cair handwash, handuk pengering dan tempat handuk kotor.
- Bekerjasama dengan bagian humas dalam pengadaan poster, leaflet dan stiker
Kebersihan Tangan.
- Bekerja sama dengan bagian farmasi untuk produksi handrub dengan formula yang
direkomendasikan oleh WHO.
- Tim PPI melakukan kampanye Kebersihan Tangan untuk semua masyarakat
Puskesmas.
2. Pemenuhan kebutuhan APD di semua ruang pelayanan perawatan pasien dan sosialisasi
cara memakai dan menggunakan serta indikasi penggunaannya
- Bekerja sama dengan bagian umumdan farmasi dalam pengadaan APD
- Tim PPI mengadakan pelatihan cara penggunaan APD untuk semua perawat sampai
tenaga cleaning service.
- Tim PPI mas membuat poster indikasi penggunaan APD.
3. Sosialisasi perawatan peralatan pasien dengan mengetahui cara pembersihan alat non
kritikal, semi kritikal dan kritikal.
- PPI mengadakan sosialisasi cara dekontaminasi dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan cara-cara desinfeksi dan sterilisasi untuk semua alat non
kritikal, semi kritikal dan kritikal kepada Tim PPI.
4. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pengelolaan limbah medis tajam/ non
tajam dan limbah non medis di semua ruang pelayanan perawatan pasien.
- Bekerja sama dengan Instalasi Sanitasi dan Lingkungan untuk pengadaan tempat
sampah medis dan umum di seluruh area Puskesmas
- Bekerja sama dengan Instalasi Sanitasi dan Lingkungan untuk pengadaan
safetybox di seluruh area pelayanan perawatan pasien di Puskesmas.
5. Pelaksanaan program kesehatan karyawan
- Bekerja sama dengan Tim K3 dan Laboratorium dalam melaksanakan
pemeriksaan secara berkala karyawan Puskesmas, terutama karyawan yang bekerja
dengan risiko.
- Bekerja sama dengan tim K3 dalam penanganan kasus paca pajanan
6. Sosialisasi dan pemenuhan poster etika batuk
- Bekerja sama dengan bagian Promkes dalam pemenuhan poster Etika batuk.
7. Sosialisasi prosedur penyuntikan yang aman dengan no recapping.
Tim PPI bersama bagian keperawatan melakukan sosialisasi cara penyuntikan yang
aman dengan one hand dan no recapping kepada seluruh tenaga keperawatan dan
tenaga non perawat dalam melakukan tindakan penyuntikan.
8. Pemenuhan kebutuhan cairan desinfektan, dekontaminasi, dan cara sterilisasi.
6
- Bekerja sama dengan Instalasi Sanitasi dan Lingkungan dalam pengadaan Spill kit
untuk semua area pelayanan perawatan pasien.
9. Surveilans oleh seluruh Tim PPI.
10. Pemenuhan sarana pencegahan infeksi di Puskesmas
- Bekerja sama dengan bagian farmasi dalam pengadaan laminar flow untuk mixing
obat intra vena.
- Bekerja sama dengan bagian unit setralisasi untuk pengadaan sterilisasi suhu
rendah.
7
BAB III
Pencegahan dan Pengendalian infeksi menjadi bagian penting dalam upaya meningkatkan
mutu pelayanan medis dan asuhan keperawatan di Puskesmas yang berfokus pada keselamatan
pasien, petugas dan lingkungan puskesmas. Kinerja PPI dicapai melalui keterlibatan aktif semua
petugas Puskesmas, mulai dari jajaran manajemen, dokter, perawat, paramedis, pekarya, petugas
kebersihan, sampai dengan petugas parkir dan satpam maupun seluruh masyarakat di puskesmas
seperti pengunjung, mitra kerja puskesmas (Bank, asuransi, rekanan penyedia barang, dll).
Kegiatan PPI harus dilakukan secara tepat di semua bagian/area di Puskesmas, mencakup
seluruh masyarakat puskesmas dengan menggunakan prosedur dan petunjuk pelaksanaan yang
ditetapkan oleh Puskesmas. Upaya pokok PPI mendasarkan pada upaya memutus rantai
penularan infeksi berfokus pada Kewaspadaan Standar (Standart Precautions) yang merupakan
gabungan Kewaspadaan Universal (Universal Precautions) dan BSI (Body Substance Isolation),
serta Kewaspadaan Isolasi berdasarkan transmisi penyakit.
Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi puskesmas dirancang untuk memutus rantai
penularan penyakit infeksi menuju perlindungan pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan
masyarakat.
1. Kebersihan tangan
2. Alat pelindung diri (APD) : sarung tangan, masker, gogle/kacamata pelindung, face shield
(pelindung wajah), gaun, topi, pelindung kaki
4. Pengendalian lingkungan
5. Penatalaksanaan linen
7. Penempatan pasien
8
Upaya selanjutnya PPI dalam memutus rantai penularan infeksi di puskesmas adalah
dengan penerapan kewaspadaan isolasi berdasarkan cara penularan penyakit infeksi yang
sudah dapat diduga atau diidentifikasi. Kewaspadaan isolasi sesuai cara penularan infeksi
diterapkan sebagai komplemen/tambahan pada kewaspadaan standar tehadap pasien yang
sudah diidentifikasi menderita penyakit infeksi berdasarkan karakteristik demografik, klinik
dengan atau tanpa pemeriksaan diagnostik penunjang khususnya mikrobiologi klinik.
Terdapat 3 jenis kewaspadaan isolasi berdasarkan cara transmisi infeksi yaitu kewaspadaan
transmisi kontak, kewaspadaan transmisi droplet dan kewaspadaan transmisi airborne/udara.
Penilaian risiko penularan dikerjakan sebelum petugas memberikan
tindakan/perawatan kepada pasien. Perlu selalu dipertimbangkan kemungkinan terjadi
kombinasi cara transmisi infeksi yang memberikan konsekuensi perlunya dilakukan lebih dari
satu standar kewaspadaan isolasi. Apabila menghadapi suatu penyakit yang belum
dikenal/merupakan penyakit infeksi baru atau belum dikenali cara penularannya, maka
direkomendasikan untuk menerapkan prinsip kewaspadaan yang tertinggi, yaitu kewaspadaan
transmisi airborne.
Perlakukan baik pasien atau petugas sebagai individu yang potensial menularkan dan
rentan terhadap infeksi. Pertimbangkan penggunaan alat pelindung diri sesuai penilaian
risiko pada awal setiap aktivitas pelayanan kepada pasien.
KEWASPADAAN STANDAR
Kebersihan tangan telah diakui sebagai salah satu tindakan terpenting untuk
mengurangi penularan mikroorganisme dan mencegah infeksi di puskesmas/fasilitas
kesehatan lain. Diawali hasil penelitian Semmelweis (1861), berlanjut hasil-hasil penelitian
lain sesudahnya menunjukkan bahwa kebersihan tangan petugas merupakan faktor penting
pada penularan infeksi antar pasien. Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa penularan
infeksi Puskesmas sebagian besar terjadi melalui transmisi kontak, khususnya melalui
kontak tangan petugas disamping kontak melalui peralatan/tindakan invasif.
Dari sisi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI), praktik kebersihan tangan
ditujukan untuk mencegah infeksi yang ditularkan melalui tangan dengan menghilangkan
semua kotoran dan debris serta menghambat atau membunuh mikroorganisme pada kulit,
baik yang diperoleh dari kontak dengan pasien dan lingkungan maupun juga sejumlah
mikroorganisme permanen yang tinggal di lapisan terdalam kulit. Daerah di bawah kuku
(ruang subungual) pada jam tangan mengandung jumlah mikroorganisme tertinggi dan
kuku yang panjang dapat berperan sebagai reservoar untuk bakteri (Gram negatif seperti
P.aeruginosa), jamur dan patogen lain.
Kuku harus dijaga tetap pendek, tidak lebih dan 3 mm melebihi ujung jari, dan tidak
memakai cat kuku. Penggunaan perhiasan di tangan tidak diperkenankan selama
bertugas.
9
Ada tiga cara kebersihan tangan :
1. Mencuci tangan : dilakukan menggunakan air mengalir dengan sabun biasa atau
sabun antisepstik. Mencuci tangan dengan prosedur yang tepat harus dilakukan
apabila tangan terlihat kotor atau setelah terkena cairan tubuh;
3. Cuci tangan bedah (surgical handrub): cara kebersihan tangan sebelum melakukan
tindakan bedah :
11
Pasien perlu melaksanakan kebersihan tangan saat sebelum dan sesudah makan,
setelah menyentuh cairan tubuh (urine, dahak, ingus, dll) atau setelah dan kamar
mandi/WC.
- Pemakaian sabun dan air mengalir penting ketika tangan terlihat kotor.
- Air mengalir dan sabun yang digosokkan di seluruh bagian/lipatan tangan harus
digunakan selama 40 sampai 60 detik.
- Mencuci tangan memakai sabun biasa atau sabun antiseptik dan air bersih adalah
sama efektifnya, bila dijalankan sesuai prosedur. Sabun biasa mengurangi terjadinya
iritasi kulit. Untuk membantu mencegah iritasi kulit dan dermatitis kontak karena
seringnya mencuci tangan, direkomendasikan penggunaan produk perawatan tangan
(losion pelembab/krem).
Jika tidak ada handuk kertas, keringkan tangan dengan handuk bersih atau keringkan di
udara. Handuk yang digunakan bersihdapat dengan cepat terkontaminasi dan tidak lagi
direkomendasikan. Membawa handuk /sapu tangan kecil pribadi membantu
menghindari pemakaian handuk kotor.
Handrub antiseptik tidak menghilangkan kotoran atau zat organik, sehingga jika
tangan terlihat kotor atau terkontaminasi (oleh darah atau cairan tubuh lain), harus
mencuci tangan dengan sabun dan air terlebih dahulu.
Antiseptik yang bereaksi cepat menghilangkan sementara atau mengurangi
mikroorganisme penghuni tetap dan melindungi kulit tanpa menggunakan air
direkomendasikan yang mengandung alkohol 60-90%, emollient dan dapat
ditambahkan antiseptik (misalnya khlorheksidin glukonat 2-4%) yang memiliki anti
residual.
Handrub antiseptik yang hanya berisi bahan aktif alkohol, berefek residual terbatas
dibandingkan yang berisi tambahan antiseptik seperti khlorheksidin
Hasil observasi mengindikasikan bahwa teknik mencuci tangan yang tidak tepat dan
keterbatasan sumber air bersih berhubungan dengan rendahnya tingkat kepatuhan
dan mengakibatkan rekomendasi kebersihan tangan menjadi tidak efektif. Handrub
antiseptik lebih efektif dibandingkan mencuci tangan dengan sabun biasa atau sabun
antiseptik karena dapat disediakan di berbagai tempat sesuai kebutuhan, tidak
memerlukan sumber air, waktu lebih singkat dan kurang menimbulkan iritasi kulit
(tidak kering, pecah-pecah atau merekah). Dengan demikian, handrub antiseptik
dapat menggantikan mencuci tangan dengan sabun dan air sebagai prosedur
utama dengan syarat tangan tidak tampak kotor.
12
5. Prosedur menjaga kebersihan tangan dengan formula berbasis alkohol :
1. Tuangkan secukupnya handrub berbasis alkohol untuk dapat mengisi 1 cekungan
telapak tangan (lebih kurang 1 sendok teh/3cc)
2. Gosokkan larutan dengan teliti dan benar pada kedua belah tangan, khususnya di
antara jari-jemari, di bawah kuku, sesuai 7 langkah cuci tangan, hingga kering
dalam waktu 20-30 detik
40 – 60 Detik
Sumber : Pedoman WHO, 2009
13
Prosedur kebersihan tangan dengan larutan berbahan dasar alkohol
Dilakukan setelah petugas mencuci tangan sampai dengan siku dengan sabun berbahan
chlorhexidin 4% tanpa sikat, tangan dalam kondisi kering.
14
B. ALAT PELINDUNG DIRI (APD)
Pelindung barier yang secara umum disebut sebagai alat pelindung diri (APD) telah
digunakan selama bertahun-tahun untuk melindungi pasien dari mikroorganisme yang ada
pada petugas kesehatan. Namun dengan munculnya AIDS dan hepatitis C, serta
meningkatnya kembali tuberkulosis di banyak negara, pemakaian APD menjadi sangat
penting untuk melindungi petugas. Dengan munculnya infeksi baru seperti avian influenza
(flu burung), sars dan penyakit infeksi lainnya (emerging infectious diseases), pemakaian
APD yang tepat dan benar menjadi semakin penting baik untuk perlindungan pasien
maupun petugas.
Adalah sarung tangan yang distenilkan oleh Puskesmas atau dan pabrikan dan
harus digunakan pada tindakan pembedahan atau tindakan aseptik / invasif.
15
c. Sarung Tangan Rumah Tangga:
Sarung tangan kebersihan terbuat dan latex atau vinil yang tebal, seperti sarung
tangan yang biasa digunakan untuk keperluan rumah tangga. Sarung tangan
rumah tangga dipakai pada waktu meebersihan alat kesehatan, membersihkan
permukaan meja kerja, membersihkan permukaan lingkungan, dll. Sarung tangan
jenis ini dapat digunakan lagi setelah dicuci besih
Sarung tangan tidak perlu dikenakan untuk tindakan tanpa kemungkinan terpajan
darah atau cairan tubuh lain. Contoh memberi makan pasien, membantu minum obat,
membantu jalan, dll.
Sarung tangan ganda perlu dipakai pada keadaan khusus, antara lain:
a. Tindakan yang memakan waktu lama (lebih dan 60 menit) dan atau melakukan
tindakan operasi di area sempit dengan kemungkinan besar robekan sarung tangan
oleh alat tajam seperti jarum, gunting atau penjepit;
b. Tindakan yang berhubungan dengan jumlah darah atau cairan tubuh yang banyak
Persalinan, dll.;
c. Penyiapan bahan yang berisiko toksik/iritatif pada kulit tangan (obat sitostatika, dll).
Sarung tangan rumah tangga dapat dicuci dan digunakan berkali-kali untuk
membePuskesmasihkan peralatan, pencucian linen, membePuskesmasihkan ceceran darah
atau cairan tubuh lain. Sarung tangan rumah tangga tidak dipakai untuk perawatan yang
menyentuh kulit pasien secara langsung.
16
B. Penggunaan Pelindung Wajah (masker ) dan Pelindung Mata
- Memeriksa sisi masker yang menempel pada wajah untuk melihat apakah lapisan
utuh dan tidak cacat;
- Memastikan tali masker dalam kondisi baik dan harus menempel pada titik
sambungan;
- Memastikan klip hidung yang terbuat dan logam (jika ada) berfungsi baik
Fit test untuk respirator partikulat
Fungsi respirator tidak optimal / tidak efektif jika respirator tidak dapat melekat
sempurna pada wajah, seperti pada keadaan dibawah ini :
17
- Klip hidung (logam) dipencet/dijepit menyebabkan kebocoran. Direkomendasikan
meratakan klip di atas hidung menggunakan kedua telunjuk dengan cara menekan
dan menyusuri bagian atas respirator.
- Jika mungkin direkomendasikan fit test dilakukan setiap saat sebelum memakai
respirator partikulat.
Langkah 1:
Langkah 3:
Langkah 5.a :
18
Hembuskan napas kuat - kuat. Tekanan positif di dalam respirator berarti tidak ada
kebocoran. Bila terjadi kebocoran atur posisi dari/atau ketegangan tali. Uji kembali
kekuatan respirator. Ulangi langkah tersebut sampai respirator benar- benar tertutup
rapat.
Tarik napas dalam-dalam. Bila tidak ada kebocoran, tekanan negatif akan membuat
respirator menempel ke wajah. Kebocoran akan menyebabkan hilangnya tekanan
negatif di dalam respirator akibat udara masuk melalui celah-celah pada segelnya.
2. Dapat digunakan oleh seorang petugas untuk 1 shift tugas pada perawatan pasien
dengan infeksi airborne / sejenis
C. Penggunaan Topi
Topi digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala sehingga serpihan
kulit dan rambut tidak masuk ke dalam luka selama pembedahan. Topi harus cukup
besar untuk menutup semua rambut. Meskipun topi dapat memberikan sejumlah
perlindungan pada pasien, tetapi tujuan utama adalah untuk melindungi pemakainya
dari darah atau cairan tubuh yang terpercik atau menyemprot.
Gaun pelindung digunakan untuk menutupi baju kerja pada saat merawat
pasien yang diketahui atau dicurigai menderita penyakit menular melalui
droplet/airborne, juga melindungi petugas dari kemungkinan terkena percikan darah,
cairan tubuh lain karena suatu tindakan/prosedur medis/keperawatan. Jenis bahan
dapat berupa bahan tembus/tidak tembus cairan.
Gaun pelindung steril dipakai oleh ahli bedah dan asisten pada saat melakukan
pembedahan, sedangkan gaun pelindung non steril dipakai di berbagai unit yang
berisiko tinggi, misalnya di kamar bePuskesmasalin, ruang pulih di kamar bedah atau
di ruang isolasi.
19
a. Saat membersihkan luka
b. Melakukan irigasi
c. Tindakan drainase
a. Dicuci minimal setiap hari kecuali pada situasi tertentu dimana baju terkena
kotoran/cairan tubuh harus segera dicuci;
E. Penggunaan Apron
Apron terbuat dan karet atau plastik merupakan penghalang tahan air untuk
bagian depan tubuh petugas kesehatan. Petugas kesehatan harus mengenakan apron
ketika melakukan perawatan langsung pada pasien, membersihkan pasien atau
melakukan prosedur dimana ada risiko tumpahan darah, cairan tubuh atau sekresi. Hal
ini penting jika gaun pelindung tidak tahan air. Apron akan mencegah cairan tubuh
pasien mengenai baju dan kulit petugas.
Pelindung kaki digunakan untuk melindungi kaki dan cedera akibat benda
tajam atau benda berat yang mungkin jatuh secara tidak sengaja ke atas kaki. Oleh
karena itu sandal jepit atau sepatu yang terbuat dan bahan lunak (kain) tidak boleh
20
dikenakan. Sepatu boot karet atau sepatu kulit tertutup memberikan lebih banyak
perlindungan, tetapi harus dijaga tetap bePuskesmasih dan bebas kontaminasi darah
atau tumpahan cairan tubuh lain.
Penutup sepatu tidak diperlukan jika sepatu bersih. Sepatu yang tahan terhadap
benda tajam atau kedap air harus tersedia di kamar bedah. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa penutup sepatu dari kain atau kertas dapat meningkatkan
kontaminasi karena memungkinkan darah merembes melalui sepatu dan seringkali
digunakan sampai di luar ruang operasi. kemudian dilepas tanpa sarung tangan
sehingga terjadi pencemaran.
DI PUSKESMAS BOJONGSOANG
- APD yang disposable dimintakan melalui gudang obat dengan sistem paket buffer floor
stock.
- APD yang tidak habis pakai direncanakan dan disediakan melalui Bendahara barang
Puskesmas Bojongsoang;
- Jenis dan jumlah APD yang disediakan di setiap ruangan sebagai buffer floor stock
direncanakan dan diusulkan oleh Penanggung Jawab Unit sesuai kebutuhan pelayanan medis
dan tindakan keperawatan spesifiknya;
- Standar perhitungan kebutuhan APD untuk setiap pelayanan pasien ditetapkan tim PPI
- Sistem ketersediaan buffer perlu dimonitor secara kontinue, dicatat setiap penggunaannya,
untuk menjamin ketersediaan APD sesuai kebutuhan spesifik pelayanan medis dan tindakan
keperawatan di setiap ruangan;
- Penggunaan APD secara tepat sesuai indikasi, dengan mengukur risiko transmisi, dilakukan
secara rutin menggunakan daftar tilik, dievaluasi dan di-feedback-kan kepada yang terkait;
- Rekapitulasi penggunaan APD setiap ruangan disampaikan Bendahara barang dan tim PPI
untuk bahan evaluasi dan perencanaan.
Penyimpanan seluruh APD yang dibutuhkan di ruangan (sesuai kebutuhan spesifik setiap
ruangan) direkomendasikan dalam sistem ketersediaan buffer, tersendiri dalam almari kaca, agar
mudah diakses bila dibutuhkan. Apabila tidak ada almari khusus, direkomendasikan diletakkan
dalam almari linen ditempatkan dengan penempatan yang rapi, bersih dan kering, diberikan label
identitas.
21
Langkah-Langkah Mengenakan Alat Pelindung Diri
7. Kenakan masker
3. Kenakan sepasang sarung
tangan pertama
22
Langkah-Langkah Melepaskan Alat Pelindung Diri
9. Lepaskan masker
4. Lepaskan celemek
23
Pemilihan Alat Pelindung Sesuai Jenis Pajanan
24
Manfaat Masing-masing Alat Pelindung Diri
25
C. PENGELOLAAN PERALATAN KESEHATAN/INSTRUMEN PASCA PAKAI
Pengelolaan alat kesehatan/instrumen pasca pakai secara benar, tepat, efektif dan
efisien merupakan hal yang sangat penting dan harus dimengerti /dipahami oleh seluruh staf
kesehatan pada setiap tingkat, mulai dan petugas pelayanan kesehatan sampai ke petugas
pembePuskesmasihan dan pemeliharaan sebagai upaya pencegahan dan pengendalian
infeksi di Puskesmas. Proses pencegahan terjadinya infeksi silang (cross contamination)
dari alat/instrumen, setelah digunakan dengan melakukan dekontaminasi. Berdasarkan
kemungkinan terjadinya infeksi, Dr. E.H.Spaulding mengelompokkan alat/instrumen
pasca pakai menjadi 3 kelompok yaitu :
Alat kesehatan/instrumen pasca pakai setelah digunakan untuk tindakan medis dan atau
tindakan keperawatan harus segera dilakukan perendaman dan pencucian dengan
menggunakan larutan disinfektan yang sesuai (jenis, konsentrasi dan lama perendaman),
kemudian bilas dengan air mengalir dan keringkan.
Dalam melaksanakan kegiatan tersebutt harus menggunakan APD (alat pelindung diri)
sesuai ketentuan. Tujuan dari proses tersebut adalah :
Disinfeksi tingkat tinggi (DTT) dapat dilakukan apabila alat/instrumen dengan kategori
semi kritikal, segera digunakan dan tidak memungkinkan bila dilakukan sterilisasi. DTT
dapat dilakukan dengan cara panas, yaitu dengan direbus selama 20 menit atau dengan
larutan kimia/disinfektan yang sesuai.
2. Tipe dan jumlah mikroorganisme (misal : Mycobacterium tuberculose relatif lebih tahan
dibanding dengan mikroorganisme vegetatif)
4. Tingkat kesadahan air (hardness water), adanya kandungan yang mineral tinggi seperti
kalsium atau magnesium dapat berinteraksi dengan zat aktif disinfektan sehingga
menurunkan aktivitasnya.
27
3. Efisiensi investasi, instalasi dan pemeliharaan serta penggunaan sumber daya (SDM,
peralatan, sarana prasarana lain).
Metode sterilisasi :
4. Sterilisasi dengan bahan/larutan kimia (larutan glutaraldehide 2%; atau dengan larutan
hydrogen peroksida 6%); dilakukan apabila sterilisasi dengan panas tinggi (autoclave
steam) dan atau panas rendah dengan gas tidak dapat dilakukan.
Metode sterilisasi yang rutin dilaksanakan adalah sterilisasi uap (sterilisasi uap prevakum)
untuk alat kesehatan/instrumen/bahan yang tahan panas (termostabil) dan sterilisasi suhu
rendah dengan gas Ethylen Oxide untuk alat kesehatan/bahan yang bersifat termolabil.
Untuk mendapatkan hasil sterilisasi yang optimal (efektif dan efisien) dan terjaga mutunya
sampai dengan digunakan maka proses pengelolaan alat kesehatan/instrumen pasca pakai
harus dilakukan secara benar dan tepat, aman bagi pasien petugas serta lingkungan, yaitu :
a. Alat kesehatan/instrumen pasca pakai setelah digunakan untuk tindakan medis dan
atau tindakan keperawatan harus segera dilakukan perendaman dengan larutan
Anioszyme DD1 5 ml dalam 1 liter air selama 5 menit.
28
- Kategori semi critical dilakukan DTT dengan:
Catatan
3. Setting dan pengemasan alat kesehatan/instrumen dan bahan habis pakai (BHP)
Alat/instrumen/bahan yang telah bersih dan kering disetting/ditata serta dikemas sesuai
ketentuan.
Prinsip pengemasan :
- Sterilan harus dapat diserap dengan baik dan dapat menjangkau seluruh permukaan
kemasan dan isinya.
- Harus mudah dibuka dan isinya mudah diambil tanpa menyebabkan kontaminasi
Catatan : bila linen atau kertas perkamen sebagai bahan pengemas, minimal harus
rangkap 2 (dua).
. Sterilisasi
Monitoring dan evaluasi proses serta hasil sterilisasi harus dilakukan sesuai ketentuan
sebagai jaminan mutu/kualitas hasil sterilisasi, meliputi:
c. Indikator mekanik yaitu dengan mencatat kondisi suhu, waktu dan tekanan selama
proses.
d. Bowie Dick Test dilakukan setiap 1 (satu) kali sebulan sebelum mesin autoclave
dengan vakum
e. Indikator biologi, dilakukan minimal 2 (dua) minggu sekali tiap mesin autoclave
steam,
5. Penyimpanan:
Alat kesehatan/instrumen, bahan habis pakai (BHP), serta linen medis yang telah
disterilkan disimpan di ruang steril. Penyimpanan di unit pelayanan minimal di
tempat/ruang yang jauh dari lalu lintas utama atau pada kotak/almari yang bersih dan
kering serta mudah dilakukan disinfeksi.
Satu bulan Sama seperti 1 minggu jika kondisi ruang penyimpanan sesuai
standar (suhu 180 – 220C kelembaban 35 -75 %)
7. Penggunaan :
- Kemasan dalam kondisi baik (tidak rusak, kering dan belum terbuka);
BHP re-used adalah BHP yang menurut petunjuk manufakturnya diperuntukkan single
used namun diijinkan digunakan kembali sesuai bukti ilmiah atau rekomendasi
Perhimpunan Profesi pengguna atau pengalaman klinik berdasarkan pertimbangan
mutu, keamanan dan aspek finansial penggunaan (karena sangat dibutuhkan tetapi sulit
30
diperoleh dengan segera atau diproduksi dalam jumlah terbatas, harga tidak terjangkau
oleh pasien - secara pribadi/asuransi).
Pengelolaan BHP re-used di Puskesmas dilakukan berdasarkan tinjauan mutu dan
keamanan, rasional mulai dan saat penentuannya sampai dengan evaluasi penggunaan
pada pasien, ditetapkan dengan Kebijakan Puskesmas tentang Pengelolaan Peralatan
Re-used. BHP di-reused melalui proses sterilisasi/DTT, dengan memperhatikan
keamanan optimal secara fisik dan fungsi, ketersediaan metode dekontaminasi dan
sterilisasi yang efektif.
BHP yang dapat di-reused di Puskesmas adalah BHP sesuai daftar lampiran Kebijakan
Pengelolaan Peralatan Re-used. Macam BHP dan batas maksimal jumlah reused
ditetapkan Puskesmas melalui pembahasan.
Identifikasi BHP re-used dan penomoran penggunaannya dilakukan oleh unit terkait.
Nomor penggunaan alat yang ke-sekian dituliskan dengan penandaan pada alat maupun
kemasan alat. Jika tanda telah sampai batas maksimal re-used, pengguna tidak
diperkenankan me-reused kembali. Jika BHP sudah tidak layak di-reused berdasarkan
evaluasi fungsi, keamanan penampilan fisik, keamanan dan ketepatan sterilisasi/DTT,
atau alasan keamanan lain, meskipun belum sampai pada batas maksimal penggunaan
reused yang ditetapkan dalam Kebijakan, maka BHP tersebut segera diakhiri
penggunaannya tidak perlu diproses reused.
Evaluasi klinik terhadap setiap penggunaan peralatan reused dilakukan oleh satuan kerja
pengguna, menggunakan daftar tilik evaluasi yang telah disiapkan Tim PPI.
Monitoring ketepatan penerapan standar, analisis evaluasi dan tindak lanjut sesuai hasil
evaluasi dilakukan Tim PPI setiap 3 bulan, disampaikan kepada Tim Mutu Puskesmas.
31
DAFTAR NAMA CAIRAN DISINFEKTAN PUSKESAMAS BOJONGSOANG
N
NAMA ISI KEGUNAAN KETERANGAN
O
1. Alkohol Ethanol Antiseptik kulit 70%
Disinfeksi
instrument non kritis
Disinfeksi peralatan
non medis
Pengawet preparat PA
32
E. PENGENDALIAN LINGKUNGAN
c. Menggunakan mop khusus untuk setiap jenis ruangan, dengan cara sistematis untuk
membersihkan dan menghilangkan patogen infeksius
Kebersihan Ambulans
Ambulans dibersihkan secara rutin sesuai standar pembersihan ruang perawatan dan setiap
kali sesudah digunakan transportasi pasien.
33
F. MANAJEMEN PENGELOLAAN LIMBAH
Limbah medis umumnya berasal dari kegiatan Puskesmas, dimana secara umum di
Puskesmas Bojongsoang dapat dikategorikan dalam limbah infeksius dan limbah non-
infeksius. Limbah infeksius didefinisikan sebagai limbah yang mengandung
mikroorganisme berbahaya dalam jumlah cukup besar, sehingga dapat menyebabkan
penyakit. Limbah non-infeksius adalah limbah domestik yang dihasilkan dari berbagai
kegiatan house keeping / kerumahtanggaan di Puskesmas.
Limbah medis secara garis besar dapat dibedakan berdasarkan pada kondisi
fisiknya yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat atau sampah yang
dihasilkan dari aktivitas dalam Puskesmas menurut PP no 85 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, termasuk kategori limbah infeksius.
Limbah padat ini mengandung bahan-bahan infeksius atau mengandung bakteri
berbahaya, sampah yang kontak dengan cairan tubuh penderita, jaringan tubuh dan
spesimen di laboratorium,
Sampah lain terkategori sebagai sampah umum atau domestik merupakan sampah
yang berupa bungkus makanan dan minuman, sisa makanan bukan dari ruang isolasi,
kertas dan plastik yang tidak terkontaminasi dan semua sampah selain bahan kimia dan
radiasi yang tidak kontak dengan cairan tubuh pasien. Pemusnahan sampah infeksius dari
Puskesmas memerlukan adanya insinerator yang mempunyai kemampuan untuk
memusnahkan berbagai mikroorganisme atau bahan infeksius pada sampah padat.
Limbah padat dari Puskesmas mulai disadari sebagai bahan buangan yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan lingkungan karena dianggap sebagai mata rantai
penyebaran penyakit menular.
a. Sampah Medis
Sampah medis termasuk dalam golongan limbah klinis. Menurut Depkes RI,
limbah klinis berupa berbagai jenis buangan yang dihasilkan di Puskesmas dan
unit-unit pelayanan kesehatan seperti pelayanan medis, perawatan gigi, farmasi atau
sejenis serta limbah yang dihasilkan Puskesmas pada saat dilakukan perawatan,
pengobatan atau penelitian. Limbah ini bisa membahayakan dan menimbulkan
gangguan kesehatan bagi pengunjung, masyarakat dan terutama kepada petugas
yang menangani limbah.
34
Berdasarkan potensi bahaya yang ditimbulkannya, limbah klinis digolongkan
sebagai berikut:
Kategori sampah lain yang juga dikelola sebagai sampah Puskesmas adalah
sampah patologis yaitu sampah yang berasal dari ruang poned termasuk placenta,
serta sampah laboratorium yaitu sampah yang dihasilkan dari laboratorium
diagnostic atau riset, meliputi sediaan atau media sample spinal, bangkai binatang.
35
b. Sampah Non-Medis
Sampah non-medis adalah timbunan limbah padat pada Puskesmas yang tidak
termasuk dalam golongan sampah medis. Sampah non-medis biasanya berupa
sampah domestik seperti timbunan sampah lain pada umumnya (sampah umum /
domestik).
Dalam pelaksanaannya, sesuai dengan kesepakatan bersama di Puskesmas
Bojongsoanguntuk Sampah Umum / Domestik dibedakan menjadi 2 besar, yaitu :
Sampah Umum Basah / Sampah Organik, terdiri dari sisa makanan, dll.
Sampah Umum Kering / Sampah Anorganik, terdiri dari kertas, plastik, dll.
Untuk membedakan dengan Sampah Medis, maka Sampah Umum / Domestik
dimasukkan ke dalam tong sampah warna abu – abu sesuai tulisan sampah basah
atau sampah kering, dan ini telah disediakan Puskesmas Bojongsoang. Selanjutnya
dimasukkan ke TPS dan dibuang ke TPA, bekerjasama dengan Dinas pasar Tata
Ruang, Kebersihan dan Pertamanan.
PENGELOLAAN LIMBAH
a. Wadah berupa kantong plastik warna hitam, diikat rapat pada saat akan
diangkut, dan dibuang berikut wadahnya;
b. Wadah tidak boleh penuh/luber. Jika telah terisi 2/3 bagian segera dibawa ke
tempat penampungan akhir;
c. Pengumpulan Limbah dari ruang perawatan harus tetap pada wadahnya dan
jangan dituangkan pada gerobak (kereta limbah) yang terbuka, agar
dihindari kontaminasi dengan lingkungan sekitar serta mengurangi risiko
kecelakaan terhadap petugas, pasien dan pengunjung;
d. Petugas yang menangani pengelolaan limbah harus selalu menggunakan
sarung tangan rumah tangga dan sepatu serta mencuci tangan dengan sabun
sesuai prosedur setiap selesai bekerja.
Insenerasi (incineration)
Suatu proses dimana sampah dibakar dalam kondisi temperatur yang
terkontrol. Metoda ini dilakukan untuk sampah padat medis sisa hasil kegiatan
medis yang sifatnya disposible atau sekali pakai.
36
Metode dekontaminasi dengan pemaparan ke dalam uap panas besuhu dan
bertekanan dalam ruang tertutup untuk sejumlah waktu tertentu. Tekanan dan
waktu yang dibutuhkan untuk proses adalah 12 menit waktu kontak pada
kondisi uap jenuh besuhu 121oC. Metoda ini dipakai untuk alat – alat
kedokteran yang akan dipakai lagi, terbuat dari logam atau stainless.
Pemilahan
Limbah padat di ruangan dipilah sesuai dengan jenisnya yaitu limbah padat medis dan non
medis (basah dan kering).
Limbah di ruangan dibuang ke tempat limbah yang dilapisi kantong plastik yang diberi
tanda dibedakan warnanya :
- Tempat Limbah pasien di ruangan (tempat sampah non sentuh/injak dan sejenisnya yang
berukuran kecil);
- Tempat limbah besar di luar ruangan (kontainer ± 0.05 m3) dengan pesyaratan antara lain
terbuat dari bahan yang kuat, mudah dibesihkan, ringan (dapat diangkat oleh satu
orang), tidak berkarat dan kedap air terutama untuk limbah basah, mempunyai tutup,
mudah dikosongkan atau diangkut, tahan terhadap benda tajam/runcing).
- Kantong plastik, jika sudah terisi 2/3 bagian diikat rapat dan kencang.
Pembuangan Limbah
- Semua limbah yang dihasilkan dalam ruangan atau area perawatan/isolasi harus dibuang
dalam wadah atau kantong plastik yang sesuai.
Untuk limbah infeksius gunakan kantong plastik kuning atau bila tidak
tePuskesmasedia dapat menggunakan kantong plastik warna lain yang tebal atau
dilapis dua (kantong ganda), kemudian diikat dengan tali warna kuning dan diberi
tanda “infeksius”
Untuk limbah RT digunakan kantong plastik warna hitam
Untuk limbah benda tajam atau jarum dimasukkan dalam wadah tahan tusukan
disposable
- Kantong limbah apabila sudah ¾ bagian penuh harus segera diikat dengan tali dan tidak
boleh dibuka kembali.
- Petugas yang bertanggungjawab atas pembuangan limbah harus menggunakan APD
lengkap yang sesuai saat membuang limbah.
- Limbah cair seperti urine atau feses dibuang ke dalam sistem pembuangan kotoran yang
tertutup dan memenuhi syarat serta disiram air yang banyak.
- Urinebag dikosongkan secara teratur setiap 3-4 jam atau saat terlihat sudah ¾ penuh.
1. Penggunaan benda tajam termasuk jarum suntik direkomendasikan sekali pakai, tidak
direkomendasikan melakukan daur ulang atas pertimbangan penghematan;
2. Semua petugas bertanggung jawab atas setiap alat tajam yang digunakan sendiri;
3. Pada saat memindahkan alat tajam (misal pada setting operasi) digunakan teknik tanpa
sentuh dengan menggunakan nampan atau alat perantara lain;
5. Jika jarum terpaksa akan ditutup kembali (recapping), misal untuk pemeriksaan contoh
bahan darah ke laboratorium/PMI, digunakan metode satu tangan (single handed
recapping method);
6. Tersedia wadah limbah tajam disposable di setiap ruangan, bersifat kedap air tahan
tusukan dan tidak mudah bocor. Wadah ditutup dan dibuang jika telah terisi 2/3 bagian
atau sesuai tanda batas pengisian pada safety box dan jika telah tertutup tidak bisa
dibuka lagi.
Pecahan kaca
Pecahan kaca dikategorikan sebagai benda tajam, yang potensial menyebabkan perlukaan
yang akan memudahkan kuman masuk ke aliran darah, sehingga perlu diperlakukan
secara hati-hati dengan cara pembuangan yang aman. Rekomendasi pengelolaan pecahan
kaca :
2. Untuk meraup/mengumpulkan gunakan kertas koran atau kertas tebal dan gulung
pecahan kaca dalam kertas tadi;
3. Masukkan gulungan kertas yang berisi pecahan kaca ke dalam kardus, berikan label
“hati-hati pecahan kaca”
Pengendalian serangga dan binatang pengganggu adalah suatu upaya untuk mengurangi
populasi serangga dan binatang pengganggu sehingga tidak menimbulkan gangguan
kesehatan, kerusakan fisik alat dan bangunan yang meliputi pengendalian jentik, nyamuk,
kecoa, lalat, rayap, tikus dan kucing. Semua ruangan di puskesmas harus bebas lalat, kecoa,
Semua ruangan di puskesmas tidak diperkenankan ditemukan tanda-tanda keberadaan tikus
terutama pada daerah bangunan tertutup (core) puskesmas. Lingkungan puskesmas harus
bebas kucing dan anjing.
38
3. LIMBAH CAIR MEDIS
a. Sumber Limbah
Secara umum limbah Cair Medis dari suatu kegiatan Puskesmas dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) yaitu air limbah medis yang besifat infeksius dan air limbah domestik
yang besifat non-infeksius. Air limbah infeksius adalah limbah yang mengandung
mikroorganisme berbahaya (pathogen) dalam jumlah cukup besar, sehingga dapat
menyebabkan penyakit. Air Limbah non-infeksius adalah limbah domestik yang
dihasilkan dari berbagai kegiatan pendukung operasional suatu Puskesmas, seperti,
laundry dan lain-lain. Sumber – sumber air limbah dari kegiatan operasional Puskesmas
antara lain:
Sesuai dengan sifat dan bahannya, air limbah Puskesmas dapat dikategorikan
sama dengan air limbah domestik, kecuali air limbah dari laboratoriumnya.
Karakteristik air limbah domestik yang masih baru, berupa cairan keruh berwarna abu –
bau dan berbau tanah. Bahan ini mengandung padatan berupa hancuran tinja, sisa – sisa
makanan dan sayuran, padatan halus dalam suspensi koloid, serta polutan yang terlarut.
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa air limbah domestik 99,9 % terdiri dari air
dan 0,1 % adalah padatan. Padatan dalam air limbah domestik sekitar 70 % terdiri dari
bahan organik dan sekitar 30 % terdiri dari bahan an-organik.
Sifat bahan organik dalam limbah domestik relatif lebih disukai oleh
mikroorganisme, oleh karenanya kandungan BOD, COD, Nitorgen, Phosphat, minyak –
lemak dan TSS yang lebih dominan. Persyaratan pembuangan limbah cair Puskesmas
mengacu pada Baku mutu buangan air limbah Puskesmas menurut Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup no KEP 58/MENLH/I/1995 dijelaskan dalam tabel 1 .
39
- Karakteristik Fisik.
Parameter – parameter yang penting dalam air buangan yang termasuk dalam
karakteristik fisik antara lain, :
a. Total Solid.
Didefinisikan sebagai zat – zat yang tertinggal sebagai residu penguapan pada
temperatur 105 C. Zat – zat lain yang hilang pada tekanan uap dan temperatur
tePuskesmasebut tidak didefinisikan sebagai total solid.
b. Temperatur
Pada umumnya temperatur air buangan lebih tinggi dari temperatur air minum.
Karena adanya penambahan air yang lebih panas dari bekas pemakaian rumah
tangga atau aktivitas pabrik, serta adanya kandungan polutan dalam air.
Temperatur pada air buangan memberikan pengaruh pada :
- Kehidupan air
- Kelarutan gas
- Aktivitas bakteri
- Reaksi – reaksi kimia dan kecepatan reaksi
c. Warna
Warna dari air buangan berasal dari buangan rumah tangga dan industri. Air
buangan yang segar umumnya berwarna abu – abu dan sebagai akibat dari
penguraian senyawa – senyawa organik oleh bakteri, warna air buangan menjadi
hitam. Hal ini menunjukan bahwa air buangan telah menjadi atau dalam keadaan
septik.
d. Bau
Bau dalam air buangan biasanya disebabkan oleh produksi gas – gas hasil
dekomposisi zat organik. Gas Asam Sulfida (H2S) dalam air buangan adalah hasil
reduksi dari sulfat oleh mikororganisme secara anaerobik.
B. Karateristik Kimia
Senyawa – senyawa yang terkandung dalam air buangan terdiri atas 3 (tiga)
golongan utama, yaitu :
a. Senyawa Organik
Kurang lebih 75 % zat padat tersuspensi dan 40 % padatan yang tersaring
(Filterable solid) dalam air buangan merupakan senyawa - senyawa organik.
Senyawa – senyawa organik terdiri dari kombinasi karbon (C), Hidrogen (H),
Oksigen (O), Nitrogen (N), dan Phosphat (P) dalam berbagai bentuk. Senyawa –
senyawa organik ini, umumnya terdiri dari Protein, Karbohidrat, minyak dan
lemak yang kesemuanya dinyatakan dalam parameter BOD dan COD.
Kandungan detergen dalam air, dimana umumnya detergen terbuat dari senyawa
ABS (Alkyl Benzen Sulfonat) atau LAS (Linier Alkyl Sulfonat), dinyatakan dalam
konsentrasi parameter MBAS (Methyline Blue Alkyl Sulfonat ) atau CCE (Carbon
Chloroform Extract).
b. Senyawa Anorganik
Konsentrasi senyawa anorganik di dalam air akan meningkat, baik karena
formasi geologis yang sebelumnya, selama aliran maupun karena penambahan
buangan baru ke dlam aliran tersebut. Konsentrasi unsur organik juga akan
40
bertambah dengan proses penguapan alami pada permukaan air. Adapun
komponen – komponen anorganaik yang terpenting dan berpenagruh terhadap air
buangan antara lain :
- alkalinitas
- khlorida
- sulfat
- besi
- zeng
- dll.
c. Gas – gas
Gas – gas yang umum terdapat dalam air buangan yang belum diolah
meliputi : N2, O2, CO2, H2S, NH3, CH4. Ketiga gas yang disebut pertama
sebagi akibat kontak langsung dengan udara dan ketiga terakhir berasal dari
dekomposisi zat –zat organik oleh bakteri dalam air buangan.
C. Karakteristik Biologis
Kelompok organisme yang terpenting dalam air buangan dibagi menjadi 3 (tiga)
yaitu :
1. Kelompok protista
2. Kelompok tumbuh – tumbuhan
3. Kelompok hewan.
Kelompok protista terdiri dari bakteri, algae dan protozoa, sedangkan kelompok
tumbuh – tumbuhan antara lain meliputi paku – pakuan dan lumut. Bakteri berperan
sangat penting dalam air buangan, terutama dalam proses biologis. Kelompok bakteri
secara dikelompokan menjadi jenis bakteri yang patogen (menyebabkan penyakit) dan
non patogen. Kelompok bakteri patogen dianalisa dengan parameter kandungan E.
Coli , MPN (Most Problably Number) / 100 Ml. E. Coli merupakan bakteri yang
terkandung dalam tinja, semakin tinggi kandungan bakteri E.Coli dalam air buangan
maka semakin tinggi pula kandungan bakteri patogen yang lain (seperti Typhus,
Disentri dan Cholera).
41
didaerah perkotaan sering dilakukan dengan cara basah atau menggunakan “Septik
Tank”.
Fungsi septic tank adalah untuk mengubah karakteristik air kotor menjadi
buangan yang mudah diserap oleh tanah, tanpa menimbulkan pemampatan pada
tanah itu sendiri.
Secara rinci, Septic Tank mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Untuk memisahkan benda padat (tinja)
Padatan yang dapat diendapkan dipisahkan dengan pengendapan secara
gravitasi.
b. Untuk mengolah padatan dan cairan secara biologis.
Komponen Organik dalam padatan dan cairan dalam air kotor akan di
dekomposisi oleh bakteri anerob dan proses alamiah lainnya.
c. Sebagai penampung lumpur dan busa.
Lumpur (sludge) merupakan akumulasi padatan yang mengendap dalam tanki,
dan busa adalah lapisan padatan yang mengambang. Keduanya dapat di
dekomposisi oleh aktivitas bakteri. Hasil dari proses dekomposisi tesebut akan
diperoleh suatu cairan, gas dan lumpur matang yang stabil. Dimana cairan
terolah akan keluar sebagai effluen, gas yang terbentuk dilepas melalui pipa
ventilasi dan lumpur yang matang ditampung di dasar tangki yang nantinya akan
dikeluarkan secara berkala.
a. Pengolahan pendahuluan
Pengolahan pendahuluan Puskesmas Bojongsoang dilakukan utamanya pada
air limbah yang berasal dari kegiatan, air limbah dari laboratorium analisa, dan
akan dikoordinasikan dengan instansi terkait mengenai penanganan awalnya.
Pengolahan pendahuluan untuk air limbah laboratorium dilakukan secara fisik –
kimia yaitu netralisasi, presipitasi dan pertukaran ion. Sedangkan pengolahan
pendahuluan untuk air limbah laundry adalah netralisasi dan pemberian zat kimia
antibusa.
42
Kuantitas limbah, khususnya air limbah, yang diperhitungkan tidak semata-
mata didasarkan pada jumlah debitnya saja, tetapi juga berhubungan dengan
kontinuitas dan fluktuasinya. Penggunaan teknologi yang tidak tahan terhadap
adanya perubahan atau fluktuasi yang menyolok dapat menurunkan kinerja unit
pengolahannya itu sendiri, atau bahkan menyebabkan kegagalan proses
pengolahan.
Kualitas limbah sangat menentukan jenis teknologi yang akan digunakan,
selain itu juga dapat digunakan sebagai indikator bagi perlu tidaknya suatu
teknologi digunakan. Aspek paling sederhana dalam hal ini adalah
mengklasifikasikan air limbah berdasarkan karakteristiknya; fisik, kimiawi
ataukah biologis.
Karena itu perlu sekali kita mengkaji dua aspek awal – kuantitas dan
kualitas sebelum menentukan pilihan teknologi yang akan diterapkan. Dari kedua
hal ini ada beberapa tahapan yang umum digunakan, yaitu :
1. Mereduksi volume limbah, yang prinsipnya adalah mengurangi kuantitas
limbah yang dihasilkan.
2. Mereduksi kekuatan/konsentrasi limbah, yang ditujukan untuk mengurangi
kualitas pencemaran.
Jenis pengolahan biologis yang digunakan bergantung pada :
c. Gunakan APD sesuai kebutuhan: sarung tangan RT, masker, pelindung kaki (bila
tumpahan banyak gunakan juga celemek/apron);
d. Tutup tumpahan dan batasi perluasannya menggunakan bahan yang menyerap (kertas
koran/tisu). Selanjutnya bahan dicakup menggunakan penjepit dan langsung
dimasukkan dalam kantong plastik kuning (limbah infeksius);
e. Tuangi dan rendam bekas tumpahan dengan khlorin 0,5%, diamkan selama 10’
43
f. Basuh lokasi tumpahan pasca perendaman khlorin dengan mop/lap basah
G. PENEMPATAN PASIEN
Ruang dengan ventilasi natural yang baik digunakan untuk penempatan dan perawatan
pasien infeksi, khususnya infeksi airborne, yang terpisah dan pasien non infeksi dan
khususnya terpisah dan pasien dengan kondisi immunocompromise. Penataan ventilasi
dapat dilakukan secara alamiah atau campuran (dibantu sistem fan dan exhaust). Ruangan
untuk perawatan pasien infeksi airborne dipesyaratkan penataan ventilasi dengan
pertukaran udara minimal 12 ACH.
Mobilisasi/transportasi, pasien infeksi dan 1 unit ke unit lain harus dibatasi seminimal
mungkin. Bila dalam keadaan tententu pasien terpaksa harus dibawa ke unit lain, maka
petugas harus memperhatikan prinsip kewaspadaan isolasi.
Hygiene pernafasan dan etika batuk adalah dua cara penting untuk mengendalikan
penyebaran infeksi di sumbernya. Semua pasien, pengunjung dan petugas kesehatan hanus
direkomendasikan untuk selalu mematuhi etika batuk dan kebersihan pernafasan untuk
mencegah ekskresi sekret pernafasan (droplet nuclei).
Kunci PPI adalah mengendalikan penyebaran patogen dari pasien yang terinfeksi kepada
kontak yang tidak terlindungi. Untuk penyakit yang ditransmisikan melaiui droplet besar
atau droplet nuklei maka etika batuk harus diterapkan kepada semua individu dengan gejala
gangguan pada saluran napas.
2. Gunakan tisu/saputangan untuk menutup batuk, buang tisu pasca pakai ke tempat
limbah infeksius;
4. Cuci tangan dengan menggunakan air bersih mengalir dan sabun atau lakukan alternatif
cuci tangan menggunakan larutan handrub berbasis alkohol;
44
Penyuluhan Kesehatan dilakukan untuk memperkenalkan hygiene respirasi/etika batuk:
- Edukasi kepada semua petugas, pasien dan pengunjung Puskesmas dengan infeksi
saluran napas;
- Edukasi petugas, pasien, keluarga dan pengunjung akan pentingnya pengendalian
transmisi kandungan aerosol dan sekresi saluran nafas dalam mencegah penularan
infeksi saluran napas;
- Menyediakan sarana untuk kebersihan tangan (alkohol handrub, wastafel, sabun
biasa/antiseptik, tissue towel), terutama pada area tunggu perlu diprioritaskan.
a. Pemeriksaan berkala
b. Pemberian imunisasi yang pelaksanaannya tergantung pada :
- Risiko ekspos petugas
- Kontak petugas dengan pasien
- Karakteristik pasien Puskesmas
- Dana Puskesmas
c. Pelaporan pajanan dan insiden kecelakaan kerja (tertusuk jarum)
d. Pengobatan dan atau konseling.
Kewaspadan berdasarkan penularan dibutuhkan untuk memutus mata rantai transmisi mikroba
penyebab infeksi, dibuat untuk diterapkan terhadap pasien yang diketahui atau diduga terinfeksi
atau terkolonisasi patogen yang dapat ditransmisikan lewat udara, droplet, kontak dengan kulit
atau permukaan terkontaminasi. Kewaspadaan ini diterapkan sebagai tambahan terhadap
kewaspadaan standar.
a. Kontak
• Kontak langsung
b. Droplet
c. Udara
45
1. Kewaspadaan transmisi kontak
Transmisi kontak merupakan cara transmisi terpenting dan tesering penyebab HAI’s.
Kewaspadaan transmisi kontak ditujukan untuk menurunkan risiko transmisi patogen melalui
kontak langsung atau tidak langsung.
Kontak langsung meliputi kontak kulit terbuka/abrasi, kontak antara orang yang
rentan/petugas dengan kulit pasien terinfeksi atau kolonisasi (contoh : perawat membalikkan
tubuh pasien, memandikan, membantu pasien bergerak, dokter bedah mengganti verband
dengan luka basah, dll). Risiko kontak langsung tesering adalah kontak tangan.
Transmisi kontak tidak langsung terjadi antara orang yang rentan dengan benda yang
terkontaminasi mikroba infeksius di lingkungan seperti instrumen yang terkontaminasi,
jarum, kassa, sarung tangan yang tidak diganti saat menolong pasien, melalui obat, makanan,
melalui mainan anak, dll. Kontak dengan cairan sekresi pasien terinfeksi dapat
ditransmisikan melalui tangan petugas atau benda mati di lingkungan sekitar pasien.
Kewaspadaan kontak diterapkan terhadap pasien dengan infeksi yang diketahui atau
terkolonisasi (ada mikroba pada atau dalam tubuh pasien tanpa gejaia klinis infeksi) yang
mikrobanya dapat ditransmisikan dengan cara kontak langsung atau tidak langsung. Pada saat
petugas masih memakai sarung tangan terkontaminasi tidak boleh menyentuh tangan, hidung
dan mulut, dan hindari mengkontaminasi permukaan lingkungan yang tidak berhubungan
dengan perawatan pasien, misal pegangan pintu, tombol lampu, telepon.
2. Gunakan sarung tangan besih, tidak perlu steril dan gaun disposable/ reusable bilamana
kontak dengan pasien infeksi kontak.
3. Lepaskan dan proses segera sarung tangan dan gaun pasca pakai perawatan pasien infeksi
kontak secara tepat (dimasukkan limbah medis dan kantong linen infeksius). Lakukan
kebePuskesmasihan tangan segera setelah melepas sarung tangan.
4. Dedikasikan penggunaan peralatan spesifik untuk setiap pasien infeksi kontak dan selalu
membePuskesmasihkan serta mendisinfeksi peralatan yang tidak disposable sebelum
digunakan pasien lain.
5. Hindari menyentuh wajah, mata atau mulut dengan tangan yang memakai atau tidak
memakai sarung tangan sebelum melakukan kebesihan tangan
6. Pasien ditempatkan dalam ruang perawatan yang terpisah atau secara kohorting dengan
pasien lain yang menderita infeksi sejenis (kontak)
7. Minimalkan kontak antar pasien dan batasi gerak pasien keluar ruang perawatan
Pasien dengan infeksi kulit atau mata yang dapat menular misalnya herpes zoster,
impetigo, konjungtivitis, kutu atau infeksi luka lainnya memerlukan penerapan tindakan
pencegahan kontak.
46
2. Kewaspadaan Transmisi Droplet
1. Cuci tangan sebelum dan setelah merawat pasien, dan segera setelah setiap kali melepas
alat pelindung diri
2. Gunakan masker bedah setiap kali berada dalam jarak 1 meter dengan pasien
3. Pasien ditempatkan dalam ruang perawatan yang terpisah atau secara kohorting dengan
pasien lain yang menderita infeksi sejenis, berjarak antar pasien minimal 1 meter
47
influenza, .Kewaspadaan transmisi udara direkomendasikan diterapkan pada setiap tindakan
yang potensial menimbulkan aerosol pada pasien infeksi udara
Bila didapatkan infeksi baru atau infeksi yang belum diketahui cara penularannya,
maka direkomendasikan untuk menerapkan kewaspadaan transmisi udara (merupakan jenis
kewaspadaan tertinggi).
1. Cuci tangan sebelum dan setelah merawat pasien, dan segera setelah setiap kali melepas
alat pelindung diri
2. Gunakan respirator partikulat saat memasuki ruang isolasi udara, cek setiap akan pakai
(fit test)
4. Batasi gerak pasien, edukasi etika batuk, pakai masker bila keluar ruang rawat
5. APD : masker bedah (untuk pasien/pengunjung, sarung tangan, gaun, apron (bila
menghadapi cairan dalam jumlah banyak)
6. Pengendalian Lingkungan
a. Cek aliran udara dengan selembar tisu, jaga pintu selalu tertutup
b. Kontrol sistem ventilasi secara teratur (tekanan negatif atau ventilasi natural)
Isolasi Perlindungan
48
1. Ditempatkan dalam ruang khusus yang menerapkan prinsip kewaspadaan standar
secara maksimal
50
Kontak Droplet Udara /
Airborne
Pengendalian Tidak perlu penanganan Tidak perlu penanganan Ruang tekanan
teknikal & ventilasi secara khusus udara secara khusus negatif dengan
lingkungan ACH 12
AC dengan hepa
filter Aliran udara
pada ventilasi
natural, jendela
dibuka lebar
Pembersihan/usap Pembersihan/usap Pembesihan/usap
permukaan lingkungan permukaan permukaan
dengan menggunakan lingkungan dengan lingkungan
disinfektan menggunakan disinfektan dengan
menggunakan
disinfektan ; b/p
fogging
Contoh MDRO (MRSA VRE, B.pertussis, SARS, M.tbc (obligat
Penyakit/ ESBL) influenza, adenovirus. airborne)
mikroba C. difficile rhinovirus Campak, cacar air
Norovirus, rotavirus, N.meningitidis, (kombinasi
Legionella (melalui Streptococcus grup A, transmisi)
makanan, air, vomitus, Mycoplasma
feses) pneumonia
1. Rencanakan tindakan perawatan dengan seksama agar efisien dan kontak minimal;
2. Kewaspadaan terhadap semua darah dan cairan tubuh ekskresi dan sekresi dan
seluruh pasien untuk meminimalkan risiko transmisi infeksi;
4. Cuci tangan setelah menyentuh bahan infeksius (darah dan cairan tubuh pasien);
6. Pakai sarung tangan saat harus atau mungkin kontak dengan darah dan cairan tubuh
serta bahan yang terkontaminasi. Cuci tangan segera setelah melepas sarung tangan.
Ganti sarung tangan antara pasien;
7. Penanganan limbah feses, urine dan sekresi pasien yang lain dalam lubang
pembuangan yang disediakan, besihkan dan disinfeksi bedpan, urineal, dan
kontainer pasien yang lain;
9. Pastikan peralatan, barang fasilitas, dan linen infeksius pasien telah dibersihkan dan
didisineksi dengan benar antar pasien;
51
10. Pastikan mobilisasi pasien keluar unit minimal;
PANDUAN PPI TB
Pencegahan dan Pengendalian infeksi TB (PPI TB) adalah kegiatan yang terintegrasi
dengan pengendalian infeksi PUSKESMAS secara umum dan secara khusus ditujukan untuk
mencegah dan mengendalikan risiko penyebaran infeksi TB (secara khusus MDR-TB) di
PUSKESMAS (sebagai bagian kewaspadaan isolasi airborne) melalui tatalaksana administratif,
pengendalian lingkungan dan penggunaan alat pelindung diri (APD).
Pelayanan mudah, pelayanan dan penempatan pasien terpisah (kohorting), edukasi etika
batuk dan higiene respirasi, penyediaan paket kesehatan kerja (surveilans TB pada petugas,
pemeriksaan calon karyawan, pemeriksaan rutin, imunisasi, tatalaksana pasca pajanan). Kegiatan
pengendalian lingkungan meliputi pengkondisian udara melalui pengaturan ventilasi (alamiah
atau mekanik atau campuran) di fasilitas rawat jalan, rawat inap, ruang isolasi airborne disease,
ruang penunjang (laboratorium,), area tunggu maupun jalur transportasi pasien. Kegiatan
pengendalian dan perlindungan penggunaan alat pelindung diri (APD) secara rasional dan efisien
(masker bedah untuk pasien, respirator N95 untuk petugas).
Pengendalian Administratif
1. Skrining batuk dilakukan saat pasien datang di PUSKESMAS oleh petugas yang terlatih
(UGD, akses rawat jalan);
2. Pasien batuk suspek infeksi langsung diberikan masker, diberikan edukasi etika batuk dan
higiene respirasi, ditempatkan di area tunggu pasien batuk;
3. Akses pelayanan pasien suspek TB dikhususkan untuk pelayanan dan diagnosis cepat:
52
Pengendalian Lingkungan
1. Ruang pendaftaran, ruang poliklinik, ruang pengambilan dahak, ruang laboratorium dan
lain-lain unit penunjang ditata dengan prinsip pengendalian transmisi udara;
2. Pasien rawat inap TB BTA (+) ditempatkan di ruang rawat inap isolasi,
3. Monitoring kondisi udara dan sistem ventilasi dilakukan secara periodik berkesinambungan
oleh Penanggung Jawab ruangan besama dengan Unit Sanitasi.
2. Penyediaan APD di ruangan perawatan infeksi airborne sesuai standar PPI Puskesmas
dikoordinasikan oleh Penanggung Jawab Ruang & Logistik : sarung tangan bersih, masker,
gaun/apron.
3. Paket kesehatan kerja meliputi pemantauan kesehatan dan surveilans TB pada petugas,
pemeriksaan rutin karyawan dan berkala, pemberian terapi profilaksis maupun terapeutik
(pada kasus pasca pajanan) dan pengaturan shift bertugas serta rotasi tempat tugas
dilakukan besama Sub Bagian Sumber Daya Manusia dan Unit K3.
Panduan K3 tentang pemeriksaan kesehatan untuk TB, alur pasca pajanan dan tim klinik
penanganan pasca pajanan infeksi airborne disampaikan secara khusus terpisah dan
Panduan ini. (lihat Panduan K3).
53
BAB IV
Pencegahan dekubitus:
- Higiene dan perawatan kulit, kulit harus selalu dijaga agar tetap besih dan kering serta
dikaji terus menerus terhadap risiko dan tanda awal penekanan dan gesekan,
- Pengaturan posisi, diberikan untuk mengurangi tekanan dan gaya gesek pada kulit;
Penatalaksanaan dekubitus:
54
BAB V
Pasien memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu yang berfokus pada
keselamatan. Untuk itu, maka pasien juga perlu diberi edukasi agar bekerjasama dengan
masyarakat Puskesmas mewujudkan standar pelayanan untuk pencegahan dan pengendalian
infeksi.
Pasien selalu diberi edukasi pada setiap orientasi ketika awal dirawat inap. Edukasi PPI
khususnya adalah dalam hal kebesihan tangan. ketertiban membuang sampah dan etika batuk.
Hal lain yang perlu diedukasikan adalah membatasi barang dari luar Puskesmas yang dibawa ke
ruangan, jumlah penunggu di ruangan dan ketertiban jam berkunjung.
Catatan edukasi bagi pasien didokumentasikan dalam Form Pendidikan Pasien dalam
rekam medis.
Pasien rawat jalan diberikan edukasi saat menunggu di area pendaftaran / poliklinik
melalui program penyuluhan kesehatan masyarakat puskesmas yang dikoordinasikan tim ppi
puskesmas melalui bagian humas. bentuk lain edukasi adalah dengan banner, poster, leflet, teks
berjalan, baliho, spanduk, pemutaran video edukasi, dll yang ditempatkan di area publik yang
mudah terbaca oleh seluruh pengunjung puskesmas dan di area tunggu pasien/pengunjung.
Di Rawat Jalan
Informasi berupa poster, leaflet, banner, spanduk, teks berjalan, dll. Bentuk media edukasi
disediakan untuk pengunjung puskesmas, ditempatkan di tempat / area publik puskesmas,
dengan prioritas materi:
- Kebersihan tangan;
- Kebersihan lingkungan
55
- Ketertiban membuang sampah
Pengantar pasien maupun pengunjung diberikan edukasi saat menunggu di area tunggu
puskesmas melalui program penyuluhan kesehatan masyarakat puskesmas yang dikoordinasikan
Tim PPI puskesmas.
56