BAB I. PENDAHULUAN
Sejak tahun 1930 Kakao (Theobroma cacao L.) adalah salah satu komoditi
perkebunan yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Kakao
(Theobrema cacao L.) juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan
pengembangan agroindustri. Berdasarkan data dari BPS (2016), jumlah produksi
kakao di Indonesia pada 2012 s/d 2015 yaitu 740,51 ribu ton, 720,86 ribu ton, 728,40
ribu ton, dan 661,2 ribu ton. Hal ini mengindikasikan peran penting kakao baik
sebagai sumber lapangan kerja maupun pendapatan bagi petani. Areal dan produksi
kakao Indonesia juga terus meningkat pesat pada dekade terakhir, dengan laju 5,99%
tahun-1 (Ditjenbun, 2009).
Tanaman kakao saat ini sangat penting sebagai salah satu penghasil devisa
negara, penyediaan lapangan kerja, penyediaan bahan baku industri, dan sumber
pendapatan petani (Badan Litbang Pertanian 2007). Menurut Askindo (2012), pada
tahun 2011 ekspor biji kakao Indonesia sebesar 210.066 ton dengan nilai US$
1.614.496.350, sedangkan kakao olahan sebesar 178.951 ton dengan nilai US$
676.900.401. Mandfaat dan nilai kakao sangat besar yang diperoleh dari berbagai
aspek, sehingga mendorong pemerintah untuk terus megembangkan komoditas kakao.
Permasalahn yang dihadapi dalam pengembangan kakao yaitu produktivitas yang
masih rendah, yang baru mencapai 900 kg ha-1 tahun-1. Sedangkan potensi yang harus
dicapai lebih dari 2000 kg ha-1 tahun-1 (Rubiyo 2011).
Indonesia merupakan wilayah yang beriklim tropis, dengan intensitas curah hujan
yang tinggi, sangat mempengaruhi pembentukan tipe tanahnya. Umumnya tipe tanah
yang mendominasi lahan yang ada di Indonesia merupakan jenis tanah ultisol atau
dikenal dengan nama podsolik merah kuning (PMK). Jenis tanah ini merupakan
bagian yang paling luas dari total keseluruhan lahan kering di Indonesia. Tanah ultisol
sering digunakan sebagai lahan pertanian untuk jenis tanaman perkebunan. Pada
kondisi ini, upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman, sering kali terkendala
oleh sifat fisikokimia tanah tanah jenis ultisol ini. Hal tersebut disebabkan karena
tingkat pencucian yang tinggi, sebagai akibat intensitas curah hujan yang besar.
Selain itu faktor aliran permukaan (run off) juga mengakibatkan penurunan
kandungan bahan organik yang cepat merupakan salah satu kendala fisik pada tanah
ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Keadaan ini
menyebabkan kesuburan tanah ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan
bahan organik pada lapisan atas. Erosi (run off) menyebabkan kemunduran sifat kimia
dan fisika tanah seperti hilangnya unsur hara dan bahan organik tanah. Selain itu juga
berpengaruh terhadap kemampuan tanah menahan air dan menurunkan kapasitas
infiltrasi tanah serta meningkatkan kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah (Arsyad,
2010).
Secara umum lahan perkebunan kakao di Indonesia didominasi oleh perkebunan
rakyat yang saat ini rata rata umur tanamannya sudah tua dan harus menjalani
peremajaan dan penggantian tanaman dengan tanaman muda (replanting).
Keberhasilan usaha replanting tanaman kakao juga sangt dipengaruhi oleh kualitas
bahan tanam yang digunakan. Bahan tanam yang baik biasanya akan adaptif dengan
lingkungan tumbuhnya. Hal demikian diperlukan lingkungan tumbuh (media tanam)
yang optimal bagi pertumbuhan bibit kakao yang vigor (Rubiyo dan Siswanto 2012).
Media tanam merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam pertumbuhan
dan perkembangan bibit kakao. Kesuburan media tanam dapat diperbaiki atau
ditingkatkan dengan cara pemberian bahan amelioran (pembenah tanah) baik organik
maupun anornaik. Bahan tersebut dapat berupa pupuk, maupun penggunaan
mikroorganisme (biostimulan). Hasil penelitian Hendrata dan Sutardi (2010), jenis
media tanam dapat meningkatkan tinggi bibit, jumlah daun, diameter batang serta
panjang akar bibit kakao. Selain itu frekuensi penyiraman 3 hari sekali juga
memberikan pengaruh yang lebih baik dalam memperbaiki pertumbuhan dan
perkembangan bibit kakao.
Biochar atau arang hitam merupakan salah satu bahan pembenah tanah yang
dapat memperbaiki baik sifat fisik maupun kimia tanah. Bahan ini merupakan hasil
dari proses pembakaran biomassa. Biomassa yang digunakan umumnya merupakan
limbah pertanian atau perkebunan. Proses pembakan terhadap biomassa tersebut
dilakukan dalam keadaan oksigen terbatas, sehingga hasil pembakaran yang diperoleh
masih kandungan karbon yang tinggi (Mulyati et al., 2014) . Pemberian biochar ke
dalam tanah merupakan salah satu cara untuk memperbaiki atau meningkatkan
kesuburan tanah terutama yang digunakan untuk budidaya. Pengaplikasian biochar ke
dalam tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah baik sifat fisik, kimia maupun
biologi tanah, sehingga tanaman yang sedang diusahalan dapat lebih optimal
pertumbuhan da perkembangannya (Gani, 2009).
Bahan untuk mebuatbiochat dapat digunakan limbah pertanin seperti ranting,
tempurung kelapa, jerami, sekam padi, kulit kakao dan lain sebagainya. Pengaruh
biochar terhadap produktivitas tanaman bergantung pada sumber bahan baku dan
jumlah penggunaannya. Penelitian menunjukkan, pemberian 4 - 8 ton karbon (C) per
hektar meningkatkan produktivitas tanaman sebesar 20-220%, bergantung pada
komoditas yang dibudidayakan (Gani, 2009). Selanjutnya Rostaliana, dkk. (2012),
pemanfaatan biochar 12 ton/ha memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan
kualitas tanah, yaitu berat volume dan K tersedia, selain itu juga berpengaruh nyata
terhadap tinggi tanaman jagung. Sejumlah studi yang dilakukan melaporkan efek
positif dari aplikasi biochar ke tanaman pangan dengan dosis 5-50 ton/ha dengan
pengelolaan yang tepat, ini merupakan kisaran yang besar, akan tetapi seringkali
beberapa kisaran penggunaan dosis tertinggi menunjukkan hasil terbaik (Adi, 2013).
Biochar berbahan baku dari limbah bambu dapat memperbaiki kualitas tanah
dengan berbagai cara, antara lain meningkatkan porositas, BV dan ketersediaan air,
meningkatkan pH, C-Organik, K, dan KTK, mengurangi pencucian N, dan
meningkatkan aktivitas populasi mikroba. Pengaruh biochar bambu di tanah terhadap
sifat biologi, kimia dan fisik sangat kompleks, sehingga perlu dilakukan kajian
biochar hingga diperoleh pertumbuhan dan produksi tanaman meningkat secara
signifikan. Hasil penelitian Rona, (2014) menunjukkan bahwa pemberian biochar
(sekam dan tempurung) dengan dosis 2,5 ton ha-1dan kompos 12,5 ton ha -1 cenderung
menghasilkan tinggi tanaman cabai yang lebih baik dari perlakuan lainnya.
Tingginya berat basah total dan berat kering oven total per tanaman pada dosis
biochar 10 tha-1 diduga disebabkan biochar mampu memperbaiki kesuburan tanah,
efek biochar pada kesuburan tanah mencakup peningkatan porositas tanah, kapasitas
menahan air, penambahan nutrisi, dan meningkatnya aktivitas mikroba di dalam
tanah. Sifat-sifat tanah ini sangat penting dalam mendorong pertumbuhan awal dan
merangsang pertumbuhan vegetatif tanaman, seperti terlihat bahwa pada perlakuan
dosis biochar 10 tha-1 memberikan tinggi tanaman, jumlah daun, dan luas daun per
tanaman tertinggi. Meningkatnya jumlah daun dan luas daun dapat meningkatkan laju
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, karena jumlah cahaya yang dapat di
intersepsi dalam proses fotosintesis untuk membentuk bahan kering tanaman akan
semakin meningkat (Situmeang dan sudewa, 2013). menurut gani (2009) Pemberian
biochar sampai 20 ton/ha dapat memperbaiki sifat fisik tanah sehingga tanaman
dengan mudah menyerap unsur hara baik yang tersedia maupun yang ditambahkan
untuk menunjang pertumbuhan tanaman.
1.5 Hipotesis
1. Jenis biochar berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit tanaman kakao.
2. Dosis biochar berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit tanaman kakao.
3. Terdapat interaksi antara jenis biochar dan dosis yang digunakan terhadap
pertumbuhan bibit tanaman kakao.
BAB II. METODE PENELITIAN
2.2.2 Bahan
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah benih kakao yang
berasal dari buah kakao varietas lokal, yang diperoleh dari kebun kakao rakyat di
Pidie, tanah top soil Ultisol (±30 cm), yang diperoleh dari Kebun Percobaan Fakultas
Pertanian Unsyiah Sektor Timur Kopelma Darussalam, pasir sungai, pupuk NPK
Mutiara (16:16:16), abu gosok (abu sekam padi) yang diperoleh dari hasil produksi
Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala,
biochar bambu 5 kg, biochar kayu pulai 5 kg, biochar batok kelapa 5 kg, pestisida
Decis (Deltametrin), fungisida Mankozeb, polybag semai (baby polybag), polybag
(volume 5 liter), paranet hitam (60%), pondok bibit ukuran 3x3 meter, label nama,
plastik sungkup transparan dan amplop coklat ukuran A4.
Model matematika rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Yijk = µ + βi + Mj + Kk + (MK)jk + ɛijk
Dimana:
Yijk = Hasil pengamatan dari faktor jenis biochar (B) pada taraf ke-j dan
faktor dosis Biochar (K) pada taraf ke-k dalam ulangan ke-i
µ = Nilai rata-rata umum
βi = Pengaruh ulangan pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3)
Mj = Pengaruh jenis biochar pada taraf ke-j (j = 1,2,3)
Kk = Pengaruh dosis biochar pada taraf ke-k ( k = 1, 2, 3,4)
(MK)jk = Pengaruh interaksi antara faktor jenis biochar (B) taraf ke-j dengan
faktor dosis biochar (K) pada taraf ke-k
ɛijk = Pengaruh galat dari faktor K pada taraf ke-j dan faktor D pada taraf ke-k
pada kelompok ke-i
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji F dan apabila menunjukkan
berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan Uji Beda nyata Jujur (BNJ) pada taraf
5% (BNJ0,05) yaitu:
KTA
BNJ0,05 = q0,05 (p.dbA)
√ r
Keterangan:
BNJ0,05 = Beda nyata jujur pada taraf 5%
q0,05 = Nilai baku q pada taraf 5% jumlah perlakuan dan derajat bebas acak
(tabel Q)
dbA = Derajat bebas acak
KTA = Kuadrat tengah acak
r = Jumlah ulangan
2.4.5 Pemupukan
pemupukan dilakukan menggunakan pupuk NPK mutiara sebagai pupuk dasar
sebelum penanaman bibit kakao dengan dosis 2,5 g polybag-1. Pemupukan dilakukan
pada saat membuat/persiapan media tanam.
2.4.6 Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan pada proses pembibitan kakao meliputi kegiatan
penyulaman terhadap bibit yang mati ataupun yang pertumbuhannya abnormal,
penyiraman 2 kali sehari pagi dan sore menggunakan gembor. Penyiangan gulma
dilakukan secara mekanis yaitu dengan mencabut gulma yang tumbuh di dalam
polybag dan di areal pembibitan. Pengendalian hama dan penyakit pada bibit tanaman
kakao, jika bibit terindikasi sakit, dapat dilakukan dengan pemberian pestisida atau
fungisida yaitu menyemprotkan pestisida Decis bahan aktif Deltametrin dengan
konsentrasi 1 ml L-1 air dan fungisida bahan aktif Mankozeb dengan konsentrasi 1 g L-
1
air.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, R.K., 2013. Biochar sang pembenah
tanah.http://bbppbinuang.info/news23-.html. 10 Mei 2013
Arsyad Sitanala, (2010). Konservasi Tanah dan Air. Edisi Kedua, IPB Press. Bogor
Badan Litbang Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao.
Edisi 2. Badan Penelitian dan Pengembangan pertanian. Jakarta.
BPS [Badan Pusat Statistik]. 2016. Produksi Tanaman Kakao Indonesia 2012-2015
(Ton).https://www.bps.go.id/index.php/publikasi/index?Publikasi%5BtahunJud
%5D=&Publikasi%5BkataKunci%5D=kakao&yt0=Tampilkan ( 5 Juli 2020).
Gani A. 2009. Potensi arang hayati Biochar sebagai komponen teknologi perbaikan
produktivitas lahan pertanian. Iptek Tanaman Pangan 4(1): 33-48
Hendrata, R., dan Sutardi. 2010. Evaluasi media dan frekuensi penyiraman terhadap
pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L.). Jurnal Agronomi. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian. Yogyakarta.
Karmawati, E., Zainal, M., Syakir, M., Joni, M., Ketut, A., Rubiyo. 2010. Budidaya
dan Pasca Panen Kakao. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor.
Rubiyo. 2011. Bahan Tanam dan Metode Perbanyakan Kakao. Prosiding Seminar
Teknologi Budidaya Tanaman Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan
pertanian. Jakarta.
Situmeang, Y.P. dan Sudewa, K.A. 2013. Respon Pertumbuhan Vegetatif Tanaman
jagung pada Aplikasi Biochar Limbah Bambu. Prosiding Seminar Nasional.
Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa. Denpasar.
LAMPIRAN
U
B2K1 B3K1 B1K2
Keterangan :
B1 = Biochar bambu
B2 = Biochar kayu pulai
B3 = Biochar batok kelapa
K0 = Biochar 0 tha-1
K1 = Biochar 10 tha-1 (25 g/polybag)
K2 = Biochar 20 tha-1 (50 g/polybag)
K3 = Biochar 30 tha-1 (75 g/polybag
Lampiran 3. Diagram Alur Penelitian
Persiapan Benih
Pengecambahan Benih
Pemindahan Benih
Pemupukan
Pemeliharaan
Pembongkaran
Pengamatan
Analisis Data
Laporan Penelitian
Lampiran 4. Perhitungan Pupuk
Volume polybag = 5 kg
Volume Polybag
Kebutuhan Pupuk/polybag = x dosis pupuk anjuran
Berat tanah per ha
5 kg
= x 1000 kg ha-1
2.000.000 kg
= 0.0025 kg ha-1
= 2.5 g
Volume Polybag
Kebutuhan biochar/polybag = x dosis pupuk anjuran
Berat tanah per ha
5 kg
= x 10000 kg ha-1
2.000.000 kg
= 0.025 kg ha-1
= 25 g
Kebutuhan biochar 10 tha-1 = Kebutuhan pupuk x jumlah polybag
= 25 g x 99
= 2475 g
= 2.475 kg
Volume Polybag
Kebutuhan biochar/polybag = x dosis pupuk anjuran
Berat tanah per ha
5 kg
= x 20000 kg ha-1
2.000.000 kg
= 0.05 kg ha-1
= 50 g
Kebutuhan biochar 20 tha-1 = Kebutuhan pupuk x jumlah polybag
= 50 g x 99
= 4950 g
= 4.950kg
Volume Polybag
Kebutuhan biochar/polybag = x dosis pupuk anjuran
Berat tanah per ha
5 kg
= x 10000 kg ha-1
2.000.000 kg
= 0.075 kg ha-1
= 75 g
Kebutuhan biochar 30 tha-1 = Kebutuhan pupuk x jumlah polybag
= 75 g x 99
= 7425 g
= 7.425 kg